Satu jam kemudian. Sebuah mobil terparkir tepat di depan gerbang kediaman Mahardika dan Eka. Seorang pemuda di puluh lima tahun, keluar dari mobil tersebut. Tidak lupa juga, ia mengeluarkan koper berukuran sedang itu dari bagasi mobil. "Ini Pak, bayarannya. Terima kasih," kata pemuda itu, disertai senyuman lembut."Terima kasih." Dan pria setengah baya itu mengambil uang lembaran pecahan seratus ribu itu dari tangan pemuda tersebut.Setelah transaksi selesai, mobil itu segera pergi. Sedangkan pemuda tadi, menarik kopernya dan mendekati gerbang."Assalamualaikum, Pak. Apa Pak Mahardikanya ada di dalam?" tanya pemuda itu seramah mungkin."Waalaikumsalam ... Oh, Pak Dika. Ada, Dek. Ada keperluan apa ya, kalau saya boleh tahu?" "Katakan saja, Arkana ingin bertemu," kata pemuda itu memberi pemahaman singkat."Baik." Pak Rudi bergegas pergi, meninggalkan pos jaganya tanpa membukakan gerbang.Pemuda itu, memperhatikan sekitarnya yang tampak sangat sepi. Kawasan ini memang sepi karena mema
Setelah makan malam."Kakak beneran enggak mau nginep di sini?" tanya Eka, sedikit memohon. "Iya. Aku enggak mau ganggu kalian yang lagi menikmati hari-hari sebagai pengantin baru," jawab Arkana santai sambil mengacak-acak pucuk rambut sang adik."Tapi, aku masih kangen," rengek Eka memelas.Bagaimana tidak rindu, ia dan Arkana sudah tidak bertemu selama dua tahun lebih. Ya, walaupun sering berkomunikasi melalui video call. Namun, rasanya tetap berbeda ketika bisa bertatapan mata secara langsung. "Nanti kita menginap di rumah, Ayah," sambar Dika memberi solusi. "Kamu jangan sedih. Kita bisa menginap di rumah Ayah, nanti. Jadi, kamu bisa puas melepas rindu di sana.""Benar yang Dika katakan. Kamu bisa berkunjung ke rumah Ayah. Aku akan ada di sana." Arkana tersenyum simpul, menanggapi ucapan Dika.Meskipun usia keduanya terpaut lima tahun, tetapi status Dika adalah adik ipar dan Arkana adalah kakak ipar. Jadi, Dika harus lebih hormat kepada Arkana."Ok. Besok aku, sama Om Dika, bakal
"Assalamualaikum ..." Eka dan Dika mengucap salam berbarengan, seiring dengan langkah keduanya yang memasuki ruangan. "Waalaikumsalam," jawab mereka sembari menoleh serentak. "Kakek!" teriak Eka manja sambil berlari kecil, membentangkan tangan, kemudian memeluk pria paruh baya itu, seperti anak kecil yang sedang menyambut kedatangan ayahnya. Tingkahnya sangat antusias.Pria paruh baya itu, menyambutnya tidak kalah antuasiasnya. Memeluk cucuk menantu kesayangannya. Iya. Status Eka, adalah menantu Keluarga Wijaya."Kakek ada di sini juga?" tanya Dika, langsung mengenali sosok pria paruh baya, yang duduk bersebelahan dengan Teguh Saputra."Iya, Arkana yang mengundang, Kakek," jawab Bambang Wijaya, sembari melempar senyuman ke arah Arkana di sana."Aku kangen banget sama, Kakek," ungkap Eka bernada manja, sembari bergelayut manja di lengan pria paruh baya itu."Kakek juga sangat merindukan cucuk kesayangan Kakek, yang paling cerewet dan bawel ini." Bambang balik menggoda Eka sambil mena
