"Om, aku pengen makan rambut nenek," ungkap Eka merengek."Ah, rambut nenek? Maksudnya kamu pengen makan rambut nenek? Rambut nenek siapa, Dek?" Dika seperti orang kebingungan, ketika menanggapi permintaan Eka yang tiba-tiba itu."Ih, bukan rambut nenek yang itu, tapi rambut nenek gulali. Aku pengen makan gulali yang ada di depan SD. Pokoknya yang dijual di depan SD. Titik!" tegas Eka tanpa bisa diubah.Dia menghentakkan kakinya berulang kali. Merengek seperti bocah yang ingin dibelikan permen. Dika memijat keningnya. Entah mengapa rengekan Eka kali ini membuat kepalanya sakit? "Om, harus belikan rambut nenek sekarang juga! Pokoknya, sekarang! Titik! Enggak pake lama! Heum ..."Eka membuang pandangannya ke sisi berbeda, memasang wajah cemberut dan berdengus kesal. Melipat kedua tangan di dada. Persis anak SD yang sedang ngambek. Padahal usianya bukan lagi lima tahun."Iya, Dek. Iya! Saya akan belikan rambut nenek yang kamu mau itu," jawab Dika pasrsh."Benar ya?" Eka menunjuk wajah
Eka pun berlari ke luar, tepat saat mendengar bunyi klakson mobil Dika yang memasuki pekarangan rumah.Eka tersenyum sumringah, melihat Mahardhika membawakan satu buah gulali yang berukuran cukup besar.Eka cepat-cepat mengikis jarak. Sudah tidak sabar ia melahap permen kapas itu. Baru melihatnya saja, air liurnya sampai keluar. "Terima kasih, Sayang."Muach...Eka mengecup pipi Mahardika, saking senangnya dibawakan permen kapas yang berukuran besar."Sama-sama, Sayang._"Permen kapas itu tidak berlama-lama di tangan Dika karena Eka langsung merebutnya, lalu membawanya masuk begitu saja.Satu ciuman sebagai pemanis dan tanda terima kasih. Dika termangu, seperti tidak dipedulikan. Apakah ia seperti patung batu?Istrinya kadang-kadang sungguh terlalu. Dia pergi begitu saja dengan gulali itu, sedangkan suaminya yang sudah capek-capek mencari gulali itu hingga mendatangi banyak SD malah dibiarkan tetap di sini tanpa ditawari untuk masuk?Dika pun mengayunkan kakinya berat. Setibanya di
"Kamu tahu tidak. Kamu itu seperti obat, yang membuat saya ketergantungan," ungkap Dika mesra, seraya menarik pinggang Eka supaya mendekat.Dalam satu hari, tidak cukup bagi Dika melontarkan kalimat pujian satu atau dua kali. Bagi Dika, Eka bukan sekedar istri, tetapi, teman, sahabat dan sosok yang membuat hatinya penuh warna. "Apaan si, Om? Gombal banget deh." Eka menjawab sedikit ketus. Dia mendorong bidang dada suaminya cukup kencang, sehingga pelukan mesra itu terlepas."Kok, gitu si, Dek? Kenapa?" protes Dika tidak terima. Rayuan yang mampu membuat wanita klepek-klepek, seolah terpental begitu saja, tanpa adanya balasan hangat. Dika berharap, akan mendapat sambutan hangat dari Eka. "Kalau Kak Ar lihat nanti gimana, saat Om peluk-peluk aku kayak tadi?" sungut Eka mengomel. Dika mengerutkan keningnya, "lantas kenapa dengan hal itu? Kalau Kak Ar lihat memangnya kenapa? Lagi pula dia sudah pulang kan? Mengapa kamu merasa cemas begitu?"Dika bertanya penuh selidik. Kak Ar baru meni
