Enam bulan kemudianCampbell CorporationSaat itu Henry sedang memimpin rapat direksi para petinggi perusahaan. Di tengah-tengah rapat sudah beberapa kali ponselnya bergetar, namun Henry tak sempat untuk mengangkatnya. Hingga setelah di akhir rapat asistennya yang bernama Mark masuk ke dalam ruang rapat dan memberitahu pada CEO Campbell Corporation itu dengan berbisik di telinganya.“Maaf, Mr. Campbell, ini keadaan darurat, Nyonya Angelina baru saja mengalami kontraksi. Saat ini beliau sudah ada di Len Romax Hospital,” bisik Mark membuat kedua netra Henry membelalak lebar seketika.“Apa?!” Saat itu juga pandangan mata orang-orang yang hadir di ruangan rapat langsung tertuju pada Henry. Bisik-bisik mulai terdengar di antara mereka, tak menunda waktu lagi dan tak memperdulikan hal itu Henry lebih memilih mengakhiri rapat dengan cepat dan langsung bergegas menuju ke rumah sakit di mana Angelina ada di sana.Untuk mengejar waktu Henry lebih memilih mengendarai mobilnya sendiri menuju ke
“Axel...” Lirihku.Bibirku tanpa sadar menyebut namanya saat aku baru saja terbangun setelah melahirkan dalam proses normal. Kenapa saat aku melahirkan tadi aku merasakan kehadiran Axel bersama denganku? Entahlah, mungkinkah itu hanya perasaanku saja? Karena rasa rindu yang melingkupi dada?Tidak apa, aku selalu berusaha memberikan semangat untuk diriku sendiri selama ini. Kehilangan suami memang telah membuatku rapuh, namun juga membuatku kuat.Tak berapa lama seseorang masuk ke dalam ruang perawatan. Seseorang yang aku kenal. Mantan suami sekaligus adik iparku sendiri, Henry Bastian Campbell.“Henry, di mana anakku?”“Syukurlah, kau sudah sadar, Angelina. Selamat, bayimu laki-laki, dia lahir dalam keadaan sehat dan selamat.” Henry memberitahu menyunggingkan senyumnya padaku.“Benarkah? Lalu, sekarang di mana anakku, Henry. Aku ingin melihatnya,” tanyaku. Rasanya aku tak sabar ingin melihat putraku.“Putramu masih berada di ruangan bayi. Sebentar lagi perawat akan membawanya ke sini,
Hari berlalu begitu saja, setelah beberapa minggu aku melahirkan putra keduaku Damian Campbell, kini hari-hariku disibukkan mengurus dua putraku, Andrew dan Damian. Andrew begitu senang mendapatkan adik baru. Setidaknya sekarang hari-hari kami tidak pernah merasa kesepian lagi sejak Damian ada di antara kami. Sungguh ini adalah anugerah yang paling luar biasa yang diberikan Tuhan untukku. Di saat aku merasa kehilangan, ada kelahiran baru sebagai pengobat rindu. Axel, seandainya kau masih ada di antara kami, tentu kebahagiaan kami sekarang terasa utuh. Tetapi tidak mengapa, aku percaya kau sudah tenang di sana. Meskipun kau sudah tiada, namun kau akan tetap selalu ada bersama kami, itu yang aku yakini.“Angelina?” panggil Henry menyentakkanku dari lamunan.“Ya? Kau sudah lama pulang?” Henry menghampiriku yang baru saja menyusui Damian.“Baru saja. Damian sudah tidur?” Tanyanya mengalihkan pandangannya pada si mungil Damian dalam box bayi di sampingku.“Ya, aku baru saja menyusuinya. An
