PoV Rayyan.Tak pernah kubayangkan sebelumnya akan bertemu dengan orang yang sudah sekian lama kucari di sebuah toko roti langgananku. Hannan, begitu aku mengenal nama gadis kecil yang dulu pernah kujumpai di rumah sakit beberapa tahun silam. Gadis kecil yang kini sudah berubah menjadi wanita dewasa yang sangat anggun menurutku.Sejak kejadian kecelakaan yang menewaskan kedua orangtua gadis itu, sebenarnya aku selalu mencari keberadaan Hannan. Aku selalu merasa bersalah pada gadis kecil yang harus kehilangan kedua orangtuanya itu, secara tidak langsung, aku lah yang menyebabkan kecelakaan yang menewaskan orangtuanya terjadi.Waktu itu, aku sedang marah dan memilih pergi dari rumah. Aku marah atas kondisi keluargaku di mana ayah dan ibuku berpisah dan kemudian ibuku pergi meninggalkan kami. Aku tak tau apa yang menyebabkan ibuku pergi, aku hanya merasa aku menjadi korban atas keegoisan orangtuaku. Rasa kecewa yang menguasai hatiku membuatku memutuskan untuk kabur dari rumah. Tak ada ya
Pov Hannan.Meski masih merasa canggung, mau tak mau aku menerima semua bantuan yang ditawarkan dr. Rayyan padaku dan anak-anakku. Benar apa yang dikatakan Bu Sri waktu itu, aku tak boleh menolak uluran tangan orang-orang baik di sekelilingku, mungkin memang Allah yang mengirimkan semua untuk memudahkan langkahku ke dapan. Maka, aku sama sekali tak menolak ketika Rayyan menawarkan ruangan pribadinya untuk tempatku dan Zayn beristirahat, sementara putra sulungku Zaid masih menjalani perawatan.Aku tak membayangkan jika pria itu tak hadir pagi itu di depan pintu rumahku. Bagiamana kerepotannya aku menitipkan bungsuku dan mengurus sulungku yang tengah dalam kondisi sakit. Namun saran dr. Rayyan agar Zaid menjalani pemeriksaan lengkap terus terang saja menimbulkan rasa khawatir di dalam hatiku. Meski ia selalu berkilah bahwa ia tak bisa menyimpulkan apapun sebelum Zaid menjalani pemeriksaan dan hanya memintaku untuk terus memanjatkan doa bagi kesehatan putra sulungku itu, tapi aku melihat
PoV Randy.Ada rasa khawatir dalam hatiku ketika Hannan mengirim pesan dan mengabarkan jika putra sulungku Zaid sedang sakit demam. Sejujurnya aku adalah ayah yang sangat dekat dengan anak-anakku, hatiku selalu merindukan Zaid dan Zayn, kedua putraku. Saat bertugas di pedalamam Papua, setiap hari aku selalu dikekang oleh rasa rindu pada mereka, juga pada Hannan, Istriku. Tidak adanya signal telekomunikasi di sana benar-benar membuatku tersiksa oleh rasa rindu. Hal yang pertama kali yang akan kulakukan ketika ponselku bisa menerima signal saat aku berkunjung ke ibu kota kabupaten ataupun ke Kota Jayapura saat itu adalah menghubungi mereka melalui panggilan video. Momen saat Zaid dan Zayn berebutan ponsel untuk melihat wajahkuu di layar akan selalu jadi momen yang selalu kunantikan membuatku bahagia.Namun entah mengapa disaat aku sudah tak lagi bertugas sebagai aparat TNI setelah proses panjang dan meleahkan pengunduran diriku. Aku justru semakin jarang menelpon anak-anakku, padahal ak
Pov Hannan.Baru hari ke dua aku menemani Zaid di rumah sakit, fisikku sudah terasa sangat lelah. Bagaimana tidak, aku harus bolak-balik dari ruang rawat Zaid ke lantai 7 di mana aku menitipkan Zayn di ruangan pribadi dr. Rayyan. Beruntung Rayyan menyuruh salah seorang perawat yang stanby di ruangan Zaid dan menugaskan Mbak Ria untuk ikut menginap di ruangannya menjaga Zayn. Sementara Rayyan sendiri memilih tidur di ruang prakteknya.“Maaf ya, Ray. Aku sudah sangat merepotkanmu,” ucapku saat ia kembali memeriksa Zaid.“Sudah kubilang jangan merasa seperti itu. Oiya, sekarang kondisi Zaid stabil ya, demamnya pun sudah turun. Kita akan melakukan beberapa pemeriksaan berikutnya untuk memutuskan tindakan apa yang akan diambil setelah ini,” jawabnya sambil tersenyum ke arah Zaid.“Zaid sudah sembuh, Om Dokter? Kalau begitu sekarang sudah boleh pulang dong,” tanya Zaid padanya. Bocah itu kelihatannya sudah sangat akrab dengan Rayyan yang dipanggilnya Om Dokter.“Iya, demam Zaid sudah turun.
