"Ibu kok nggak bilang-bilang mau ke sini?" ujar Nita saat Asih sudah masuk ke dalam rumah mereka."Kalo Ibu bilang-bilang, nanti bukan kejutan lagi namanya," ujar Asih mengusap lembut rambut sang putri."Pasti Mas Damar kan yang rencanain ini semua," Nita beralih menatap Damar yang hanya senyum-senyum tak jelas. "Buat kamu kok, Sayang. Sesekali nyenengin hati istri nggak papa kan, ya," jawab Damar mengedipkan mata sebelah pada Nita."Pengen marah, tapi ini benar-benar bikin aku seneng banget. Beneran deh, Mas," ujar Nita lagi kembali terisak."Sudah-sudah jangan nangis, sebagai ganti.air mata kamu. Ibu masakan makanan kesukaan kamu, mau nggak?" tanya Asih pada sang Nita. Nita langsung menganggukkan kepalanya cepat. Seperti anak kecil yang sangat-sangat ingin kemauannya dituruti."Kamu nggak kerja, Mas?" tanya Nita lagi pada Damar, setelah melihat Damar yang tak kunjung berangkat kerja padahal hari sudah lumayan siang."Enggak, hari ini aku full di rumah saja. Ibu juga baru datang, ma
Sudah lima bulan lamanya Asih tinggal bersama dengan putri dan juga menantunya."Hoeekkk!"Tiba-tiba tak sengaja telinga Asih mendengar suara Nita yang seperti ingin muntah terus-menerus. Nita segera berlari dari meja makan, dan Asih bergegas menyusul Nita ke kamarnya. "Kamu kenapa, Nak? Masuk angin?" tanya Asih pada Nita. Saat ini mereka hanya tinggal bertiga di rumah besar ini. Sesekali mertua Nita datang menjenguk menantu kesayangannya. Damar saat ini sedang tidak ada di rumah, karena ada pekerjaan di luar kota yang harus dikerjakannya."Nggak tau, Bu. Perut Nita tiba-tiba nggak enak entah kenapa lah ini. Mungkin masuk angin saja," ujar Nita sesekali memegang perutnya yang terasa diaduk-aduk.Asih lalu memegang tangan putrinya, belum sempat sampai ranjang. Nita tiba-tiba pingsan di dalam pelukannya. Asih berteriak panik dan memanggil Mpok Wati berkali-kali. Mereka lalu bergegas membawa Nita untuk segera dibaringkan di atas ranjang."Keringatan banget Nyonya Nita, Bu," ujar Mpok Wa
*Damar dan Aryo sekarang sudah sampai di tempat yang dituju. "Sabar kali, Mar. Santai aja kenapa?" ujar Aryo melihat Damar yang tergesa-gesa memasuki mobil yang sudah menunggu kedatangan mereka."Nggak sabar banget gue, Yo, ketemu sama Nita di rumah. Gue pengen cepat-cepat dengar hasilnya," ucap Damar sambil tersenyum senang."Ah elah lu mah, Mar. Iya dah yang sudah punya istri," ujar Aryo mencabik kesal."Apa sih lu, Yo. Makanya cepat-cepat nikahin Putri," ejek Damar pada Aryo.Sekarang mereka sudah berada di dalam mobil, dan bergegas menuju ke rumah Damar."Gue ikut ke rumah lu nih ceritanya?" tanya Aryo pada Damar."Iyalah, biar lu menjadi saksi kebahagiaan gue nantinya," ucap Damar sambil terkekeh kecil. Aryo hanya memutar bola matanya malas mendengar celotehan sahabat yang sangat membosankan menurutnya.**Saat sampai ke rumah Damar langsung memeluk Anita dengan penuh rasa bahagia. Nita langsung menangis di dalam pelukan Damar dengan terisak."Mas, aku hamil," ujar Nita sambil
*"Sayang, jangan kerja yang berat-berat. Nanti perut kamu sakit," ujar Damar melihat Nita yang sedang mengangkat vas bunga yang jatuh karenanya."Apa sih, Mas. Cuma vas bunga doang lho ini. Berat darimana?" tanya Nita dengan raut wajah yang kesal."Ini berat lho, Sayang," ujar Damar mengambil vas bunga dari tangan Nita."Ya ampun plastik lho ini, Mas. Ngapain sih pakai takut segala macam, aku aja nggak merasa keberatan lho, Mas," ucap Nita sedikit sebal melihat kelakuan Damar yang menurutnya terlalu berlebihan."Apa sih, Sayang. Aku kayak gini nih, demi kebaikan kamu juga. Kamu jangan marah-marah dong sama aku," ucap Damar melihat Nita yang sedikit sensitif dengan sikapnya.Mungkin karena sudah pernah merasa kehilangan, jadi Damar memilih untuk lebih berhati-hati. Dia lebih siaga, tidak ingin kejadian kemarin terulang kembali. Dia ingin menjadi sosok lelaki yang bertanggungjawab sepenuhnya terhadap sang istri. Damar juga benar-benar trauma dengan sikapnya yang dulu benar-benar membu