Henry terdiam, ia tak bereaksi apa pun. Dengan setengah tubuh yang masih di dalam air Henry melihat Andrew yang duduk di pinggiran kolam dengan jarak beberapa meter dari kami sekarang. Tatapannya teduh dan penuh makna, ada gurat keraguan serta kesedihan di dalam ekspresi wajahnya.“Apa yang akan aku katakan pada, Andrew? Aku hanya takut setelah tahu fakta itu, putraku justru akan membenciku,” ujar Henry lirih. “Jika kau dan aku terus ragu, lalu akan sampai kapan kita akan menyimpan fakta ini pada Andrew? Semakin lama kita menyimpannya, aku justru takut Andrew akan kecewa pada kita,” bujukku.“Aku tahu. Kau benar, Angelina. Aku akan mencoba bicara pada putraku sendiri.” Henry kini mengalihkan pandangannya padaku dan berkata, “Terima kasih atas dukunganmu, Angelina. Tanpa dukunganmu, aku tak tahu kapan keberanian itu akan ada dalam diriku.” Tuturnya seraya tersenyum tipis.“Sudah seharusnya aku melakukannya, Henry. Setelah ini, kita harus mencoba bicara pada Andrew,” balasku.“Mom! Pama
“Benarkah itu, Paman Henry?! Kau akan mengajakku liburan besok??” Andrew berseru senang saat Henry mengatakan keinginannya untuk mengajak liburan bersama.“Tentu saja benar, besok weekend sampai dua hari ke depan Paman akan menggosongkan jadwal agar kita bisa berlibur ke tempat mana pun yang kau inginkan,” Henry berkata.“Wow! Luar biasa! Aku sangat senang! Apakah Mom dan baby Damian boleh ikut serta, Paman?” Andrew memastikan.“Itu sudah pasti, Andrew.” Henry tersenyum semringah dengan mengalihkan pandangannya menatapku yang memperhatikan mereka dari balik ruangan. “Paman Henry memang yang terbaik!!” puji Andrew penuh semangat. Melihat Andrew yang begitu antusias dengan acara liburan kami kali ini, tentu membuatku ikut merasa bahagia. Seperti yang direncanakan Henry kami berempat pun berlibur bersama di Orlando, Florida. Henry menyewa resort mewah untuk kami menginap di sana selama dua malam. Tentu dengan dua kamar. Aku bersama dengan Damian dan seorang pengasuh bayi yang aku perc
Orlando, FloridaSeorang bocah laki-laki berusia enam tahunan tampak berlari keluar dari sebuah resort hotel, sedangkan di belakangnya berlari seorang pria dewasa menyusulnya.“Andrew! Tunggu!” panggil pria yang tak lain adalah Henry Bastian Campbell itu.“Tidak! Aku benci Paman! Aku benci Mom! Aku benci semua orang!” Andrew berseru keras dengan suara serak.Dengan langkah panjangnya Henry akhirnya bisa menyusul Andrew. Henry menggapai tubuh mungil itu dalam dekapannya.“Maafkan aku, Andrew. Maafkan Mommy’mu juga. Kami tak bermaksud membohongimu, Sayang.” Henry memeluk tubuh yang terus berontak dan menangis itu dalam dekapannya.Tak Henry pedulikan tangan mungil yang terus memukulinya, Henry tetap memeluk tubuh kecil Andrew dan terus mencoba menenangkannya.“Kau boleh memukulku sepuas hatimu, Andrew. Aku memang pantas menerimanya. Aku adalah ayah yang buruk, ayah yang tak bertanggung jawab padamu.” Henry berkata menatap Andrew dengan kedua netra berkaca-kaca.“Kenapa kau begitu jahat
Satu tahun kemudianDi sebuah pusat perbelanjaan aku mengajak dua putraku untuk keluar hari itu. Setelah puas melihat-lihat dan berbelanja kini kami sengaja beristirahat dan makan siang.“Apa kau juga mau es krim seperti Kakakmu, Damian sayang?” tanyaku pada si kecil Damian yang kini sudah berumur satu tahun lebih. Kulihat senyuman lebar di wajah tampan menggemaskannya itu mengangguk.“Okay, baiklah. Mom akan memesankannya satu juga untukmu.” Aku menyentuh gemas wajah Damian yang bersemu merah.Aku mengamati dua putraku yang kini sudah beranjak dewasa tengah menikmati es krim dengan begitu penuh sukacita, hingga tanpa sadar aku menarik bibirku membentuk seulas senyuman penuh rasa syukur dan bahagia melihat dua putraku kini tumbuh sehat bersama. Tak terasa sudah lebih dari satu tahun sejak Axel meninggal, aku masih bertahan dengan statusku yang sekarang. Walaupun begitu Henry tetap selalu membantuku dalam mengurus Andrew dan Damian. Aku kini memang tinggal di mansion utama Campbell ber