“Ray, bagaimana perkembangan Zaid? Apakah bisa aku meninggalkannya bekerja? Aku sudah seminggu ini tidak kerja karena menungguinya di sini,” tanyaku pada dr. Rayyan pagi ini.Aku memang sudah seminggu ini hanya bolak-balik dari lantai 7 ke lantai 1 bergantian mengawasi kedua putraku. Zayn pun mulai terlihat bosan seharian hanya bermain di dalam ruangan dr. Rayyan. Meski ia memiliki banyak mainan baru yang dibawakan oleh ayahnya waktu itu. Aku mulai berpikir untuk kembali bekerja di toko roti Bu Sri. Selain karena memang aku masih berstatus karwayan di sana, aku pun harus memikirkan biaya hidupku dan kedua anakku.Bang Randy memang membayar semua tagihan rumah sakit Zaid. Aku pun tak menolaknya karena memang aku belum bisa membantu banyak, kecuali menjaga Zaid. Lelaki itu sendiri baru dia kali datang menengok Zaid ke rumah sakit ini. Aku pun lebih memilih menyuruh Zaid menelpon melalui panggilan video jika ia menanyakan ayahnya, Bukan tanpa sebab, 2 kali pertemuanku dengan Bang Randy d
PoV Rayyan.Hannan tiba-tiba saja tumbang di depanku saat ia tengah berusaha melangkah ke arah meja hendak meraih gawainya. Sepertinya penjelasanku mengenai kondisi terkini kesehatan putranya membuat wanita itu syok dan kehilangan kekuatannya. Aku sudah sering melihat kondisi syok seperti ini pada beberapa orangtua pasienku. Namun kali ini aku merasa panik ketika Hannan yang mengalaminya. Segera kutahan tubuhnya sebelum benar-benar jatuh ke lantai. Aku mendekap tubuhnya yang begitu lemah, menggendongnya ke arah tempat tidur yang ada di dalam ruanganku di mana Zayn putra bungsunya juga sedang terlelap di sana.Ada debaran jantung yang tak biasa ketika aku mendekap Hannan di dadaku dan menggendong tubuhnya yang sedikit kurus menurutku. Entahlah, aku sendiri tak mengerti mengapa detak jantungku jadi seperti ini saat kepalanya terkulai bersandar pasrah dalam dekapanku.Kuperiksa denyut nadi Hannan setelah aku membaringkan tubuhnya, masih normal. Kurasa ia hanya benar-benar syok karena men
PoV Hannan.“Mbak Hannan! Mbak Hannan! Tadi ada telepon dari bagian perawatan. Mbak Hannan disuruh segera ke ruang rawat anak Mbak!” Hari asih pagi ketika salah satu rekan kerjaku datang dengan tergopoh-gopoh ketika aku sedang menyelsesaikan beberapa pekerjaanku.“Ada apa, ya?” tanyaku menautkan alis, kubereskan beberapa berkas diatas meja kerjaku. Ada rasa khawatir yang terlintas namun aku berusaha mengabaikannya. Semua pasti baik-baik saja, pikirku. Ini adalah hari keempat putra sulungku menjalani proses kemoterapi. Aku terus memantau kondisinya melalui dr. Rayyan. Menurut Rayyan, sejauh ini Zaid memperlihatkan perkembangan yang baik, namun pasien kanker selalu tak terduga.“Buruan, Mbak! Sepertinya penting! Kata mereka tadi Mbak Hannan tak merespon ponsel jadi mereka menelpon di telepon intern. Biar aku yang beresin berkas-berkas ini!.”Aku morogoh ponselku sambil berlari kecil ke ruang perawatan Zaid. Banyak pesan dan puluhan telpon yang tak terjawab. Rupanya ponselku sedang dalam
