"Cukup!" teriak seseorang.Mereka yang ada di sana pun, serentak menoleh ke sumber suara. Nyatanya. Seruan itu, mampu mengubah suasana yang semula memanas, kini menjadi hening tanpa nada. "Apa yang sedang terjadi di sini?" Sepasang mata menatap lurus Bi Nur yang tersungkur di lantai, akibat didorong oleh Hanny tadi.Sedangkan Bu Nur pun, terpaku di sana. Ia juga menatap sosok yang baru datang itu. "Bu Aninditan!" sebut Lia, yang berhasil memecah keheningan di sana. Setelah mendapatkan kembali kesadarannya, barulah Lia mengenali sosok wanita di atas kursi roda itu. Ya, gadis cantik, dengan rambut tergerai indah bergelombang. Duduk di kursi roda. Ia menggunakan kedua tangannya untuk menggerakkan kursi rodanya supaya jalan.Hanny yang tidak tahu sosok wanita bernama Anindita itu, tiba-tiba merasa panik bukan main. Sebab, ia baru saja bersikap kasar pada seseorang. Semoga saja wanita itu tidak melihat kejadian tadi. Dilihat dari ujung rambut hingga kaki. Hanny, bisa menebak bahwasanya
PLAAAKKKKKK!"Itu cukup untuk kamu, yang dengan beraninya menggoda suami orang!" marah Eka, setelah memberikan tamparan keras di wajah Hanny. Suaranya melengking mengisi ruangan tersebut, yang hanya ada dirinya, Mahardika dan Hanny.Saking kencangnya tamparan itu, Hanny sampai tersungkur di lantai dan memegangi pipinya. "Perempuan seperti kamu tuh, enggak pantas kerja di perusahaan besar! Kalau niatmu bekerja hanya demi bisa menggoda pria kaya. Mending kamu jadi wanita penghibur aja deh! Di sana ada banyak pria hidung belang yang rela mengeluarkan uang supaya bisa memuaskan nafsunya!" geramnya sambil menunjuk wajah Hanny penuh kemarahan.Eka yang selama ini bersikap imut-imut, manja dan ngambek, tidak diduga-duga bisa mengeluarkan kata-kata kasar seperti sekarang. Detik ini, dia benar-benar seperti singa yang mengamuk ketika hewan buruannya direbut orang. Ya. Istri mana yang tidak marah, ketika mendapati ada wanita lain yang berusaha untuk menggoda suaminya? Hal wajar, bilamana Eka
"Adik Ipar?" Eka mengerutkan keningnya tajam. Panggilan itu sungguh asing di telinganya.Dia menatap Anindita penuh tanda tanya. Ini pertemuan kedua dirinya dengan wanita yang mengenakan kursi roda itu. "Aku, adik Ipar?" Kemudian dia menunjuk dirinya sendiri. Rasa tidak percaya dengan panggilan tersebut. Anindita pun mengangguk penuh keyakinan. "Tentu ... Memangnya siapa lagi yang ada di sini?" katanya santai."Om, apa ini maksudnya? Jadi kalian?" kalimatnya terjeda di ujung tenggorokan. "Aku enggak salah denger kan?" Eka menunjuk Dika dan Anindita secara bergantian. Dia benar-benar seperti orang kebingungan.Mahardika pun tersenyum lembut sambil menggenggam tangan sang istri mesra. "Iya, Dek. Kamu tidak salah dengar. Anindita memang sudah seperti kakakku sendiri. Dia adalah kerabat jauh Bunda," terangnya kemudian.Eka termangu, menelaah alur kisah ini. Jujur saja, ia pertama kali bertemu dengan Anindita. Padahal selama ini, keluarga Saputra begitu akrab dengan Keluarga Wijaya."Sat
