“Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku adalah ayah kamu?”
Pak Dahlan terlihat begitu ingin tahu.
Untuk sesaat aku merasa terkukung dalam drama ayah dan anak itu yang sekarang terlihat saling menatap lekat.
Situasi ini masih saja tak aku mengerti sepenuhnya.
Saat aku melirik ke arah Pak Ragil, aku malah teringat tentang apa yang pernah dikatakannya tentang rahasia yang belum diketahui oleh Mas Bara. Sepertinya inilah rahasia itu kalau ternyata Pak Dahlan adalah ayah kandung dari suamiku.
“Tentu saja aku tahu karena ini adalah alasanku untuk meninggalkan semuanya dulu dan menerima pekerjaan dari Papa untuk ikut terlibat dalam proyek yang Papa gagas di desa Bandar.”
Mas Bara mulai mengungkapkan alasannya dulu saat berada di desa asalku hingga takdir mempertemukan kami sampai kemudian menikah.
Tapi yang membuatku bertanya
“Rin, katakan kamu pilih yang mana?”Pertanyaannya begitu menyudutkan aku, malah menarikku dalam kegamangan yang akut.Tapi sebelum aku mengambil keputusan apapun mendadak Mas Bara menarik tanganku dengan tegas.“Tak ada gunanya kita bertahan di sini.”Mas Bara kembali menunjukkan dominasinya padaku.Aku yang selalu meragu tak pernah bisa untuk menampik dirinya.“Maaf Pa, aku harus mengajak istriku pergi dari hadapan pria yang tak tahu diri seperti dia.”Pak Dahlan hanya bisa mengangguk, saat Mas Bara mulai merangkul pinggangku dengan posesif, mengabaikan segala tantangan Pak Ragil juga tekanan dosenku yang terlihat sangat jelas ingin merebutku dari kuasa Mas Bara.Tapi saat Mas Bara mengajakku pergi, Pak Ragil hanya bisa diam terpekur.Aku menoleh dan melirikny
Aku tak bisa membantah saat Mas Bara mengarahkan mobilnya untuk kembali ke rumah.Wajahnya kembali terlihat tenang setelah tadi aku sempat melihatnya begitu emosional terlebih saat dia berusaha untuk meyakinkan aku lagi agar tetap bertahan di sisinya.Tapi sesampainya di rumah aku malah dikagetkan dengan kedatangan keluargaku, yang benar-benar sangat di luar dugaan.Selama ini Mas Bara tak pernah mengijinkan aku untuk pulang kampung bahkan di saat lebaran sekalipun. Sementara suamiku yang tak pernah bisa aku mengerti itu juga tak menginginkan baik Mbak Murni maupun Ibuku untuk datang berkunjung ke rumah kami, meski dia masih memperbolehkan aku untuk menghubungi mereka lewat telepon.“Ibu, Mbak Murni!”Aku berseru bahagia saat melihat sosok mereka berada di rumahku.Aku langsung menghambur ke dalam pelukan mereka bergantian untuk melepas rindu yang
“Katakan padaku apa yang membuatmu ragu?”Mas Bara menghentikan ciumannya demi bisa memandang ekspresi wajahku saat ini yang menyiratkan kegamangan.Aku membalas tatapannya untuk beberapa saat.“Aku tidak suka kalau kamu terus meragukan aku Rin, katakan saja apa yang membuat kamu meragukan aku.”Aku ingin mengatakan, ‘banyak yang membuatku meragukanmu Mas,’ namun kalimat itu tertahan di kerongkongan.Aku selalu tak mampu untuk mendesaknya. Sejak awal aku selalu berada di bawah dominasinya sesuatu yang kadang membuatku ingin berontak.Tapi desakan Mas Bara dengan tatapannya yang mulai melembut perlahan mulai memberikan aku sebuah keberanian untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan saat ini.“Apa kamu yakin untuk menikahiku secara resmi?”“Kamu selalu tak pernah mau
Mas Bara tersenyum tenang saat mendengar pertanyaanku.“Tentu saja aku harus mengurusi beberapa bisnisku.”Mas Bara menjawab dengan sedikit tegas.Tapi aku tetap memandangnya penuh selidik.“Apa Mas akan ke Jakarta?”Mas Bara tak menjawabku. Dia malah bangkit dari duduknya setelah menyelesaikan sarapannya.Sejenak aku hanya mengikutinya dengan ekor mataku, tapi ibu malah langsung memperingatkan aku.“Rin, cepat ikuti suami kamu, bantu dia menyiapkan semua keperluannya.”Aku langsung mengangguk langsung mengikuti langkah suamiku yang sekarang sudah mulai menaiki anak-anak tangga dan pastinya akan menuju kamar kami untuk mulai bersiap sebelum berangkat pergi lagi.Saat aku masuk ke dalam kamar, terlihat Mas Bara sudah mulai melepaskan pakaiannya.
