Ibu memutuskan untuk menginap terlebih dulu di rumah Umi Husna. Kami semua berkumpul di sini sebelum besok harus kembali ke Jakarta. Sudah dua pekan ibu tak menjenguk Mas Hamdan, biasanya ia akan datang ke penjara seminggu sekali. Zafran sedang belajar mengaji bersama Arini, aku menemani Bang Fatur membuat kaligrafi."Abang, buatkan aku nama Zain dan Zafran," ucapku sedikit manja."Kamu mau berapa, Dik? Akan Abang buatkan yang besar untuk mereka," jawabnya.Aku tersenyum dan menyandarkan kepala di bahunya."Satu untuk mereka dan satu kita. Aku ingin nama Abang dan namaku terukir indah menjadi satu.""Apa kamu sekarang begitu mencintai Abang, setelah dulu kamu tolak Abang mentah-mentah.""Jangan seperti itu, aku malu."Bang Fatur mencubit pipiku dengan gemas."Andai dulu aku memilih Abang akankah aku tak pernah di campakkan?" ucapku penuh dengan penyesalan."Jangan menyesali yang sudah terjadi ingat sebagai kenangan perjalanan hidup kita," ujar Bang Fatur. Ia menatapku dalam.Bang Fat
Tiga tahun setelah kedatangan Bang Adnan bersama ibunya ke rumah kami. Sekarang mereka tak lagi menggangguku dan anak-anak. Bahkan ia tak sekalipun mengunjungi anak-anak atau sekedar berkirim pesan dan menanyakan bagaimana kabarnya.Pernah kukirimkan pesan agar ia menjenguk Zafran karena Zafran pernah menanyakannya. Justru Lulu yang membalas dan marah-marah kepadaku. Setelah itu aku tak lagi menghubunginya, aku pun tidak tahu di mana ia tinggal sekarang.Setahun setelah pernikahanku dengan Bang Fatur kami dikaruniai anak perempuan yang kami beri nama Zelia Al Muslimah. Aku bersyukur kami dapat hidup dengan tentram bersama. Mas Hamdan juga sudah dibebaskan. Ia sering berkunjung ke rumah untuk menjenguk ibu bersama kedua putranya.Sementara Zain ia sering pergi ke Solo di mana ia tinggal dulu. Saat pesantren anak yatim yang ibu bangun tidak terlalu padat jadwalnya. Usaha kaligrafi Bang Fatur juga berkembang pesat, ia sering membuka pameran.Zafran masuk ke pesantren atas keinginannya se
"Sudah siap, Dik?" dari balik pintu Bang Fatur bertanya padaku."Sebentar, Bang.""Cuma ini yang akan kita bawa?""Iya, Bang.""Abang ke mobil, Zelia sudah sama Zain.""Iya, Bang, sebentar lagi aku menyusul."Aku kembali merapikan hijab dan riasanku. Kupoles bedak dengan tipis agar tak terlihat aku habis menangis.Hari ini aku akan mengantar anakku menuju rumah gadis yang hendak ia pilih untuk menjadi makmumnya mengarungi bahtera rumah tangga. Namun, hatiku seperti tak merelakan karena kita akan terhalang jarak Jakarta Solo.Setelah aku mengatur nafas dan hatiku agar jauh sedikit lebih tenang. Aku keluar dengan tas kecil menghiasi penampilanku.Bang Fatur menatapku tanpa berkedip. Ia berucap lirih tepat di telingaku, "Kamu cantik, Dik.""Memang kemarin aku tak cantik, Bang?" Aku menjawab sambil mencubit perutnya.Bang Fatur kembali berkata tepat di telingaku, "sekarang jauh lebih cantik.""Jangan seperti itu, malu dengan anak-anak."Ibu dan Zain yang memperhatikanku dan Bang Fatur ter
