Sementara itu, Eliza yang tak sabar menunggu di rumah sakit memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Meski harus dibantu tongkat, langkahnya mantap menuju rumah.Sesampainya di rumah, Eliza tertegun melihat Diego duduk di sofa. Wajahnya lebam, sudut bibirnya pecah, dan ada noda darah kering di kausnya. Pemandangan itu membuat Eliza mengerutkan kening."Diego?" panggilnya, suara Eliza terdengar cemas.Diego membuka matanya yang tampak lelah. Dia mengangkat kepalanya perlahan dan menatap Eliza dengan ekspresi kaget bercampur khawatir."El? Kenapa kau pulang? Bukankah dokter menyuruhmu istirahat di rumah sakit?" tanyanya sambil segera berdiri dan memapah Eliza duduk di kursi.Eliza menghela napas, mencoba mengabaikan rasa nyeri di kakinya. "Aku tidak tahan hanya berbaring di sana. Banyak yang harus aku lakukan, Diego. Kelvin—""Kelvin baik-baik saja," potong Diego, suaranya terdengar tegas. "Kau seharusnya memikirkan kesehatanmu dulu."Eliza menatap Diego lekat-lekat. "Aku bisa menjaga
Eliza mematung di depan pintu kamar Miko, menatap Diego yang duduk di tepi ranjang sambil memegang sebuah foto kecil di tangannya. Wajahnya tampak lelah, dan matanya memerah, seolah dia baru saja menangis. Diego tidak menyadari kehadiran Eliza sampai suara langkah kakinya memenuhi ruangan."Kau rindu Miko?" tanya Eliza lembut sambil melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Ia mendekati Diego dengan hati-hati.Diego menggelengkan kepala pelan tanpa menatap Eliza. "Bukan itu," gumamnya, suaranya hampir tak terdengar."Lalu kenapa kau menangis?" Eliza duduk di sampingnya.Diego terdiam beberapa saat, seolah mencoba menata pikirannya. Akhirnya, ia menyerahkan sebuah amplop kepada Eliza dengan tangan gemetar. "Ini...," ucapnya pelan.Eliza membuka amplop itu dan menemukan hasil tes DNA di dalamnya. Dahinya berkerut saat membaca dokumen itu, kemudian matanya membelalak. "Ini... hasil tes DNA Miko dan aku?" tanyanya bingung.Diego mengangguk lemah. "Selama ini, aku telah ditipu Yoona,"
Eliza berdiri di depan gerbang rumah Yoona, napasnya terengah-engah setelah berlari mengejar Diego. Ketegangan semakin memuncak saat matanya menangkap sosok Diego yang tengah memeluk Miko dengan erat. Miko, yang tampak ketakutan, dibalut dalam pelukan Diego yang penuh kecemasan.Namun, para penjaga rumah Yoona, yang nampak siap menghadapi situasi ini, segera menghampiri Diego. Mereka memukulnya dengan kasar, berusaha memaksanya menjauh dari Miko. Diego berusaha bertahan, tidak peduli dengan pukulan itu. Mata Eliza tajam menatap adegan itu, perasaan marah dan khawatir bercampur dalam hatinya."Diego!" teriak Eliza, berlari menghampiri mereka dengan cepat.Diego, yang mendengar suara Eliza, sejenak menoleh. Namun satu pukulan telak tepat di dada Diego, membuat ia jatuh tersungkur.Eliza tidak bisa tinggal diam, ia maju menghadapi anak buah Yoona.Satu persatu musuh terpental terkena pukulan Eliza."Kalian cari mati!" Pekik Eliza sambil menodongkan senjata api ke arah mereka semua, matan
