“Jadi wajahmu bonyok begini gara-gara salam olahraga dari Om Maja, Va?”Deva mengangguk pelan dan menyentuh ujung bibirnya yang masih terasa nyeri. Dali melihat sekilas ekspresi Kadeva dan kembali fokus menyetir. “Kamu udah ngaku semuanya?”“Iya.”“Gila! Berani juga kamu, Va.”“Apa aku harus terus-terusan nyembunyiin semuanya dari papa, Dal? Cepat atau lambat semua bakal terbuka. Dan aku enggak mau kalau Papa sampai tahu dari orang lain.”“Tahu dari siapa?”“Ya bisa aja dari kamu.”“Sialan! Kamu nuduh aku kang cepu?” Kadeva hanya mengembuskan napas sebagai respons. “Hari ini aku udah niat buat melebur semuanya, Dal. Aku mau belajar nge-ikhlasin Lisa buat Papa. Tapi timing-nya kurang pas. Papa mergokin kami yang lagi pelukan di dekat kolam renang. Padahal niatku enggak gitu. Lisa tiba-tiba aja pucat pas aku bilang dia harus mau speak up soal kasusnya itu. Aku udah berhasil ngumpulin bukti dan tinggal ngebujuk dia aja buat datang ke kantor polisi.”“Terus, terus?”“Ya terus Papa curi
Bu, Sekar kangen ....Gadis cantik berambut hitam legam itu mulai menggerakkan pena di atas kertas buku diary. Maafin Sekar yang belum bisa berkunjung ke makam Ibu lagi. Sekar ingin tetap dekat dengan pusaramu, Bu. Berkunjung tiap kali rindu sambil melantunkan surah Yasin dan tahlil sebagai pemenang kalbu, tapi ... ada panggilan lain yang harus Sekar penuhi, Bu. Angin berembus pelan dari jendela kamar yang Sekar buka. Belaian udara lembut seolah-olah menyentuh pipinya yang basah oleh air mata. Rasanya baru kemarin tangan lembut Ibu membelai rambutku, memberikan petuah-petuah yang kini terus bergema di hatiku. Aku kangen, Bu. Peran baru ini tak semudah yang Ibu sampaikan kala itu. Ibu selalu bilang, bahwa bakti seorang perempuan setelah menikah adalah kepada suaminya. Dakwah utama seorang istri adalah memuliakan suami. Kata-kata itu kini terasa lebih berat, karena aku harus berbakti pada suami, tapi tak dianggap selayaknya istri. Berat, Bu, berat. Apalagi aku harus meninggalkan pus
“Sialan! Benar-benar sialan!”Akhirnya Tatang Kurnia dan Suryo berhasil dibekuk oleh polisi di tempat yang berbeda. Keduanya tak ada perlawanan saat polisi menyampaikan surat penangkapan atas kasus Bu Rika dan juga Khalisa. Awalnya Tatang yakin saja jika dia bersikap kooperatif semuanya akan mudah. Toh, dia yakin seyakin-yakinnya jika Deva tak punya bukti kuat. Namun, sayang seribu sayang, Tatang dan Suryo menganga lebar saat rekaman suara keduanya kembali diperdengarkan. Pengakuan Tatang saat mengingatkan kejahatannya bersama Suryo. Tatang tak bisa berkutik. Entah siapa dalang di baliknya dan bagaimana semua bisa didapat dengan begitu mudah. “Satu masalah belum selesai, malah aku harus mendekam di sini! Aagrh!” Tatang meninju angin dengan kemarahan yang tertahan dari kemarin. “Siapa yang ngerekam omongan kita, ya, Bang?”“Ya mana aku tahu!”“Padahal kita ngomongnya juga bisik-bisik, kan?”“Udahlah! Enggak usah ngira-ngira terus. Pusing aku!” jawab Tatang dan mulai duduk lesehan d
