“Kau membuatku berlumut, Rael.”
“Alicia, sorry … kau tahu sekarang aku sedang sangat … sibuk.”
Dengan nafas terengah aku yang baru saja memasuki sebuah kafe di daerah dekat rumah sakit Sebastian langsung mengambil tempat di salah satu bangku kayu.
Di saat hari sedang cukup bersalju aku harus berlari sekitar beberapa blok demi wanita berlipstik merah merona ini. Itulah yang menjadi alasan mengapa peluh membasahi dahiku.
“Kau baru saja habis dikejar rentenir atau apa? Bagaimana bisa kau berkeringat di saat jalanan London membeku,” kata Alicia begitu ia memperhatikan sosokku dengan jelas, setelah sempat berkutat pada ponsel di tangannya membuatku berdecak kesal.
‘Astaga, Tuhan lihatlah! Pelaku yang menjadi alasan
BrukkAku melempar tubuhku ke atas ranjang dan bergoyang beberapa kali. Dengan masih mengenakan mantel hitam lengkap sepasang sepatu aku langsung saja berbaring, tidak peduli apakah sisa-sisa salju di bots akan mengotori lantai kamar.Hari ini tenagaku benar-benar terkuras habis. Bukan karena berlari dari rumah sakit milik Sebastian, tetapi saat menerima sebuah kabar yang membuat jantungku terjun bebas selama beberapa detik.‘Kepala Brown pagi ini menghubungiku karena kita menerima banyak sekali komentar buruk di website tentangmu, ternyata asal muasalnya dari beberapa artikel omong kosong ini.’Ucapan Alicia kembali terngiang di benakku. Berkat kabar buruk yang dibawanya seluruh tubuhku melemas, bahkan aku merasa seperti tidak memiliki tulang saat berjalan.
Suasana sunyi melingkupi kamar bernuansa monokrom itu, hanya ada suara deru nafas berirama seorang gadis bersurai mahoni yang tengah memejamkan matanya yang tampak sembab.Jejak-jejak sisa air mata masih tertinggal di pipinya, sehingga pria pirang yang sedari tadi hanya diam mengusap pipi pucat gadis yang tak lain adalah istrinya. Sebastian tidak bergerak dari posisi awalnya. Pria itu takut membangunkan Rael yang tengah terlelap dalam dekapannya setelah menangis tersedu-sedu di hadapannya hampir selama satu setengah jam lamanya.“Kenapa gadis manusia yang lemah sepertimu harus memilih jalan pembalasan memutar seperti ini?”“Padahal akan lebih mudah, jika kau langsung mencabut nyawa mereka.”Sebastian berdialog sendiri. Tangannya telah
“Sudah saya bilang semuanya berjalan sesuai rencana kita, Nyonya. Anda tidak perlu khawatir saya telah melakukan dengan baik dan tertata rapi.”…“Benar, selama dia tidak dapat membuktikan apakah tuduhan itu salah rencana kita tidak akan berantakan.”…“Setelah gagal lama-kelamaan dia akan ditinggalkan … ya, seperti itulah biasanya yang terjadi. Baik, serahkan saja pada saya, Nyonya.”Tut …Sambungan baru saja terputus. Seorang wanita berambut brunette menyibakan sebagian poni panjangnya yang sedari tadi memang telah menghalangi pandangan. Ponsel yang sempat tergantung di telinga telah ia letakan kembali di atas meja.&nbs
Pagi yang cerah sekaligus dingin. Suhu kota London mencapai di bawah 0° C, itulah mengapa mereka yang hendak beraktifitas harus mengenakan mantel tebal dan sebuah syal. Tidak lupa sepasang sarung tangan dan boots agar tidak tergelincir saat berjalan di atas tumpukan permadani putih yang licin.Meski udara dingin menusuk sampai ke dalam tulang ternyata tidak menghentikan seorang gadis berambut brunette yang saat ini mengemudikan sebuah sedan tua dengan riangnya. Bibir tebal dan penuhnya tidak berhenti menyunggingkan seulas senyuman manis. Ia seakan tidak merasa lelah sekalipun harus berkendara selama hampir tiga jam lamanya.“Itu dia tujuan kita …rumah sakit Eden!” seru Lizzy bersemangat.“Astaga, ak