Malam harinya. Eka pun memasuki kamar, di sana Dika sedang duduk di pinggir ranjang. Ibu jarinya asyik menggerakkan layar ponselnya. Mimik wajahnya begitu serius saat menatap benda pipih itu. "Om, lagi ngapain, serius banget?" selidik Eka sambil berjalan menghampiri sang suami.Saking penasarannya, Eka pun duduk tepat di samping Dika. Wajahnya sengaja didekatkan, sepasang mata itu melirik ke dalam layar ponsel yang sedang Mahardika mainkan."Saya lagi cari universitas yang cocok untuk kamu, Dek," jawab Dika santai. Dia menunjukkan layar ponselnya yang terpampang gedung-gedung universitas, seperti yang dipaparkannya.Eka menjauhkan pandangannya dari layar ponsel itu. Mulutnya membentuk huruf O besar dan mengeluarkan suara gumaman, "ouhhh.""Sebenarnya, aku punya pilihan sendiri untuk universitas-nya," tambahnya pelan. Dika mematikan layar ponselnya. Kini posisi duduknya sedikit serong, menghadap ke arah Eka, yang sedang menggigit bibir bawahnya. Terlihat sedikit gelisah. "Apa itu? K
Hari berikutnya. Semua orang berkumpul di depan meja makan dan duduk di tempat masing-masing. Sepasang pengantin baru itu, tampak sangat bahagia. Dika begitu sumringah ketika memandang wajah sang istri."Apaan si, Om. Lihat-lihat kayak gitu," gerutu Eka protes lantaran terus menerus diberi tatatapn menggoda dari sang suami, membuatnya sedikit tidak nyaman."Memangnya kenapa, Dek, kalau saya terus memandangi wajah kamu?" tanya Dika santai."Enggak enak dilihatin Ayah sama Kak Ar." Eka melirik Arkana dan Teguh, yang tampak saling berbisik."Lalu, apa ngaruhnya? Ya, biarin aja kalau Ayah sama Kak Ar memperhatikan kita. Toh, kita tidak sedang melakukan dosa. Benarkan, Ayah?"Teguh Saputra mengangguk, tanpa berkata. Namun, senyuman itu mengartikan banyak hal."Bukan itu, maksudnya, Om!" erang Eka, saking gemasnya dia sampai mencubit pinggang sang suami.Dika sedikit menggerakkan pinggulnya. Cubitan gemas sang istri, "jangan cubit-cubit, Dek. Nanti ada yang ..." Dia menjeda kalimatnya, kem
Satu hari sebelum Eka masuk universitas. Dika masih berada di kantor dan baru saja menyelesaikan rapatnya.[Dek, kamu siap-siap ya. Saya mau jemput kamu.] Tulis Dika pada aplikasi chat.Eka tidak lantas menjawab. Terlihat dia belum online sejak pukul 09.00. Dika terus memperhatikan layar ponselnya dan bertanya-tanya kemana kah istrinya itu? Biasanya dia selalu cepat balas chat. Sepuluh menit berselang, chat masih belum dijawab. Dika yang tidak sabaran menggerutu kesal. Akhirnya dia memilih menelpon juga.Sambungan telponnya langsung terhubung. Tak berselang lama terdengar suara dari ujung sana.[Assalamualaikum.] Suara wanita, yang sangat pamiliar di telinga Dika.[Waalaikumsalam, Bunda?] Dika sedikit terkejut, lantaran yang mengangkat telponnya bukanlah Eka, melainkan sang Bunda tercinta.[Tumben banget telpon. Ada apa? Kangen Eka ya?] Dijatuhi pertanyaan itu, Dika pun bergumam. [Heum, Eka mana, Bunda? Dia lagi sama Bunda?][Iya, Eka lagi sama, Bunda. Bunda ajak dia ke salon. Besok
"Ayo, Bunda iku! Kita makan siang bareng," ajak Eka sedikit merengek, sambil menarik-narik tangan Annata.Mimik wajahnya sengaja dibuat memelas, supaya Annata menuruti kemauannya untuk makan siang bersama.Berhubung sudah masuk jam makan siang, Dika berniat untuk mengajak Eka ke restoran yang biasa mereka datangi. Kebetulan ada Annata, Eka pun ingin ibu mertuanya itu ikut serta. "Kalian aja. Bunda enggak mau ganggu kebersamaan kalian. Bunda harus balik ke butik juga. Ada yang harus Bunda urus," tolak Annata halus, sekaligus memberi penjelasan. Namun, menantunya itu seolah enggan mengerti.Sudah menjadi tabiat Eka seperti itu, tapi baik Annata maupun Mahardika, tidak mempermasalahkan hal tersebut secara serius. Malah mereka seolah dibuat lebih berwarna dengan tingkah laku Eka."Heum, Bunda mah. Aku kan pengen banget makan siang bareng Bunda. Udah lama kita enggak makan bareng," rengek Eka kian manja. Annata sama sekali tidak marah. Dia menghadapinya santai dan tenang. Dika yang mempe
