"Andi apa-apaan kamu! Di mana harga dirimu sebagai lelaki?" ujar Bu Sonia kesal.Sedangkan Sarah dia hanya diam dengan wajah yang pucat dan telapak tangan dingin."Hmmm, kau salah Sarah! Ternyata adikmu yang rapuh, bahkan sekarang dia yang berlutut di hadapan kakakku!" ucap Aini yang membuat Sarah semakin kalah telak.."Ngapain kamu kayak tadi, hah! Kayak nggak ada harga dirinya sama sekali!" bentak Bu Sonia."Sudahlah, Bu, jangan marah-marah, Sarah juga mau istirahat. Intinya sekarang kita harus bahagia, karena Andi bisa terbebas dari wanita laknat itu," ujar Sarah pelan."Sarah! Apa yang dikatakan Aini tentangmu tadi. Hal apa yang kamu sembunyikan dari Ibu?" tanya Bu Sonia."Apa sih, Bu. Anak kecil kok dipercaya, udahlah Sarah mau tidur. Capek!" elak Sarah lalu meninggalkan Bu Sonia, sebelum ia kembali bertanya yang macam-macam."Andi," lirih Bu Sonia mendekati sang putra."Tidak masalah, Bu. Andi rasa ini adalah keputusan yang benar, Andi akan secepatnya mengurus perceraian dengan
POV AlyaTepat dua bulan sudah, akhirnya aku dan Mas Andi resmi bercerai. Tak ada lagi tali yang mengikat antara kami berdua. "Alhamdulillah, ya, Kak. Akhirnya bisa lepas dari mereka," ucap Aini kala itu."Iya, Dek, Mbak sekarang udah menyandang status baru," jawabku."Nggak papa, Mbak, selagi masih di jalan kebaikan. In Syaa Allah, Allah selalu bersama dirimu, Mbak," ujar Aini bijak.Setelah itu, kami berdua lalu melanjutkan pembuatan kue.Ya, aku baru saja mencoba menjual kue secara online. Setidaknya ini membantu perekonomian keluargaku, apalagi dulu aku memang kursus belajar memasak. Baik dari pembuatan makanan sehari-hari maupun makanan ringan."Mbak ada lagi nih pesanan dari kampus Aini, kue lumpia 100 sama bingkanya 50, Mbak," ucap Aini.Aku tersenyum senang. Lagi-lagi aku mendapatkan pesanan.Saat itu kutanyakan pada Aini, apakah dia malu jika harus berdagang di kampusnya.Jawabannya membuatku terharu, dia bilang untuk apa malu. Selagi tidak dicari dengan cara yang salah da
"Assalamualaikum, Ayah!" ucapku dan Aini secara bersamaan.Tak berselang lama, pintu terbuka."Wa'alaikumsalam, sudah pulang ternyata. Ayo masuk," ucap Ayah."Ayah sudah makan?" tanyaku sambil berjalan masuk ke dalam rumah."Tadi Alya sudah masakin telur balado kesukaan Ayah," ujarku lagi."Belum, Nak. Ayah baru selesai benarin kran air di dapur," jawab Ayah."Kenapa kran airnya, Yah? Bocor kah?" tanya Aini."Bukan, itu lho nggak mau jalan airnya. Ternyata ada sampah yang nyumbat," ucap Ayah lagi."Owalah. Oh, ya, Aini ada zoom nih, Mbak. Aini tinggal dulu ya," ucap Aini berpamitan lalu masuk ke kamarnya."Ayah kadang sunyi di rumah ini, adikmu kuliah jarang ada waktu kumpul bersama. Ya, Ayah paham dia sibuk juga untuk mencapai cita-citanya. Lalu, kamu ....""Sssst! Intinya yang terpenting sekarang Alya udah nggak kemana-mana, Alya di sini sama Ayah. Kita bisa sama-sama lagi," ucapku memotong ucapan Ayah. Aku sudah tak ingin mengingat masa-masa kelam yang pernah kulewati. Cukup semua