Perjalanan yang ditempuh kali ini cukup menguras waktu. Sekitar satu setengah jam. Padahal biasanya hanya satu jam. Kali ini harus terjebak kemacetan dulu.Mobil pun memasuki pekarangan rumah. Ketika mesin telah dimatikan, Eka dan Dika saling berpandangan.Isi kepala keduanya, pasti sama-sama bertanya. Ya. Mempertanyakan pemilik mobil yang sudah lebih dulu terparkir di sana. Eka dan Dika keluar dari mobil berbarengan, lalu berjalan beriringan sambil bergandengan tangan. Sungguh pemandangan yang indah di bawah sinar rembulan.Sesampainya di dalam rumah."Assalamualaikum," ucap keduanya seirama. Sembari sekali saling melempar senyuman satu sama lain."Waalaikumsalam," ucap seseorang, yang sedang duduk di sofa sambil memainkan ponselnya."Kak Ar!" seru Eka, menyebut nama pemuda itu. Eka mempercepat langkahnya. Betapa ia sangat merindukan sang kakak tercinta. Padahal baru dua hari tidak berjumpa, tapi rasanya sudah seperti tahunan saja. Perasaan Ar pun tidak jauh berbeda dengan sang ad
Arkana pun meninggalkan kediaman Mahardika, kira-kira lima belas menit yang lalu. Sehabis kakak iparnya pergi, Dika pun langsung membopong Eka ke kamar. Ya, apa lagi kalau bukan untuk membuka baju. Eh ...Maksudnya melepas lelah di atas ranjang sebagai suami istri.Asek ..."Gimana rasanya pas Kak Ar ngomel tadi?" tanya Eka penasaran, disertai senyuman menggoda sambil mengalungkan tangannya di leher sang suami."Ini kali pertama aku lihat Kak Ar marah ke orang lain. Selama ini dia dikenal baik dan ramah, tapi ya gitu ... Dia bisa berubah jadi singa, kalau ada yang berani bikin adik kesayangannya nangis," tambah Eka lembut dan semakin manja. Dika memutar bola matanya ke atas, kemudian kembali menatap Eka dalam-dalam, "Biasa saja. Menurut saya, hal wajar kalau Kak Ar marah," katanya tenang sembari merangkul pinggang sang istri penuh kemesraan.Hal yang paling mengasyikkan sekarang ini, berduaan dengan sang istri dan bercumbu mesra. Tidak ada yang melarang."Heum, Masa?" lontar Eka tak
Hari berikutnya. Seperti biasa. Sehabis sholat subuh, Dika pun sibuk di dapur. Memasak, menyiapkan sarapan untuk istri tercinta.Apa tidak terbalik itu?Oh, tentu saja tidak. Memang begitu kenyataannya. Setiap harinya, sang suamilah yang sibuk memasak dan menghidangkan makanan di meja makan. Sedang si istri, cukup memperhatikannya dari kejauhan.Mahardika sama sekali tidak protes ataupun marah. Dia melakukannya dengan senang hati dan penuh cinta tentunya."Ayo, Dek! Sarapan dulu. Biar enggak lemes pas kuliah nanti," ucap Dika lembut sembari menaruh piring di atas meja."Heummmmmm," gumam Eka manja. Alih-alih membantu menata meja makan, ia malah memeluk sang suami dari arah belakang. Mendekapnya sangat erat. Menyandarkan kepalanya di punggung dan memejamkan mata. Sungguh menyenangkan bisa bermanja-manja sebelum sarapan. Dika pun tersenyum lembut ketika mendapat sentuhan manja dari istri kecilnya itu. "Ayo, Dek! Kita sarapan dulu, supaya kamu memiliki banyak tenaga untuk belajar nan
Jam makan siang pun tiba. Eka memilih perpustakaan untuk tempat bersantai, untuk menyantap bekal makan siang yang dibuatkan oleh suaminya.Eka mengeluarkan bekalnya dari dalam tas. Kebetulan perpustakaan kali ini cukup sepi. Ada beberapa orang saja. Itu pun sibuk dengan urusan masing-masing."Suamiku memang luar biasa. Om Dika memang paling bisa kalau soal masak memasak," gumamnya penuh takjub, ketika melihat kotak makan itu. Di dalamnya ada menu favoritnya. Tempe tahu balado dan sayur pare.Seketika selera makannya langsung meningkat. Cacing-cacing di dalam perutnya mulai berdemo minta untuk cepat-cepat diisi.Eka sudah siap menyantap makanannya. Namun, sebelum itu ponselnya pun berdering. Dia buru-buru mengeluarkan benda pipih itu dari dalam tas.Rupanya sang suami yang menelpon.Iya lah, siapa lagi kalau bukan Mahardika. Suami tersayang, tercinta dan Ter the best. Hihihi...Eka segera menggeser tombol hijau itu. Dika bukan melakukan sambungan telepon, melainkan video call. Seketik