Aku benar-benar terkejut melihat perlakuan Mas Damar pada sang kekasih. Bahkan di depanku saja, dia sangat berani berbuat seperti itu.Aku di sini bagai seorang putri yang tak lagi melihat pangerannya. Karena sang pangeran sudah beralih hati dan perhatian dengan seseorang yang pertama kali meraih hatinya."Mas, aku nggak salah lihatkan sekarang?" lirih aku berucap menatap Mas Damar yang masih terlihat perhatian pada perempuan yang berada di sampingnya."Sayang, ini Laura. Teman masa kecil, Mas," jawab Mas Damar tanpa memikirkan perasaanku."What, sayang? Maksudmu apa, honey?" tanya perempuan yang bernama Laura itu. Ia memegang bahu Mas Damar hingga menghadapnya."Laura ... jujur, sebenarnya aku sudah menikah. Kita berdua sudah berakhir semenjak kamu memilih untuk melanjutkan pendidikanmu dan tidak menikah denganku," lirih terdengar ucapan Mas Damar di telingaku. Sepertinya kalimat itu sangat berat untuk diungkapkannya pada Laura."No! Ini bohong, bukan? Kamu bilang, kamu akan menungguk
"Gue pikir lu bakalan nyakitin sahabat gue kayak dulu lagi," ujar Putri memukul lengan Damar dengan sangat kencang."Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, tidak akan bermain hati. Meluluhkannya saja dulu sangat sudah untukku, karena Anita benar-benar berubah saat itu.""Kali ini, jika aku sudah mendapatkannya. Lalu untuk apa aku harus melepaskannya begitu saja, tentu saja itu tidak akan pernah dilakukan lagi."Saat ini, Anita sedang pergi ke dapur ditemani Imah dan juga Mpok Wati. Tinggallah sekarang Damar dan Putri yang mengobrol berdua."Baguslah kalo lu benar-benar sudah sadar gimana berharganya sahabat gue. Dan gue harap, lu nggak akan ngulangin kesalahan yang sama lagi. Jika itu terjadi, gue pastikan lu nggak akan ngelihat Nita di setiap paginya buat nyambut kehadiran lu!" tegas Putri memberikan peringatan pada Damar."Gue pastiin itu, lu tenang aja. Gue nggak akan menjadi Damar yang dulu lagi, gue udah benar-benar berubah." Damar berucap dengan serius.Karena saat ini ia benar
Tepat hari ini adalah hari yang paling spesial. Di mana sahabat Nita akhirnya melepas masa lajangnya."Selamat ya, Sayang. Semoga selalu bahagia dan cepat dapat momongan," bisik Nita di telinga Putri."Terima kasih, gugup banget aku, Nit. Rasanya dag-dig-dug serr gitu lho. Nanti kasih tau aku ya, gimana teknik malam pertama," ujar Putri yang mendapatkan pukulan ringan dari Nita di lengannya."Kamu ini, udah ke sana aja pikirannya. Udah ah, nikmati kebahagiaan yang diberikan sekarang ya," ujar Nita lagi, mereka lalu cipika-cipiki."Sehat-sehat ya, Sayang. Jaga Mama, jangan bandel-bandel di dalam perut. Semoga Tante cepat nyusul bunting kayak mamamu," ujar Putri mengusap perut Nita."Makasih, Tante. Baby D doain, semoga Tante cepat dapat momongan ya," ujar Nita sambil berbicara menirukan nada anak kecil.Lalu setelah dirasa puas mengobrol, mereka berfoto bersama. Damar terus-menerus menggoda Aryo dan mengajari Aryo bagaimana caranya malam pertama.Memang teman yang benar-benar sefrekuen
