***Tok! Tok! Tok!Baru saja kupikirkan orang itu kembali lagi masuk ke dalam ruanganku."Ada apa lagi, Sarah?" tanyaku. Begitu pun Aryo pandangannya langsung beralih pada Sarah."Bu Nita ke mana, Pak?" Sarah mendekat dan tiba-tiba langsung bertanya seperti itu Aryo menyenggol lenganku. Mengisyaratkan agar aku cepat menyuruhnya pergi dari sini "Ada," jawabku singkat."Nita pergi dari rumah 'kan, Aku tadi sudah mendengar pembicaraan kaliaan. Benar, 'kan, pasti Nita pergi dari rumah?" tanyanya lagi yang membuatku ingin memasukkan tisu ke dalam mulutnya."Bukan urusanmu." Aku lalu memijat kepala yang mulai berdenyut."Saya bisa menemani Bapak malam ini, jika Bapak merasa kesepian," jawabnya yang membuat mataku membulat sempurna.Aryo tertawa. Aku menatapnya yang sedang menatap Sarah dari atas hingga bawah. "Kamu masih punya harga diri?" Pertanyaan Aryo seperti pedang yang menusuk.Sarah menatap Aryo tajam, lalu tersenyum miring."Kenapa? Toh saya dan Damar pernah menjalin hubungan. Bah
Pikiranku benar-benar tak karuan. Masalah datang silih berganti.Kubuku laci meja kerjaku. Di sana ada foto pernikahanku dan Nita.Nita nampak cantik dengan senyuman di raut wajahnya.Aku merasa aneh dengan diriku sendiri, kadang merasa sedih dengan kepergiannya. Namun kadang juga merasa marah, saat merasa ia menyebabkan masalah yang terjadi dalam kehidupanku."Apa gue ke rumah ibunya Nita aja, ya," ucapku berpikir keras sambil mengetuk daguku."Tapi dari rumahku ke kampung halaman Nita itu jauh banget, perlu waktu berjam-jam untuk sampai ke sana," gumamku lagi."Ya udah deh nggak papa, yang penting gue bisa nemuin Nita." Lagi, aku bergumam sendiri.Setelah itu aku bergegas untuk pulang terlebih dahulu. Dan bersiap-siap untuk pergi ke kampung halaman Nita.****Aku membunyikan bel rumah.Klek!Pintu terbuka, menampilkan Mpok Wati dengan raut wajahnya yang tak lagi menampakkan senyum kebahagiaan."Assalamualaikum, Mpok!" salamku.Mpok Wati sempat tertegun saat aku mengucap salam.Aku a
****"Jauh nggak dari rumah lu?" tanya Aryo saat kami sedang dalam perjalanan."Lumayan, butuh waktu sekitar sepuluh jam-an buat sampai ke kampung Nita," jawabku masih fokus dengan jalan di depan."Lumayan juga ya," sahutnya pelan."Lu tau darimana gue mau ke kampung halaman Nita." Aku meliriknya sebentar lalu kembali fokus terhadap jalanan yang lenggang.Aryo sempat terdiam menikmati musik yang kumainkan."Nggak sengaja dengar waktu gue mau pergi dari kantor lu," jawab Aryo. Ia lalu bersenandung kecil, sambil memejamkan matanya."Oh begitu, berarti tadi lu nggak langsung pulang gitu?" tanyaku padanya."Semarah apapun gue sama lu yang namanya sahabat bakalan selalu ada di dalam suka maupun duka, paham lu," tuturnya tanpa menatapku.Aku terdiam mendengarnya. Kami berdua lalu fokus dengan pikiran masing-masing. Aku memikirkan Nita, sedangkan Aryo tertidur.Setelah empat jam perjalanan, aku menghentikan mobil di pinggir jalan dekat warung soto."Kenapa berhenti?" tanya Aryo padaku. Ia ce
Gadis itu hanya menanggapi dengan senyuman, lalu gegas pergi ke belakang lagi."Tapi kalo bisa dicepatin ya, itu kayaknya juga udah jadi," ucap Aryo lagi yang membuatku semakin malu.Kami sekarang menjadi perhatian di warung ini. Bisik-bisik mereka pun terdengar di telinga."Nggak pernah makan di warung kecil kali ya.""Kayaknya sih orang kaya.""Banyak duitnya, pantes aja kayak orang bingung beli makan di sini. Pantes aja sih kalo kelihatan kayak orang baru ya mukanya.""Tapi cakep tau, bolehlah satu buat aku."Aku membenarkan baju yang terasa semakin sesak di badan. Argh! Aryo ini benar-benar!Dan masih banyak lagi pembicaraan lainnya yang terdengar di telinga."Aryo, plis! Jangan malu-maluin oke," ucapku penuh penekanan."Apaan sih, gue kan cuma menyarankan buat dia, gue udah lapar ini. Emang salah?" tanya Aryo.Aku hanya bisa mengembuskan napas kasar.Tak berapa lama akhirnya makanan pun sudah jadi dan langsung diantarkan ke meja kami berdua, aku dan Aryo makan dengan lahap karena
