Sementara itu, di tempat terpisah. Masih di hari yang sama. Arkana baru saja sampai di Bandung, kota kelahirannya. Ar keluar dari mobil, sengaja ia memarkir mobilnya di tepi sawah. Kedua matanya terpejam, membentangkan kedua tangannya, kemudian menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan-lahan.Dia sedang merasakan kembali hembusan angin dari tempat kelahirannya. Tidak terasa sudah sepuluh tahun ia meninggal tanah kelahirannya guna mengembangkan diri di negeri ini orang."Heummm ... Aku merindukan angin ini," gumamnya lirih dan membiarkan hembusan angin menembus setiap pori-pori kulitnya. Cuaca hari ini sangat mendukung. Tidak terlalu panas, tapi tidak mendung juga. Memang paling enak untuk bersantai di pinggir sawah sambil menikmati pemandangan hamparan hijau pesawahan."Aa."Tiba-tiba, terdengar suara sapaan, yang sontak membuat Ar langsung menoleh."Heum ..." Kalimatnya tercekat di ujung tenggorokan. Ia langsung mengenali sosok gadis yang entah sejak kapan berada di san
Sebuah foto, yang memakai bingkai sebagai penghiasnya, terpasang epik di sudut ruangan ini. Ar terus memandangi potret dirinya yang masih terlihat bocah itu.Ya, foto tersebut diambil saat ia baru saja lulus sekolah menengah pertama (SMP). Sebenarnya, bukan sosok dirinya yang menjadi perhatian, melainkan gadis mungil yang berdiri di sampingnya. Ia berangkul bahu gadis itu dan tertawa bersama.Sebuah memori lama, seketika mencuat kembali. Ada kisah menarik dan sangat indah di balik foto tersebut. Dirinya masih mengenakan seragam putih biru dan ada bekas coretan di seragamnya, akibat kelulusan yang dirayakan bersama teman-teman kala itu.Ar, tidak membayangkan kejadian saat ia dan beberapa teman saling melempar cat semprot dan blao, saat itu. Dia sedang mengingat kembali kalimat yang sempat ia ucapkan sebelum foto itu diambil.••••'Aku mencintaimu, Yu. Mau kan kamu menjadi jodohku kelak.' Ar menggenggam salah atau tangan gadis mungil yang usianya terpaut satu tahun itu. 'Aa serius, m
"Dek, bangun," ucap Dika lembut.Muach.Sambil mengecup bibir ranum sang istri tercinta. Eka pun mengerang dan membuka matanya perlahan-lahan. Terlihat secara samar-samar olehnya, wajah tampan yang menjadi idola emak-emak itu. "Sayang, bangun yuk! Sholat subuh berjamaah," tambahnya membujuk sembari menyibak helayan rambut Eka ke belakang telinga.Eka mengubah posisi tidurnya, menjadi telentang. Dipandanginya cukup lama wajah tampan sang suami tercinta. "Kenapa, liatin kayak gitu? Ada yang berubah ya dari saya? Kelihatan tua ya?" tanya Dika menelisik lebih jauh arti dari tatapan teduh, wanita yang hadir dalam kehidupannya sebagai istri itu. "Aku lagi mikir, Om.""Mikir apa, Dek? Jangan mikirin yang macem-macem. Masih pagi. Enggak baik.""Siapa yang mikir macem-macem?" kilah Eka masih berada di posisinya tanpa sedikitpun memalingkan tatapannya."Lalu, apa yang kamu pikirkan sekarang?" Dika menggenggam tangan sang istri, sedangkan tangan yang satunya membelai pipinya lembut."Kenapa,