"Dokter, istri saya kenapa nggak bangun-bangun?" tanya Damar yang bingung karena Nita sama sekali melakukan pergerakan.Hal ini membuat orang yang berada di dalam ruangan mulai tegang. Terutama Damar sebagai sang suami.Tanpa sadar Damar meneteskan air matanya. Ia tak ingin hal buruk terjadi, seperti misalnya tentang kepergian orang yang sudah teramat disayangi.Damar memejamkan matanya, mengingat kenangan demi kenangan yang mereka lalui bersama. Begitu indah, hingga semakin membuat sesak dalam dada."Sayang, bangun. Kenapa tidurmu lama sekali," ujar Damar berbicara sambil menutup matanya. Ia tak sadar bahwa seseorang yang sedang disuruhnya untuk bangun sekarang, perlahan-lahan membuka mata."M-mas," panggil Nita dengan suara yang serak. Mendengar bunyi suara, Damar membuka matanya dan langsung tersenyum haru serta bahagia karena melihat Nita sudah terbangun.Hal buruk yang sempat dipikirkannya tadi sirna dalam sekejap. Damar mencium pipi Nita berkali-kali, mengucap hamdalah tak henti
"Pi, maafkan Mami. Beri Mami kesempatan satu kali lagi untuk memperbaiki semuanya,"nujar Clara sesaat setelah menemui John."Aku sudah sering memberimu kesempatan, tapi lagi-lagi kau sia-siakan. Rasanya kita memang tak cocok lagi untuk saling bersama Clara, karena bagaimana pun aku berjuang untuk mempertahankan rumah tangga kita. Pemenangnya tetap orang lama yang kamu suka." John tak melirik Clara sama sekali, dia masih fokus pada lembaran kertas di tangannya."Laura juga sudah besar, tak ada salahnya jika kita memilih jalan hidup masing-masing mulai saat ini. Aku tahu, mempertahankanmu akan membuatmu lebih menderita lagi begitu pun denganku juga. Laura pasti mengerti mengapa Papi dan maminya bercerai. Laura sudah bukan anak kecil lagi."Tanpa mereka sadari, Laura sedari tadi menguping pembicaraan mereka. Laura menahan isak tangisnya yang hampir terdengar. Laura memutuskan untuk segera pergi dari kegiatan mengupingnya. Dia masuk ke dalam kamar dan merebahkan diri di atas ranjang."In
"Sayang, kamu menciumiku di depannya," ucap Nita pada Damar yang menatapnya dengan tak berkedip."Memangnya kenapa? Lagipula, bukankah kita sudah sah sebagai suami-istri, itu salah dia sendiri karena sudah terlalu jauh berperilaku padaku," ujar Damar sambil menggandeng pinggang Nita dengan lembut."Tapi aku malu," ujar Nita dengan wajah yang memerah."Sini di mananya yang membuat malu, biar aku tambahin," kata Damar yang membuat Nita membulatkan matanya sempurna."Mas Damar," rengeknya dengan manja. Damar lalu tertawa melihat tingkah istrinya yang seperti anak-anak.***Di rumah Laura mengamuk tak karuan setelah dirinya dipukul sang papi."Mau atau tidak! Besok kita harus kembali ke Australia, Papi sudah membeli tiket untuk kita berangkat, bereskan semua pakaianmu sekarang juga!""Papi!" teriak Laura tak terima dengan perlakuan John."Jangan jadi seperti mamimu, Laura. Dulu sebelum kamu sebesar seperti sekarang, mamimu juga berusaha menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Aida, Mama D