POV Andi!Semenjak palu diketuk, aku sudah tak lagi pernah menemui Alya. Aku hanya bisa melihatnya dari jauh.Namun, beberapa Minggu Alya jarang kelihatan ke luar rumah, entah kenapa? Apa mungkin dia tahu bahwa selama ini aku mengawasinya.Entahlah, tapi kuharap masih ada kesempatan untuk aku kembali lagi bersamanya.Walaupun harapan itu hanya terlihat samar, karena pertentangan Ibu dan Mbak Sarah yang terlalu jauh. Mereka terlihat sangat-sangat tidak menyukai Alya.Lalu, bagaimana kami bisa hidup bahagia berdua. Jika kami saja tak ada restu yang diberikan oleh Ibu dan juga Mbak Sarah."Andi minta uang dong," ucap Mbak Sarah mengagetkanku."Uang lagi! Uang lagi! Uang lagi! Nggak ada apa, Mbak, sehari aja jangan ungkit pasal uang! Kamu kira kerja itu enak, di sini kamu kerjaannya belanja, belanja terus! Anakmu di rumah nggak dipikirin!" bentakku pada Mbak Sarah.Melihat gayanya yang suka menghambur-hamburkan uang, membuat darahku naik.Bisa-bisanya di saat keadaan genting begini, pikir
"Gimana, Ndi? Kita minta kembali aja deh, lumayan lho buat nambah-nambah uang belanja," ucap Mbak Sarah lagi.Aku masih terdiam, memikirkan ucapannya."Halah! Jangan-jangan, malu-maluin kalo sampai minta dibalikin. Apa kata tetangga Alya nanti, belum lagi yang ada kita bakalan dicap buruk sama orang sini," tolak Ibu pada Mbak Sarah."Ya elah, Bu. Terus gimana dong, emang Ibu mau kita kayak dulu lagi," ucap Mbak Sarah kekeh dengan keinginannya."Gimana, Ndi. Kamu setuju aja kan yang Mbak bilang, mending diminta kembali. Lagian kalian juga udah nggak ada hubungan apa-apa, siapa tau kamu mau nikah lagi. Biar uangnya Mbak simpankan di rekening," ucap Mbak Sarah."Nggak ah, Mbak. Ngapain dipinta kembali, bener kata Ibu yang ada nanti kita yang malu. Mending kalian aja yang kurang-kurangin gaya-gayaannya. Biar nggak lebih besar pengeluaran daripada pemasukan," ucapku menolak.Raut wajah Mbak Sarah langsung berubah. "Ya udah kalo gitu, gadaikan ada sertifikat rumahmu ini. Biar Mbak sama Ibu
"Ada apa ini? Kenapa kalian diam!" ujar Ibu yang mulai penasaran."Bu, maaf," mohon Mbak Sarah."Ada apa, Sarah?" tanya Ibu lembut."Andi kamu apain lagi kakakmu, hah?!" ucap Ibu yang terus menyalahkanku."Andi! Andi! Andi terus yang disalahkan. Coba tanya anak kesayangan Ibu itu, hal apa yang buat Andi marah ke dia sampai sebesar ini!" teriakku lantang. Selama ini aku selalu mengalah pada Mbak Sarah karena Ibu selalu membela kesalahan apapun yang dilakukan Mbak Sarah.Sekarang apakah Ibu masih bisa membelanya, pikirku."Andi! Ibu hanya bertanya?" tegas Ibu."Ibu nggak nanya, tapi Ibu berbicara seolah-olah di sini aku yang bersalah. Suruh anak kesayangan Ibu itu diam! Nggak usah pakai drama nangis segala. Berapa banyak uang yang sudah diterima, apa saja yang sudah diberikan dia sama lelaki hidung belang itu! Tanya, Bu!" ucapku penuh penekanan.Raut wajah Ibu berubah seketika. Tangannya terlihat bergetar, matanya langsung menatap Mbak Sarah yang terus mengelak tentang kesalahannya."Sa
"SARAH!" Aku menatap Mas Roni yang juga menatap dengan tajam. Matanya memerah dengan napas yang tak beraturan dan juga kepalan tangan yang terlihat mengepal erat."M-mas ....""Sabar, Romi. Istighfar, ingat ada Nita di dalam kamar. Setidaknya jaga perasaan dia, tetap jadi Ayah yang patut dicontoh," bisik mertua Mbak Sarah yang terdengar olehku."Aku kecewa sama kamu, Sarah! Bisa-bisanya kamu berbuat rendahan seperti ini. Bisa-bisanya kamu membuatku sakit sejauh ini, kamu nggak mikir gimana mental Nita ke depannya?""Setega inikah kamu sama kami, Sarah! Apa kurangnya aku selama ini, apapun yang kamu minta aku mati-matian menuruti agar hidupmu tercukupi. Tapi balasan apa yang kudapatkan, ibaratnya kau lempar kotoran ke wajahku. Bahkan sekadar membersihkannya pun aku tak mampu!" ucap Mas Roni dengan suara yang parau."M-mas, ini nggak seperti yang kamu lihat! Lelaki itu yang menggodaku!" teriak Mbak Sarah sambil menunjuk lelaki tua yang duduk dengan kepala menunduk."Heh j*l*ng! Wanita u