Aku langsung menoleh dan mendapati ibu beserta Mbak Murni juga Laras dan kedua keponakanku sudah menungguku sejak tadi.Mereka sepertinya sudah tidak sabar untuk aku ajak berkeliling kota Surabaya.Aku segera mendekati mereka yang sekarang sudah bersiap untuk masuk ke dalam mobil lain yang memang sudah diperintahkan Mas Bara untuk disiapkan buat keluargaku.Aku memutuskan untuk mengajak mereka mengunjungi sebuah mall terbesar di kota ini. Bisa dipastikan mereka semua terperangah penuh ketakjuban karena memang ini untuk pertama kalinya keluargaku mengunjungi tempat semewah ini.Aku membawa mereka masuk ke sebuah gerai pakaian dengan merek ternama. Saat aku meminta mereka untuk memilih apapun yang mereka inginkan, mereka menjadi begitu. Sebuah ekspresi yang sama yang dulu pernah aku tunjukkan saat melihat harga yang dibandrol untuk pakaian-pakaian itu yang ternyata sangat tak masuk akal.
Aku langsung melangkah pasti menuju sebuah bangku di pinggir sungai di mana tampak seseorang sudah menungguku.Setelah menerima panggilan darinya tanpa berpikir ulang aku langsung menyanggupi keinginannya agar kami bisa bertemu.“Sudah lama menunggu Pak?” tanyaku pada sosok pria berkacamata itu yang kini sudah menoleh ke arahku setelah sejak tadi dia terlihat memandang lurus pada aliran kali yang terlalu tenang di depannya.“Kamu membawa buku-buku yang pernah kamu pinjam dulu?” tanya Pak Ragil yang seketika membuatku resah.Aku tak sempat memberikan penjelasan lewat telepon mengenai buku-bukunya yang kini telah menjadi abu setelah dibakar oleh Mas Bara yang terbawa amarah karena melihat kedekatanku bersama dosenku sendiri itu, sekarang menjadi semakin gelisah.“Apa telah terjadi sesuatu?” tanya Pak Ragil kala melihat gurat kegusaran di wajahku.
Aku sama sekali tak menyangka kalau Pak Ragil bisa memberikan penawaran yang begitu lugas seperti itu. Dia menginginkan agar aku pergi bersamanya dan meninggalkan Mas Bara yang sudah begitu banyak membohongiku.Meski aku masih tak sepenuhnya yakin tapi aku tetap menolak tawaran itu. Dengan berat hati aku mengatakan keinginanku untuk tetap bertahan bersama Mas Bara.Jelas keputusanku ini mengecewakan Pak Ragil. Meski dia tak mengatakannya secara lugas tapi aku bisa merasakan kalau dia berharap sangat besar untuk bisa bersamaku.Hatiku kian pekat dikukung keresahan bahkan sampai akhirnya aku memutuskan pulang dari pemukiman kumuh itu yang selama ini menjadi tempat kami melakukan kegiatan sosial.Untuk beberapa lama aku memutuskan untuk mengurung diri di dalam kamar. Aku ingin menghilangkan segala pikiran buruk di dalam diriku saat ini.Di saat aku sendiri seperti ini selalu saja ke
Dania dan Neneng kompak menggeleng saat aku bertanya pada mereka.Keadaan ini benar-benar terasa aneh, tapi aku sungguh tak bisa menyimpulkan apapun saat ini atas keputusan Pak Ragil yang mendadak mengundurkan diri padahal dua hari lalu dia sempat menyatakan perasaannya padaku dan memberi tawaran agar aku pergi bersamanya.Di tengah keresahan yang melandaku saat ini sejurus kemudian aku melihat sekerumunan orang yang berhamburan mendekat saat aku dan Dania juga Neneng baru saja melangkah di area parkir.Bersamaan dengan itu aku melihat juga beberapa mahasiswa yang masih berada di dalam kampus sebagian melongok ke depan memandang sepenuhnya padaku.Aku menjadi keheranan begitu juga Dania dan Neneng.Sampai akhirnya kumpulan orang itu mendekat dan memberondongku dengan begitu banyak pertanyaan.Tak pernah aku sangka kalau kumpulan orang-orang itu adalah para wa