"Nita ke mana, nggak ikut kamu kah?"Deg!Pertanyaan Ibu membuatku diam membeku. Jika Nita tidak ada di sini, lalu ke mana perginya dia, batinku. Perasaan khawatir tiba-tiba menyeruak begitu saja.Aryo menyenggol lenganku pelan. Sedangkan Ibu menatapku dengan raut wajah bingung."Nita nggak ikut Nak Damar?" tanya Ibu sekali lagi.Bibirku terasa terkunci oleh pertanyaan Ibu."Damar!" sentak Aryo."Nita nggak ikut, Bu. Dia kan lagi hamil, jadi nggak bisa ikut jauh-jauh," ucapku mencoba setenang mungkin. Raut wajah Ibu langsung berubah. "Oh begitu, bener juga sih, Nak. Apalagi Nita kan lagi hamil besar, jadi nggak boleh ke sana kemari dulu." Aku bernapas lega, karena Ibu tak curiga denganku. Ibu tersenyum. Senyumannya sangat mirip dengan Nita.Ah, lagi-lagi wajah Nita melintas di pikiranku."Ayo masuk ke dalam rumah dulu, sudah tengah malam. Takut dikira maling." Ibu lalu membukakan pintu lebar, dan mempersilakan kami untuk masuk lebih dulu ke dalam rumah. "Oh iya, Bu, terima kasih ya
****Aku terbangun karena sinar matahari yang masuk dari celah jendela kamar Nita.Kukucek mata serta meregangkan seluruh otot tubuh, lalu setelah itu berjalan ke luar kamar."Ibu mau ke mana?" tanyaku padanya yang sudah bersiap ingin berangkat. Padahal menurutku ini masih sangat pagi "Mau ke sawah, Nak. Lihat tanaman Ibu," jawab Ibu lembut."Lho, Ibu masih kerja. Damar kan udah bilang, nggak usah kerja. Biar Damar aja yang kirimkan uang buat Ibu." Aku mencoba melarangnya untuk pergi."Nggak papa, Nak. Ibu kalo di rumah suka cape, tapi kalo berkebun rasanya tubuh Ibu lebih sehat. Sekalian nanti mau nyari tukang buat perbaiki dapur Ibu, ada yang bocor soalnya," ujar Ibu."Biar Damar aja yang panggilin, Ibu kasih tau aja alamatnya di mana atau mau langsung di renovasi aja rumah Ibu?" tanyaku padanya yang langsung mendapatkan gelengan."Jangan! Ini rumah peninggalan bapaknya Nita, Ibu nggak mau ada yang berubah. Soalnya cuma rumah ini satu-satunya kenangan dari Bapak." Aku melihat raut
"Video itu ... video itu tersebar dan Ibu sudah melihatnya," ucap Ibu. Ibu memejamkan mata, tapi air mata menetes membasahi wajah keriputnya.Video apa? Pikirku.Astaga!Aku baru ingat video saat Nita terjatuh dan aku tak menolongnya."I-itu ...." Ibu mendongak dapat kulihat sorot matanya yang kecewa.Aku benar-benar terdiam tanpa bicara sekarang. Rasanya tubuhku tak ada lagi pondasi yang bisa membantunya tetap berdiri."Maaf, Bu," jawabku singkat."Selamat pagi!" Suara Aryo memecah ketegangan yang sempat terjadi di antara aku dan Ibu."Pagi, Nak." Kulihat Ibu mengusap air matanya. Ia lalu tersenyum ramah menatap Aryo."Ibu masuk dulu, ya. Oh, ya terima kasih ya Nak Damar," ucap Ibu padaku.Aku lalu mengangguk sambil tersenyum canggung."Ngomong apa kalian tadi barusan?" tanya Aryo padaku."Video itu," ucapku."Video apa?"Aku lalu cepat menggelengkan kepala.Belum selesai masalah satu, hadir lagi masalah lainnya."Ayo bantu aku buat benerin genteng rumah Ibu," ucapku pada Aryo."Bene
