ARSELA Berjalan mondar-mandir, memikirkan cara supaya Beruang kutub itu bisa tidur denganku. Haruskah meminta bantuan Mama dan Papa? Ah, tidak mungkin. Bisa makin runyam masalah ini, jika mereka tahu selama delapan bulan putri semata wayangnya pisah ranjang, tak saling menjamah layaknya suami istri. ‘Ayo, Arsela ... pikirkan caranya .... ‘ Menekan-nekan telunjuk ini yang berpindah-pindah dari kepala ke hidung. Tak sengaja netra tertuju pada bingkai raksasa berisikan foto pernikahanku dengan Roger. Beralih menatap kalender yang teronggok di atas nakas samping ranjang. Senyum kemenangan terukir di bibir ini. September. Yes, beruntungnya aku,. Melompat girang. Saat yang tepat. *** Hampir dua minggu Roger tak kembali ke mansion ini. Selama itu pula aku tak keluyuran. Lemahnya tubuh, juga mual yang kerap mengganggu membuatku enggan keluar rumah. Bram berkali-kali minta bertemu sama sekali tak kugubris. Aku harus menyempurnakan rencana menaklukan Beruang kutub. Menelponnya adalah
ARSELA Pintu kamarku di buka Roger, melanjutkan akting memasang wajah sedih. Membelakanginya yang duduk di tepi ranjang."Tempat apa yang kau inginkan?" Tersenyum miring sebelum membalikkan tubuh. Menghapus air mata buaya ini. Tersenyum seraya berkata lembut. "Aku ikut ke mana kau membawaku, Mas.""Baiklah, aku akan mengurus segala keperluannya."Saat dia hendak pergi aku memanggilnya. "Mas ....""Kenapa?""Terima kasih," ucapku. Dia hanya membalas dengan senyuman tipis. Lalu keluar dari kamar. Tertawalah Arsela! Kemenangan itu nyata. ***Setelah mengurus semua keperluan berlibur, Roger membawaku ke sebuah Negara yang terletak di bagian utara samudera Atlantik. Islandia."Kau senang, Arsela?" tanya Roger saat sampai di sebuah hotel kelas dunia yang dipesannya.Aku mengangguk. "Terima kasih, Mas." Kupeluk tubuh lelaki berbadan atletis itu."Mas, aku ingin berburu aurora," pintaku."Besok saja.” Keesokan harinya kami bersiap menuju lokasi tersebut dengan menggunakan travel yang me
SAFNA***Tak lebih baik keberadaanku di manapun, kemewahan ini tak menjamin kebahagiaan.Satu minggu lebih tak terasa dalam kesepian. Merintihkan rindu akan sentuhan dan kehadiran lelakiku.Lelah menangis, hingga keringnya air mata tak mendatangkan tuan pulang ke peraduan yang tak ubahnya sangkar emas.Aku merindukanmu, Tuan."Bi," panggilku pada asisten rumah tangga yang baru saja beres menyiram tanaman. "Iya, Nyonya."Ah, risih sekali dipanggil nyonya untuk ukuran gadis kampung sepertiku. Kutepuk kursi agar ia duduk di sini. "Bibi, sudah lama kerja sama Tuan Roger?" Kuajukan pertanyaan sebagai awal penghilang kejenuhan dengan mengajaknya berbincang."Sejak Tuan Roger Alvendo menikah sama Nyonya Arsela Van Hoevell. Dulu saya bekerja di rumah mereka, tapi Tuan memindahkan saya ke sini."Aku manggut-manggut menyimak penuturan Bi Asih. Wanita itu sangat antusias diajak berbincang, mungkin sama halnya seperti diriku, butuh teman ngobrol di rumah megah. Selanjutnya kutanyakan tentang