“Diam, atau aku akan menembakmu seperti yang sudah aku lakukan pada Richard!” Aku terperangah saat mendengar pengakuan lelaki berwajah oriental itu. Pengakuannya jelas sangat mengagetkan aku. “Jadi kamu yang sudah menembak suamiku?!” sergahku tandas. Raymond malah tersenyum sarkas menanggapi. “Dia sendiri yang sudah memaksaku melakukan semua ini karena dia terlalu serakah,” tukas Raymond sengit. “Kamu gila!” Aku kembali memakinya dengan suara yang semakin kuat. “Tolong, tolong ....” Aku mulai berteriak ketika Raymond semakin kewalahan dan tak mampu lagi menutup mulutku. Pergerakan di pintu itu semakin intens bersamaan aku mendengar suara gebrakan yang sangat kuat beberapa kali. Raymond yang sedang menggila ini sudah menutup pintu dari dalam hingga sulit untuk dibuka. Pastinya orang-orang di luar ruangan sedang berusaha untuk mendobrak pintu itu. Sementara aku sendiri masih berjuang untuk membebaskan diri dari sergapan Raymond. Tapi beberapa detik kemudian kami malah dikejut
Aku menjadi terlalu kaget mendapati kedatangan Raymond yang sangat tak terduga.Tapi aku malah tak kuasa untuk menghalaunya yang membuat sosok itu terus mendekat dengan penuh rasa percaya diri.“Aku tak menyangka kalau dia mampu bertahan sampai sejauh ini setelah apa yang sudah dia alami,” ungkap lelaki itu sembari mengarahkan pandangannya pada Mas Bara yang sekarang hanya bisa terbaring tanpa kesadaran di atas brankar.Gelisah mulai menerjangku ketika aku mulai melihat tatapan adik dari suamiku yang kini malah memindaiku dengan sangat intens.Aku segera bangkit dan memasang sikap waspada.Setelah kemarin aku melihat sikap Raymond yang tampak berbeda begitu rapuh dan sedih tapi sekarang dia kembali menjadi sosoknya yang dulu, yang terasa licik menakutkan.“Bagaimana kamu bisa masuk ke dalam ruangan ini?”Selama ini mami melarang orang lain masuk menemui Mas Bara. Tak sembarangan orang boleh menemani Mas Bara. Hanya aku, oma dan mami yang memiliki akses untuk bisa memasuki ruangan. Kar
“Sekarang katakan saja apa kamu yang sudah membuat Richard seperti ini?” Abe malah melontarkan tuduhannya dengan terlalu lugas.Aku tak pernah menyangka jika sahabat terdekat suamiku itu akan mengungkapkan tuduhannya dengan sangat lugas pada Lina yang sebelumnya sempat kami bicarakan dan kami curigai.Lina membeliakkan mata, mengunggah kekagetannya yang terlalu ketara.Sejenak aku tak bisa mengartikan tentang ekspresi kekagetannya yang seperti itu.“Apa kamu yang sudah menembak Richard?”Abe kian menegaskan tuduhannya.Lina malah menanggapi dengan tenang hingga kemudian malah mencebik sarkas.“Jadi kalian sekarang mencurigaiku?”Aku dan Abe tak menjawab meski masih saja memberikan tatapan yang sangat lugas pada wanita yang sering mengunggah ekspresi sinisnya itu.“Aku merasa tak perlu untuk memberikan penjelasan apapun pada kalian,” pungkas wanita itu sembari langsung bangkit dari duduknya.Tapi sebelum melangkah wanita itu melemparkan pandangannya pada Abe yang sedang mengikuti perg
“Apa yang sedang kalian bicarakan?” Segera aku menoleh ke ambang pintu dan menjadi sangat kaget ketika melihat sosok yang sedang kami bicarakan telah berdiri di sana dengan memberikan tatapan yang terlalu tajam.Sempat aku merasa kalau dia sempat mendengar pembicaraanku bersama Abe tadi, yang kemudian menelusupkan rasa gelisah di dalam dada.“Kalian berdua terlihat terlalu dekat, dan aku yakin jika Richard melihat kedekatan kalian, dia tidak akan bisa menerima ini,” sindir wanita berbaju merah itu sangat sarkas.Dengan tatapan yang sama tajamnya aku mulai menentang sorot matanya. Enggan menampakkan ketundukan atas sikapnya yang selalu saja mengintimidasi.Sejak dulu Lina selalu mengunggah keangkuhannya terutama di hadapanku yang pastinya dia anggap sebagai saingan terbesarnya karena nyatanya memang hanya aku yang bisa mendapatkan hati Mas Bara sepenuhnya, sesuatu yang kini membawa kesadaranku kembali atas apa yang sudah aku dapatkan selama ini. Nyatanya memang tak ada yang paling ber