"Apa yang teerjadi?" tanya Eliza dengan cemas, matanya terfokus pada kerumunsn orang, dan pemadam kebakaran. Asap tebal membumbung tinggi ke langit.Diego memandang lebih dekat dan wajahnya berubah pucat. "Eliza, rumah kita kebakaran!" teriaknya, suaranya penuh panik.Eliza menepikan mobilnya di tepi jalan, dan tanpa berpikir panjang, mereka bergegas keluar dari dalam mobil. Keduanya berjalan tergesa-gesa menyingkirkan kerumunan orang yang menghalangi jalan.Keduanya tertegun, menatap rumahnya yang sudah menjadi puing-puing reruntuhan."Rumah kita, El." Diego mengusap wajahnya pelan."Mereka selangkah lebih maju," jawab Eliza singkat. Ia sudah tahu, siapa pelakunya."Sekarang kita tidak punya apa-apa lagi, Eliza." Eliza diam tak menjawab, matanya kosong menatap asap tebal yang masih menyelimuti rumahnya yang terbakar habis oleh api, yang telah menghanguskan segalanya. "Diego, maafkan aku," ucap Eliza. "Semuanya salahku."Diego memegang bahu Eliza, mencoba memberi kekuatan pada dirin
“Siapa yang marah-marah di telepon tadi?” tanya Diego, memperhatikan ekspresi serius Eliza.“Renzo,” jawab Eliza singkat, menurunkan telepon dari telinganya.“Kenapa dia?” Diego menyipitkan mata, penasaran.“Dia bilang ada hal penting yang harus dibicarakan denganku,” Eliza menjelaskan sambil menghela napas.Antonio, yang duduk di sudut ruangan, mendengar percakapan itu. “Suruh saja dia datang ke sini. Lebih aman kalau kita bicara di sini.”Eliza mengangguk, lalu kembali menempelkan telepon ke telinganya. “Renzo, datang ke rumah Antonio. Kita bicara di sini.”Setelah menutup telepon, Diego memiringkan kepala. “Apa menurutmu ini soal Victor atau Yoona?”Eliza mengangkat bahu. “Aku belum tahu, tapi kalau Renzo sampai menelpon dengan nada seperti itu, pasti ada yang mendesak.”“Baiklah,” kata Antonio. “Kita tunggu dia. Sambil menunggu, kita bisa mulai menyusun rencana.”Diego hanya diam, tampak berpikir, sementara Eliza berusaha menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai kemungk
Renzo berjalan perlahan menuju tepi jalan raya, mencoba menghilangkan rasa suntuk yang menguasainya. Tanpa ia sadari, Diego mengikuti dari kejauhan, memperhatikan dengan diam-diam.Renzo berhenti di depan mobilnya, lalu duduk di kap mobil. Ia menatap ponselnya yang tergeletak di tangan, pandangannya kosong.“Kelvin, anakku...” gumamnya pelan, suaranya bergetar. “Papa harap kau baik-baik saja di manapun kau berada.”Renzo menghela napas panjang. Ia menatap ke arah langit yang mulai gelap, seperti berbicara kepada seseorang yang tidak terlihat.“Quen... sejak kau pergi, semuanya berantakan. Tidak ada yang baik-baik saja. Aku... aku bahkan tidak bisa menjalani hari tanpa memikirkanmu.”Diego, yang berdiri tak jauh, mendengar gumaman Renzo. Ia maju perlahan, lalu berbicara, mencoba memecah keheningan.“Kau masih mencintainya, ya?” tanya Diego, suaranya datar namun sarat makna.Renzo menoleh, sedikit terkejut. “Apa yang kau lakukan di sini? Menguping?”Diego mengangkat bahu. “Aku hanya mem
Diego yang sedang bersembunyi di balik menara mendengar suara senjata api yang diarahkan padanya. Tubuhnya menegang, dan dia perlahan menoleh ke arah asal suara tersebut."Jangan bergerak," perintah suara berat pria bersenjata yang kini berdiri di belakangnya, ujung laras pistol mengarah tepat ke kepala Diego.Diego menelan ludah, mencoba berpikir cepat. "Tunggu, aku hanya tersesat. Aku tidak tahu apa-apa!" katanya, suaranya bergetar namun tetap mencoba tenang.Pria itu tidak menjawab. Dalam sekejap, dia menghantam tengkuk Diego dengan gagang pistolnya.Buk!Diego jatuh tersungkur ke tanah, tak sadarkan diri. Pria bersenjata itu memandang tubuh Diego yang terkapar, lalu menunduk untuk memastikan Diego benar-benar pingsan."Angkat dia," katanya kepada rekannya.Tanpa banyak bicara, mereka mengangkat tubuh Diego dan membawanya ke dalam bangunan tua yang suram. Suara langkah sepatu mereka bergema di sepanjang koridor gelap, sementara lampu berkedip-kedip memberikan nuansa menakutkan."Ik