“Angelina, Angelina, sadarlah.” Sayup-sayup aku dengar suara yang familier memanggil namaku.Perlahan aku mulai membuka mata, dan sosok itu masih terlihat samar. Dalam keadaan belum sepenuhnya sadar aku mulai mengingat apa yang terakhir kalinya terjadi. Seseorang yang mirip seperti Axel menyelamatkan kedua putraku dari komplotan penculik.“Henry?” Aku mengerjapkan mataku melihat ternyata Henry sudah ada tepat di hadapanku. Dan kini aku sudah berada di kamarku sendiri, mansion utama Campbell.“Syukurlah kau akhirnya sudah sadar,” tutur Henry tersenyum lega.“Apa yang terjadi, Henry? Di mana Andrew dan Damian? Di mana mereka?” selidikku merasa cemas.“Mereka baik-baik saja, Angelina.”“Axel, Axel! Aku melihat Axel, Henry! Dia ada bersama kami, menyelamatkan anak-anak!” pekikku. Melihat sekeliling, mencari sesuatu yang aku yakini aku lihat terakhir kalinya sebelum aku jatuh pingsan.“Tenanglah, Angelina. Tenangkan dirimu dulu, okay?” Henry berusaha menenangkanku.“Tidak! Kau pasti tahu s
Siang itu aku dalam perjalanan menuju ke sekolah Andrew, setelah wali kelasnya, Mrs. Nancy Brown menghubungiku beberapa jam yang lalu dan memberitahuku jika Andrew terlibat masalah dengan sesama teman di sekolahnya. Apa yang terjadi di sekolah, aku belum terlalu jelas mengetahuinya, Hanya saja sebagai ibu, hal itu tetap saja membuatku sedikit merasa panik. Andrew adalah anak yang tak pernah membuat masalah, dia cenderung penurut dan bukanlah anak yang hiperaktif, lalu masalah apa yang ditimbulkan Andrew hingga ia bisa terlibat masalah dengan teman di sekolahnya. Tak ada penjelasan secara rinci, Mrs. Nancy Brown hanya memintaku untuk datang ke sekolah untuk bertemu dengan wali murid dari teman yang bermasalah dengan Andrew. Setelah sampai di sekolah Andrew, aku langsung berjalan menuju ke ruangan guru di sekolah dasar favorit tempat Andrew menempuh pendidikan di sini. Namun, belum sampai di tempat yang dituju di koridor sekolah aku berpapasan dengan seseorang, tepatnya seorang guru lak
Empat hari telah berlalu sejak aku mendapatkan kiriman buket bunga tanpa nama. Selama itu pun aku selalu mendapatkan buket bunga yang sama dengan tanpa nama. Entah siapa yang sengaja mengirimkannya padaku aku belum menemukan petunjuk apa pun. Hingga hari ketiga aku pernah memerintahkan Bob untuk menolak tak menerima dan mengembalikannya pada sang pengirim, akan tetapi sang kurir menolak keras dengan alasan buket bunga itu memang dipesan seseorang lewat on line. Tentu saja mengembalikannya hanyalah usaha yang sia-sia. Oleh sebab itulah mau tak mau aku harus menerima buket bunga tersebut, meskipun sebenarnya aku sudah mulai merasa semakin penasaran dengan siapa sebenarnya sang pengirim tanpa nama itu. Selama itu pun Axel tak terlihat lagi datang berkunjung. Dia seolah menghilang tanpa jejak. Aku sudah merasa tak heran karena sejak dulu itulah keahlian dari seorang Axel Campbell, yang selalu datang dan pergi dengan tiba-tiba. Saat itu aku sempat berpikir apa mungkin sang pengirim misteri