POV Alya*"Mbak ada pesanan kue yang harus diantar lagi nggak?" tanya Aini padaku."Sudah, Dek. Semuanya udah beres, kamu siap-siap berangkat kuliah aja. Jarak yang dekat biar Mbak aja yang ngantar, sekalian silaturahmi," ucapku."Ah, tenang saja, Mbak. Masih ada waktu sejam lebih kok, sini biar Aini bantu bungkusin," ucapnya.Aku tersenyum lalu memberikan kresek pada Aini, kami membungkus kue bersama-sama."Assalamualaikum," salam dari luar terdengar.Aku bergegas bangkit, lalu membukakan pintu rumah."Wa'alaikumsalam, eh Bu Hj Sulis, masuk, Bu," ucapku mempersilakan beliau masuk ke dalam rumah."Terima kasih Neng Alya, Ibu ke sini cuman mau tanya. Neng Alya ada bikin kue klepon sama arem-arem nggak?" tanya beliau ketika kupersilakan duduk di ruang keluarga."Aduh, belum ada, Bu Hj. Alya bikin kuenya sesuai pesanan orang-orang sama Aini aja. Jadi, nggak ada bikin kue yang Ibu sebutkan," ucapku sopan."Owalah, ya sudah Neng Alya. Ibu kira ada bikin, kalo begitu Ibu mau pamit pulang i
Andi datang ke rumahnya dengan wajah yang kusut."Andi ada apa?" tanya Sarah yang melihat wajah tak mengenakan yang ditampilkan Andi."Aku baru saja datang dari toko kue Alya. Mbak, kenapa kamu tak kapok-kapoknya datang untuk mengacaukan Alya. Kamu tau bukan, Alya sekarang sudah lebih bahagia. Andi bukannya apa-apa. Andi sekarang sudah sadar, seharusnya memang dari dulu mengikhlaskan Alya, mengapa begitu? Karena Andi baru mengetahui bahwa keluarga Andi adalah keluarga yang toxic. Harusnya Mbak Sarah sadar akan itu semua!" ucap Andi dengan tegas, dia memijit kepalanya yang terasa pusing."Mbak hanya tak senang melihat dia lebih bahagia dari kamu Andi, Mbak juga sudah terlanjur malu padanya. Apalagi sekarang Alya memiliki suami yang tampan bak seorang pangeran.""Jadi sebenarnya Mbak selama ini hanya iri kan pada Alya. Iri pada kehidupan Alya, sudahlah, Mbak. Meminta maaflah pada Alya, aku sudah mengajukan surat pengunduran diri dan rencananya besok rumah ini akan kujual pada orang yang
"Mbak, lihatlah, videomu yang sedang bertengkar tersebar di media sosial." Andi datang dengan wajah yang kusut. Rupanya kabar sang Kakak bertengkar dengan Alya sudah sampai ke telinganya.Bahkan dia melihat video itu sendiri. Matanya membulat sempurna kala Alya yang mempermalukan Kakak dan juga ibunya.Sarah yang melihat Andi datang dengan wajah kusut, mengubah ekspresinya menjadi terlihat menyedihkan."Mbak sakit hati, Dek. Padahal Mbak ke situ hanya ingin membeli kuenya, tapi dia malah mencaci maki, Mbak. Tak ada sambutan baik yang Mbak terima bersama Ibu." Sarah menangis terisak, tentunya itu hanya pura-pura. Semuanya dilakukan hanya untuk menarik empati dari Andi.Andi mengepalkan tangannya erat."Mentang-mentang sudah bukan menjadi istriku, dia semakin berani mempermalukan kalian. Harusnya dari awal kita tak perlu berbuat baik padanya. Rupanya selama ini rasa tulus cintaku dimanfaatkan oleh Alya untuk meluluhkan hati ini," ujar Andi yang terhasut dengan omongan sang Kakak. Matany