Ada beberapa hal yang selalu membuat Felix selalu merasa merinding atau ketakutan. Seakan melupakan fakta bahwa ia adalah salah satu makhluk yang sering ditakuti. Siapapun pasti akan berlari tunggang-langgang bukan ketika bertemu dengan seorang iblis? Jika manusia takut dengan iblis dan hantu, maka hal seperti apa yang membuat Felix yang notabennya adalah seorang iblis jadi bergidik⸺ketakutan.Jawabannya sosok pria bersurai pirang yang saat ini sedang terbahak di sudut ruangan. Sebastian Dayton merupakan alasan mengapa Felix berusaha menahan gemetar. Tangannya bahkan mencoba agar tidak menjatuhkan cangkir keramik berisi cairan kental hitam yang baru saja diseduhnya.“Elizabeth Brigitte … si tikus yang berani menghancurkan karir istriku,” ujar Sebastian disela-sela tawanya. Ia terus saja mengulang ucapannya menyebutkan sosok gadis muda y
Aku menghirup nafas dalam-dalam. Tanganku sama sekali tidak berhenti gemetar. Berulang kali setir hitam di hadapanku menjadi korban. Aku mencengkramnya erat berusaha agar rasa cemas yang bergelayut menghilang satu-persatu, sayangnya nihil. “Sial! Aku berharap tidak menolak tawaran Sebastian untuk menemani,” teriakku sembari memukul kemudi. Mengapa hal ini terjadi? Aku rasa tidak membuat kesalahan barangkali sedikitpun karena memang selama ini dalam melakukan pekerjaanku tidak pernah menggunakan cara kotor. Meski aku bersekutu dengan iblis bukan berarti aku selalu bertindak demikian bukan? Disaat benakku masih sibuk menerawang jauh entah kemana, tubuhku terlonjak kaget ketika dering ponsel memecah keheni
“Penulis Anda tentu saja, Agatha Gray adalah Istri saya.” Suara lantang dan tegas dari sosok pirang yang masih berdiri di depan pintu mengejutkan Brown yang tampaknya masih berusaha mencerna ucapan tamu tidak diundang. Aku sendiri sama terkejutnya dengan pria gempal paruh baya. Tidak pernah sedetik pun ia akan datang kesini, sekalipun mungkin aku memang memanggil namanya dalam hati. “Sebastian …,” panggilku lirih. Suamiku itu mengulum senyum manis seolah sedang menenangkanku. Aku mulai dapat merasakan buliran bening menumpuk di pelupuk mata. Tapi mana mungkin aku terlihat begitu lemah di hadapan Brown. Jika aku sampai menangis pria itu akan mengira aku hanya sedang mencari simpati darinya. “Jangan membual, Nona Agatha … maksud saya Nona Raeliana Oswald masih lajang,” balas Brown dengan melipat kedua t
“Aku tidak percaya, bagaimana bisa dia tega melakukan hal ini padaku?! Menghancurkan satu-satunya mimpi yang sudah kupupuk sedari kecil.” “Rael, bernafas … kau baru saja minum obat, jangan sampai ada serangan berikutnya,” ucap Sebastian mencoba mengingatkanku yang baru saja mendudukan diri pada jok penumpang. Iris hazel ku memandang sosok pria bersurai pirang yang kini tengah duduk di belakang kemudi. “Kau tidak pernah memikirkan itu semua adalah ulah Emilia?” Bukankah tadi yang memintaku menenangkan diri itu dirinya? Lalu mengapa ia kembali mengingatkanku tentang kejadian mengesalkan beberapa waktu yang lalu? Meski begitu aku masih menjawab pertanyaan Sebastian dengan wajah masam. “Tidak sama sekali, mungkin karena aku terlalu panik dan gugup. Bayangkan saja a
"Mereka adalah kenalan Istri saya ketika masih berkuliah." Satu kalimat jawaban yang baru saja meluncur dari mulut Sebastian berhasil membuat pasangan Porlock hampir tersedak. Mereka terlalu terkejut dengan tanggapan jujur pria bersurai pirang tersebut. Veronica langsung menjatuhkan pandangannya ke arah sosok gadis bermanik hazel yang sedari tadi tampak tenang, bahkan terlalu tenang meski mereka saat ini sedang berdiri berhadapan satu sama lain. Terasa aneh menurut gadis bersurai kemerahan itu mengingat apa yang telah terjadi diantara mereka pasti membuat keadaan menjadi canggung. Dan mungkin Rael tidak akan dapat tenang bertemu dengan orang-orang dari masa lalu, apalagi memperkenalkan dirinya sebagai teman semasa kuliah, Veronica benar-benar dibuat terkejut. “Benarkah begitu, Nyonya Dayton? Astaga … pantas saja Anda berdua tampak menawan, ternyata para wanita cantik ini berasal dari satu tempat yang sama,” ujar si pria tambun dengan tawa yang cukup keras. Rael tersenyum manis. G