Eka berjalan-jalan santai menikmati suasana ramai di salah satu pusat perbelanjaan yang ada di ibu kota. Bi Endang dan Rudi, datang bersama Eka. Menemani perempuan mungkin yang sedang hamil muda itu. Eka melihat-lihat sekelilingnya, penuh takjub. Aroma khas yang menyelimuti tempat ini, seakan menambah semangat Eka untuk menjelajah seluruh area.Endang dan Rudi mengekor di belakang, layaknya seorang bodyguard, yang mengawasi majikannya dari jarak jauh. Eka berjingkrak kegirangan. Benar-benar seperti bocil yang baru pertama kali masuk mall. Dapat dibayangkan ekpresi Dika seperti apa, ketika melihat istrinya bertingkah bagaikan bocah? Dika tak pernah malu atau menyesal telah menikahi Eka. Istirnya itu, spesial dan istimewa. Di mana lagi akan menemukan istri seorang pengusaha sukses, yang bertingkah energik, seperti anak desa yang baru pertama kali masuk pusat perbelanjaan?"Aku mau main. Kalian harus ikut main juga. Ini perintah!" tegas Eka.Di rumah, tidak ada yang bisa membantah pe
"Apa yang kamu inginkan, Sayang? Katakanlah," pinta Dika bernada mesra, seraya mengelus kedua pipi istri tercinta."Aku mau kuliah lagi, Om," ungkap Eka sedikit ragu. Dika langsung terperanjat bangun. "Kuliah?" Dia mengerutkan keningnya, penuh keterkejutan. "Iya, Om. Aku pengen kuliah lagi. Om tahu kan, cowok itu senior di kampus. Nah, aku pengen banget balas dendam ke dia. Aku masih kesel gara-gara omongan dia di mall tadi," gerutu Eka, tanpa menutupi kekesalannya terhadap pemuda yang telah mencemoohnya di pusat perbelanjaan beberapa waktu lalu.Eka mengepalkan tangan kanannya. Semangatnya untuk balas dendam kepada seniornya di kampus sangat membara."Tidak boleh!" tegas Dika tiba-tiba.Dia yang selama ini akan patuh dan menuruti semua keinginan Eka, kali ini bertolak belakang.Eka mendongak, "kenapa, Om? Tadi kan Om udah janji, bakalan nurutin semua kemauan aku. Terus kenapa sekarang bilang enggak boleh?" Dia sedikit memajukan bibirnya. Merasa kesal dengan jawaban yang terlontar d
Keputusan Eka untuk membiarkan Dika ikut kuliah, nyatanya bukan membawa kebahagiaan, melainkan rasa geram menghujam dirinya. Telinga Eka terus-terusan berdengung. Dia merasa dongkol dan kesal dalam satu waktu.Para gadis terus saja mendekati Dika. Mengerumuninya, mencoba untuk menarik perhatian pria tiga puluh tahun itu. "Lihat deh. Itu Mahardika dari keluarga Wijaya itu kan ya? Di asli sama yang di foto beda banget. Gantengan lihat aslinya," puji salah seorang mahasiswi yang sedang duduk. Dia berbisik dengan rekannya."Iya ya. Ganteng banget. Jadi, dia tuh kuliah di sini juga. Wah, keren banget ya enggak si? Padahal dia tuh pengusaha sukses, tapi masih mau kuliah ya. Keren banget," timpal yang lainnya.Dua gadis itu membicarakan serta mengagumi sosok Mahardika, tepat di dekat Eka. Sebagai istri sah Mahardika, Eka merasa kesal. Tangannya tak henti-hentinya mengepal. Cewek-cewek di sini ada banyak, sehingga di kesulitan untuk menjambak rambut mereka satu per satu. Lagi pula sepertiny
Hari berikutnya. Kuliah pun dibubarkan lebih awal, lantaran dosen yang dijadwalkan mengajar hari ini, tidak bisa hadir karena sakit. Dika mendapat telpon dari Robi, untuk datang ke kantor. Urusan pekerjaan, seperti biasa. Sementara Eka, ada di rumah. Bumil cantik itu, masih merasa bersalah atas kejadian kemarin. Salahnya karena pulang lebih awal tanpa mengabari Mahardika. Sebenarnya, Eka bukan tidak ingin memberi kabar. Daya batre ponselnya habis dan mati total. Sesampainya di rumah, dia lupa mengabari Dika dan endingnya seperti kemarin. Suaminya menangis.."Bi, kira-kira Om Dika bakalan suka sama masakan aku enggak ya?" tanya Eka sedikit ragu, sambil memasukkan bekal makanan ke dalam paper bag."Pak Dika, pasti menyukainya, Bu. Kan, Bu Eka sendiri yang membuat makanan itu. Dia pasti sangat bahagia. Saya yakin itu," jawab Bi Endang antusias.Tidak ada angin, tidak ada hujan. Hari ini, entah jin mana yang telah merasuki raga Eka. Tiba-tiba saja dia memasak di dapur. Padahal selama