Aku memukul stir mobil berkali-kali."Woy, woy! Sadar woy, kita lagi di jalan. Gua masih pengen hidup, gila!" bentak Aryo padaku."Gue pusing, bang***!!! Argh, Nita ke mana sih! Bisa gila gua lama-lama!" teriakku penuh emosi."Belum lagi gue harus berhadapan sama bokap nyokap!!! Pengen mati rasanya gua!" teriakku lagi di dalam mobil.Aku menambah kecepatan mobil."Stop, Mar. Lu nggak bisa kayak gini, sama aja lu lari dalam masalah! Bunuh diri nggak bakalan nyelesain masalah, Mar! Istighfar lu, Anj**!" teriak Aryo yang berpegangan erat pada pengamannya."Jangan ngelakuin hal konyol yang bisa membahayakan nyawa lu sendiri! Ini bukan cara yang bener okey!" Aryo mencoba menenangkanku.Aku yang sudah terlanjur emosi tak peduli dengan ucapannya.Ciiiitttttt!!!Aku mengerem mobil secara mendadak. Hampir saja mobil ini menabrak pembatas jalan.Hening terjadi beberapa saat di antara kami berdua, aku mengusap wajah dengan kasar. Ke kampung ini berniat menemukan Nita, tapi apa yang kudapat. Koso
"Pi, maafkan Mami. Beri Mami kesempatan satu kali lagi untuk memperbaiki semuanya,"nujar Clara sesaat setelah menemui John."Aku sudah sering memberimu kesempatan, tapi lagi-lagi kau sia-siakan. Rasanya kita memang tak cocok lagi untuk saling bersama Clara, karena bagaimana pun aku berjuang untuk mempertahankan rumah tangga kita. Pemenangnya tetap orang lama yang kamu suka." John tak melirik Clara sama sekali, dia masih fokus pada lembaran kertas di tangannya."Laura juga sudah besar, tak ada salahnya jika kita memilih jalan hidup masing-masing mulai saat ini. Aku tahu, mempertahankanmu akan membuatmu lebih menderita lagi begitu pun denganku juga. Laura pasti mengerti mengapa Papi dan maminya bercerai. Laura sudah bukan anak kecil lagi."Tanpa mereka sadari, Laura sedari tadi menguping pembicaraan mereka. Laura menahan isak tangisnya yang hampir terdengar. Laura memutuskan untuk segera pergi dari kegiatan mengupingnya. Dia masuk ke dalam kamar dan merebahkan diri di atas ranjang."In
"Sayang, kamu menciumiku di depannya," ucap Nita pada Damar yang menatapnya dengan tak berkedip."Memangnya kenapa? Lagipula, bukankah kita sudah sah sebagai suami-istri, itu salah dia sendiri karena sudah terlalu jauh berperilaku padaku," ujar Damar sambil menggandeng pinggang Nita dengan lembut."Tapi aku malu," ujar Nita dengan wajah yang memerah."Sini di mananya yang membuat malu, biar aku tambahin," kata Damar yang membuat Nita membulatkan matanya sempurna."Mas Damar," rengeknya dengan manja. Damar lalu tertawa melihat tingkah istrinya yang seperti anak-anak.***Di rumah Laura mengamuk tak karuan setelah dirinya dipukul sang papi."Mau atau tidak! Besok kita harus kembali ke Australia, Papi sudah membeli tiket untuk kita berangkat, bereskan semua pakaianmu sekarang juga!""Papi!" teriak Laura tak terima dengan perlakuan John."Jangan jadi seperti mamimu, Laura. Dulu sebelum kamu sebesar seperti sekarang, mamimu juga berusaha menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Aida, Mama D
"Mami, harusnya menjadi cinta pertamaku sebagai laki-laki. Tapi semuanya pupus begitu saja, saat Mami tak pernah menganggap kehadiranku di antara Mami dan Papi.""Mami sibuk, semuanya Mami lakukan untuk masa depanmu. Kamu tau bukan?" ucap sang Mami merasa tak terima karena daritadi Aryo yang terus memojokkannya."Untuk apa, Mi. untuk apa semua itu, harta dunia, yang Mami kejar selama ini hanya akan sia-sia bila tak ada kasih sayang di dalamnya. Mami tau tidak, aku bagai anak yang terbuang, setiap malam memikirkan apakah aku dibutuhkan atau tidak.""Aku bertanya pada diri sendiri, untuk apa dilahirkan ke dunia jika kehadiranku tak berarti apa-apa. Kalian sibuk mengejar dunia yang sementara, kalian hanya memandang uang tanpa dapat berpikir bahwa suatu saat akan ada pertanggungjawaban kalian sebagai orang tua." "Uang tak akan pernah bisa membelikan kebahagian, bahkan kenangan masa kecil bersama kalian pun tak pernah terlintas di pikiran."Ucapan Aryo bagaikan pisau yang menusuk hati ora