SAFNAFoto tak berubah, memang Tuan. Wajah cantik sang nyonya terlihat bahagia. Desir nyeri kian menjalar, meremukan sendi-sendi tulang.'Happy Unniversary to Arsela And Roger.''Duuh, senangnya yang lagi honey moon kedua.'Ucapan dari beberapa pengguna aplikasi IG yang tercantum di kolom komentar. Mungkin para sahabat atau kerabat kedua pasangan yang sedang bahagia itu.Nyeri nian mendapati kenyataan. Melempar benda pipih itu, menelungkupkan wajah di bantal, menangis sejadi-jadinya. Aku kesepian di sini, kau bersenang-senang di sana. Tega sekali dirimu, Tuan.Dua minggu hidup bergelimang kemewahan tak menyurutkan kerinduan pada sang tuan yang tak kunjung datang.Sungguh jiwa raga ini tersiksa, mengingat betapa bahagianya tuan di sana bersama belahan jiwa.Aku lelah ... lelah dengan rintihan ketidakpastian ini.***Bertahan untuk satu ketidakpastian adalah kebodohan. Mengapa baru menyadari sekarang? Jadinya sakit’kan? Harapan itu sudah tak ada rupanya. Cukup, Safna. Dia takkan kembal
ROGER "Apa yang kamu lakukan, Arsela!" Kuhentakkan tubuh berbalut selimut, turun dari pembaringan, meyambar kimono yang terserak sembarang di lantai. Wanita itu benar-benar keterlaluan! Mengapa harus memakai cara murahan untuk dapat tidur bersamaku. Apa maunya? Bukankah dia sendiri yang beratus kali menolakku. Dasar egois! Saat dirinya butuh pelampiasan, lantas menjebakku. "Mas." Apa ini? Sandiwara apalagi yang sedang dimainkannya. Cukup, aku muak! Kusentak kasar tangan yang melingkar di kaki ini erat. Melangkah cepat-cepat, meninggalkan aktris wanita paling hebat yang pernah kutemui. Harusnya dialah pemenang piala oscar. Tak sulit mendapati tempat Membersihkan diri di rumah ini. Seluruh kamar, memilikinya. Guyuran air cukup mendinginkan otak juga merefresh tenaga yang terkuras semalaman. Tak kupungkiri gairah akibat doping itu meledak-ledak melampaui tenaga yang tersedia. Tak terbayang kepayahan Arsela meladeniku. Ah, tiba-tiba ada yang berdenyut di satu sudut hati. Menga
ROGERTak bisakah berkompromi dengan inginku? Dua jam sudah aku merutuk, melemparkan serapah atas kondisi lalu lintas yang jalannya seolah di huni kura-kura. Kupukul setir berulang-ulang. Klakson tak terlewat untuk ditekan sekeras mungkin. Apa peduliku dengan gendang telinga mereka yang tersakiti. Salahkan saja macet sialan ini. Yes! Go! Melesat membelah jalanan ibukota. Menyalip kendaraan demi kendaraan yang menghalangi kecepatan. Tanpa ampun roda melibas beton hitam, debu pun beterbangan. Sampai! Tergesa turun dari sedan hitam, kaki telah bersepakat dengan hati untuk menemui kekasihnya. Semua lelah, payah sudah kalah oleh letupan kerinduan Hai, Apa itu? Kenapa Safna membawa koper. Mata yang semula datar, membesar seketika. Itu juga yang terjadi padanya sambil mulut ternganga, wajah mulai menegang. Ayunan kakinya terhenti, tatap kami bertemu. Dalam kebeningan lensa yang mulai dihiasi kaca-kaca aku tahu ada rindu di sana. Kau tak bisa berbohong, takkan bisa. Aku tak sedang m
ARSELA ‘Safna’ ... nama wanita yang masih terngiang di telinga. Nama yang keluar dari mulut lelakiku saat berada di puncak pelepasan gairah. Siapa dia? Kenapa nama wanita itu mampu menguasai alam bawah sadar suamiku. Keingintahuan ini memuncak akan sosoknya. Apakah Roger memiliki wanita lain selain aku? Jika benar, takkan kubiarkan itu berlangsung lama. Tak boleh ada yang merebut milik Arsela. Mencari waktu yang tepat untuk mengetahui kehidupan Roger di luar rumah. Semenjak kepulangan dari bulan