Surai pirang yang berkilauan tampak seperti helaian sutera berwarna emas, paras tampannya berhasil menghipnotis kaum hawa di seluruh penjuru ruangan, bahkan termasuk wanita milik pengacara Porlock, “Kau memandangi pria lain di hadapan Suamimu secara terang-terangan? Veronica, kau pasti kehilangan akal sehatmu.”Mendengar teguran sarkas sang suami berhasil membuat Veronica mendelik tajam. Tapi tidak lama ia langsung meneguk sampanye yang berada di atas baki salah seorang pelayan, “Aku tidak memandanginya … aku hanya tidak percaya sosok yang baru saja kita bicarakan akan muncul. Apakah kau tidak pernah tahu suami Rael terkadang akan menggantikan?”Anthony menggeleng dan menyibakkan rambutnya frustasi. Sungguh, ia sendiri tidak akan mengira pria itu akan benar-benar muncul di hadapannya. “Ini benar-benar sebuah kebetulan yang tidak diharapkan. Seharusnya, suami Rael tidak muncul. Meskipun bagian dari Dayton, kupikir pria itu tipikal yang membenci bisnis dan semacamnya,” kata Anthony den
Rosewood London adalah salah satu dari jajaran hotel terbaik yang terletak di jantung kota London. Tamu-tamu mereka bukan sekedar turis belaka, beberapa di antaranya merupakan para pebisnis atau orang-orang penting, seperti orang-orang berdarah biru. Dan hotel dengan bangunan pencakar langit menjulang itu tengah dipadati mobil-mobil seharga gedung apartemen pinggiran Inggris, alasannya hanya satu⸺perayaan ulang tahun perusahaan perbankan terkenal Inggris raya⸺Dayton. “Akhirnya seseorang menyadari bakatmu,” ucap seorang wanita bersurai kemerahan yang baru saja turun dari salah satu mobil ferrari. Lipstik kemerahan yang merona menghiasi bibir mungil nan seksinya. “Sudah kubilang, ini hanya perihal waktu. Perusahaan waktu itu hanya sebuah umpan sampai predator yang lebih besar muncul dan menyadari keberadaanku.”“Suamiku memang sangat hebat … aku bahkan tidak akan menyangka kita akan mendatangi Rosewood. Tapi aku sedikit cemas, maksudku aku tidak akan menyangka nama keluarga suami Rael
“Baiklah, sekarang jelaskan padaku. Mengapa ekspresimu sangat bahagia setelah bertemu dengan mereka? Atau kau baru saja mendapat lotre?”Aku langsung mencecar Sebastian begitu kami mendudukan diri di dalam mobil. Pria itu terkekeh pelan dan justru mengecup dahiku kilat. Sial! Ia berhasil membuat semburat kemerahan muncul di kedua pipiku, “Tidak bukan begitu, jika aku mendapat lotre itu karena kau menjadi Istriku.” Panas yang melingkupi wajahku semakin menjadi-jadi. Aku sedang serius bertanya dan benar-benar penasaran, ia justru melontarkan gombalan ala hidung belang, “Aku membutuhkan jawaban, Sebastian. Bukan gombalan maut mu itu.”“Padahal aku tahu kau juga menyukainya, bukan? Gombalan mautku ….”“Sebastian, jika sekali lagi kau mempermainkanku akan kupastikan semua koleksi biji kopimu berakhir ke dalam tempat sampah.” Sebastian yang semula tertawa akhirnya menekuk alis dan bibirnya⸺kesal dengan ancaman yang baru saja kuberikan. Pria itu sangat mencintai kopi, sampai-sampai ia rela
“Raeliana …? Kau benar Rael?” Sebuah suara yang menyebut namaku untuk kedua kalinya berhasil menghentikan kegiatanku dan Sebastian. Bibir ranumku telah menjauh, tapi manik hazelku masih terpaku pada iris obsidiannya. Seluruh saraf di tubuhku membeku. Bahkan untuk menggerakan ujung jariku hampir mustahil dan penyebabnya adalah sosok yang aku yakin saat ini sedang berdiri di balikku. Aku mengenal suara ini, setidaknya beberapa tahun terakhir sebelum aku memilih meninggalkan ibu kota. Tidak kusangka ternyata takdir akan mempertemukan wanita yang berhasil menghancurkan cinta dan namaku. “Rael, jangan menjadi pengecut. Kau sudah memilikiku, jadi sunggingkan senyum terbaikmu,” bisik Sebastian di telingaku dan mendaratkan kecupan penyemangat. Pria itu benar. Alasan aku sampai menjual jiwaku sendiri padanya hanya untuk membalaskan setiap luka yang dibuatnya disini. Rael! Jangan menjadi pengecut, seperti yang diucapkan Sebastian aku sudah tidak sendirian lagi. Setelah menghembuskan nafas p