Pintu jeruji besi terbuka, seorang pria berpakaian serba hitam dengan senjata laras panjang dan dua pria lainnya berdiri di belakangnya, siap mengawal."Ayo, ikut kami!" perintah pria itu dengan nada keras."Mau dibawa ke mana kami?!" tanya Diego, nada suaranya penuh curiga."Jangan cerewet! Ayo jalan!" bentak pria itu, sambil menodongkan senjatanya ke arah mereka.Diego dan Renzo saling bertukar pandang, mereka tak punya pilihan lain, selain mengikuti mereka. Di bawah ancaman senjata, mereka berjalan melewati lorong panjang. Setibanya di sebuah ruangan besar, mereka menuruni tangga dan menuju ruangan lain yang lebih gelap.Diego dan Renzo dibawa ke sebuah ruangan besar yang penuh dengan hawa tegang. Di sana, mereka akhirnya bertemu dengan Kelvin dan Miko."Papa!" Kelvin berlari dan langsung memeluk Renzo dengan erat, begitu pula Miko yang menghampiri Diego sambil menangis.Renzo menatap putranya sejenak sebelum pandangannya beralih ke arah Yoona, yang berdiri dengan santai di samping
Eliza berdiri mematung di bawah langit senja, warna keemasan menyelimuti halaman rumah Renzo. Karangan bunga memenuhi halaman rumah Renzo. membawa aroma kesedihan yang bercampur dengan rasa hormat. Senyum tipis menghiasi bibirnya, tapi matanya memancarkan kesedihan yang sulit disembunyikan."Kau senang? Ini yang kau inginkan?" tanya Diego, suaranya datar, namun sorot matanya penuh tanya.Eliza menoleh perlahan, menatap Diego. Untuk sesaat, tak ada jawaban yang terucap. Kata-kata terasa seperti beban yang sulit diungkapkan. Benarkah ini yang ia inginkan? Dia bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya dia harapkan selama ini."Aku tidak tahu, Diego," jawab Eliza akhirnya, suaranya lirih. "Aku hanya menjalani apa yang ada di hadapanku. Takdir ini... bukan pilihanku."Diego menghela napas, matanya menatap jauh ke arah bunga-bunga itu, seolah mencoba membaca makna yang tersembunyi di baliknya. "Takdir memang bukan pilihan, El. Tapi apa yang kau lakukan setelahnya, yang akan menentukan segalanya
Di tengah keheningan mencekam, hanya terdengar suara sirene mobil polisi dan percakapan samar melalui radio petugas. Asap tebal membubung dari reruntuhan gedung, menyelimuti area dengan aura suram dan menyesakkan.Diego dan Renzo terduduk lemas di tanah, wajah mereka memancarkan keputusasaan yang mendalam. Namun, di tengah keputusasaan itu, mereka menangkap gerakan kecil di rerumputan yang bergoyang tak jauh dari mereka."Apa itu?" Renzo bergumam, matanya penuh harapan bercampur rasa tak percaya.Tiba-tiba, sebuah penutup logam perlahan terangkat dari bawah tanah. Asap mengepul keluar dari dalam, dan detik berikutnya, kepala Eliza menyembul keluar, wajahnya berlumur darah dan debu, matanya penuh tekad meski lelah."Eliza!"Diego dan Renzo berteriak serempak, seruan mereka memecah keheningan. Dengan cepat, mereka berlari ke arahnya, tak peduli dengan luka di tubuh mereka.Mereka membantu Eliza keluar dari pintu bawah tanah. Eliza terbatuk-batuk, tubuhnya limbung, tetapi senyumnya tipis
