Satu hari sebelum Eka masuk universitas. Dika masih berada di kantor dan baru saja menyelesaikan rapatnya.[Dek, kamu siap-siap ya. Saya mau jemput kamu.] Tulis Dika pada aplikasi chat.Eka tidak lantas menjawab. Terlihat dia belum online sejak pukul 09.00. Dika terus memperhatikan layar ponselnya dan bertanya-tanya kemana kah istrinya itu? Biasanya dia selalu cepat balas chat. Sepuluh menit berselang, chat masih belum dijawab. Dika yang tidak sabaran menggerutu kesal. Akhirnya dia memilih menelpon juga.Sambungan telponnya langsung terhubung. Tak berselang lama terdengar suara dari ujung sana.[Assalamualaikum.] Suara wanita, yang sangat pamiliar di telinga Dika.[Waalaikumsalam, Bunda?] Dika sedikit terkejut, lantaran yang mengangkat telponnya bukanlah Eka, melainkan sang Bunda tercinta.[Tumben banget telpon. Ada apa? Kangen Eka ya?] Dijatuhi pertanyaan itu, Dika pun bergumam. [Heum, Eka mana, Bunda? Dia lagi sama Bunda?][Iya, Eka lagi sama, Bunda. Bunda ajak dia ke salon. Besok
"Ayo, Bunda iku! Kita makan siang bareng," ajak Eka sedikit merengek, sambil menarik-narik tangan Annata.Mimik wajahnya sengaja dibuat memelas, supaya Annata menuruti kemauannya untuk makan siang bersama.Berhubung sudah masuk jam makan siang, Dika berniat untuk mengajak Eka ke restoran yang biasa mereka datangi. Kebetulan ada Annata, Eka pun ingin ibu mertuanya itu ikut serta. "Kalian aja. Bunda enggak mau ganggu kebersamaan kalian. Bunda harus balik ke butik juga. Ada yang harus Bunda urus," tolak Annata halus, sekaligus memberi penjelasan. Namun, menantunya itu seolah enggan mengerti.Sudah menjadi tabiat Eka seperti itu, tapi baik Annata maupun Mahardika, tidak mempermasalahkan hal tersebut secara serius. Malah mereka seolah dibuat lebih berwarna dengan tingkah laku Eka."Heum, Bunda mah. Aku kan pengen banget makan siang bareng Bunda. Udah lama kita enggak makan bareng," rengek Eka kian manja. Annata sama sekali tidak marah. Dia menghadapinya santai dan tenang. Dika yang mempe
Sesampainya di restoran yang biasa datangi. Sepasang pengantin baru itu, segera menunju meja yang kosong, di dekat jendela.Eka sengaja memilih meja itu, sebab bisa melihat pemandangan jalan raya dan pertokoan sekitar.Tak berselang lama, pelayan pun datang. Ia menyapa dengan sangat ramah dan kemudian menyodorkan buku menu kepada Eka dan Dika."Kamu mau makan apa, Dek?" tanya Dika lembut, sambil melihat-lihat daftar menu yang ada di restoran tersebut."Biasa, Om. Ayam bakar pedes. Hari ini aku pengen banget makan yang pedes-pedes." "Mba, aku pesan ini ya. Satu porsi," lapor Eka pada pelayan itu sambil menunjuk salah satu gambar pada buku menu tersebut.Pelayan itu mengangguk paham, segera ia mencatat pesanan yang Eka inginkan. Kemudian dia menatap kembali sepasang suami itu. "Om mau makan apa? Om jangan makan yang pedes ya," tambah Eka memberi peringatan kepada Mahadirga, yang memang dilarang untuk makan masakan pedas.Dika mengerutkan keningnya. Ada raut kekesalan di wajah tampanny
"Ada apa dengan kalian?" tanya Ar dengan raut wajah keheranan, menatap dan menggerakkan jari telunjuknya ke arah Dika serta Eka bergantian.Bukan Ar saja, tapi Eka pun juga menjatuhkan tatapan penuh keheranan kepada Dika."Kalian kenapa melihat saya seperti itu? Apa ada yang salah dengan saya?" Dia bertanya seolah tidak memahami situasi."Seharusnya aku yang tanya. Kenapa Om, enggak mau nonton film? Biasanya, Om seneng banget ajak aku ke bioskop buat nonton film?" Eka menjawab cepat. Dia membeberkan sedikit hal yang menjadi kesenangan Mahardika. Sementara sang aktor utama memilih untuk tak langsung menjawab.Pikirannya sedang mencari kata-kata yang tepat untuk menyusun kalimat jawabannya."Dika lagi cemburu tuh, Dek," celetuk Ar, sebelum Dika selesai berpikir.Pemuda dua puluh lima tahun itu, seolah bisa membaca pikiran dari sang adik ipar. Dika tidak terlalu terkejut karena yang dikatakan Ar benar adanya."Cemburu?" Eka mengerutkan keningnya. Semula dia menatap Ar, kini telah memali