"Apa aku tak salah lihat, Umi?"Suaranya bergetar ia menggelengkan kepalanya. Ibu mengambil Zelia dari gendongannya dan memberikan kepada Saka."Zelia, ikut Om Saka beli es krim, ya?"Zelia mengangguk dan tak protes seperti tadi.Ibu memegang tangan Zain. Berkata lirih di dekat telinga Zain, "tenangkan hatimu, Zain. Istiqfar."Sementara di seberang pintu. Bang Adnan dan Lulu yang menggandeng Ana sama terkejutnya dengan kami."Zain?"Bang Adnan mendekati Zain, tetapi Zain langsung menjauhinya."Ana, apa yang kamu maksud Al itu adalah Zain?" tanya Bang Adnan pada Ana n yang masih tersenyum tak mengerti apa-apa."Iya, Abi. Dia Zain Al Adnan lelaki yang hendak menikahiku.""Apa!"Lulu berteriak dan melepaskan tangan Ana dengan kasar.Aku masih terdiam tak percaya dengan kenyataan ini, bagaimana mungkin ini bisa terjadi."Ana, dia Abangmu!" seru Bang Adnan."Apa? Abi, tidak usah berbohong. Bagaimana bisa dia Abangku? Kalian jangan berbohong!"Zain terduduk di depan pintu, air matanya menet
"Zain!"Aku memeluk tubuhnya yang basah kuyup tak sadarkan diri. Bang Fatur kemudian memindahkannya bersama Saka yang terbangun karena teriakanku, begitu juga dengan umi dan ibu.Bang Fatur mengganti baju Zain, badannya panas. Aku mengompres Zain semalaman, Bang Fatur menawarkan untuk bergantian menjaganya tetapi aku tak mau. Biarlah aku yang merawatnya.Aku tertidur di samping tempat tidur Zain, ia masih belum bangun tetapi badannya tak lagi panas seperti semalam."Sudah bangun, Dik?" Bang Fatur membawa secangkir teh."Shalat Subuh dulu, biar Abang yang menjaga Zain," lanjut Bang Fatur menyambung ucapanya."Abang, tidak shalat?""Abang sudah selesai, Abang tak tega membangunkanmu karena tidurmu terlalu nyenyak. Cepatlah shalat sebelum fajar.""Iya, Bang."Semalam Bang Fatur yang mengganti mengompres Zain ketika aku tertidur, aku tak sadar karena terlalu lelah.Setelah selesai shalat aku menghirup sedikit udara segar bersama Zelia, ibu dan umi menyiapkan makanan.Aku kembali ke rumah
Sudah satu pekan Ana di rumah sakit. Zain dan aku bersama Bang Fatur selalu menemaninya. Zain tak pernah ingin datang ke sana sendiri tanpa aku dan Bang Fatur.Dokter bilang ia harus di temani agar pikirannya tak kembali melakukan hal buruk yang dapat mencelakainya.Kami baru sampai di rumah saat Bang Adnan dan Lulu menghampiri kami tepat di depan pintu rawat kamar Ana."Fatur, Kinan, kami sudah melakukan tes DNA dengan Ana, ia bukan anak kami. DNA kami tidak ada yang cocok," ungkapnya."Apa? Bagaimana bisa terjadi seperti itu."Aku terkejut begitu juga Zain dan Bang Fatur."Kemungkinan anak kami tertukar saat di rumah bersalin, karena saat itu Lulu pergi sendiri tanpa ada yang menemani jadi tidak tahu jika suster mungkin melakukan kesalahan."Zain tersenyum dengan manis, gigi gingsulnya yang sejak lama tak menampakkan diri kini terlihat dengan manis."Aku dan Lulu akan memberitahu Ana, Zain bisa menikahinya.""Apa Bang Adnan sudah memastikan bahwa tes itu benar? Aku tidak ingin anakk
Zelia berlari memelukku saat kami sampai di rumah, mungkin ia rindu karena beberapa hari ini ia takku perhatikan pikiranku sedang tertuju pada Zain."Umi," panggilnya manja."Iya, sayang. Maafkan Umi, ya? Sudah ninggalin Zelia. Zelia rindu, ya?"Aku menggendongnya.Zain menghampiri kami."Assalamualaikum, Zelia?"Zain mencium pipi Zelia yang ia balas dengan pelukan. Sejak dulu Zain selalu akrab dengan adik-adiknya. Sifatnya yang penyayang dan lemah lembut membuat anak kecil cepat akrab dengannya."Assalamualaikum, Umi, Ibu?"Bang Fatur meraih tangan umi dan ibu bergantian, begitu juga denganku."Walaikumsallam."Kami mengikuti umi masuk, Arini sudah membuatkan minuman dan cemilan."Bagaimana keadaan Ana, Mbak?""Alhamdulillah sudah membaik, Arini.""Alhamdulillah.""Ibu, Umi, besok kita akan pergi ke rumah Bang Adnan untuk menikahkan Zain dan Ana?""Apa kamu tidak salah, Fatur?"umi bertanya dengan raut wajah heran."Ternyata Ana bukan anak Lulu dan Bang Adnan, Umi. Mungkin, mereka te