"Ibu, pokoknya Sarah nggak bakalan diam aja, ya. Sarah udah dipermalukan di depan orang banyak, bahkan sampai ada yang menjadikan momen kejadian tadi. Mau taruh di mana muka Sarah, Bu," ujarku yang daritadi tak berhenti mondar-mandir sambil marah, jujur saja aku merasa sangat terhina di depan orang banyak tadi karena perlakuan mereka berdua. Alya benar-benar tak punya hati. Aku benci dia."Sudahlah, Sarah. Nanti akan kita pikirkan bagaimana caranya membalas perlakuan mereka yang udah bikin kamu malu. Kamu tenang saja, mungkin saat ini mereka masih bisa berbahagia, tapi tidak untuk nanti. Kamu tenang saja, Ibu juga sangat merasa malu karena perlakuan mereka tadi kepadamu." Ibu meminum kopi dalam gelasnya. Ia terlihat sangat tenang, seperti sudah ada sebuah rencana yang disusun oleh Ibu."Tapi, Bu, tetap saja Sarah tak bisa tenang. Bagaimana jika ada yang menyebarkan video itu. Iiiiiih! Sarah benar-benar kayak orang gila tau nggak sekarang, Bu. Tadi tuh pengen banget rasanya ngegampar mu
"Sayang, sekarang udah sepi ini. Ayo pulang," ucap Nandar sambil memegang telapak tangan Alya."Iya, sebentar lagi, Mas. Aku beresin dulu ini," ucap Alya sambil melepas genggaman dari Nandar. Bergegas ia membereskan tempat kue dan membersihkan sisanya."Mas, Alya tiba-tiba pengen bikin makanan juga. Makanan yang cepat saji itu lho, siapa tau ada yang mau makan siang atau buat sarapan dan bawa pulang ke rumahnya, 'kan," ujar Alya pada Nandar."Mas mau ngelarang kamu kerja, tapi Mas juga nggak mungkin biarin kamu kesepian di rumah. Apapun yang kamu inginkan, pasti bakalan Mas turutin selagi itu bernilai baik," ujar Nandar pada Alya. Ia menatap Alya dengan penuh cinta."Alhamdulillah, kira-kira menurut, Mas, bagusnya mulai kapan aku membangun usahanya?" tanya Alya pada Nandar. Dulu, sebelum menikah tempatnya sharing adalah Bahrul dan juga Aini. Namun setelah menjadi istri seorang Nandar, maka Nandarlah tempat untuk ia menuangkan pendapat."Setelah kita pulang bulan madu," jawab Nandar sa
"Ngeselin banget sih mereka, Kak, pengen Aini jambak-jambak aja tadi. Ada ya manusia kayak gitu hidup di dunia ini," omel Aini yang terus menerus. Tidak nyaring, hanya saja terlihat sekali geram di matanya."Ya ada, Dek, lah itu orangnya tadi baru aja kan bersikap kayak tadi. Udah nggak usah diambil hati, bikin nambah beban pikiran aja. Cukup didiemin aja dia mah orang kayak gitu, kalo kita ladenin apa bedanya kan sama dia," jawabku padanya. Terlihat sekali pancaran emosi dari mata adikku Aini."Iya juga sih, Kak, tapi tetap aja kalo nggak diladeni rasa dongkol dalam hati Aini tuh makin menggebu-gebu ngeladani manusia tak tahu malu seperti dia tuh. Kenapa dulu, ya, bisa-bisanya Kakak punya mertua dan kakak ipar seperti dia. Haduh! Untung saja Kakak sudah lepas dari benalu-benalu seperti mereka." Aini berucap sambil mengedikkan bahunya, seperti orang yang takut.Entahlah, jika aku bilang tak tahu, mustahil, karena dari awal sebelum nikah aku juga sudah tahu bahwa keluarga Andi sama seka
"Bu, aku dengar-dengar di daerah **** jl *** ada toko kue yang baru-baru buka lho, katanya kuenya enak. Aneka ragam kue dijual di toko itu, beli yuk," ucap Sarah pada IbunyaSaat ini aku dan Ibu sedang duduk bersantai di depan televisi, sedangkan adikku Andi berangkat bekerja. Karena dia sudah lama cuti."Emang beneran enak apa?" tanya sang Ibu yang mulai ikut andil dalam percakapan."Aku lihat sih di faceb**k dan juga W******p sih gitu, Bu, ini lho lihat. Sampe banyak banget Anggi teman aku beli," ujar Sarah lagi pada sang Ibu."Mana, coba Ibu lihat," jawab sang Ibu lalu duduk mendekati Sarah anaknya."Enak sih ini, apalagi kue ini lho, lama sekali Ibu nggak makannya. Ayolah kita beli di sana, pakai motor bisa kan kamu?" "Bisa dong, Bu, sebentar Sarah siap-siap dulu." Merek berdua lalu bersiap-siap untuk pergi ke toko yang sudah ditentukan.****"Benar ini tempatnya?" tanya Sang Ibu melihat toko yang ramai pengunjung."Dari alamat yang tertera sih, kayaknya benar ini Bu alamatnya," j