"Dek! Tunggu!" teriak Mahardika, memanggil Eka berulang kali. Namun, wanita yang sedang hamil muda itu, tak menggubrisnya. Dia tetap berlari sekencang mungkin, melawati orang-orang yang ada di sana.Dika terus mengejar Eka yang berlari menuju lobby. Kendati sedang hamil, tetapi Eka masih mampu berlari kencang. Memiliki tubuh mungil, suatu keuntungan bagianya."Dek! Dengarkan aku dulu." Dika berhasil meraih tangan Eka. Namun, detik itu juga Eka langsung menariknya dengan kasar. Dika tersentak kaget. Ditatapnya Eka dengan perasaan tidak percaya. Sementara itu, Eka menjatuhkan tatapan nanar kepada suaminya sendiri. Sorot mata yang tidak pernah Dika lihat selama ini. Ada kekecewaan yang sangat mendalam dari mata Eka. Dika tidak menampik, kalau istrinya sangat marah sekarang. "Dengarkan penjelasan saya dulu, Dek. Apa yang kamu lihat, tidak seperti yang kamu pikirkan. Saya tidak melakukan apa-apa dengan Lusi!" ungkap Dika sedikit memelas. "Ini hanya kesalahpahaman saja. Kopi itu tidak
"Maafin, aku ya, Ayu. Aku minta Eka untuk ajak kamu ke sini," ungkap Ar seraya menghela napas berat.Ar mengajak Ayu untuk berjalan-jalan santai, menelusuri keramaian di pameran. Hembusan angin malam dan kencangnya musik di sana, menambah kesan romantis bagi dua insan yang sedang mabuk asmara. "Iya, Aa. Enggak apa-apa. Ayu paham kok, apa yang Aa rasakan. Soalnya Ayu pun, merasakan hal yang sama, yang mungkin Aa rasakan sekarang."Seketika itu juga, Ar menghentikan langkahnya. Dia berdiri menatap calon istrinya itu. Keduanya berdiri telah di depan komedi putar. "Kamu mau tahu enggak, Yu. Sebenarnya apa yang aku rasakan sekarang?"Gadis cantik itu berpikir keras. Beberapa detik berselang, dia menggeleng cepat. "Tidak tahu! Ayu kan, bukan cenayang yang bisa membaca isi pikiran Aa," jawabnya sedikit bercanda.Ar pun merasa gemas dibuatnya. Terasa ketegangan itu, seakan berangsur hilang. Kendati demikian, Ar masih merasa gugup. Memikirkan hari H, yang tinggal menghitung jari, membuatnya
TUJUH HARI MENUJU HARI H.Eka sekeluarga sudah berada di Bandung, sebab resepsi pernikahan akan diadakan di Bandung, di tempat mempelai wanita.Persiapan sudah hampir selesai, surat undangan pun telah disebarkan. Acaranya akan digelar di rumah Ayu. "Ayolah, Dek. Bantu kakak!" mohon Ar dengan sungguh-sungguh sambil menarik-narik tangan Eka supaya mau membantunya."Kenapa harus aku yang datang ke rumahnya Teh Ayu? Kenapa enggak Kak Ar aja yang ke sana? Kak Ar yang punya urusan, bukan aku!" Eka menolaknya tegas seraya menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Arkana."Ayolah, Dek! Kali ini aja bantu aku, Dek. Soalnya aku enggak berani datang ke rumahnya Ayu," ungkap Ar ragu-ragu."Enggak berani kenapa, Kak?" Eka melotot dan berkacak pinggang. Dia menatap heran, bisa-bisanya Kak Ar tidak berani datang ke rumah Ayu, padahal sebentar lagi ia akan menjadi suaminya Ayu. Ar diam, kemudian membuang napas panjang. "Kalau aku yang ke sana, pastinya enggak dibolehin buat ketemu Ayu. Aku ma