“Mas?”“ Lisa? Kamu sudah bangun?”Khalisa tersenyum dan mulai menarik tubuhnya ke atas untuk sedikit bersandar. Atmaja sigap dan memencet tombol di samping bed, menyesuaikan tinggi yang istrinya inginkan. “ Sudah?”“Sudah, Mas. Terima kasih.”Atmaja tersenyum dan mulai duduk di sisi ranj@ng perawatan sang istri. “Mas, aku minta maaf. Aku dan Deva beneran udah selesai, Mas. Kita ... kita enggak ada apa-apa lagi.”Atmaja menghela napas panjang. Sejujurnya ia belum mau membahas hal ini. Selain kondisi Lisa yang harus ia utamakan, Atmaja juga merasa sudah ditipu. Entah, siapa yang menipu dan ditipu. Atau mungkin ia yang tak terlalu peduli dengan kisah asmara putra semata wayangnya? “Sayang, Mas cukup percaya denganmu, tapi ... Mas ragu dengan Deva. Dia itu mewarisi gen-ku. Apa yang dia mau akan dia kejar sampai dapat.”“Tapi aku tetap milih kamu, Mas. Walau misal kamu akan melepasku demi Deva, aku tak mau!”Ada getar di antara setiap kata yang terlontar. Bahkan mata itu terlihat nanar
“Jadi istri Om Maja itu seusia Mas Dali sama Mas Deva?” tanya Kanina antusias. Dali mengangguk sembari mengunyah potongan daging yang masuk ke mulutnya. “Kamu baru tahu?”Gadis cantik dengan outfit modis itu hanya mengangguk sembari memainkan sedotan dengan ujung jari. “Cuma tahu kalau istri baru Om Maja masih muda. Lagian Tante Lisa, kan, pakai cadar kalau ketemu banyak orang. Jadi aku belum pernah tahu semuda dan secantik apa Lisa Atmaja itu,” tuturnya panjang lebar. “Cantik. Dia cukup cantik.”“Mas Dali udah tahu?”Dali kembali mengangguk sembari menyeruput es selasihnya. “Tahu, soalnya Deva, kan ....” Kalimat Dalion menggantung. Hampir saja ia kelepasan berbicara kalau Lisa itu mantan kekasih dari anak tunggalnya Atmaja Gandhi. “Soalnya Mas Deva kenapa, Mas?” Kanina mengejar kalimat Dali yang tak diteruskan oleh sang pria. “Amm ... soalnya Deva sama aku, kan, cukup dekat. Aku beberapa kali juga tahu wajah istrinya Om Maja karena di dalam rumah dia enggak pakai cadar. Cuma,
Ruang perawatan Lisa masih terasa sesak oleh ketegangan yang tak terucap. Atmaja akhirnya duduk di sofa ruangan dengan ekspresi wajah keras, tatapan matanya lurus ke arah Deva yang juga duduk di samping Sekar. Sementara Lisa masih terus berbaring dengan posisi setengah menyandar di brankar yang sudah di-setting kenyamanannya. Ia menatap suaminya, Deva dan Sekar dengan rasa ingin tahu bercampur simpati. Suara detak jam dinding terasa semakin kencang di tengah keheningan yang menyesakkan.Di ruangan yang sama, dua pria tua dengan pakaian sederhana—Wak Tarom, penghulu, dan Wak Hasan, saksi pernikahan Deva dan Sekar—ikut duduk di sofa terpisah, menunggu percakapan yang tampaknya semakin memanas.“Jadi, kamu nikahin gadis ini ... karena apa?” Suara Atmaja akhirnya pecah, menatap Deva dengan mata yang menyala. “Aturan desa? Dengar, Nak! Kamu, Kadeva Raja Arkananta, anak yang Papa didik buat berpikir rasional, malah terjebak sama aturan yang bodoh begitu?”Deva mencoba tetap tenang, meski j
Sudah tiga hari semenjak perdebatan bersama papanya di ruang perawatan Lisa, Deva tak mau menghubungi Atmaja selain urusan pekerjaan. Sebagai anak satu-satunya, Deva tahu dan paham apa yang diinginkan sang papa. Setiap orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk buah hatinya. Namun, dari semua perlakuan Atmaja yang dingin tapi tetap peduli, Deva cukup sanksi dengan kemarahan papanya kala itu. “Apa Papa benar-benar tak merestui pernikahanku dengan Sekar?” bisiknya pelan pada diri sendiri. Deva mulai dilema. Walau awalnya ia pun hanya ingin membantu Sekar, tetapi perlahan cinta itu pun mulai datang. Terlebih saat puncak pertengkaran Deva dengan papanya terjadi, ia cukup stres sampai akhirnya Sekar menawarkan diri bak charging energi. Sekar telah menyerahkan diri layaknya seorang istri yang tak menolak saat dig@uli. Deva pun makin merasa terikat kala gadis itu sudah tak gadis karena ulahnya. Ya, tentu bukan ulah kenakalan anak muda yang dulu pernah Deva lakukan dengan Khalisa. T