Bab 24. Apa Jantung Baik-Baik Saja?Bapak dan Ibu Bang Randy terlihat masih berada di rumahku saat aku tiba kembali di rumah, mereka berdua sedang megajak Zayn bermain. Bu Wulan dan beberapa tetangga terlihat menyuguhkan berbagai makanan pada tamu-tamu pelayat yang masih ada di rumah sempitku. Aku sangat bersyukur banyak yang peduli padaku dan anak-anakku.“Nak Hannan, Ibu dan Bapak masih mau di sini, masih kangen cucu. Nggak apa kan?” tanya Ibu Bang Randy.“Iya, Bu. Nggak apa-apa. Hannan dan Zayn bahkan senang sekali jika Ibu dan Bapak masih mau menemani kami di sini.”“Bapak nggak betah di rumah Randy, Nak. Jadi Bapak tadi minta Ibu izin padamu agar kami masih boleh di sini dulu,” ucapnya lagi.“Iya, Bu. Bapak dan Ibu boleh datang ke sini kapan saja. Zayn juga pasti masih kangen pada Nenek dan Kakeknya.”“Terima kasih, Nak. Maafin kesalahan Randy, ya, Nak. Ibu sangat menyesali perpisahan kalian. Ibu juga sangat menyesali keputusannya keluar dari profesi TNI yang sejak dulu dicita-ci
Sherin terkejut mendapati sebuah kotak kecil terselip pada buket bunga yang diberikan oleh Randy tadi. Ia baru memperhatikannya setelah randy berpamitan pulang dan ia masuk ke dalam rumahnya. Perlahan wanita itu membuka kotak kecil itu, mulutnya ternganga lebar melihat isi kotak. Sebuah cincin berlian bermata putih yang berkilau memanjakan mata. Benda kecil yang Sherin mungkin tak akan bisa menebak harganya, cincin keluaran brand perhiasan kelas internasional. Sungguh benda yang sangat mahal untuk wanita biasa sepertinya.“Cincin ini menandakan perasaan tulusku padamu, Sherin. Seprestisius benda ini, sedalam ini pula perasaanku padamu.”Begitu isi tulisan di kartu yang terselip di sana. Sherin menghela napas panjang, lalu teringat kotak pemberian Tian padanya. Buru-buru Sherin membuka tas nya dan mengeluarkan benda yang diambil Tian dari laci dashboard mobilnya tadi, yang tadi membuatnya merasa merinding dan memejamkan mata karena mengira Tian hendak menciumnya.Jantung Sherin berdeta
“Pak Randy?!” pekik Sherin saat mendapati mantan suaminya duduk di kursi teras depan rumahnya dengan mata terpejam.Pria yang pernah menikahi Sherin itu terkejut membuka matanya.“Ah, aku tertidur,” gumamnya.“Pak Randy ngapain?” Sherin mulai merasa tak nyaman melihat buket bunga yang diletakkan pria itu di atas meja.“Selamat ulang tahun, Sherin!” Randy menyodorkan buket bunga padanya. Pria itu tersenyum dengan lebar.“Dari mana tadi?” tanyanya.Sherin tak menjawab.“Tadi aku ke kantormu tapi kata karyawanmu, kamu lagi keluar dengan seseorang.”Sherin mematung.“Tadi pergi dengan siapa?” Lagi-lagi Randy bertanya, tapi Sherin tak menjawabnya.“Terima kasih bunganya, Pak. Terima kasih juga ucapannya. Kalau nggak ada yang mau diomongkan lagi Bapak boleh pulang sekarang, aku lelah,” pintanya.Namun pria di depannya tertawa sumbang.“Aku boleh masuk, Sher?”“Nggak, Pak! Aku wanita single, apa kata orang nanti kalau melihat aku menerima tamu lelaki.”“Tapi aku sua ... aku mantan suamimu,
Sherin diam mendengarkan.“Hingga akhirnya aku bertemu Dinda, dia kakak dari salah satu muridku. Dia sangat perhatian pada Syifa, dari Syifa umur setahun dia sudah dekat dengan gadis itu.”Sekali lagi ada nyeri yang menyusup di hati Sherin. Setelah tadi bercerita tentang istrinya, kini pria yang dicintainya itu bercerita tentang gadis lain.“Semua yang melihat kebersamaan kami mengira aku dan Dinda punya hubungan khusus. Mungkin juga termasuk kamu, Sherin.” Tian menatap.“Kenapa kamu tak memilih bersamanya, bukankah dia sudah dekat dengan Syifa?” tanya Sherin ragu-ragu.“Sejak kepergian Lia, prioritasku hidupku adalah Syifa. Dan melihat kedekatan Syifa dengan Dinda, terus terang saja aku pernah berpikir untuk menawarkan hubungan yang lebih serius padanya.”Hati Sherin kembali tergores mendengarnya.“Lalu kenapa tak kamu lakukan? Sepertinya Dinda juga menyukaimu.” Akhirnya Sherin menyebut nama gadis itu.Tian menggeleng.“Keyakinan kami berbeda, Sherin. Dinda penganut agama lain. Dia s