Sesampainya di restoran yang biasa datangi. Sepasang pengantin baru itu, segera menunju meja yang kosong, di dekat jendela.Eka sengaja memilih meja itu, sebab bisa melihat pemandangan jalan raya dan pertokoan sekitar.Tak berselang lama, pelayan pun datang. Ia menyapa dengan sangat ramah dan kemudian menyodorkan buku menu kepada Eka dan Dika."Kamu mau makan apa, Dek?" tanya Dika lembut, sambil melihat-lihat daftar menu yang ada di restoran tersebut."Biasa, Om. Ayam bakar pedes. Hari ini aku pengen banget makan yang pedes-pedes." "Mba, aku pesan ini ya. Satu porsi," lapor Eka pada pelayan itu sambil menunjuk salah satu gambar pada buku menu tersebut.Pelayan itu mengangguk paham, segera ia mencatat pesanan yang Eka inginkan. Kemudian dia menatap kembali sepasang suami itu. "Om mau makan apa? Om jangan makan yang pedes ya," tambah Eka memberi peringatan kepada Mahadirga, yang memang dilarang untuk makan masakan pedas.Dika mengerutkan keningnya. Ada raut kekesalan di wajah tampanny
"Maafin, aku ya, Ayu. Aku minta Eka untuk ajak kamu ke sini," ungkap Ar seraya menghela napas berat.Ar mengajak Ayu untuk berjalan-jalan santai, menelusuri keramaian di pameran. Hembusan angin malam dan kencangnya musik di sana, menambah kesan romantis bagi dua insan yang sedang mabuk asmara. "Iya, Aa. Enggak apa-apa. Ayu paham kok, apa yang Aa rasakan. Soalnya Ayu pun, merasakan hal yang sama, yang mungkin Aa rasakan sekarang."Seketika itu juga, Ar menghentikan langkahnya. Dia berdiri menatap calon istrinya itu. Keduanya berdiri telah di depan komedi putar. "Kamu mau tahu enggak, Yu. Sebenarnya apa yang aku rasakan sekarang?"Gadis cantik itu berpikir keras. Beberapa detik berselang, dia menggeleng cepat. "Tidak tahu! Ayu kan, bukan cenayang yang bisa membaca isi pikiran Aa," jawabnya sedikit bercanda.Ar pun merasa gemas dibuatnya. Terasa ketegangan itu, seakan berangsur hilang. Kendati demikian, Ar masih merasa gugup. Memikirkan hari H, yang tinggal menghitung jari, membuatnya
TUJUH HARI MENUJU HARI H.Eka sekeluarga sudah berada di Bandung, sebab resepsi pernikahan akan diadakan di Bandung, di tempat mempelai wanita.Persiapan sudah hampir selesai, surat undangan pun telah disebarkan. Acaranya akan digelar di rumah Ayu. "Ayolah, Dek. Bantu kakak!" mohon Ar dengan sungguh-sungguh sambil menarik-narik tangan Eka supaya mau membantunya."Kenapa harus aku yang datang ke rumahnya Teh Ayu? Kenapa enggak Kak Ar aja yang ke sana? Kak Ar yang punya urusan, bukan aku!" Eka menolaknya tegas seraya menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Arkana."Ayolah, Dek! Kali ini aja bantu aku, Dek. Soalnya aku enggak berani datang ke rumahnya Ayu," ungkap Ar ragu-ragu."Enggak berani kenapa, Kak?" Eka melotot dan berkacak pinggang. Dia menatap heran, bisa-bisanya Kak Ar tidak berani datang ke rumah Ayu, padahal sebentar lagi ia akan menjadi suaminya Ayu. Ar diam, kemudian membuang napas panjang. "Kalau aku yang ke sana, pastinya enggak dibolehin buat ketemu Ayu. Aku ma