[Jadi, kapan Kak Ar kembali?] tanya Eka, yang sedang melakukan video call dengan Arkana. Sedangkan Dika berada tepat di samping sang istri.[Sore nanti, aku sudah di Tangerang.] Ar tersenyum lebar kepada Eka dan Dika.[Jangan lupa ajak dia, juga. Aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengannya. Sudah lama juga, kami tidak saling sapa. Saat kami berjumpa nanti. Aku bakalan kasih wejangan ke dia, untuk sabar menghadapi kakak yang bawel dan cerewet.] Eka balik menggoda dan Dika tersenyum tipis, menertawai celotehan sang istri. [Hust, nanti saja. Sekarang izin dulu ke Ayah.] Ar melirik Dika yang sedang tertawa itu. [Ok. Ok. Lalu, di mana Teh Ayu sekarang?][Di mars ...] jawabnya terkesan ngegas.[Ya! Di rumahnya lah. Belum saatnya dia ada di sini.] tambahnya sedikit cemberut, yang sebenarnya bukan kesal karena pertanyaan Eka, melainkan ia belum mendapatkan kabar tentang sang kekasih sepagian ini. [Ya, udah si, enggak usah ngegas. Aku kan cuma tanya aja. Jawabannya enggak usah pake emosi
Dika sudah berada di dalam ruangannya. Bersama Robi dan Lia. Keduanya berdiri berbarengan di depan meja kerja Dika. "Di mana berkas kontrak kerja sama itu?" Dika sedang mencari-cari, sesuatu yang seharusnya berada di atas meja kerjanya.Dari nada suaranya, sepertinya benda tersebut sangat penting. Robi dan Lia saling berpandangan, "seharusnya ada di situ, Pak," kata Lia kemudian."Mungkin Pak Dika lupa menaruhnya di mana," timpal Robi sangat hati-hati. "Tidak ada! Kalian lihat sendiri. Kalau berkas itu ada di atas meja ini, seharusnya terlihat, tapi ini tidak ada!" Nada suara Dika sedikit meninggi."Saya yakin menaruh berkas itu di sini!" tegasnya lagi. Terlihat guratan kegelisahan di wajah tampan pria tiga puluh tahun itu. Dika mengangkat satu persatu berkas yang ada di meja, bisa jadi yang ia cari tertindih. Namun, benda tersebut tidak ditemukan. "Mengapa berkasnya tidak ada!" tegas Dika sangat serius. Dia berkacak pinggang dan sebelah tangannya memijat keningnya. "Di mana say
Mobil pun terparkir tepat di depan kantor. Tak berselang lama, Dika pun muncul, berlari sambil menggenggam ponselnya.Dika langsung mengulas senyuman lebar, tepat saat pandangannya berhasil menangkap manik hazel sang istri.Buru-buru di berlari menghampiri. "Kamu baik-baik saja kan, Dek? Pak Rudi tidak membuatmu repot kan?" cecarnya yang tidak bisa menyembunyikan kecemasannya."Iya, Om. Aku baik. Ini berkas yang aku Om mau." Eka langsung menyerahkan map dengan cover berwarna hijau itu.Dika mengambilnya cepat. Segera ia memeriksa isi berkas tersebut secara bertahap.Setelah memastikan semuanya aman, barulah ia bisa bernapas lega. Selanjutnya Dika menarik tangan Eka, membawanya masuk dalam pelukannya."Terima kasih, Dek. Berkat kamu, perusahaan tidak akan merugi," ucapnya penuh rasa syukur dan haru.Eka mempererat pelukan itu, "Bi Endang yang menemukan berkas itu. Seharusnya Om berterima kasih kepada Bi Endang. Aku hanya menyampaikan berkas ini kepada Om."Dika melepaskan pelukannya. K
Eka dan wanita yang akrab dipanggil Bu Nur itu, sudah berada di dapur. Ya, ruangan yang biasa digunakan karyawan untuk membuat kopi atau sekedar masak mie instan.Eka sedang mengelap meja. Bayangkan, istrinya bos lagi ngelap meja? Mau ditaruh di mana muka suaminya? Dika pemilik perusahaan. Putra tunggal keluarga Wijaya. Secara tidak langsung, Eka memiliki pengaruh besar juga di perusahaan. Apa kata orang ketika tahu istri dari pengusaha sukses, sedang mengelap meja? Apa tidak jatuh wibawanya?Ya, tentu jatuhlah, bagi mereka yang berpikir kasta berada di atas segalanya. Akan tetapi, berbeda dengan Eka. Gadis mungil itu, tidak terlalu memedulikan status atau lainnya. Niatnya murni ingin membantu.Sementara Bu Nur, sedang mencuci gelas bekas bikin kopi yang tergeletak di atas wastafel. Setelah selesai mencuci, ia pun berbalik badan dan mendapati Eka yang sedang duduk sambil mengibas-ngibaskan tangannya. Sepertinya dia sangat kelelahan dan kegerahan setelah merapikan meja dan kursi. Sem