"Putri ada apa, kenapa menangis?" tanya Wati teman kontrakan dia. Setelah pergi, Putri memilih untuk datang ke alamat kontrakan lamanya sebelum bertemu dengan Aryo.ia menangis tersedu-sedu di hadapan Wati, susah payah di dalam mobil dia menahan tangisnya. Akhirnya terlupakan juga sekarang."Aku benar-benar bersalah. Salah telah memilih dia sebagai suamiku, harusnya dari awal aku tak menerima lamarannya. Harusnya dari awal aku tak usah kenal dengan Aryo. Jika kenyataannya kami tak mungkin bisa bersama. Harusnya aku sadar diri tidak berpunya bersanding dengan lelaki kaya."Hei! Kamu ini kenapa? Siang-siang datang ke rumahku dan menangis seperti ini. Kenapa membawa tentang kekayaan, siapa yang sudah menyakitimu?" tanya Wati yang masih tak mengerti dengan permasalahan yang dihadapi temannya."Mereka menghinaku. Mereka menjelek-jelekkan orang tuaku. Apakah salahku karena mencintai Aryo, Wati? Apa aku salah berharap bahagia dengan lelaki seperti Aryo?""Mereka siapa?" tanya Wati memegang pi
"Mama, ada apa? Kenapa Mama terlihat begitu marah pada Laura," tanyaku saat melihat Mama yang masih diliputi emosi, bahkan napasnya pun tak beraturan."Memang kurang ajar dia itu. Dia yang meninggalkan Damar, dia juga yang merasa paling tersakiti. Mama benar-benar khilaf pernah merestui hubungan dia dan juga Damar dulu.""Untung saja Damar segera dijodohkan denganmu, jadi Damar tidak perlu mempunyai istri seperti Laura yang sama sekali tidak bisa menghargai orangtua."Aku melihat Mama berbicara dengan berapi-api. Entah apa yang terjadi sebelumnya, hingga membuat Mama menjadi semarah ini. Apakah Laura telah melakukan sesuatu yang tak dapat diterima akal logika?Entahlah, saat ini hanya Mama yang tau dan dapat merasakannya."Kamu tenang saja, Nita. Jangan terlalu memikirkan hal tadi, maafkan Mama sudah menambah beban pikiranmu. Padahal kamu baru saja kehilangan ibunda satu-satunya yang kau punya. Sekali lagi Mama meminta maaf sudah membuat keributan sepagi ini," ujar Mama tulus terlihat
"Halo Tante, bagaimana kabarnya?" tanya Laura yang langsung duduk mendekati Nita dan juga Aida."Baik." Aida hanya menjawab singkat, ia tak ingin berpura-pura baik lagi pada Laura. Karena itu hanya akan menyakiti hati menantunya kembali."Oh ya, turut berduka cita ya, Nita. Aku dengan ibumu sudah mati, jadi--""Maaf, meninggal yang benar. Mati itu istilah yang digunakan untuk hewan." Nita langsung memotong ucapan Laura. Laura memanyunkan bibirnya, kesal mendengar jawaban Nita."Ya, apapun itulah intinya aku ikut berduka cita atas kepergian ibumu," ujar Laura lagi. "Terima kasih," jawab Nita singkat."Mama ...," panggil Arkanza. Laura yang melihat itu berniat mengambil Arkanza. Namun tak jadi, karena Nita langsung sigap menghampiri anaknya."Kamu sudah besar ya, Sayang. Tante senang bisa melihatmu," ujar Laura sambil tersenyum manis. Namun senyuman itu bagaikan bisa dari ular, mematikan."Oh ya, Tante. Papi dan Mami sudah datang ke Indonesia, jadi kapan Tante akan mampir ke rumahku?"