Mansion utama Campbell“Nyonya ada kiriman buket bunga dari seseorang.” Pelayan setia bernama Bob memberitahu ketika aku tengah mengawasi Damian dan Andrew berenang bersama di mansion. Aku mengerutkan alis menatap lekat buket bunga mawar merah cantik yang ada di tangan Bob. “Buket bunga? Dari siapa?” tanyaku penasaran. “Tidak ada nama pengirim, Nyonya tetapi ada pesan di buket bunga ini. Mungkin Anda bisa mengetahui jika sudah membacanya.” Bob menyerahkan buket berukuran cukup besar itu padaku, "Jika tidak ada yang diperlukan lagi, saya permisi, Nyonya.” Bob menunduk kemudian berlalu pergi sedangkan aku masih menatap penuh tanya buket bunga cantik yang kini berada di tanganku. Harus aku akui buket bunga ini begitu cantik. Entah kebetulan atau tidak sepertinya sang pengirim mengetahui jika memang aku sangat menyukai bunga mawar merah seperti ini. Tapi siapa yang mengirimnya? Apakah Axel, mungkinkah dia? Tetapi selama kami menikah dia jarang sekali bersikap romantis apalagi sampai men
“Mom!!!” Suara dari panggilan yang sangat aku kenal itu membuatku membuka mata. Benar saja, aku yang masih terbungkus selimut tebal dan baru saja terbangun sontak dibuat terkejut ketika dua putraku berhamburan masuk ke kamar lalu memelukku erat seolah sudah lama tak berjumpa. “Andrew! Damian!” Aku menyahut membalas pelukan mereka padaku masih dalam satu ranjang. “Kenapa Mom pulang lama sekali semalam? Aku semalam tidur bersama dengan Kak Andrew karena Mom tak ada. Mom tidak takut ‘kan tidur sendirian?” Damian kecil bertanya polos padaku. Deg! Saat itu juga aku baru mengingat jika semalam untuk pertama kalinya setelah ‘kematian’ Axel, kami berdua tidur bersama dalam satu ranjang dan menghabiskan malam bersama. Tubuhku terasa memanas jika mengingatnya. Bagaimana Axel menyentuhku semalam masih aku ingat dengan jelas, setiap sentuhannya padaku seakan adalah pengobat rindu setelah perpisahan kami yang cukup lama. Jujur aku masih belum siap sepenuhnya semalam tetapi aku tak bisa menol
“Bermimpilah terus Jeremy! Yang pasti ucapanmu tak akan mengubah apa pun di antara kita berdua!” tegasku cukup lantang. Pria berpomade itu tetap tersenyum penuh percaya diri. “Oya? Kita lihat saja nanti, sweety heart.” Kedua tangan Jeremy saling bertumpu pada meja, mengukir senyuman samar lalu melanjutkan kembali ucapannya. “Kau boleh menolakku sekarang, Angelina. Tapi aku pastikan kau akan kembali padaku. Karena sejak dulu di antara kita memang tak pernah ada kata perpisahan, itu yang pasti.” Kali ini aku terdiam, tak bereaksi menatap sosok pria di hadapanku yang begitu berbeda dari yang pernah aku kenal dulu, Jeremy Ollands. Aku memang sudah mengenal sosok Jeremy yang tak pantang menyerah, namun sekarang entah bagaimana setelah bertemu dengannya seperti ini sosok Jeremy kini berubah menjadi semakin berbeda. Seolah dia adalah pria yang begitu terobsesi denganku. Selama delapan tahun ini bukannya melupakanku seperti aku yang telah melupakannya, tetapi dia justru mengejarku hingga s
Malam berikutnya sesuai dengan apa yang Jeremy Ollands minta, aku pun akhirnya memutuskan untuk menemuinya di salah satu restoran besar yang ada di New York City, dengan hanya membawa serta supir pribadiku. Sedangkan Andrew dan Damian aman bersama dengan pelayan pribadi yang ada di mansion utama Campbell. Pria itu, Jeremy Ollands aku tak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan, untuk itu aku harus tahu dengan terpaksa menemuinya seperti ini. Aku mengedarkan pandanganku ke deretan kursi restoran yang cukup banyak pengunjung, hingga akhirnya aku melihat sosok pria berjas navy duduk seorang diri menatapku dengan senyuman lebarnya. Pria itu tak banyak berubah setelah delapan tahun lamanya. Hanya saja kini aku lihat tubuhnya lebih berisi, tidak jangkung seperti dulu. Memasang ekspresi datar aku melangkah mendekatinya dengan menggunakan setelan celana berwarna putih berpotongan elegan. “Hallo, Angelina Louis. Oh, maaf maksudku Mrs. Campbell. Yeah, sepertinya aku belum terbiasa memanggil kek