“Jangan kira aku enggak tahu apa yang udah terjadi, Dali.”“Maksudnya?”“Tante Maya pengen kamu dekat sama Nina, kan?”Dali terdiam sejenak. “Sok tape lu!”“Mungkin kamu yang belum tahu kalau ibumu udah minta tolong sama aku buat dukung hubunganmu sama Nina.”“Apa?!”“Kamu kaget apa enggak denger, Dal?”“Kapan Mama hubungi kamu?”“Aku lupa tepatnya kapan. Tapi, kayaknya sebelum kalian makan malam di mall dan kita sempet ketemu di sana pas aku belanja sama Sekar.”Dalion terdiam. Ini seperti sedang main kucing-kucingan namanya. Atmaja pernah bercerita pada Dali kalau ia ingin menjodohkan Kadeva dengan Kanina. Ternyata mama dari Dalion sendiri malah meminta dukungan Deva agar teman baiknya itu dekat dengan Kanina. Muter-muter terus ini, mah. “Mungkin kamu bisa bohongi orang lain, Dali. Tapi enggak sama aku,” lanjut Deva. “Ayolah, Bro. Buka hati kamu. Jangan terus-terusan ngerasa bersalah sama kepergian Mutia.”Dalion terdiam sesaat. Menyelami pikiran dan perasaannya yang seperti tak ak
Hati Lisa seperti direm4s-r3mas mendengar ucapan Deva. “Bahkan aku masih berharap semua ini adalah mimpi buruk yang akan segera usai ketika aku terbangun dari tidur panjangku, Lisa. Maaf, kalau aku masih memintamu pada Tuhan secara diam-diam. Kamu adalah ketidakmungkinan yang masih aku semogakan. Kamu masih menjadi alasanku untuk bertahan, walau harapan itu sudah enggak bisa lagi aku genggam. Kamu ....” Deva menunduk dan semakin tergugu. Derasnya air mata Deva cukup menjelaskan betapa ia sudah berusaha mati-matian mengikhlaskan. Deva sudah berusaha melebur semua kenangan indah mereka dengan kehadiran cinta baru yang sudah terikat oleh komitmen yang sakral. Namun, takdir memang terkadang cukup kejam. Ia tak mentolerir segenap luka yang masih basah, dan kini kembali berdarah-darah. Hening menjeda beberapa saat. Khalisa bahkan hanya bisa bungkam dengan air mata yang terus berjatuhan. Di sana, di luar kaca, Sekar menangis di dada mertuanya. Atmaja dan menantunya ikut menyaksikan i
“Pak Atmaja, setelah meninjau kondisi Bu Khalisa selama tiga hari ini, saya dan tim dokter khawatir bayi dalam kandungan istri Anda akan lahir lebih cepat dari yang diperkirakan. Ini berarti ... bayi Anda mungkin akan lahir secara prematur.”Dunia Atmaja seperti akan runtuh mendengar penjelasan dokter. “P-prematur, Dok?”Dokter mengangguk lemah.“Seberapa serius kondisinya, Dok? Apa yang harus kami lakukan?”“Tidak perlu terlalu khawatir, Pak. Bayi prematur memang memiliki risiko tertentu, tapi dengan penanganan medis yang tepat, banyak bayi prematur yang tumbuh dengan sangat baik. Seperti yang sudah kami sampaikan di awal soal kemungkinan paling akhir, kami menyarankan agar Bu Khalisa dirujuk ke rumah sakit di Singapura, di mana mereka memiliki fasilitas perawatan intensif yang sangat baik untuk bayi prematur.”Atmaja terdiam beberapa saat dan mencoba tenang serta mencerna kalimat sang dokter dengan baik.