"Hei, kamu kenapa?" Pemuda itu berteriak kencang, tepat saat Eka ambruk ke lantai. Dia tampak panik, lantaran Eka yang tiba-tiba saja pingsan. Ditengoknya kiri dan kanan, tidak ada orang di sana. Hari ini tumben perpustakaan sepi banget.Pemuda itu tampak kebingungan. Apa yang harus diperbuatnya? Dia celingak-celinguk seperti orang bodoh. Haruskah dia membawa wanita yang sama sekali tidak dikenalnya itu, atau membiarkannya tetap di sana?"Nyusahin banget ni cewek," gerutunya sangat kesal. Pada akhirnya, mau tidak mau, dia harus menolong Eka. Dia mencoba mengangkat tubuh mungil Eka. Sebelum itu, dilihatnya tas gemblok milik Eka, yang berada tidak jauh dari tempat Eka pingsan.Dia mengambil tas tersebut, menggendongnya di bahu. Dengan segala upaya, dia mengangkat tubuh Eka, menggendongnya ala bridal style. "Ternyata, berat juga ni cewek. Kebanyakan dosa kayaknya," celetuknya mengejek.Sepanjang perjalanan menuju klinik, ia terus saja menggerutu. Mengeluh soal berat badan Eka yang me
"Maafin, aku ya, Ayu. Aku minta Eka untuk ajak kamu ke sini," ungkap Ar seraya menghela napas berat.Ar mengajak Ayu untuk berjalan-jalan santai, menelusuri keramaian di pameran. Hembusan angin malam dan kencangnya musik di sana, menambah kesan romantis bagi dua insan yang sedang mabuk asmara. "Iya, Aa. Enggak apa-apa. Ayu paham kok, apa yang Aa rasakan. Soalnya Ayu pun, merasakan hal yang sama, yang mungkin Aa rasakan sekarang."Seketika itu juga, Ar menghentikan langkahnya. Dia berdiri menatap calon istrinya itu. Keduanya berdiri telah di depan komedi putar. "Kamu mau tahu enggak, Yu. Sebenarnya apa yang aku rasakan sekarang?"Gadis cantik itu berpikir keras. Beberapa detik berselang, dia menggeleng cepat. "Tidak tahu! Ayu kan, bukan cenayang yang bisa membaca isi pikiran Aa," jawabnya sedikit bercanda.Ar pun merasa gemas dibuatnya. Terasa ketegangan itu, seakan berangsur hilang. Kendati demikian, Ar masih merasa gugup. Memikirkan hari H, yang tinggal menghitung jari, membuatnya
TUJUH HARI MENUJU HARI H.Eka sekeluarga sudah berada di Bandung, sebab resepsi pernikahan akan diadakan di Bandung, di tempat mempelai wanita.Persiapan sudah hampir selesai, surat undangan pun telah disebarkan. Acaranya akan digelar di rumah Ayu. "Ayolah, Dek. Bantu kakak!" mohon Ar dengan sungguh-sungguh sambil menarik-narik tangan Eka supaya mau membantunya."Kenapa harus aku yang datang ke rumahnya Teh Ayu? Kenapa enggak Kak Ar aja yang ke sana? Kak Ar yang punya urusan, bukan aku!" Eka menolaknya tegas seraya menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Arkana."Ayolah, Dek! Kali ini aja bantu aku, Dek. Soalnya aku enggak berani datang ke rumahnya Ayu," ungkap Ar ragu-ragu."Enggak berani kenapa, Kak?" Eka melotot dan berkacak pinggang. Dia menatap heran, bisa-bisanya Kak Ar tidak berani datang ke rumah Ayu, padahal sebentar lagi ia akan menjadi suaminya Ayu. Ar diam, kemudian membuang napas panjang. "Kalau aku yang ke sana, pastinya enggak dibolehin buat ketemu Ayu. Aku ma