Malam ini terasa sangat dingin. Lepas shalat Magrib dan makan malam aku putuskan untuk berbicara dengan Bang Fatur soal Arini. Kebetulan Bang Fatur tengah mengaji di dalam kamar. Bang Fatur memang lebih senang mengaji di dalam kamar karena itu tempat istirahatnya.Aku merebahkan kepalaku di pangkuan Bang Fatur. Dia tersenyum dan melanjutkan bacaan Qur'annya.Setelah ia selesai membaca Al-Qur'an aku putuskan untuk berbicara padanya,"Abang?""Hemm."Bang Fatur terus membelai rambutku yang tergerai. Aku sengaja melepas hijab jika hanya dengan Bang Fatur karena memang dia menyukainya."Tadi aku berbicara dengan Arini, ia tampak murung.""Lalu?""Ia menangis tak henti."Bang Fatur terkejut."Kenapa? Ada apa dengannya?"Aku kembali menarik tangannya yang berhenti membelai rambutku. Aku memegang dengan erat dan menaruhnya di dadaku."Dia bilang hatinya sakit dan sesak serta air matanya jatuh begitu saja saat mendengar Zain akan bersama dengan Ana?""Maksudnya apa, Dik? Abang gak ngerti.""A
Setelah dua hari menunggu papa di rumah sakit, siang ini kuputuskan untuk menemui Om Andi di kantornya. Dua hari ini aku dan Om Andi hanya berhubungan lewat telepon. Ia ingin menjenguk papa tetapi aku melarangnya karena papa belum menerimanya.Kubawakan makanan kesukaannya, datang ke kantor tanpa mengabari lebih dulu. Senyum mengembang di bibirku setelah sampai di depan pintu ruangan Om Andi. Aku berencana akan memberikan surprise untuknya, kubuka pintu tanpa mengetuk lebih dulu. Setelah pintu terbuka pandangan di depan mataku membutaku tersenyum sinis.“Lulu,” panggil Om Andi setelah melihatku membuka pintu, dengan cepat ia jatuhkan seorang wanita yang semula di pangkuannya. Menutup kancing kemeja dan celananya sedikit gagap, rupanya benar kata papa, lelaki di depanku itu tidak baik untukku.“Lanjutin aja, aku cuma nganter makanan sekalian mau kasih tahu kalua mulai sekarang kita enggak ada hubungan apa-apa. Aku akan suruh sopir buat ambil barang-barangku.” Kuletakkan makan di meja da
“Sayang kamu enggak papa?” Om Andi menghampiriku yang masih terus terisak di atas ranjang dengan selimut menutupi seluruh tubuhku.“Papa? Apa Papa sudah buta, mereka telah bermain di belakang Papa dan Papa masih mau sama dia!”“Apa maksudmu Clara, suamimu telah memaksa Lulu, dan kamu yang salah membawa lelaki itu ke rumah ini.”Clara ternganga mendengar jawaban Om Andi, yang meraka tidak tahu adalah kukirim pesan kepada Om Andi. hanya pesan suara minta tolong, rekaman suara yang sudah kupersiapkan sebelum menggoda Hans.“Aku takut Mas.” Kupeluk erat Om Andi.Di balik punggungnya aku tersenyum menatap Clara dan Hans yang sudah babak belur.Geram melihat tingkahku Clara melepas paksa pelukanku pada Om Andi kemudian menamparku berkali-kali. Aku hanya bisa menjerit tanpa berniat melawannya, membiarkan ia terus menjabak rambutku.“Hentikan Clara!” Om Andi menampar wajah Clara dan mendorongnya hingga jatuh.Begitulah mama dulu mendorongku, bagaimana rasanya? Hans dengan cepat meraih tubuh