"Cukup!" teriak seseorang.Mereka yang ada di sana pun, serentak menoleh ke sumber suara. Nyatanya. Seruan itu, mampu mengubah suasana yang semula memanas, kini menjadi hening tanpa nada. "Apa yang sedang terjadi di sini?" Sepasang mata menatap lurus Bi Nur yang tersungkur di lantai, akibat didorong oleh Hanny tadi.Sedangkan Bu Nur pun, terpaku di sana. Ia juga menatap sosok yang baru datang itu. "Bu Aninditan!" sebut Lia, yang berhasil memecah keheningan di sana. Setelah mendapatkan kembali kesadarannya, barulah Lia mengenali sosok wanita di atas kursi roda itu. Ya, gadis cantik, dengan rambut tergerai indah bergelombang. Duduk di kursi roda. Ia menggunakan kedua tangannya untuk menggerakkan kursi rodanya supaya jalan.Hanny yang tidak tahu sosok wanita bernama Anindita itu, tiba-tiba merasa panik bukan main. Sebab, ia baru saja bersikap kasar pada seseorang. Semoga saja wanita itu tidak melihat kejadian tadi. Dilihat dari ujung rambut hingga kaki. Hanny, bisa menebak bahwasanya
"Maafin, aku ya, Ayu. Aku minta Eka untuk ajak kamu ke sini," ungkap Ar seraya menghela napas berat.Ar mengajak Ayu untuk berjalan-jalan santai, menelusuri keramaian di pameran. Hembusan angin malam dan kencangnya musik di sana, menambah kesan romantis bagi dua insan yang sedang mabuk asmara. "Iya, Aa. Enggak apa-apa. Ayu paham kok, apa yang Aa rasakan. Soalnya Ayu pun, merasakan hal yang sama, yang mungkin Aa rasakan sekarang."Seketika itu juga, Ar menghentikan langkahnya. Dia berdiri menatap calon istrinya itu. Keduanya berdiri telah di depan komedi putar. "Kamu mau tahu enggak, Yu. Sebenarnya apa yang aku rasakan sekarang?"Gadis cantik itu berpikir keras. Beberapa detik berselang, dia menggeleng cepat. "Tidak tahu! Ayu kan, bukan cenayang yang bisa membaca isi pikiran Aa," jawabnya sedikit bercanda.Ar pun merasa gemas dibuatnya. Terasa ketegangan itu, seakan berangsur hilang. Kendati demikian, Ar masih merasa gugup. Memikirkan hari H, yang tinggal menghitung jari, membuatnya
TUJUH HARI MENUJU HARI H.Eka sekeluarga sudah berada di Bandung, sebab resepsi pernikahan akan diadakan di Bandung, di tempat mempelai wanita.Persiapan sudah hampir selesai, surat undangan pun telah disebarkan. Acaranya akan digelar di rumah Ayu. "Ayolah, Dek. Bantu kakak!" mohon Ar dengan sungguh-sungguh sambil menarik-narik tangan Eka supaya mau membantunya."Kenapa harus aku yang datang ke rumahnya Teh Ayu? Kenapa enggak Kak Ar aja yang ke sana? Kak Ar yang punya urusan, bukan aku!" Eka menolaknya tegas seraya menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Arkana."Ayolah, Dek! Kali ini aja bantu aku, Dek. Soalnya aku enggak berani datang ke rumahnya Ayu," ungkap Ar ragu-ragu."Enggak berani kenapa, Kak?" Eka melotot dan berkacak pinggang. Dia menatap heran, bisa-bisanya Kak Ar tidak berani datang ke rumah Ayu, padahal sebentar lagi ia akan menjadi suaminya Ayu. Ar diam, kemudian membuang napas panjang. "Kalau aku yang ke sana, pastinya enggak dibolehin buat ketemu Ayu. Aku ma