Sebuah salah satu gedung pencakar langit yang mengisi ibu kota Inggris menjadi tujuan kami hari ini. Sebastian tampak tampan dalam balutan kemeja hitam dan sebuah topi berwarna senada, aku pun memilih mengenakan pakaian yang lebih tipis mengingat musim dingin telah berakhir. Alasan kami kemari tidak lain adalah untuk mengawasi target selanjutnya, jika tidak begitu mengapa kami yang sudah memiliki apartemen mewah harus mengunjungi hotel? “Siapa tadi nama mantan kekasihmu yang bajingan itu?” tanya Sebastian setelah pelayan membawa pergi daftar pesanan kami. Aku mendengus kesal karena pria bersurai pirang itu tampak sengaja mengulang pertanyaan yang sama beberapa kali. “Anthony Porlock, apakah kau harus menanyakan hal yang sama? Padahal kau sudah hafal jadwalnya, tapi menghafal namanya saja tidak bisa.” “Maafkan aku Istriku tersayang. Maklum saja, aku tidak pernah mengira harus mengingat nama seekor babi hutan,” kata Sebastian yang telah terkikik kecil. Kali ini aku memilih untuk tert
Mataku terasa begitu berat. Tapi cahaya matahari yang menelisik masuk melalui tirai terlanjur mengusik tidurku, sehingga dengan berat hati aku terpaksa membuka mata dan memperhatikan ruangan yang tidak lain adalah kamarku. Aku melenguh ketika merasakan otot-otot tubuhku terasa kaku. Entah sejak kapan aku sudah berada di apartemen, dan lagi aku mengenakan piyama. Aku tidak terlalu ingat mengganti pakaianku dengan ini. Malas berpikir lebih jauh membuatku mengabaikannya saja, toh aku sudah terlanjur berganti pakaian. Disaat sedang sibuk bergelung di dalam selimut kilasan kejadian kemarin terlintas. Aku dan Sebastian pergi ke pantai. Kami berjalan-jalan menyusuri pantai di udara yang dingin sembari menonton para peselancar bermain kejar-kejaran bersama ombak. Seulas senyum terukir di sudut bibirku s
Butiran salju yang menumpuk dan dinginnya udara yang membekukan aliran darah menjadi fokus perhatianku sejak mobil milik Sebastian meluncur di jalanan beraspal. Kami baru saja meninggalkan salah satu penjara wanita Wakefield. Tidak ada percakapan diantara kami, hanya ada deru mesin mobil saja yang mengisi suasana hening. Entah mengapa aku sendiri tidak begitu tertarik hanya untuk memecah keheningan, sehingga aku memilih diam. “Rael … apakah kau ingin pergi ke pantai?” Sebuah pertanyaan yang baru saja dilemparkan pria bersurai legam di sampingku berhasil membuat kerutan samar terukir di dahiku. “Di tengah musim dingin seperti ini? Kau mengajakku untuk pergi ke pantai?” Sebastian tidak segera menanggapi pria itu justru tertawa kecil dan mengangguk, “Kau pasti belum pernah bukan? Kita hanya akan menikmat
“Apa yang kalian lihat?! Aku akan mencabut kedua bola mata kalian jika sekali lagi melihatku!” Seorang wanita berambut mahoni berteriak marah kepada beberapa orang wanita lain yang berada di satu ruangan dengannya. “Aku akan membuat Robert membayar semua ini. Beraninya dia mengkhianatiku, setelah aku memberikan segalanya pada pria itu … lihat saja, mereka pasti akan meregang nyawa di tanganku,” gumamnya lagi. Ia menggigit kuku-kuku jarinya untuk meredakan rasa cemas yang telah menggelayuti sejak hari pertama dirinya mengenakan setelan orange neon. “Emilia, kau ada tamu.” Pintu besi terbuka menampilkan wanita berseragam kebiruan⸺opsir penjaga sel⸺telah berdiri di ambang pintu untuk membawa Emilia menemui seseorang. Mendengar namanya disebut Emilia tersenyum lebar. Ia bahkan sampai terbahak dan berulang kali menunjuk narapidana wanita lain yang berada di