Permainan yang begitu panas, keringat membasahi tubuh kami, desahan menggema di ruangan besar tempat kami memadu kasih. Om Andi begitu perkasa di ranjang, entah berapa menit kami saling bergumul diatas ranjang besar ini. Aku hanya bisa pasrah saat Om Andi menyerangku begitu ganasnya, mungkin karena berbulan-bulan kami tak melakukannya sehingga nafsu begitu besar.Om Andi mengerang setelah mencapai puncaknya, lalu terbaring lemas di sampingku."Makasih Sayang,” lirihnya dan mengecup keningku. “Mau hadiah apa?” sambungnya dengan mata terpejam mungkin sebentar lagi akan kehilangan kesadarannya, dan melayang hingga ke langit ketujuh menikmati sisa-sisa surga dunia yang telah kuberikan.“Emm… rumah udah, mobil udah, apa ya?” Aku sendiri bingung mau minta apa lagi kepadanya, pasalnya semua sudah ia berikan kepadaku.Tak ada jawaban dari Om Andi, kulirik sekilas rupanya ia sudah terlelap. Aku tersenyum menatapnya, kenapa aku jadi jatuh cinta kepada lelaki di sampingku ini? Tak ingin tidur d
Kupastikan Om Adi menceraikan mama, tetapi aku enggan untuk dijadikan istrinya. Aku ikut mengantar Om Andi ke persidangan cerainya dengan mama, saat aku hendak pergi ke toilet tidak sengaja berpapasan dengan mama, setelah kejadian ia melabarakku mama selalu ingin bertemu denganku, tetapi aku selalu menolak. Aku malas meladeni air matanya, aku malas mendengar curhatnya.“Lulu,” panggil mama lirih.Kuputar badan dan menghadap mama dan menyunggingkan sudut bibirku. “Ada Apa?” jawabku datar.“Kenapa kamu lakuin ini sama Mama? Apa sekarang kamu sudah puas melihat Mama hancur?” Aku terbahak mendengar ucapannya, mama katanya. Dulu saat aku ingin memnaggilnya mama, mati-matian ia menolak dan sekarang ia mengatakan itu. “Bagaimana rasanya? Sakit?”“Mama minta maaf kalau Mama nyakitin kamu, ninggalin kamu, tapi Mama enggak bermaksud.…”“Lalu maksud Anda apa?” Kurapatkan tubuh kami nyaris tak berjarak, kupandang matanya yang sudah mulai mengembun. “Maksud Anda bagaimana? Anda menghancurkan hidu
“Kamu dulu pernah bilang kenal istriku dan bilang dia itu mamamu.” Om Andi melihatku begitu lekat, pandangnya tak membiarkanku sedikitpun berpaling.Sejenak aku terdiam, aku pikir ia tak ingat akan kejadian itu, atau tak akan mengenali aku. Rupanya aku salah, atau mungkin ia baru ingat karena bertengkar dengan mama.Aku tersenyum mengusap pelan pahanya. “Saat itu aku masih kecil, masih labil. Aku kehilangan Mama dan Mama itu mirip banget sama Bu Ratna, itu sebabnya aku sempat berpikir bahwa itu Mama,” kilahku.Namun, Om Andi tak bereaksi dengan jawabanku, ia masih setia menatapku tanpa sedikitpun berkedip. Aku harus mencari cara agar ia percaya. “Apa Om gak percaya denganku,” senyum yang semula di bibirku perlahan memudar berganti dengan rajukan manja.Dan tara… begitu mudahnya mengelabui buaya tua itu, dengan mudah ia percaya dengan ceritaku.“Syukurlah, karena jika itu kamu Om tidak akan bisa berpisah darimu.” Perlahan Om Andi membelai rambut dan pipiku. “Kamu selalu ada untuk Om,
“Clara.” Masih kupandang gadis yang sedang di gandeng mesra oleh Hans. Keduanya tampak bahagia di tengah pesta ulang tahun Hans. Aku pikir akulah yang akan memberikan kejutan kepada Hans, ternyata aku salah, justru aku yang di beri kejutan olehnya. Kulangkahkan kaki menuju keduanya yang sedang saling tersenyum satu sama lain.“hHns, apa-apaan ini?” tanyaku setelah berdiri di sampingnya.Hans memutar badan melihatku yang menatapnya dengan penuh banyak pertanyaan. Pasalnya sudah satu minggu ia tak menghubungiku, terakhir ia mengatakan akan keluar negeri dan kembali sebulan lagi. Nyatanya sekarang ia membuat pesta di apartemennya dan untunglah Anin tahu serta segera mengabariku, kupikir mungkin pesta kejutan untukku.“Ah, Lulu… kebetulan sekali kamu sudah datang tanpa diundang di pesta pertunanganku dengan Clara,” ucapnya dengan senyum manis. Kakiku gemetar mendengar jawabannya, aku tak pernah main-main dengannya, cintaku tulus padanya meskipun ia seringkali meminta banyak barang mewah