“Katakan padaku apa yang kamu ketahui tentang suamiku?”Aku segera mencecarnya dengan tak sabar, karena saat ini sekecil apapun informasi yang beredar sangat aku butuhkan karena aku benar-benar ingin menguak tabir misteri tentang penembakan suamiku yang sampai saat ini belum juga terungkap.Abe tampak memindaiku lebih lekat dan aku dengan tegas menentangnya tanpa keraguan.Lelaki bermata tajam itu kemudian menarik nafasnya sejenak sembari menautkan kedua tangannya di depan wajahnya yang lumayan good looking itu.“Sebenarnya sehari sebelum hari naas itu, aku dan Richard sempat bertemu di ruangan ini. Kami membicarakan banyak hal, terutama tentang dirimu dan segala penyesalannya.”Abe sengaja menghentikan kalimatnya kian intens memindaiku seakan ingin menebak apa yang ada di dalam pikiranku saat ini.Tapi aku memutuskan untuk membisu menunggunya melan
Sudah nyaris sebulan Mas Bara terbaring koma. Selama itu aku bertahan untuk tetap mendampingi walau keadaanku masih sering diserang mual dan rasa tak nyaman di perut.Tak ada alasan bagiku untuk menyerah karena saat ini prioritas utamaku tetap Mas Bara yang selalu aku yakini tetap bisa mendengar setiap kata yang aku ucapkan di telinganya.Bahkan setiap kali aku datang aku selalu membacakan ayat-ayat Ilahi, sebelum aku mulai mengajaknya mengobrol.“Mas, hari ini aku bawakan lavender, aromanya harum sekali. Kamu bisa menciumnya kan Mas?” tanyaku sembari mendekatkan bunga yang aku bawa di hidungnya.Aku selalu yakin jika Mas Bara selalu bisa merasakan apapun yang aku lakukan walau dia tak memberikan respon apapun. Bahkan tidak dengan kedipan mata, karena mata itu selalu terkatup rapat.Saat melihatnya tetap diam dan beku, hati ini mulai dirasuki kesedihan yang kian pekat
Rasa tidak nyaman kian menyerangku membuat sekujur tubuhku seakan melemah. Tapi saat ini aku memaksa untuk tetap tegar demi aku bisa memastikan bagaimana keadaan Mas Bara. Gelisah yang menyergapku memaksaku untuk bertahan dan tetap kuat meski sejak tadi rasa mual semakin menekan di dalam perutku.Bahkan ketika aku sampai di Jakarta, beberapa kali aku sudah memuntahkan isi perutku saat berada di dalam pesawat.Oma dan mami sempat menganggap apa yang aku rasakan hanya sekedar mabuk kendaraan.Tapi sesuatu di dalam diriku semakin tak bisa menampik praduga ini. Dengan pengalaman yang sempat aku dapatkan ketika mengandung Raka dan Raya, aku mulai bisa menegaskan pada diriku sendiri jika sekarang aku memang sedang berbadan dua.K
“Sesuatu telah terjadi pada Richard!”Ketika oma memekikkan nama suamiku segera aku mendekat dengan hati yang sudah diselimuti kabut kecemasan.“Ada apa dengan Mas Bara, Oma?” tanyaku menjadi kian khawatir.Sementara mami malah menatapku dengan gamang dan mulai menghampiriku untuk bisa memelukku dengan lembut.“Kita harus kembali ke Jakarta hari ini juga Rin.”Mami berucap dengan sangat sungguh-sungguh.Hatiku menjadi kian kuat memendam praduga yang buruk. Aku merasa sangat yakin jika sesuatu telah terjadi pada suamiku saat ini.“Katakan padaku, apa yang sudah terjadi Mi?” desakku semakin gelisah.“Richard membutuhkan kamu,” balas mami masih dengan mengunggah gurat kecemasan di wajahnya.Aku mengernyit penuh kecemasan.
Setiap orang bisa menganyam harapan tapi Tuhan yang akan menentukan segalanya. Walau berbagai macam cara telah diusahakan nyatanya, kehendak Tuhan yang tetap berlaku. Takdir telah menggariskan bahwa saat ini adalah perpisahan kami.Hatiku terus memendam rasa kehilangan yang bahkan membuatku terus menangis kala melepas jenazah ibu di pemakaman. Kini jasad yang sosok yang sangat aku sayangi itu telah berbaring di sisi makam bapak. Mereka akhirnya bersama lagi yang membuatku menghadirkan kembali segala kenangan kebersamaan keluarga kami dulu di permukaan ingatan.Tangisku semakin kuat nyaris menyedot segala ketegaran meski oma dan mami mendampingi untuk menguatkan. Sampai akhirnya semua saudaraku ikut mendekat dan kami mulai saling berangkulan berusaha untuk saling menularkan ketegaran.Bahkan Laras telah kembali dari Australia mengejar penerbangan pertama demi bisa ikut mengantarkan ibu menuju peristira