"Dim, gue tau. Lu bukan cowok brengsek kayak di luaran sana. Lu cowok setia. Sebenarnya lu bukannya enggak tertarik sama cewek, tapi lu takut ... Apa yang pernah lu alami dulu sama Lia, terulang lagi."Ar beranjak bangun dari tempat duduknya, sementara Dimas langsung mendongak, ketika nama 'Lia' lolos dari mulut Ar begitu saja.Dimas merasakan gendang telinganya ingin pecah, saat Ar mengulik kembali masa lalunya."Lu cinta banget kan sama si Lia, sayangnya tuh cewek malah selingkuh. Akhirnya melakukan hubungan terlarang dan si Lia hamil."Dimas menahan diri untuk tidak meledak-ledak. Namun, dia mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Ada gejolak hebat, mengaduk-aduk di rongga dadanya.Kisah masa lalu, yang tidak akan pernah Dimas lupakan sampai kapan pun juga. Sekaligus menjadi, titik awal dirinya enggan mendekati wanita."Lia tuh cewek enggak bener, Dim. Buktinya, setelah ketahuan selingkuh, enggak lama kemudian dia hamil. Apa itu disebut cewek baik-baik, Dim?""Tuhan, lebih sayang sa
"Om, aku pengen minum kopi dingin," pinta Eka memelas, seraya melepaskan pelukannya dan sorot mata berbinar-binar. Dika mengerutkan keningnya. "Kopi dingin?" Kurang paham dengan apa yang diinginkan Eka. "Iya, Om. Kayaknya seger gitu, pagi-pagi ngopi dingin," jawabnya enteng seraya cengengesan seperti bocah yang ingin dibelikan es krim."Tidak boleh!" tegas Dika, setelah tahu niat sang istri. "Kenpaa enggak boleh, Om? Aku pengen minum kopi dingin." Eka sedikit memaksa. "Jangan kebanyakan minum es, Dek. Nanti radang tenggorokan," ungkap Dika mengingatkan. Namun, bukan Eka kalau langsung menyerah."Dikit aja, Om. Ya ... Suamiku yang ganteng, manis dan baik hati," bujuknya disertai rayuan maut."Tidak boleh, tetap tidak boleh! Meskipun sedikit atau banyak, tetap saja tidak boleh!" ucap Dika dengan tegas. Sekali dia mengambil keputusan, tidak bisa diganggu gugat. Saat ini, apa pun yang Eka konsumsi harus diperhatikan dengan baik. Tidak bisa asal pilih. "Ah, Om mah jahat. Padahal cuma
Hari berikutnya. Pagi yang cerah pun telah menyapa. Dika dan Eka bersiap untuk pergi jalan-jalan, menikmati hari yang penuh bahagia itu. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, keduanya harus berhenti di halaman depan.Di sana, sosok pemuda dua puluh lima tahun, berdiri gagah di samping motor sportnya. Baik Dika maupun Eka sudah tidak asing lagi dengan pemuda tersebut. Dialah yang kemarin membonceng Eka hingga ke rumah ini."Mau apa lagi, kamu datang ke sini?" Belum apa-apa, Dika sudah tersulut emosi. Dia mempercepat langkahnya, menghampiri pemuda itu. Mengikis jarak di antara keduanya.Eka tampak panik, lantaran tidak biasanya sang suami, bersikap demikian kepada orang baru."Om, tunggu dulu!" Eka mencoba menahannya. Namun, Dika sudah lebih dulu menarik kerah baju Dimas. "Ngapain lagi kamu datang ke sini, ah? Apa tidak cukup, kamu memukul wajah saya?" Dika berdengus kesal. Dia meninggikan suara dan menatap tajam lawan bicaranya.Alih-alih merasa takut, Dimas malah tersenyum kecil, seo
Di tempat terpisah. Masih di hari yang sama. Dimas pun sudah sampai di kosannya, setelah mengantar Eka pulang ke rumah.Dimas merebahkan tubuhnya di atas kasur lantai yang ukurannya muat untuk satu orang saja.Dia menatap langit-langit kamar kosannya yang sederhana. Hanya lampu LED menjadi penerang di ruangan ini.Dalam diamnya, Dimas kembali membayangkan, momen saat Eka memeluk pinggangnya sangat erat. Meskipun sudah berlalu beberapa jam. Akan tetapi, kesan dari pelukan itu, masih sangat terasa hingga detik ini.Selama perjalanan, Eka memang tidak mengatakan sepatah kata pun. Namun, Dimas bisa merasakan, kalau Eka saat itu sangat ketakutan. "Kira-kira, kenapa ya, dia tadi?" Dimas pun bergumam dan bertanya-tanya. Masalah apa yang sedang Eka hadapi, sehingga membuatnya sangat ketakutan seperti itu? Mungkinkah semua ini menyangkut pria yang dikatakannya sebagai 'Penculik' itu?Dimas menerka dan menebak kemungkinan yang ada. Namun, dia tidak sepenuhnya yakin dengan dugaan yang ada di d