"Mami, harusnya menjadi cinta pertamaku sebagai laki-laki. Tapi semuanya pupus begitu saja, saat Mami tak pernah menganggap kehadiranku di antara Mami dan Papi.""Mami sibuk, semuanya Mami lakukan untuk masa depanmu. Kamu tau bukan?" ucap sang Mami merasa tak terima karena daritadi Aryo yang terus memojokkannya."Untuk apa, Mi. untuk apa semua itu, harta dunia, yang Mami kejar selama ini hanya akan sia-sia bila tak ada kasih sayang di dalamnya. Mami tau tidak, aku bagai anak yang terbuang, setiap malam memikirkan apakah aku dibutuhkan atau tidak.""Aku bertanya pada diri sendiri, untuk apa dilahirkan ke dunia jika kehadiranku tak berarti apa-apa. Kalian sibuk mengejar dunia yang sementara, kalian hanya memandang uang tanpa dapat berpikir bahwa suatu saat akan ada pertanggungjawaban kalian sebagai orang tua." "Uang tak akan pernah bisa membelikan kebahagian, bahkan kenangan masa kecil bersama kalian pun tak pernah terlintas di pikiran."Ucapan Aryo bagaikan pisau yang menusuk hati ora
"Putri ada apa, kenapa menangis?" tanya Wati teman kontrakan dia. Setelah pergi, Putri memilih untuk datang ke alamat kontrakan lamanya sebelum bertemu dengan Aryo.ia menangis tersedu-sedu di hadapan Wati, susah payah di dalam mobil dia menahan tangisnya. Akhirnya terlupakan juga sekarang."Aku benar-benar bersalah. Salah telah memilih dia sebagai suamiku, harusnya dari awal aku tak menerima lamarannya. Harusnya dari awal aku tak usah kenal dengan Aryo. Jika kenyataannya kami tak mungkin bisa bersama. Harusnya aku sadar diri tidak berpunya bersanding dengan lelaki kaya."Hei! Kamu ini kenapa? Siang-siang datang ke rumahku dan menangis seperti ini. Kenapa membawa tentang kekayaan, siapa yang sudah menyakitimu?" tanya Wati yang masih tak mengerti dengan permasalahan yang dihadapi temannya."Mereka menghinaku. Mereka menjelek-jelekkan orang tuaku. Apakah salahku karena mencintai Aryo, Wati? Apa aku salah berharap bahagia dengan lelaki seperti Aryo?""Mereka siapa?" tanya Wati memegang pi
"Mama, ada apa? Kenapa Mama terlihat begitu marah pada Laura," tanyaku saat melihat Mama yang masih diliputi emosi, bahkan napasnya pun tak beraturan."Memang kurang ajar dia itu. Dia yang meninggalkan Damar, dia juga yang merasa paling tersakiti. Mama benar-benar khilaf pernah merestui hubungan dia dan juga Damar dulu.""Untung saja Damar segera dijodohkan denganmu, jadi Damar tidak perlu mempunyai istri seperti Laura yang sama sekali tidak bisa menghargai orangtua."Aku melihat Mama berbicara dengan berapi-api. Entah apa yang terjadi sebelumnya, hingga membuat Mama menjadi semarah ini. Apakah Laura telah melakukan sesuatu yang tak dapat diterima akal logika?Entahlah, saat ini hanya Mama yang tau dan dapat merasakannya."Kamu tenang saja, Nita. Jangan terlalu memikirkan hal tadi, maafkan Mama sudah menambah beban pikiranmu. Padahal kamu baru saja kehilangan ibunda satu-satunya yang kau punya. Sekali lagi Mama meminta maaf sudah membuat keributan sepagi ini," ujar Mama tulus terlihat
"Halo Tante, bagaimana kabarnya?" tanya Laura yang langsung duduk mendekati Nita dan juga Aida."Baik." Aida hanya menjawab singkat, ia tak ingin berpura-pura baik lagi pada Laura. Karena itu hanya akan menyakiti hati menantunya kembali."Oh ya, turut berduka cita ya, Nita. Aku dengan ibumu sudah mati, jadi--""Maaf, meninggal yang benar. Mati itu istilah yang digunakan untuk hewan." Nita langsung memotong ucapan Laura. Laura memanyunkan bibirnya, kesal mendengar jawaban Nita."Ya, apapun itulah intinya aku ikut berduka cita atas kepergian ibumu," ujar Laura lagi. "Terima kasih," jawab Nita singkat."Mama ...," panggil Arkanza. Laura yang melihat itu berniat mengambil Arkanza. Namun tak jadi, karena Nita langsung sigap menghampiri anaknya."Kamu sudah besar ya, Sayang. Tante senang bisa melihatmu," ujar Laura sambil tersenyum manis. Namun senyuman itu bagaikan bisa dari ular, mematikan."Oh ya, Tante. Papi dan Mami sudah datang ke Indonesia, jadi kapan Tante akan mampir ke rumahku?"