madu seminggu lalu, tak pernah menampakan batang hidungnya di rumah ini. Menggunakan taksi untuk melakukan pengintaian, supaya terhindar dari kecurigaan. Sore ini, menunggunya keluar dari kantor, menyuruh supir taxi mengikuti sedan merah suamiku. Mengamati Roger dari jendela kaca. Pagar besi rumah itu membuatku dapat melihat apa yang terjadi di sana. Seorang wanita tinggi semampai menyambut kedatangannya. Roger merangkul mesra perempuan muda berhijab itu. Dada bergejolak seketika, dar
ARSELA Ketenangan seakan tak memihakku, Bram tak henti mengusik. Mencecarku dengan kalimat cinta, rindu dan gombalan lainnya. Namun, sebisa mungkin aku tetap menghindarinya. Brengsek, Bram berani mengancamku lagi. Akan menemui Roger membeberkan semua rahasia ini, jika aku tak memenuhi keinginannya untuk bertemu. Ancamannya kali ini tak bisa kuanggap main-main, dia meminta haknya atas anak ini. Bahkan berani mengancam akan menculik dan membawaku pergi jauh dari kota ini. Sial kau Bram. Tak cukupkah kau jamah tubuhku tanpa perlu mempermasalahkan janin ini. Salahmu sendiri melarangku melenyapkan bayi ini. Kau membuatku kehilangan kewarasan, Bram. Ok, kupenuhi permintaanmu. Mencari waktu yang tepat untuk menemui Bram di tempat yang sudah direncanakan. Sebuah Villa yang cukup jauh dari kotaku. Mengamati waktu Roger, saat berada di rumah dan di luar. Aku mulai paham aturan waktunya. Aku yakin kau sedang menemui wanitamu saat tak bersamaku, Roger. It's ok. Kita sama-sama bermain di
ROGER"Bawalah Safna pulang. Kau sudah waktunya mengurusi urusan pribadimu. Setelah dia melahirkan, adakan pesta pernikahan. Undang semua kolega dalam dan luar negeri. Tunjukkan bahwa perusahaan kita masih kokoh dan berjaya!" titah papi. Kondisi papi pulih seiring kembali stabilnya perusahaan. Inilah yang kutunggu, kata-kata darinya. Artinya restu itu sudah keluar secara sempurna. Tak perlu lagi ada keraguan membawa Safna kembali ke sisiku. Enam bulan sudah aku menitipkan Safna pada orang tuanya. Segala rindu kupenjara agar tak memberontak. Hari ini akan kubebaskan ia dari kekangan.Tidak terlukis rasa ingin berjumpa. Mendekap tubuhnya erat, menghapus jejak air mata. Aku juga ingin bicara pada bayi yang ada di perutnya. Akan kukatakan maaf padanya sebab tak mendampingi selama proses pertumbuhan di alam rahim. Juga telah menorehkan kepedihan di hati sang bunda. Janjiku, ini adalah perpisahan terakhir kami. Setelah itu kami akan senantiasa bersama menjalani hari-hari bahagia. Membesa
ROGERBergetar tangan ini membuka surat yang dikirim pengadilan agama. Gugatan cerai dari Arsela.Sekukuh itukah kau ingin pergi dariku Arsela?Apa kesungguhan permohonanku tak menggeser sedikit pun keputusanmu?Mengapa di saat aku ingin bersemayam di hatimu, kau menguncinya rapat-rapat.Mengapa Arsela?Kuhempaskan berkas itu hingga berserak di lantai. Mengacak rambut ini berulang, lalu mengusap wajah yang entah sekusam apa sekarang."Aaargh!"Lautan emosi di hati ini hanya bisa terluapkan dengan teriakan demi teriakan. Tak lebih.***Menapaki keramik keperakan di ruangan megah bergaya artistik Eropa. Langkah ini sebagai upaya akhir membuka hati Arsela.Pelayan keluarga Van Hoevel mengangguk hormat, memanduku menuju ruang Arsela berada. Papa tanpa seizinku membawa putrinya ke sini selepas keluar rumah sakit. Aku tak mampu menolak apalagi menentang. Pria itu sama kerasnya dengan papi, lebih ganas malah.Kuhampiri wanita yang tengah memandangi ikan-ikan di kolam yang terletak tiga meter