Sepanjang perjalanan Sherin terus menyimpan banyak pertanyaan di dalam benaknya. Salah satunya adalah kendaraan roda empat yang tadi dipakai Tian untuk menjemputnya. Mungkin mobil Tian tak semahal mobil milik dr. Rayyan, suami atasannya, dah tak sekeren mobil milik Randy, mantan suami sirinya. Namun, memiliki kendaraan pribadi seperti ini bagi Sherin adalah prestasi mantan kekasihnya itu. Karena dulu, sewaktu dirinya dan Tian masih menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, hidup mereka sangat sederhana. Dulu, hanya kendaraan roda dua milik Tian yang setia menemani mereka berdua menjalani hari-hari memadu kasih.Impian mereka saat itu pun sangat sederhana, hanya ingin menikah dan hidup bersama saling memberi semangat dalam karir. Sherin tau, Tian hanyalah seorang guru biasa yang bahkan baru beberapa bulan sebelum hubungan mereka berakhir pria itu diangkat secara resmi sebagai guru tetap. Maka, jika Tian bisa memiliki kendaraan roda empat seperti saat ini, tentu lah pria yang sedang b
Seminggu setelah bertemu Tian di lokasi outbond, tak ada komunikasi apa pun lagi di antara sepasang manusia yang pernah begitu dekat itu. Sherin yang awalnya menaruh harap, kini memilih membuang jauh-jauh harapan itu. Dia menertawakan dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia berharap sedang Tian hanya menegur dan menanyakan kabarnya. Bukan kah itu hal yang wajar dilakukan oleh seseorang setelah bertahun-tahun tak berjumpa? Bahkan Tian sama sekali tak menanyakan nomor ponselnya saat itu.Wanita yang sehari-harinya kini mengenakan jilbab itu beberapa kali menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, menepis sisa-sisa tatapan Tian yang masih lekat di kepalanya. Tatapan mata yang menyembunyikan luka, mungkin luka karena ditinggal oleh istrinya. Betapa bodohnya pikirannya waktu itu yang dengan cepat menyimpulkan jika komunikasi keduanya akan terus berlanjut setelah pertemuan di area outbond. Pun betapa malunya ia pada Hannan ketika atasannya itu dengan mudah membaca pikirannya jika Sherin masih berh
Kegiatan family day karyawan ZaZa berjalan lancar, meski Sherin sendiri tak begitu menikmatinya. Kehadiran sosok dari masa lalunya yang juga tengah berada di area outbond bersama rombongannya mengalihkan konsentrasi Sherin. Terlebih lagi, ada sesosok wanita yang selalu terlihat berada di dekat mantan kekasihnya itu. Wanita yang terlihat sangat dekat dengan bocah kecil bermata sendu seperti ayahnya.Kegelisahan Sherin tak luput dari perhatian Hannan. Hannan memang selalu menjadi wanita yang penuh perhatian. Meski disibukkan dengan mengurus ketiga buah hatinya, namun wanita tegar itu juga tak begitu saja mengabaikan karyawannya. Hannan tau apa yang menyebabkan Sherin gelisah, karena dia pun tadi sempat berpapasan dengan Tian yang diketahuinya adalah mantan kekasih Sherin. Maka wanita elegan itu mendatangi Sherin, karyawan sekaligus sahabatnya, sambil menggendong Zara.“Sher, kalau masih ada yang ingin dibicarakan atau ditanyakan sebaiknya temui dia. Tak baik menyimpan semuanya sendirian