"Dim, gue tau. Lu bukan cowok brengsek kayak di luaran sana. Lu cowok setia. Sebenarnya lu bukannya enggak tertarik sama cewek, tapi lu takut ... Apa yang pernah lu alami dulu sama Lia, terulang lagi."Ar beranjak bangun dari tempat duduknya, sementara Dimas langsung mendongak, ketika nama 'Lia' lolos dari mulut Ar begitu saja.Dimas merasakan gendang telinganya ingin pecah, saat Ar mengulik kembali masa lalunya."Lu cinta banget kan sama si Lia, sayangnya tuh cewek malah selingkuh. Akhirnya melakukan hubungan terlarang dan si Lia hamil."Dimas menahan diri untuk tidak meledak-ledak. Namun, dia mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Ada gejolak hebat, mengaduk-aduk di rongga dadanya.Kisah masa lalu, yang tidak akan pernah Dimas lupakan sampai kapan pun juga. Sekaligus menjadi, titik awal dirinya enggan mendekati wanita."Lia tuh cewek enggak bener, Dim. Buktinya, setelah ketahuan selingkuh, enggak lama kemudian dia hamil. Apa itu disebut cewek baik-baik, Dim?""Tuhan, lebih sayang sa
"Om, aku pengen minum kopi dingin," pinta Eka memelas, seraya melepaskan pelukannya dan sorot mata berbinar-binar. Dika mengerutkan keningnya. "Kopi dingin?" Kurang paham dengan apa yang diinginkan Eka. "Iya, Om. Kayaknya seger gitu, pagi-pagi ngopi dingin," jawabnya enteng seraya cengengesan seperti bocah yang ingin dibelikan es krim."Tidak boleh!" tegas Dika, setelah tahu niat sang istri. "Kenpaa enggak boleh, Om? Aku pengen minum kopi dingin." Eka sedikit memaksa. "Jangan kebanyakan minum es, Dek. Nanti radang tenggorokan," ungkap Dika mengingatkan. Namun, bukan Eka kalau langsung menyerah."Dikit aja, Om. Ya ... Suamiku yang ganteng, manis dan baik hati," bujuknya disertai rayuan maut."Tidak boleh, tetap tidak boleh! Meskipun sedikit atau banyak, tetap saja tidak boleh!" ucap Dika dengan tegas. Sekali dia mengambil keputusan, tidak bisa diganggu gugat. Saat ini, apa pun yang Eka konsumsi harus diperhatikan dengan baik. Tidak bisa asal pilih. "Ah, Om mah jahat. Padahal cuma
Hari berikutnya. Pagi yang cerah pun telah menyapa. Dika dan Eka bersiap untuk pergi jalan-jalan, menikmati hari yang penuh bahagia itu. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, keduanya harus berhenti di halaman depan.Di sana, sosok pemuda dua puluh lima tahun, berdiri gagah di samping motor sportnya. Baik Dika maupun Eka sudah tidak asing lagi dengan pemuda tersebut. Dialah yang kemarin membonceng Eka hingga ke rumah ini."Mau apa lagi, kamu datang ke sini?" Belum apa-apa, Dika sudah tersulut emosi. Dia mempercepat langkahnya, menghampiri pemuda itu. Mengikis jarak di antara keduanya.Eka tampak panik, lantaran tidak biasanya sang suami, bersikap demikian kepada orang baru."Om, tunggu dulu!" Eka mencoba menahannya. Namun, Dika sudah lebih dulu menarik kerah baju Dimas. "Ngapain lagi kamu datang ke sini, ah? Apa tidak cukup, kamu memukul wajah saya?" Dika berdengus kesal. Dia meninggikan suara dan menatap tajam lawan bicaranya.Alih-alih merasa takut, Dimas malah tersenyum kecil, seo
Di tempat terpisah. Masih di hari yang sama. Dimas pun sudah sampai di kosannya, setelah mengantar Eka pulang ke rumah.Dimas merebahkan tubuhnya di atas kasur lantai yang ukurannya muat untuk satu orang saja.Dia menatap langit-langit kamar kosannya yang sederhana. Hanya lampu LED menjadi penerang di ruangan ini.Dalam diamnya, Dimas kembali membayangkan, momen saat Eka memeluk pinggangnya sangat erat. Meskipun sudah berlalu beberapa jam. Akan tetapi, kesan dari pelukan itu, masih sangat terasa hingga detik ini.Selama perjalanan, Eka memang tidak mengatakan sepatah kata pun. Namun, Dimas bisa merasakan, kalau Eka saat itu sangat ketakutan. "Kira-kira, kenapa ya, dia tadi?" Dimas pun bergumam dan bertanya-tanya. Masalah apa yang sedang Eka hadapi, sehingga membuatnya sangat ketakutan seperti itu? Mungkinkah semua ini menyangkut pria yang dikatakannya sebagai 'Penculik' itu?Dimas menerka dan menebak kemungkinan yang ada. Namun, dia tidak sepenuhnya yakin dengan dugaan yang ada di d