"Dim, gue tau. Lu bukan cowok brengsek kayak di luaran sana. Lu cowok setia. Sebenarnya lu bukannya enggak tertarik sama cewek, tapi lu takut ... Apa yang pernah lu alami dulu sama Lia, terulang lagi."Ar beranjak bangun dari tempat duduknya, sementara Dimas langsung mendongak, ketika nama 'Lia' lolos dari mulut Ar begitu saja.Dimas merasakan gendang telinganya ingin pecah, saat Ar mengulik kembali masa lalunya."Lu cinta banget kan sama si Lia, sayangnya tuh cewek malah selingkuh. Akhirnya melakukan hubungan terlarang dan si Lia hamil."Dimas menahan diri untuk tidak meledak-ledak. Namun, dia mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Ada gejolak hebat, mengaduk-aduk di rongga dadanya.Kisah masa lalu, yang tidak akan pernah Dimas lupakan sampai kapan pun juga. Sekaligus menjadi, titik awal dirinya enggan mendekati wanita."Lia tuh cewek enggak bener, Dim. Buktinya, setelah ketahuan selingkuh, enggak lama kemudian dia hamil. Apa itu disebut cewek baik-baik, Dim?""Tuhan, lebih sayang sa
"Om, aku pengen minum kopi dingin," pinta Eka memelas, seraya melepaskan pelukannya dan sorot mata berbinar-binar. Dika mengerutkan keningnya. "Kopi dingin?" Kurang paham dengan apa yang diinginkan Eka. "Iya, Om. Kayaknya seger gitu, pagi-pagi ngopi dingin," jawabnya enteng seraya cengengesan seperti bocah yang ingin dibelikan es krim."Tidak boleh!" tegas Dika, setelah tahu niat sang istri. "Kenpaa enggak boleh, Om? Aku pengen minum kopi dingin." Eka sedikit memaksa. "Jangan kebanyakan minum es, Dek. Nanti radang tenggorokan," ungkap Dika mengingatkan. Namun, bukan Eka kalau langsung menyerah."Dikit aja, Om. Ya ... Suamiku yang ganteng, manis dan baik hati," bujuknya disertai rayuan maut."Tidak boleh, tetap tidak boleh! Meskipun sedikit atau banyak, tetap saja tidak boleh!" ucap Dika dengan tegas. Sekali dia mengambil keputusan, tidak bisa diganggu gugat. Saat ini, apa pun yang Eka konsumsi harus diperhatikan dengan baik. Tidak bisa asal pilih. "Ah, Om mah jahat. Padahal cuma
Hari berikutnya. Pagi yang cerah pun telah menyapa. Dika dan Eka bersiap untuk pergi jalan-jalan, menikmati hari yang penuh bahagia itu. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, keduanya harus berhenti di halaman depan.Di sana, sosok pemuda dua puluh lima tahun, berdiri gagah di samping motor sportnya. Baik Dika maupun Eka sudah tidak asing lagi dengan pemuda tersebut. Dialah yang kemarin membonceng Eka hingga ke rumah ini."Mau apa lagi, kamu datang ke sini?" Belum apa-apa, Dika sudah tersulut emosi. Dia mempercepat langkahnya, menghampiri pemuda itu. Mengikis jarak di antara keduanya.Eka tampak panik, lantaran tidak biasanya sang suami, bersikap demikian kepada orang baru."Om, tunggu dulu!" Eka mencoba menahannya. Namun, Dika sudah lebih dulu menarik kerah baju Dimas. "Ngapain lagi kamu datang ke sini, ah? Apa tidak cukup, kamu memukul wajah saya?" Dika berdengus kesal. Dia meninggikan suara dan menatap tajam lawan bicaranya.Alih-alih merasa takut, Dimas malah tersenyum kecil, seo
Di tempat terpisah. Masih di hari yang sama. Dimas pun sudah sampai di kosannya, setelah mengantar Eka pulang ke rumah.Dimas merebahkan tubuhnya di atas kasur lantai yang ukurannya muat untuk satu orang saja.Dia menatap langit-langit kamar kosannya yang sederhana. Hanya lampu LED menjadi penerang di ruangan ini.Dalam diamnya, Dimas kembali membayangkan, momen saat Eka memeluk pinggangnya sangat erat. Meskipun sudah berlalu beberapa jam. Akan tetapi, kesan dari pelukan itu, masih sangat terasa hingga detik ini.Selama perjalanan, Eka memang tidak mengatakan sepatah kata pun. Namun, Dimas bisa merasakan, kalau Eka saat itu sangat ketakutan. "Kira-kira, kenapa ya, dia tadi?" Dimas pun bergumam dan bertanya-tanya. Masalah apa yang sedang Eka hadapi, sehingga membuatnya sangat ketakutan seperti itu? Mungkinkah semua ini menyangkut pria yang dikatakannya sebagai 'Penculik' itu?Dimas menerka dan menebak kemungkinan yang ada. Namun, dia tidak sepenuhnya yakin dengan dugaan yang ada di d