“Rais,” ucap lelaki itu memperkenalkan diri. Rupanya dia anak satu-satunya ibu mecca. Kami saling berkenalan, wajah tampan cocok sekali dengan namanya. Kupikir ia akan bersikap angkuh karena aku dan papa tak membawa apa-apa saat datang ke rumahnya. Namun, aku salah, ia dan Bu Mecca memperlakukanku dengan sangat baik. Selama tinggal dengan Bu Mecca dan Bang Rais mereka sangat menyayangiku dan papa. Papa ikut mengelola perusahaan milik Bu Mecca hingga berkembang pesat. Sejak saat itu kehidupanku berubah, aku kembali sebagai ratu yang dimanjakan banyak harta. Abang tiri yang sangat menyayangiku, begitu juga dengan Bu Mecca yang sangat memanjakanku. Meskipun ia lebih tua dari papa tetapi hubungan mereka sangat harmonis, kami saling berbagi cinta satu sama lain.Namun, yang tidak kuketahui adalah, dibalik sikap memanjakanku dan sayangnya Bang Rais, ada maksud yang tidak pernah kusangka. Puncaknya saat papa dan Bu Mecca pergi berlibur ke luar negri. Tinggalah aku dan Bang Rais berdua di r
Acara kelulusan sekolah hanya papa dan nenek yang hadir untuk melihat prestasi yang kuberikan untuk sekolah. Banyak piala lomba kesenian yang telah kuberikan, aku mendapat gelar siswa berprestasi di bidang seni. Papa tersenyum bangga begitu juga nenek, aku berusaha keras untuk mereka. Papa semakin tua, terlihat dari wajahnya yang dulu tampan sekarang makin banyak kerutan dan wajah yang semakin menghitam karena teriknya matahari, semua demi aku, agar aku tetap bisa pergi sekolah seperti teman-temanku.Setelah hari kelulusan beberapa pekan kemudian papa mengantar untuk mendaftar ke sebuah sekolah menengah tinggi. Sekolah yang bisa dibilang cukup elit di kota, sebenarnya aku enggan sekolah di kota, di desa juga tidak mengapa, tetapi papa bersikeras karena ingin mengganti masa SMP yang hanya kuhabiskan di desa nenek. Kami pergi menaiki sepeda motor milik papa, sampai di halaman sekolah mobil mewah berjejer milik wali murid.“Maaf ya, Lu,” ucap papa setelah kami berdiri di depan gerbang.“
Aku pikir setelah lama tak bertemu mama akan memeluk erat diriku, setidaknya menanyakan kabarku atau sebagaimana mestinya seorang ibu kepada anaknya yang tidak ia jenguk lebih dari tiga tahun lamanya. Nyatanya, ia justru tidak menganggap aku ini putri yang dulu ia dilahirkan dari rahimnya, putri kecil yang dulu ia timang dan manja, yang selalu ia kecup mesra dan nyanyikan lagu indah.Kukepalkan tangan. “Aku benci Mama, aku benci Mama, aku benci Mama.” Sepanjang perjalanan hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutku. Meski air mata yang sudah menyeruak hendak jatuh berselancar di mataku tetapi aku enggan mengakui bahwa aku sangat mengharap ia memeluk dan menciumku.“Lulu,”panggil nenek lirih. Aku sampai lupa kalau tangan nenek tak lagi berada di genggaman tanganku.Kuhentikan langkah dan memutar badan, memasang senyum yang manis untuk wanita renta yang masih berdiri di belakangku. Aku tidak ingin ia semakin sedih jika melihatku menangis.“Jangan benci mamamu,” ucap nenek setelah bera