"Ibu!" teriak Kelvin, suaranya penuh kebahagiaan dan kelegaan."Mama!" seru Miko, matanya bersinar cerah meskipun situasi masih mencekam.Eliza menatap kedua anaknya dengan lembut. "Kalian baik-baik saja?" tanyanya, khawatir.Keduanya mengangguk dengan senyum kecil, meskipun masih tampak cemas."Kita harus pergi dari sini!" kata Diego tegas, wajahnya serius."Victor sudah memasang bom di gedung ini!" Sela Renzo.Kekhawatiran langsung melintas di mata Eliza. Waktu mereka sangat terbatas. "Kalian bawa anak-anak!" perintah Eliza, sambil menyentuh bahu Diego. "Aku akan melindungi kalian. Cepat!"Diego tanpa ragu menggendong Miko, dan Renzo segera menggendong Kelvin. Dengan langkah cepat dan hati-hati, mereka berlari keluar dari ruangan, menuju pintu utama. Eliza tetap berada di belakang, memastikan mereka aman, sembari mempersiapkan diri untuk menghadapi apapun yang ada di depan. Tembakan terdengar di kejauhan, namun Eliza hanya fokus pada satu tujuan, melindungi keluarganya dan memastika
Damon tersenyum tipis, lalu mengangkat tangannya memberi isyarat kepada pria berjas hitam di belakangnya. Tanpa sepatah kata pun, pria itu berjalan ke meja dan menekan tombol yang memulai proses di layar monitor. Monitor besar itu menyala, menampilkan berbagai gambar dan data yang berpindah dengan cepat."Lihatlah," kata Damon, suara rendah namun penuh ketenangan. Dia memperhatikan ekspresi Eliza yang berubah saat layar memperlihatkan rekaman markas yang meledak, diikuti dengan gambaran tubuh Letnan Quenza yang terluka parah, tergeletak tanpa nyawa. Namun, di detik-detik terakhir, seorang pria bertubuh kekar, salah satu anak buah Damon, muncul membawa tubuh Letnan Quenza yang sekarat ke rumah sakit terdekat. Proses transfer memori yang menegangkan terlihat jelas di layar, alat-alat medis canggih digunakan untuk memindahkan semua ingatan Quenza ke tubuh Eliza yang telah dinyatakan mati."Tidak mungkin!" teriak Eliza, wajahnya berubah kaget dan marah. Dengan cepat, ia mengangkat senjata
Sesampainya di pusat kota, Eliza dengan cekatan menyembunyikan senjatanya di balik jaket panjang yang ia kenakan. Diego dan Renzo melakukan hal yang sama, memastikan tak ada yang mencurigai mereka.Mereka melangkah keluar dari mobil yang diparkir di sudut jalan, tubuh mereka sudah bersih dari luka-luka yang sempat mereka rawat seadanya. Hiruk-pikuk kota menyambut mereka, dengan keramaian manusia yang memadati jalan untuk merayakan hari kemerdekaan Mazatlán.Karnaval Mazatlán berlangsung meriah. Jalanan penuh dengan parade warna-warni, musik tradisional mengalun keras, dan sorak-sorai warga menambah semarak suasana. Polisi tampak berjaga di setiap sudut kota, mengawasi kerumunan dengan ketat.Eliza mengedarkan pandangannya dengan hati-hati. Matanya menelusuri setiap wajah di kerumunan, setiap gerakan yang terasa sedikit janggal. Renzo dan Diego berjalan di belakangnya, sikap mereka sama waspadanya.Namun, suasana meriah itu berubah dalam sekejap.DUAR!Sebuah ledakan keras mengguncang
Mobil melaju dengan kecepatan maksimal membuat jalanan sepi di depan terasa semakin sempit. Diego mengepalkan tangan di setir, matanya fokus ke mobil musuh yang melaju dari arah berlawanan."Aku akan adu banteng dengan mereka!" serunya."Diego, kau gila! Kita bisa mati!" Renzo berteriak, suaranya penuh kepanikan. la memegang dashboard dengan erat, keringat mengucur di wajahnya."Menunduk!" perintah Diego tanpa ragu, suaranya tegas.Eliza langsung merunduk, tapi matanya tetap memperhatikan situasi, rahangnya mengatup rapat. Sementara Renzo hanya bisa berteriak lagi. "Diego! Aku belum mau mati!"Mobil Diego dan musuh semakin mendekat, jarak di antara mereka hanya hitungan detik.BRAK!!Tabrakan keras terjadi. Mobil Diego menghantam mobil musuh dengan kekuatan penuh. Bunyi logam beradu memekakkan telinga, pecahan kaca beterbangan ke segala arah. Benturan itu begitu hebat hingga mobil Diego terlempar ke luar jalur, berputar beberapa kali di udara sebelum menghantam tanah dengan keras.Tub