Satu jam kemudian.[Minta, Lusi mengesahkan surat pengunduran dirinya. Mulai hari ini, dia bukan lagi karyawan di kantor saya!] tegas Dika, sangat serius. Dia sedang berbicara dengan seseorang dari sambungan telepon.[Tapi, Pak. Apa alasan pemecatannya?][Alasannya ... Karena, dia mencoba untuk membuat rumah tangga saya berantakan. Minta dia untuk mengurus surat pemberhentiannya. Sekarang!]Dika pun menyudahi sambungan telpon itu, tanpa menunggu jawaban dari Robi. Pria yang sangat ia percayai, untuk mengurus perusahaan.Sementara itu, Eka telah sadarkan diri. Dia menatap pria berstatus suaminya itu, dari kejauhan. Dia mendengar semua percakapan Dika dengan Robi tadi. Pria itu kah, yang beberapa saat lalu ia marahi? Pria yang sangat menyayanginya, tanpa mengharapkan balasan.Dika memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Kemudian dia berbalik badan, tepat saat itu, dia melihat Eka yang sudah sadarkan diri.Pandangannya dan Eka saling bertemu dalam satu garis lurus. Dari jarak dan pos
"Kakak!" rengek Eka, yang langsung menghambur ke dalam pelukan Arkana.Ya. Eka minta diantar untuk pulang ke kediaman Seputra. Kebetulan, Arkana ada di sana dan hendak pergi.Eka memeluk sang kakak dengan erat. Dari pelukan itu, Ar bisa merasakan ada sesuatu yang terjadi kepada adiknya itu."Ada apa ini, Dek? Kenapa kamu ada di sini?" Ar langsung mencecarnya dengan beberapa pertanyaan. Dia merenggangkan pelukan hangat adik tercintanya.Eka menangis tersedu-sedu, sontak membuat Ar kalang kabut. "Kenapa kamu, Dek? Kenapa nangis kayak gini? Siapa yang udah bikin kamu nangis, ah? Katakan, Dek! Apa Dika yang udah bikin kamu kayak gini?"Ar paling tidak suka dan membenci seseorang yang membuat adiknya menangis. Eka terisak-isak. Garis bawah matanya merah. Tubuh mungilnya bergetar hebat. Dia menundukkan kepalanya, walaupun Ar mencoba untuk mengangkatnya kembali."Kamu ke sini sama siapa?" tanya Ar lagi. "Dia datang bareng gue, Bro!" seru seseorang yang baru saja memasuki ruangan. Dia adal
"Dek! Tunggu!" teriak Mahardika, memanggil Eka berulang kali. Namun, wanita yang sedang hamil muda itu, tak menggubrisnya. Dia tetap berlari sekencang mungkin, melawati orang-orang yang ada di sana.Dika terus mengejar Eka yang berlari menuju lobby. Kendati sedang hamil, tetapi Eka masih mampu berlari kencang. Memiliki tubuh mungil, suatu keuntungan bagianya."Dek! Dengarkan aku dulu." Dika berhasil meraih tangan Eka. Namun, detik itu juga Eka langsung menariknya dengan kasar. Dika tersentak kaget. Ditatapnya Eka dengan perasaan tidak percaya. Sementara itu, Eka menjatuhkan tatapan nanar kepada suaminya sendiri. Sorot mata yang tidak pernah Dika lihat selama ini. Ada kekecewaan yang sangat mendalam dari mata Eka. Dika tidak menampik, kalau istrinya sangat marah sekarang. "Dengarkan penjelasan saya dulu, Dek. Apa yang kamu lihat, tidak seperti yang kamu pikirkan. Saya tidak melakukan apa-apa dengan Lusi!" ungkap Dika sedikit memelas. "Ini hanya kesalahpahaman saja. Kopi itu tidak