“Kami akan terus pantau ketat kondisi Bu Lisa hingga persalinan, Pak. Detak jantung janin sempat lemah karena sebelum kami berikan activated charcoal untuk menyerap racun, janin sudah sedikit terpapar.”Kadeva memejam, pun dengan Atmaja yang terus berusaha untuk tetap kuat. “Lalu gimana kondisi bayi saya, Dok?” Atmaja mengambil alih. “Tenang, Pak Atmaja. Bayi Anda hanya terpapar sedikit, Insya Allah masih bisa kami atasi. Tapi, kami pun harus menyampaikan kemungkinan paling akhir jika tiba-tiba kondisi Bu Lisa di luar prediksi kami.”“Dok, saya mohon ... lakukan yang terbaik untuk istri dan bayi kami. Berapa pun biayanya, kami siap.” Atmaja tampak memohon. “Itu sudah menjadi tugas utama kami, Pak. Dan opsi terakhir jika kondisi Bu Lisa menurun adalah, istri Bapak akan kami rujuk ke Mount Elizabeth Hospitals.”“Singapura?” ucap Atmaja dan Deva bersamaan. “Betul, Pak.”“
Deva tak henti menangis walau Khalisa sudah mendapat tindakan di ruang IGD. Ia kembali membodoh-bodohi dirinya sendiri yang malah mengangkat telepon lebih dulu daripada mendekati Khalisa dan menjauhkan minuman beracun itu dari sisi sang mama sambung. Harusnya Deva segera membawa Lisa pergi ke rumah sakit sebelum wanita hamil itu pingsan daripada berdebat lebih dulu dengan Rukmi. Melihat Khalisa menjadi istri papanya memang sakit, tetapi melihat wanita yang tengah hamil itu sempat membiru dan pingsan membuat Deva merasa semakin sulit untuk bangkit. Ia tak mau kehilangan Khalisa walau hati dan raga sang mantan kekasih bukan lagi miliknya. Ya, Khalisa sudah menjadi mama sambungnya, istri dari pria yang Deva panggil Papa. “Harusnya aku duluin kamu, kan, Lis? Kenapa aku malah mengulur durasi sampai kamu akhirnya begini?” bisik Deva dengan pandangan menunduk. Atmaja baru datang bersama Bahrul. Deva mengangkat kepalanya dan kembali menunduk, men
“Mas, aku lapar ...,” rengek Khalisa setelah keluar dari gerai toko perlengkapan bayi. Atmaja tersenyum. Istrinya memang mengalami perubahan pola makan. Ia jadi sering lapar di jam-jam yang belum waktunya. Namun, Atmaja tak mempermasalahkan itu. Karena baginya, ibu dan calon anak yang dikandung Khalisa harus sehat dan tercukupi segala nutrisinya. “Hayuk! Anak Papa mau makan apa, hm?” Tangan kanan Atmaja mengelus perut istrinya dengan sayang. “Mau seafood, Mas. Pengen kepiting jumbo asam manis.”“ACC, Sayang ....”Khalisa tersenyum cantik dan mulai bergelayut manja di salah satu lengan Atmaja. Bahrul yang juga ikut mengawal sang majikan dan istrinya sibuk membawa belanjaan untuk ditaruh lebih dulu ke dalam mobil. Keduanya melangkah layaknya anak muda yang sedang kasmaran. Hanya berpindah satu lantai ke atas, restoran yang menawarkan aneka makanan laut sudah ditemukan. Khalisa semringah sambil meng
Khalisa memandangi etalase toko perlengkapan bayi dengan senyum di wajahnya. Tangannya mengelus lembut perut buncitnya yang berusia tujuh bulan lebih. Di sebelahnya, Atmaja sibuk memilih pakaian bayi berwarna netral, walau jenis kelamin bayi mereka sudah diketahui. Segala kemungkinan bisa saja terjadi nanti. "Sayang, kamu suka yang ini, enggak?" tanya Atmaja, mengangkat sepasang sepatu bayi mungil dengan corak bintang-bintang. Khalisa tersenyum dan mengangguk. "Suka, Mas. Imut banget," jawabnya. Tatapan matanya berbinar, penuh harapan dan kebahagiaan yang sederhana.Tak hanya Khalisa yang begitu excited berbelanja kebutuhan bayinya, Atmaja pun sama. Jika Khalisa terlihat begitu semangat dan antusias karena ini hal baru dan pertama baginya, berbeda dengan Atmaja yang begitu semangat karena ia mulai merasa jatuh cinta pada bayinya nanti. Bayi perempuan. Ah, Atmaja jadi tak sabar ingin segera bertemu dengan gadis kecilnya itu.