Eliza duduk di kursi belakang mobil, pandangannya tajam menatap ke luar jendela. Diego mengemudi dengan fokus, sementara Renzo duduk di kursi penumpang depan, menggenggam senjatanya dengan cemas. Ketiganya telah siap dengan senjata masing-masing, meninggalkan markas Antonio dan Daniel tanpa banyak bicara. Eliza tahu mereka tak bisa terus melibatkan orang lain dalam urusannya. Ia hanya berjanji akan menghubungi Antonio jika benar-benar dalam keadaan terdesak.Mobil melaju dengan kecepatan tinggi di jalan raya yang ramai oleh kendaraan lain. Tujuan mereka adalah perbatasan kota, tetapi perjalanan itu akan memakan waktu berjam-jam. Suasana di dalam mobil terasa tegang, dan setiap suara dari luar terdengar lebih nyaring dari biasanya."Sepertinya kepergian kita ada yang membocorkannya lagi," kata Eliza tiba-tiba, matanya menatap kaca spion dengan waspada.Diego melirik spion tengah. "Kau yakin?"Renzo, yang penasaran, menyembulkan kepalanya keluar jendela, mencoba memastikan. "Sial! Tiga
Dari kejauhan, suara deru mobil mendekat, memecah keheningan malam yang hanya diisi oleh gemuruh api dari puing-puing markas Victor. Eliza, Diego, dan Renzo segera bangkit, tubuh mereka menegang dengan kewaspadaan tinggi.Sebuah mobil berhenti tak jauh dari tempat mereka. Pintu mobil terbuka, dan dua pria muncul dari dalam—Antonio dan Daniel. Wajah mereka penuh kekhawatiran saat mereka bergegas menghampiri."Eliza, kau tidak apa-apa?" tanya Daniel, suaranya penuh kekhawatiran.Diego dengan cepat memotong, suaranya terdengar kesal. "Hei, jangan terlalu banyak bicara. Istriku terluka. Cepat bantu!"Daniel hanya mengangguk, memahami situasi tanpa membantah. Bersama Antonio, mereka membantu Eliza ke mobil, sementara Diego dan Renzo tetap berada di sisi Eliza, memastikan dia tidak semakin terluka.Di perjalanan, Eliza hanya diam, mencoba menahan rasa sakit yang menjalar dari lukanya. Renzo, yang duduk di sampingnya, sesekali melirik dengan penuh perhatian, sementara Diego menggenggam tanga
Dentuman tembakan bergema, memantul di sepanjang koridor sempit dengan dinding-dinding beton. Eliza, Diego, dan Renzo bersembunyi di balik pilar besar, dada mereka naik turun seiring napas yang tak beraturan. Bau mesiu memenuhi udara, bercampur dengan keringat dan darah."Mereka semakin dekat," bisik Diego, matanya melirik ke arah lorong tempat musuh terus menembakkan peluru secara membabi buta."Diam!" bisik Eliza, wajahnya penuh dengan konsentrasi meskipun bahunya berdarah. Dia mengintip sedikit, cukup untuk melihat posisi musuh tanpa terlalu terekspos.Dor! Dor! Peluru menghantam pilar, serpihan beton terbang ke segala arah, memercik seperti hujan kecil."Kita tidak bisa terus di sini," Renzo berkata, tangannya menggenggam pistol erat-erat, suaranya gemetar tetapi penuh tekad.Eliza menyeka keringat di dahinya, rasa sakit dari luka tembak di pahanya hampir membuatnya lumpuh, tapi dia menolak menyerah. "Kita akan maju. Aku di depan, kalian di belakangku. Hitung sampai tiga, lalu kit