ARSELALima bulan pasca perceraian dengan Roger. Aku dapat berjalan dengan normal kembali. Senang dan haru bercampur aduk di hati. Tak lupa ucapan syukur kupajatkan pada pemilik nyawa ini. Sebab, selama ini, aku telah lalai dengan kewajibanku. Terlalu jauh melampaui batas. Mendapatkan ketenangan hati setelah kembali menjalankan perintah-perintah-Nya ampunan atas perbuatanku selama ini. "Ah, thank's ... God." Tak lupa juga kuucap terima kasih pada Bram yang dengan tulus selalu menjagaku. Perhatian dan sikapnya membuat hati ini luluh kembali. Dia lelaki yang tak pernah berhenti mencintaiku. Roger, mungkin dia telah berbahagia, hidup dengan wanita yang bertahta penuh di hatinya. Safna. Wanita itu pantas mendampingi Roger. Kuusap bulir bening yang mengalir di sudut netra kala mengingatnya. Bram mengajakku jalan-jalan malam ini. Hanya bisa menutup mulut kala sadat ke mana ia membawaku. 'Tokyo Bay Night Cruise, Tokyo' salah satu tempat teromantis yang biasa dikunjungi pasangan kekasih
ARSELA"Dengar, Arsela! Aku tak akan berhenti sampai mendapatkan hatimu lagi. Aku akan terus berjuang untuk itu." Bram mengusap sudut matanya yang mengembun. "Aku mencintaimu, sampai kapan pun itu. Bahkan sampai aku mati." "Pergi!" usirku. Keesokan hari, Bram datang kembali ke rumah ini. Aku sudah berpesan kepada penjaga rumah agar tak mengijinkannya masuk. Walau bagaimanapun, Bram pantas meraih kebahagiaannya dengan wanita lain, bukan denganku. Kuintip dari balik kaca setelah satu jam berlalu. Pria itu masih ada. Ah! Lelaki itu tetap pada pendiriannya. Tak akan pergi sebelum menemuiku. Bodoh memang. Malam hari hujan turun dengan derasnya. Kilatan-kilatan di langit menimbulkan suara menggeleggar. Menjalankan kursi roda melalui tombol otomatis menuju jendela. Ingin melihat hujan. Netraku menangkap seseorang yang berdiri menatap jendela kamarku. Ya Tuhan, Bram. Mengapa dia masih di situ.Jika terjadi apa-apa, bagaimana? Kalau Bram mati kedinginan bagaimana? Bram! Mengertilah. Ku
ARSELALumpuh? Aku lumpuh? Inikah hukuman atas kesalahanku? Mengapa tak mati saja? Mengapa Tuhan? Emosiku tak terkendali saat pertama mendengar vonis ini. Aku benar-benar merasa jadi manusia tak berguna. Hingga.... Menangis pun sudah tak berguna. Marah tak menyelesaikan masalah. Lalu.... Aku diam. Menerima realita dan segala konsekuensinya. Ditinggalkan Roger, hal pertama yang menjajah perasaan. Apalagi ia kini sudah memiliki wanita sempurna. Apalah aku dibanding dia? ***Aku melayangkan gugatan cerai pada Roger. Di luar dugaan ia menolak. Malah terus berupaya mendatangiku menawarkan hal sama. Menjalani bahtera rumah tangga bersamanya juga Safna. Ia berjanji akan berlaku adil. Akan berupaya membahagiakan kami berdua. Pernah hatiku terketuk. Nekat, ingin kuterima saja tawarannya. Namun, kala teringat kembali besarnya cinta Roger pada Safna membuatku meneguhkan kembali hati yang mulai goyah. Untuk apa bertahan jika aku tahu di hatinya hanya menyisakan sedikit tempat untukku.