"Dim, gue tau. Lu bukan cowok brengsek kayak di luaran sana. Lu cowok setia. Sebenarnya lu bukannya enggak tertarik sama cewek, tapi lu takut ... Apa yang pernah lu alami dulu sama Lia, terulang lagi."Ar beranjak bangun dari tempat duduknya, sementara Dimas langsung mendongak, ketika nama 'Lia' lolos dari mulut Ar begitu saja.Dimas merasakan gendang telinganya ingin pecah, saat Ar mengulik kembali masa lalunya."Lu cinta banget kan sama si Lia, sayangnya tuh cewek malah selingkuh. Akhirnya melakukan hubungan terlarang dan si Lia hamil."Dimas menahan diri untuk tidak meledak-ledak. Namun, dia mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Ada gejolak hebat, mengaduk-aduk di rongga dadanya.Kisah masa lalu, yang tidak akan pernah Dimas lupakan sampai kapan pun juga. Sekaligus menjadi, titik awal dirinya enggan mendekati wanita."Lia tuh cewek enggak bener, Dim. Buktinya, setelah ketahuan selingkuh, enggak lama kemudian dia hamil. Apa itu disebut cewek baik-baik, Dim?""Tuhan, lebih sayang sa
"Om, aku pengen minum kopi dingin," pinta Eka memelas, seraya melepaskan pelukannya dan sorot mata berbinar-binar. Dika mengerutkan keningnya. "Kopi dingin?" Kurang paham dengan apa yang diinginkan Eka. "Iya, Om. Kayaknya seger gitu, pagi-pagi ngopi dingin," jawabnya enteng seraya cengengesan seperti bocah yang ingin dibelikan es krim."Tidak boleh!" tegas Dika, setelah tahu niat sang istri. "Kenpaa enggak boleh, Om? Aku pengen minum kopi dingin." Eka sedikit memaksa. "Jangan kebanyakan minum es, Dek. Nanti radang tenggorokan," ungkap Dika mengingatkan. Namun, bukan Eka kalau langsung menyerah."Dikit aja, Om. Ya ... Suamiku yang ganteng, manis dan baik hati," bujuknya disertai rayuan maut."Tidak boleh, tetap tidak boleh! Meskipun sedikit atau banyak, tetap saja tidak boleh!" ucap Dika dengan tegas. Sekali dia mengambil keputusan, tidak bisa diganggu gugat. Saat ini, apa pun yang Eka konsumsi harus diperhatikan dengan baik. Tidak bisa asal pilih. "Ah, Om mah jahat. Padahal cuma
Hari berikutnya. Pagi yang cerah pun telah menyapa. Dika dan Eka bersiap untuk pergi jalan-jalan, menikmati hari yang penuh bahagia itu. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, keduanya harus berhenti di halaman depan.Di sana, sosok pemuda dua puluh lima tahun, berdiri gagah di samping motor sportnya. Baik Dika maupun Eka sudah tidak asing lagi dengan pemuda tersebut. Dialah yang kemarin membonceng Eka hingga ke rumah ini."Mau apa lagi, kamu datang ke sini?" Belum apa-apa, Dika sudah tersulut emosi. Dia mempercepat langkahnya, menghampiri pemuda itu. Mengikis jarak di antara keduanya.Eka tampak panik, lantaran tidak biasanya sang suami, bersikap demikian kepada orang baru."Om, tunggu dulu!" Eka mencoba menahannya. Namun, Dika sudah lebih dulu menarik kerah baju Dimas. "Ngapain lagi kamu datang ke sini, ah? Apa tidak cukup, kamu memukul wajah saya?" Dika berdengus kesal. Dia meninggikan suara dan menatap tajam lawan bicaranya.Alih-alih merasa takut, Dimas malah tersenyum kecil, seo
Di tempat terpisah. Masih di hari yang sama. Dimas pun sudah sampai di kosannya, setelah mengantar Eka pulang ke rumah.Dimas merebahkan tubuhnya di atas kasur lantai yang ukurannya muat untuk satu orang saja.Dia menatap langit-langit kamar kosannya yang sederhana. Hanya lampu LED menjadi penerang di ruangan ini.Dalam diamnya, Dimas kembali membayangkan, momen saat Eka memeluk pinggangnya sangat erat. Meskipun sudah berlalu beberapa jam. Akan tetapi, kesan dari pelukan itu, masih sangat terasa hingga detik ini.Selama perjalanan, Eka memang tidak mengatakan sepatah kata pun. Namun, Dimas bisa merasakan, kalau Eka saat itu sangat ketakutan. "Kira-kira, kenapa ya, dia tadi?" Dimas pun bergumam dan bertanya-tanya. Masalah apa yang sedang Eka hadapi, sehingga membuatnya sangat ketakutan seperti itu? Mungkinkah semua ini menyangkut pria yang dikatakannya sebagai 'Penculik' itu?Dimas menerka dan menebak kemungkinan yang ada. Namun, dia tidak sepenuhnya yakin dengan dugaan yang ada di d