Putri menepis tangan Aryo dan mengusap air matanya kasar. Ia berlalu pergi dari hadapan tiga orang itu dan masuk ke kamar untuk membereskan pakaiannya."Mi, Pi? Ada apa ini, kenapa istriku menangis?" tanya Aryo yang tak paham dengan keadaan saat ini."Kami hanya ingin yang terbaik untukmu," ujar Resa cuek."Maksud kalian bagaimana?" tanya Aryo masih tak paham."Aku hanya meminta dia meninggalkanmu dan akan memberikan imbalan padanya jika menuruti keinginan kami sebagai orangtuamu, tapi sepertinya perempuan itu terlalu angkuh, padahal dia hanyalah seseorang yang berada di kalangan bawah.""Entah apa yang diajarkan orangtuanya dulu, sehingga putri mereka besar menjadi seorang penggoda, apalagi untuk menggoda laki-laki kaya dan--""STOP!" bentak Aryo pada maminya. Resa yang mendengar bentakan sang anak langsung membulatkan matanya dengan sempurna."Aryo!" bentak sang Ayah tak terima dengan perlakuan putranya pada sang istri."Aku tak pernah menyangka kedatangan kalian ke sini hanya untuk
Putri bangun dengan badan yang terasa sedikit pegal. Putri melirik jam di dinding, ternyata jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.Ia sudah tak bekerja lagi, dia memilih untuk resign dari pekerjaannya. Namun, walau begitu Aryo tak pernah memaksa Putri untuk berhenti bekerja.Toh, seandainya Putri tak bekerja Aryo masih bisa memberikan apapun yang Putri inginkan. Putri lalu memilih untuk pergi ke kamar mandi sambil membersihkan diri. Baru kali ini dia bangun kesiangan, hingga melewatkan salat subuh. Biasanya Putri selalu terbangun pagi, mungkin karena kelelahan ia jadi kebablasan untuk tidur.Setelah selesai mandi, Putri lalu memakai pakaian dan bergegas untuk pergi ke dapur menyiapkan makan pagi.Saat baru saja melangkahkan kaki ke dapur, tiba-tiba Resa, mertuanya berbicara dengan kalimat yang menyakitkan."Bagus! Enak ya, tidur sampai siang. Suami kerja nggak dibikinkan sarapan. Memang sih ya, paling enak jadi benalu. Apalagi dari keluarga yang kurang berada, lalu menikah dengan
*Nita terbangun sambil membuka matanya yang terasa berat akibat menangis semalaman."Mas,", panggil Nita saat melihat sang suami sudah tak berada di kamar. Ia lalu mengambil posisi duduk dan memegang kepalanya yang terasa sakit."Mas Damar," panggilnya sekali lagi. Namun masih tak kunjung ada sahutan, Nita lalu terdiam."Mungkin Mas Damar sudah berangkat bekerja,* gumam Nita, lalu turun dari tempat tidurnya. Ia segera mandi dan bergegas untuk ke kamar sang putra."Mama," panggil Nita saat melihat Aidansedang bercanda dengan Arkanza di ruang keluarga."Sayang, kamu sudah bangun?" tanya Aida yang melihat sang menantu sudah ke luar dari kamar. Nita terlihat lebih segar dari kemarin."Ma, maaf ya, Nita kesiangan," ucap Nita pada Aida."Tidak apa-apa, Sayang. Mama mengerti dengan keadaanmu. Kamu harus bisa menerimanya dengan lapang dada, ya. Sejatinya manusia memang akan berpulang pada sang pencipta." Aida tersenyum sambil menatap Nita yang berjalan mendekati mereka berdua."Iya, Ma. Nita