Satu jam kemudian.[Minta, Lusi mengesahkan surat pengunduran dirinya. Mulai hari ini, dia bukan lagi karyawan di kantor saya!] tegas Dika, sangat serius. Dia sedang berbicara dengan seseorang dari sambungan telepon.[Tapi, Pak. Apa alasan pemecatannya?][Alasannya ... Karena, dia mencoba untuk membuat rumah tangga saya berantakan. Minta dia untuk mengurus surat pemberhentiannya. Sekarang!]Dika pun menyudahi sambungan telpon itu, tanpa menunggu jawaban dari Robi. Pria yang sangat ia percayai, untuk mengurus perusahaan.Sementara itu, Eka telah sadarkan diri. Dia menatap pria berstatus suaminya itu, dari kejauhan. Dia mendengar semua percakapan Dika dengan Robi tadi. Pria itu kah, yang beberapa saat lalu ia marahi? Pria yang sangat menyayanginya, tanpa mengharapkan balasan.Dika memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Kemudian dia berbalik badan, tepat saat itu, dia melihat Eka yang sudah sadarkan diri.Pandangannya dan Eka saling bertemu dalam satu garis lurus. Dari jarak dan pos
"Kakak!" rengek Eka, yang langsung menghambur ke dalam pelukan Arkana.Ya. Eka minta diantar untuk pulang ke kediaman Seputra. Kebetulan, Arkana ada di sana dan hendak pergi.Eka memeluk sang kakak dengan erat. Dari pelukan itu, Ar bisa merasakan ada sesuatu yang terjadi kepada adiknya itu."Ada apa ini, Dek? Kenapa kamu ada di sini?" Ar langsung mencecarnya dengan beberapa pertanyaan. Dia merenggangkan pelukan hangat adik tercintanya.Eka menangis tersedu-sedu, sontak membuat Ar kalang kabut. "Kenapa kamu, Dek? Kenapa nangis kayak gini? Siapa yang udah bikin kamu nangis, ah? Katakan, Dek! Apa Dika yang udah bikin kamu kayak gini?"Ar paling tidak suka dan membenci seseorang yang membuat adiknya menangis. Eka terisak-isak. Garis bawah matanya merah. Tubuh mungilnya bergetar hebat. Dia menundukkan kepalanya, walaupun Ar mencoba untuk mengangkatnya kembali."Kamu ke sini sama siapa?" tanya Ar lagi. "Dia datang bareng gue, Bro!" seru seseorang yang baru saja memasuki ruangan. Dia adal
"Dek! Tunggu!" teriak Mahardika, memanggil Eka berulang kali. Namun, wanita yang sedang hamil muda itu, tak menggubrisnya. Dia tetap berlari sekencang mungkin, melawati orang-orang yang ada di sana.Dika terus mengejar Eka yang berlari menuju lobby. Kendati sedang hamil, tetapi Eka masih mampu berlari kencang. Memiliki tubuh mungil, suatu keuntungan bagianya."Dek! Dengarkan aku dulu." Dika berhasil meraih tangan Eka. Namun, detik itu juga Eka langsung menariknya dengan kasar. Dika tersentak kaget. Ditatapnya Eka dengan perasaan tidak percaya. Sementara itu, Eka menjatuhkan tatapan nanar kepada suaminya sendiri. Sorot mata yang tidak pernah Dika lihat selama ini. Ada kekecewaan yang sangat mendalam dari mata Eka. Dika tidak menampik, kalau istrinya sangat marah sekarang. "Dengarkan penjelasan saya dulu, Dek. Apa yang kamu lihat, tidak seperti yang kamu pikirkan. Saya tidak melakukan apa-apa dengan Lusi!" ungkap Dika sedikit memelas. "Ini hanya kesalahpahaman saja. Kopi itu tidak