Putri menepis tangan Aryo dan mengusap air matanya kasar. Ia berlalu pergi dari hadapan tiga orang itu dan masuk ke kamar untuk membereskan pakaiannya."Mi, Pi? Ada apa ini, kenapa istriku menangis?" tanya Aryo yang tak paham dengan keadaan saat ini."Kami hanya ingin yang terbaik untukmu," ujar Resa cuek."Maksud kalian bagaimana?" tanya Aryo masih tak paham."Aku hanya meminta dia meninggalkanmu dan akan memberikan imbalan padanya jika menuruti keinginan kami sebagai orangtuamu, tapi sepertinya perempuan itu terlalu angkuh, padahal dia hanyalah seseorang yang berada di kalangan bawah.""Entah apa yang diajarkan orangtuanya dulu, sehingga putri mereka besar menjadi seorang penggoda, apalagi untuk menggoda laki-laki kaya dan--""STOP!" bentak Aryo pada maminya. Resa yang mendengar bentakan sang anak langsung membulatkan matanya dengan sempurna."Aryo!" bentak sang Ayah tak terima dengan perlakuan putranya pada sang istri."Aku tak pernah menyangka kedatangan kalian ke sini hanya untuk
Putri bangun dengan badan yang terasa sedikit pegal. Putri melirik jam di dinding, ternyata jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.Ia sudah tak bekerja lagi, dia memilih untuk resign dari pekerjaannya. Namun, walau begitu Aryo tak pernah memaksa Putri untuk berhenti bekerja.Toh, seandainya Putri tak bekerja Aryo masih bisa memberikan apapun yang Putri inginkan. Putri lalu memilih untuk pergi ke kamar mandi sambil membersihkan diri. Baru kali ini dia bangun kesiangan, hingga melewatkan salat subuh. Biasanya Putri selalu terbangun pagi, mungkin karena kelelahan ia jadi kebablasan untuk tidur.Setelah selesai mandi, Putri lalu memakai pakaian dan bergegas untuk pergi ke dapur menyiapkan makan pagi.Saat baru saja melangkahkan kaki ke dapur, tiba-tiba Resa, mertuanya berbicara dengan kalimat yang menyakitkan."Bagus! Enak ya, tidur sampai siang. Suami kerja nggak dibikinkan sarapan. Memang sih ya, paling enak jadi benalu. Apalagi dari keluarga yang kurang berada, lalu menikah dengan
*Nita terbangun sambil membuka matanya yang terasa berat akibat menangis semalaman."Mas,", panggil Nita saat melihat sang suami sudah tak berada di kamar. Ia lalu mengambil posisi duduk dan memegang kepalanya yang terasa sakit."Mas Damar," panggilnya sekali lagi. Namun masih tak kunjung ada sahutan, Nita lalu terdiam."Mungkin Mas Damar sudah berangkat bekerja,* gumam Nita, lalu turun dari tempat tidurnya. Ia segera mandi dan bergegas untuk ke kamar sang putra."Mama," panggil Nita saat melihat Aidansedang bercanda dengan Arkanza di ruang keluarga."Sayang, kamu sudah bangun?" tanya Aida yang melihat sang menantu sudah ke luar dari kamar. Nita terlihat lebih segar dari kemarin."Ma, maaf ya, Nita kesiangan," ucap Nita pada Aida."Tidak apa-apa, Sayang. Mama mengerti dengan keadaanmu. Kamu harus bisa menerimanya dengan lapang dada, ya. Sejatinya manusia memang akan berpulang pada sang pencipta." Aida tersenyum sambil menatap Nita yang berjalan mendekati mereka berdua."Iya, Ma. Nita