"Aduh pengantin baru, cantik sekali. Wajahnya juga terlihat sangat bersinar ini," ucap Bu Hj Sulis saat aku baru saja membuka toko kue milikku.Saat ingin ke toko, begitu banyak drama yang dilakukan antara aku dan Mas Nandar. Sudah seminggu toko tutup, hingga aku sedikit merasa bosan karena tak ada hal yang harus kukerjakan."Bu Hj bisa saja, saya jadi malu ini," ucapku lalu mengajak beliau masuk ke dalam tokoku."Selamat ya Neng Alya, atas pernikahannya. Alhamdulillah, masih ada jodoh yang diberikan oleh Allah SWT. Semoga yang terakhir ini adalah pilihan terbaik untuk kamu, ya, Neng.""Aamiin ya rabbal alamiin, Bu Hj, semoga saja kami selalu bersama, terkecuali maut yang memisahkan.""Kemarin Ibu tidak bisa berhadir di acara pernikahanmu, soalnya Ibu harus menghadiri wisudanya anak Ibu. Jadi Ibu ke sini, mau ngasih ini buat kamu. Semoga kamu suka, ya." Bu Hj Sulis menyerahkan paper bag padaku. "Ma Syaa Allah, tidak perlu repot-repot, Bu Hj. Dengan mendoakan pernikahan saya dan Mas N
"Ibu ...." Andi langsung mendekat dan bersujud di kaki ibunya. Ia sungguh merasa sangat bersalah karena berbicara tak pantas pada mereka yang berada di depannya saat ini.Harusnya sebagai seorang anak yang terlahir dari hasil perselingkuhan dia tahu diri, tapi dia tidak. Ia malah sesuka hatinya menyakiti sang ibu.Namun dari dalam hati kecil Andi, ia masih penasaran apakah ibu dan ayahnya memang menjalin hubungan terlarang atau mungkin ibu tirinya lah yang memanipulasi semuanya."Andi benar-benar minta maaf karena sudah membuat Ibu menangis. Andi akan berusaha untuk tidak berperilaku seperti kemarin lagi, Bu. Maafkan, Andi," ujar Andi masih merunduk dalam menyesali kesalahan."Ibu memaafkanmu, tapi tolong jangan membuat ibu menangis lagi, Andi. Ibu benar-benar sakit hati melihat perlakuanmu yang seperti tadi. Hanya karena wanita itu, kamu tega mengatai Ibu dan juga kakakmu. Bahkan kamu juga tega mengatakan tak akan menafkahi kami lagi. Bukankah kamu tahu, tidak ada yang bisa memberi k
"Jadi bagaimana rencana kalian setelah ini, mau bulan madu ke mana?" tanya Mama mertua dari Alya.Nandar dan Alya saling bertatapan, pasalnya mereka berdua belum merencanakan akan ke mana setelah ini. Duduk manis merebahkan diri sejenak di atas ranjang itu saja sudah membuat mereka senang setelah seharian harus berdiri menyambut para tamu undangan."Belum ditentukan, Ma. Kalo Nandar tergantung Alya saja, ke mana dia mau pergi maka Nandar akan ikut bersama dengannya." Jawaban Nandar mampu membuat Alya mengulum senyum hingga pipinya juga menjadi kemerahan bak kepiting rebus."Aduh, pengantin baru ini. Menurut Pak Bahrul, bagusnya anak kita ke mana bulan madunya, Pak?" tanya Papa dari Nandar pada Bahrul, ayah Alya."Kalo saya terserah mereka saja, Pak, saya juga tak ingin menentukannya. Takutnya kalo saya yang nentukan mereka malah nggak suka tempatnya," jawab Pak Bahrul sambil tertawa kecil."Memang Ayah mau nyaranin ke mana?" tanya Alya lembut, Aini saat ini tak ikut karena ada beberap