Satu jam kemudian.[Minta, Lusi mengesahkan surat pengunduran dirinya. Mulai hari ini, dia bukan lagi karyawan di kantor saya!] tegas Dika, sangat serius. Dia sedang berbicara dengan seseorang dari sambungan telepon.[Tapi, Pak. Apa alasan pemecatannya?][Alasannya ... Karena, dia mencoba untuk membuat rumah tangga saya berantakan. Minta dia untuk mengurus surat pemberhentiannya. Sekarang!]Dika pun menyudahi sambungan telpon itu, tanpa menunggu jawaban dari Robi. Pria yang sangat ia percayai, untuk mengurus perusahaan.Sementara itu, Eka telah sadarkan diri. Dia menatap pria berstatus suaminya itu, dari kejauhan. Dia mendengar semua percakapan Dika dengan Robi tadi. Pria itu kah, yang beberapa saat lalu ia marahi? Pria yang sangat menyayanginya, tanpa mengharapkan balasan.Dika memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Kemudian dia berbalik badan, tepat saat itu, dia melihat Eka yang sudah sadarkan diri.Pandangannya dan Eka saling bertemu dalam satu garis lurus. Dari jarak dan pos
"Kakak!" rengek Eka, yang langsung menghambur ke dalam pelukan Arkana.Ya. Eka minta diantar untuk pulang ke kediaman Seputra. Kebetulan, Arkana ada di sana dan hendak pergi.Eka memeluk sang kakak dengan erat. Dari pelukan itu, Ar bisa merasakan ada sesuatu yang terjadi kepada adiknya itu."Ada apa ini, Dek? Kenapa kamu ada di sini?" Ar langsung mencecarnya dengan beberapa pertanyaan. Dia merenggangkan pelukan hangat adik tercintanya.Eka menangis tersedu-sedu, sontak membuat Ar kalang kabut. "Kenapa kamu, Dek? Kenapa nangis kayak gini? Siapa yang udah bikin kamu nangis, ah? Katakan, Dek! Apa Dika yang udah bikin kamu kayak gini?"Ar paling tidak suka dan membenci seseorang yang membuat adiknya menangis. Eka terisak-isak. Garis bawah matanya merah. Tubuh mungilnya bergetar hebat. Dia menundukkan kepalanya, walaupun Ar mencoba untuk mengangkatnya kembali."Kamu ke sini sama siapa?" tanya Ar lagi. "Dia datang bareng gue, Bro!" seru seseorang yang baru saja memasuki ruangan. Dia adal
"Dek! Tunggu!" teriak Mahardika, memanggil Eka berulang kali. Namun, wanita yang sedang hamil muda itu, tak menggubrisnya. Dia tetap berlari sekencang mungkin, melawati orang-orang yang ada di sana.Dika terus mengejar Eka yang berlari menuju lobby. Kendati sedang hamil, tetapi Eka masih mampu berlari kencang. Memiliki tubuh mungil, suatu keuntungan bagianya."Dek! Dengarkan aku dulu." Dika berhasil meraih tangan Eka. Namun, detik itu juga Eka langsung menariknya dengan kasar. Dika tersentak kaget. Ditatapnya Eka dengan perasaan tidak percaya. Sementara itu, Eka menjatuhkan tatapan nanar kepada suaminya sendiri. Sorot mata yang tidak pernah Dika lihat selama ini. Ada kekecewaan yang sangat mendalam dari mata Eka. Dika tidak menampik, kalau istrinya sangat marah sekarang. "Dengarkan penjelasan saya dulu, Dek. Apa yang kamu lihat, tidak seperti yang kamu pikirkan. Saya tidak melakukan apa-apa dengan Lusi!" ungkap Dika sedikit memelas. "Ini hanya kesalahpahaman saja. Kopi itu tidak