“Papa serius, Pa?""Apa pria tampan di depanmu ini pernah main-main, Boy?”Deva tersenyum lebar. Ia langsung berdiri ingin memeluk sang papa. Atmaja pun ikut berdiri hingga keduanya berpelukan erat. “Makasih, Pa. Makasih. Sekar pasti seneng denger berita ini.”Atmaja merasakan ketulusan dari ucapan putranya. Namun, ia juga agak ragu apakah Deva benar-benar sudah melupakan Khalisa sebagai kekasihnya. Keputusan Atmaja merestui pernikahan Deva dengan Sekar juga tak begitu saja ia berikan. Atmaja sudah berpikir berulang kali hingga ia melihat sendiri bagaimana gadis kecil itu berinteraksi dengan para tamunya saat acara tujuh bulanan Lisa. Deva yang memperkenalkan Sekar sebagai calon istri membuat beberapa kolega Atmaja terkejut. Tentu tak hanya kabar yang terbilang dadakan, tetapi karena banyak rekan bisnis Atmaja yang diam-diam ingin menjadikan Kadeva sebagai menantunya. Bibit, bebet, dan bobot Deva
Deva melangkah meninggalkan ruang tengah mansion yang sedang disulap menjadi singgasana sang papa dan mama sambungnya. Singgasana kebahagiaan dalam acara sakral sebagai wujud rasa syukur sebelum anak dalam kandungan Khalisa akan lahir dua bulan lagi. Deva duduk menyandar di salah satu tiang gazebo dekat kolam renang. Bayang-bayang masa lalu kembali menghantam pikirannya, seperti ombak yang menghantam karang tanpa henti. Meski ia berusaha kuat dan tampak tak tergoyahkan dari luar, sesungguhnya Deva sedang terombang-ambing dalam lautan kenangan yang tak kunjung memudar.Wanita yang dulu pernah menjadi pusat dunianya, kini telah menjadi milik orang lain. Orang yang begitu Deva banggakan, ialah Atmaja Gandhi, papa kandungan sendiri. Dan setiap kali Deva mencoba mengikhlaskan, kenangan tentangnya bersama Khalisa justru semakin menyesakkan. “Aku udah nyoba, Lis,” bisiknya pelan. “Berkali-kali aku nyoba nge-ikhlasin kamu buat Papa. Ngeyakinin diriku sendiri kalau semua tentang kita udah se
“Sayang?”Sekar menoleh ke samping. Deva tersenyum sangat tampan dengan balutan tuksedo yang pas membalut tubuh indahnya. “Rileks, dong. Jangan tegang begitu.”Senyum cantik Sekar sedikit mengembang. Keduanya sedang berada di dalam mobil hendak menuju tempat acara di mana perhelatan akbar tujuh bulanan kandungan Khalisa akan digelar. Tentu bukan tempat asing bagi Kadeva, karena itu adalah rumah papanya sendiri. Namun, bagi Sekar yang baru akan menginjakkan kakinya di sana, ini menjadi hal yang cukup mendebarkan. Melihat ketegangan yang belum berangsur sepenuhnya dari wajah cantik yang sudah dipoles oleh MUA itu, Deva segera menarik lembut sebelah tangan istrinya yang kuku-kukunya cukup cantik dengan sentuhan nail art. “Papa sendiri yang ngundang kita, Sayang. Insya Allah Papa udah bisa nerima kamu.”Sekar tersenyum. Usaha suaminya untuk membuat ia pantas dan layak menjadi menantu Atmaja Gandhi jug