“Tadi anak ini kehilangan balonnya, Mbak. Terbang ke atas pohon tadi.” Sherin menjelaskan tanpa diminta.“Oh, iya. Terima kasih, ya, Mbak.”Si wanita cantik berkulit putih dengan rambut sebahu itu tersenyum pada Sherin, lalu kemudian meraih bocah kecil tadi dan menggendongnya.“Yuk, balik. Ayah nyariin Syifa loh. Eh ... itu ayah nyusul.” Wanita itu terus berucap sambil menggendong sang bocah.Sherin ikut menoleh saat mendengar suara seseorang dari arah belakangnya.“Syifa ... kok mainnya sampai jauh gini, Nak?”Sherin terkejut, bukan hanya kerena merasa tak asing dengan suara itu tapi tatapan mata pria yang baru saja datang itu mengunci pergerakannya. Sherin terpaku, tak dapat bergerak, apalagi berkata-kata. Pria yang baru datang itu pun sama terkejutnya dengan Sherin. Keduanya saling menatap beberapa saat seolah waktu sedang berhenti berputar bagi keduanya.“Sherin!”Kini Sherin tau kenapa tadi seolah mengenal tatapan mata di bocah yang menangis kehilangan balonnya.“Hai, Tian. Dia .
Lima Tahun Kemudian.Hari ini seluruh karyawan ZaZa dia ajak oleh Hannan untuk rekreasi. ZaZa kini tak lagi hanya sekedar toko bakery, Hannan membeli beberapa unit ruko di deretan ZaZa bakery dan melebarkan usahanya dengan membuka swalayan dan butik yang semuanya diberi nama ZaZa. Hannan sendiri tak pernah turun tangan langsung tapi hanya memantau usaha yang dipercayakannya pada Sherin.Sherin pun kini menjelma menjadi wanita karir yang membawahi ratusan karyawan ZaZa. Wanita mandiri itu pun sudah mampu membeli rumah sendiri dan tak lagi tinggal di rumah yang diberikan Randy padanya. Sherin mengembalikan semuanya karena tak ingin terhubung lagi dengan mantan atasannya itu.Bagi Hannan, Sherin adalah tangan kanannya dalam bekerja memperluas usahanya sementara Hannan adalah otak utamanya. Perpaduan dua wanita pekerja keras membuahkan hasil yang gemilang di bawah nama ZaZa. Sherin bukan digaji tetap oleh Hannan, tapi digaji berdasarkan omzet yang dicapai oleh bisnis ZaZa. Maka, Sherin me
“Sher, please. Cuma kamu yang bisa menolongku. Tolong menikah lah dengan suamiku.” Dewi sengaja menyela sebelum Sherin menjawab.Sherin menghela napas. Dia masih ingat betapa berangnya wanita di hadapannya ini dulu ketika mengetahui Sherin mengandung anak suaminya. Betapa teganya wanita yang tak berdaya di hadapannya ini waktu itu memaksanya untuk menggugurkan kandungannya. Betapa berkuasanya seorang Dewi saat melemparkan segepok rupiah di hadapannya dan ibunya waktu itu. Betapa keangkuhan yang dulu nampak jelas pada wanita itu kini berubah menjadi kelemahan.“Sher, meski kamu tak mencintai Mas Randy, tapi setidaknya kalian pernah menikah dan kamu pernah mengandung bayinya. Aku ... aku tak bisa membayangkan jika dia harus bersama wanita lain lagi selain kamu, Sher.”Ternyata wanita di hadapan Sherin itu masih Dewi yang dulu. Dewi yang egois, yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Dia meminta Sherin kembali pada suaminya hanya agar suaminya tak melirik wanita lain lagi. Sungguh pemik