Mansion utama CampbellAku tak bisa tidur malam ini, pikiranku melayang membayangkan pertemuanku dengan Axel siang tadi. Setelah menidurkan Andrew dan Damian beberapa jam yang lalu, kini aku masih duduk di balkon kamarku sendiri tanpa beranjak sedikit pun. Pikiranku gelisah, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan? Harusnya aku senang Axel kembali ke padaku dalam keadaan baik-baik saja. Tetapi kenapa aku justru merasakan gelisah? Apakah ini hanya karena perasaan kecewa saja atau karena ada hal lain yang membuatku ragu aku bisa menerimanya sebagai suami seperti dulu? Bagaimana perjuangan dan pengorbanan Axel selama dalam kematiannya karena hanya ingin bertujuan melindungiku dan anak-anak, serta untuk mengungkap siapa pembunuh sebenarnya Sean Louis juga ibunya selama ini, yaitu yang tak lain adalah istri pertama dari Arthur Campbell. Namun, semuanya itu masih membuatku belum bisa menerima sepenuh hati Axel kembali seperti dulu.Ya, siang tadi Axel telah memberitahuku segalanya apa yang
“Axel?! Bagaimana bisa kau ada di sini?!” Aku terkejut bukan main saat mendapati pria yang masih menjadi suamiku itu kini sudah ada bersama satu mobil bersamaku. “Tidak penting bagaimana aku bisa ada di sini, karena sekarang yang terpenting kita harus bicara Angelina.” Axel menyahut datar dengan pandangan tetap ke depan kemudian mulai menyalakan mesin mobil. Sedangkan aku hanya bisa terpaku diam di tempat, cukup terkejut dengan situasi yang terjadi saat ini. Seperti orang bodoh aku hanya terdiam di kursi belakang mobil selama dalam perjalanan, dengan pandangan menerawang tanpa fokus yang jelas. Entah berapa lama kami berdua, yaitu aku dan Axel berada dalam satu mobil bersama dalam suasana yang diliputi keheningan. Sungguh situasi yang terlihat kaku. Hingga akhirnya Axel menghentikan mobil di suatu tempat yang jauh dari keramaian kota. Lebih tepatnya Axel menghentikan mobilnya di sebuah jalanan setapak yang seperti menuju ke arah jalanan perbukitan. “Kau membawaku ke mana, Axel? Ini
Netraku berkaca-kaca menatap Henry. Sorot mata biru tajamnya kini terlihat teduh menatapku. Lidahku terasa kelu, aku merasa ucapan Henry seakan seperti kalimat perpisahan yang membuat hatiku bergetar.“Kenapa kau bicara seperti itu, Henry? Aku benar-benar tak tahu apa maksudmu?” tanyaku dengan suara yang mungkin terdengar sedikit gemetar karena perasaan emosional.“Seperti yang kau tahu Axel sudah kembali, dia telah kembali untukmu, Angelina. Sekarang tugasku sudah selesai. Saat ini aku hanya mempersiapkan hatiku untuk itu, hal itulah yang sedang aku lakukan sekarang,” ujar Henry.Aku menatap dalam Henry, berharap menemukan jawaban di dalam sorot matanya tetapi yang aku lihat justru kehampaan. Hingga membuatku berpikir, sedalam itukah perasaan Henry padaku? Tetapi aku harus bagaimana, aku benar-benar merasakan delima. Bagaimanapun Axel masih menjadi suamiku, namun meskipun begitu aku tak bisa mengabaikan perasaan Henry begitu saja. Selama Axel tak ada, Henry lah yang selama ini menjaga