Satu jam kemudian.[Minta, Lusi mengesahkan surat pengunduran dirinya. Mulai hari ini, dia bukan lagi karyawan di kantor saya!] tegas Dika, sangat serius. Dia sedang berbicara dengan seseorang dari sambungan telepon.[Tapi, Pak. Apa alasan pemecatannya?][Alasannya ... Karena, dia mencoba untuk membuat rumah tangga saya berantakan. Minta dia untuk mengurus surat pemberhentiannya. Sekarang!]Dika pun menyudahi sambungan telpon itu, tanpa menunggu jawaban dari Robi. Pria yang sangat ia percayai, untuk mengurus perusahaan.Sementara itu, Eka telah sadarkan diri. Dia menatap pria berstatus suaminya itu, dari kejauhan. Dia mendengar semua percakapan Dika dengan Robi tadi. Pria itu kah, yang beberapa saat lalu ia marahi? Pria yang sangat menyayanginya, tanpa mengharapkan balasan.Dika memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Kemudian dia berbalik badan, tepat saat itu, dia melihat Eka yang sudah sadarkan diri.Pandangannya dan Eka saling bertemu dalam satu garis lurus. Dari jarak dan pos
"Kakak!" rengek Eka, yang langsung menghambur ke dalam pelukan Arkana.Ya. Eka minta diantar untuk pulang ke kediaman Seputra. Kebetulan, Arkana ada di sana dan hendak pergi.Eka memeluk sang kakak dengan erat. Dari pelukan itu, Ar bisa merasakan ada sesuatu yang terjadi kepada adiknya itu."Ada apa ini, Dek? Kenapa kamu ada di sini?" Ar langsung mencecarnya dengan beberapa pertanyaan. Dia merenggangkan pelukan hangat adik tercintanya.Eka menangis tersedu-sedu, sontak membuat Ar kalang kabut. "Kenapa kamu, Dek? Kenapa nangis kayak gini? Siapa yang udah bikin kamu nangis, ah? Katakan, Dek! Apa Dika yang udah bikin kamu kayak gini?"Ar paling tidak suka dan membenci seseorang yang membuat adiknya menangis. Eka terisak-isak. Garis bawah matanya merah. Tubuh mungilnya bergetar hebat. Dia menundukkan kepalanya, walaupun Ar mencoba untuk mengangkatnya kembali."Kamu ke sini sama siapa?" tanya Ar lagi. "Dia datang bareng gue, Bro!" seru seseorang yang baru saja memasuki ruangan. Dia adal
"Dek! Tunggu!" teriak Mahardika, memanggil Eka berulang kali. Namun, wanita yang sedang hamil muda itu, tak menggubrisnya. Dia tetap berlari sekencang mungkin, melawati orang-orang yang ada di sana.Dika terus mengejar Eka yang berlari menuju lobby. Kendati sedang hamil, tetapi Eka masih mampu berlari kencang. Memiliki tubuh mungil, suatu keuntungan bagianya."Dek! Dengarkan aku dulu." Dika berhasil meraih tangan Eka. Namun, detik itu juga Eka langsung menariknya dengan kasar. Dika tersentak kaget. Ditatapnya Eka dengan perasaan tidak percaya. Sementara itu, Eka menjatuhkan tatapan nanar kepada suaminya sendiri. Sorot mata yang tidak pernah Dika lihat selama ini. Ada kekecewaan yang sangat mendalam dari mata Eka. Dika tidak menampik, kalau istrinya sangat marah sekarang. "Dengarkan penjelasan saya dulu, Dek. Apa yang kamu lihat, tidak seperti yang kamu pikirkan. Saya tidak melakukan apa-apa dengan Lusi!" ungkap Dika sedikit memelas. "Ini hanya kesalahpahaman saja. Kopi itu tidak