SAFNASetelah mengenakan jilbab, langkah kuayunkan menuju ruang tamu di mana kata emak, Reyhan menunggu.Pemuda itu sedang berbincang dengan abah. Wajahnya cerah, terlihat bahagia.Tatapan kami bertemu, Rey mengangguk seraya mengatupkan tangan di depan dadanya. Kubalas dengan gerakan serupa.Pandangan Rey tertuju pada perutku yang membesar. Ada senyum di bibir itu.Kuraih kertas berwarna merah maron berpita gold berbungkus plastik transparan dari tangan Reyhan. Undangan."Ini undangan siapa, Rey?" tanyaku, membolak-balikan undangan tersebut. Lalu menatap lekat pria yang sedang tersenyum lebar itu."Punyaku. Aku sangat senang jika kalian mau datang di hari pernikahanku.""Masyaa Allah. Alhamdulillah, aku ikut bahagia, Rey."Mataku berkaca, menatapnya haru. Akhirnya kau mendapatkan apa yang tak kau dapatkan dariku, Rey.Reyhan mengangguk, dapat kulihat ada binar yang berbeda di mata itu. Kuyakinkan sisa cinta itu masih ada, hanya saja, takdir kita tak searah.Akhirnya nama pria yang ter
SAFNAAku mendorong kursi roda yang diduduki tuan menuju ruangan Nyonya Arsela dirawat. Suamiku meminta ingin bertemu istri pertamanya. Kukabulkan karena itu haknya.Tiba di hadapan tubuh Nyonya Arsela yang berbaring tak sadar, kutinggalkan tuan berdua dengannya. Tak ingin kehadiranku menghambat kata yang mungkin ingin dia sampaikan.Aku duduk di kursi tunggu, menajamkan pendengaran, siapa tahu tuan memanggil. Sekali-kali mata melirik pintu dengan hati resah.Setengah jam berlalu, tak jua kudengar suara tuan. Aku bangkit menghampiri pintu di mana daunnya dipasang kaca kecil memanjang ke bawah, dan tembus pandang ke dalam.Dapat kulihat dengan jelas aktivitas di dalam sana. Ada denyutan halus di hati ini. Tuan Roger menempelkan bibirnya di kening Nyonya Arsela, lalu menangis seraya meremas jemari lentik tanpa daya. Apa yang kusaksikan membawa kesadaran bahwa kehadiranku di antara mereka adalah kesalahan. Meski berseteru, sesungguhnya mereka saling cinta. ***Saat ini, aku berada di t
ROGER"Jangan pernah berkata begitu lagi. Aku tak suka. Kau tak perlu berkorban untuk hal yang bukan kewajibanmu menanggungnya."Emosiku sedikit tersulut dengan perkataan Safna. Solusi darinya tak memberi jalan keluar tepat. Yang ada menambah masalah di atas masalah. Apa dia pikir aku lelaki sejahat itu. Akan mudah melepasnya setelah kami melalui kisah berat bersama. Apalagi di rahimnya telah tumbuh Roger junior. Wanita ini mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Baginya satu kalimatku sudah cukup. Tak boleh ada bantahan. Ia takkan berani bicara lebih jauh. Cukup sekali, sudah mengerti harus bagaimana bersikap. Safna bukan Arsela yang akan menyerang jika dibantah. Ia cenderung patuh dan menerima apa saja perintahku. "Apa boleh sementara aku tinggal di rumah Abah sampai Mbak Arsela tenang."Kudekap tubuh itu tanpa peduli dengan tatapan orang-orang di sekitar taman. Aku tahu Safna tertekan meski ia berusaha tegar. Posisinya dilema kini. Rasa bersalah pasti menyergapnya melihat Arsela hampir
ROGERSilau cahaya putih menerpa kornea. Kelopak kututup kembali kala ada denyut cukup nyeri di kening.Ingin kupijit pangkal hidung untuk mengurangi nyeri yang menghebat, tetapi tak ada kekuatan tangan untuk sekedar terangkat beberapa inchi saja."Alhamdulillah, kamu sadar, Mas!"Sayup terdengar suara yang sangat kukenal. Selanjutnya samar ada wajah yang mendekat.Ada yang basah di pipiku. Terjatuh dari mata bulat itu. Meski berat, kucoba mengangkat dua sudut bibir.Lalu, tangisannya makin jelas di telingaku. Ia pun menempelkan wajah di dada ini.Perlahan, aku bisa beradaptasi dengan kondisi tubuh setelah koma dua minggu. Safna amat telaten merawatku. Ia akan cerewet pada suster yang menurutnya lambat memeriksa.Sambil menyuapi ia akan menceritakan tentang yang terjadi selama aku dan Arsela koma. Gerahamku saling menekan kala mendengar cerita bahwa si penyihir itu mau membunuh Arsela, ingin menghilangkan saksi atas keterlibatannya mungkin.Di tengah obrolan, Papi datang mengunjungi.