"Dek, bangun. Udah subuh," ucap Dika lembut, sambil mengelus pipi chubby istrinya.Sentuhan lembut pria tiga puluh tahun itu, membuat Eka menggeliat manja layaknya putri malu yang ketika disentuh, maka akan terkantup."Heummmmmm .... entar lagi, Om. Aku masih ngantuk," erang Eka bernada manja seperti anak kucing yang malah bangun dan matanya masih terpejam erat, walaupun Dika sudah berusaha membangunkannya sedari tadi. Dika menghela napas panjang. Kembali ia melihat jam dinding yang berada di sudut ruangan. "Dek, udah jam lima. Kapan kamu mau bangun? Seharusnya hari ini kamu ke kampus kan?" Pria tiga puluh tahun itu, masih berusaha untuk membangunkan sang istri. Kalimat demi kalimat coba Dika ucapkan. Namun, Eka masih enggan tersadar dari mimpinya."Ya sudah kalau kamu masih pengen tidur. Hari ini kita enggak jadi ke kampus. Kamunya aja malas bangun," sambungnya, yang kali ini nada suaranya sedikit ditinggikan.Tiba-tiba Eka membuka matanya, seolah kalimat yang baru saja terucap l
Selesai sarapan. Dika pun mengecek ulang keperluan Eka untuk ke kampus. Dia mengubek-ngubek kembali ransel hitam itu."Saya sudah masukin cemilan, permen dan bekel makan siang. Kamu harus makan bekelnya nanti. Saya tidak mau, kamu jajan sembarangan. Jadi, saya sudah taruh cemilan di tas," ujar Dika dengan raut wajah serius.Eka yang memperhatikan dari jarak satu meter pun, sedikit memiringkan kepalanya. Dipandanginya terus menerus, wajah tampan sang suami. Didengarnya terus celoteh itu. Anehnya, sama sekali tidak membuat bosan atau sakit kepala."Kenapa kamu liatin saya seperti itu? Ada yang salah, Dek?" tanya Dika sedikit ketus, sebab Eka sedari tadi hanya cengengesan tanpa kata. Gerak geriknya mencurigakan dan patut untuk diwaspadai.Eka menggeleng cepat. Bukannya menjawab, dia melompat dan berlari. Memeluk Dika penuh semangat dan antusias."Aku sangat mencintaimu, Om," ucapnya kemudian."Terima kasih, suamiku tersayang," tambahnya dengan nada suara manja, seperti yang biasa ia laku
"Kamu jaga diri baik-baik ya, Dek. Nanti kalau sudah selesai, hubungi saya," pesan Dika terdengar berat. Saking tidak ingin berpisah, ia sampai menggenggam erat kedua tangan Eka. Ya, berat ketika harus berpisah dengan istri tercinta, padahal bukan untuk pergi jauh, melainkan untuk menuntut ilmu. Bahkan sore pun sudah bisa bertemu kembali. Eka mengangguk penuh yakin, "iya, Om. Aku akan ingat pesan suamiku tersayang," katanya kemudian sambil merapatkan giginya karena gemas dengan sikap Mahadirga yang manja."Om Dika, tenang aja. Aku pasti kabarin, kalau udah selesai kok. Sekarang Om semangat kerjanya, ya. Semangat!""Iya, Dek. Kamu juga ya. Semangat belajarnya."Muachhhhhhhhhhh!Dika mengecup kening Eka penuh kehangatan. "Udah, Om! Jangan cium-cium aku. Entar ada yang lihat gimana?" protes Eka, bernada kesal dan sedikit mendorong bidang dada suaminya, supaya lebih menjaga jaraknya.Berhubung mereka sedang berada di tempat sepi, jauh dari keramaian. Jadi, adegan tadi tidak ada yang me
Satu jam kemudian. Dika pun sudah sampai kampus. Mobilnya berhenti tepat di depan Eka. Raut wajah gadis mungil itu tampak sangat bete. Dalam satu kali lihat, Dika sudah menebak bahwasanya, mood sang istri sedang tidak baik-baik saja. Drama apa yang harus ia hadapi setelah ini?Eka pun masuk ke mobil. Kemudian duduk dan pasang sabuk pengaman. Wajahnya masih saja ditekuk seperti tumpukan pakaian di dalam keranjang. "Kamu kenapa, Dek? Gimana kuliahnya? Lancar?" cecar Dika penasaran sambil memasang senyuman tipis, seolah tidak paham dengan mood sang istri. "Udah jalan aja dulu mobilnya, entar aku ceritain," jawab Eka bernada jutek. Dika mengangguk cepat, "siap, Tuan Putri!" tambahnya penuh semangat dan sedikit menertawakan tingkah konyol sang istri.Dika geleng-geleng kepala. Tidak menampik, bahwasanya ia memiliki istri yang super manja dan terkadang menyebalkan di beberapa kesempatan. Meskipun demikian, ia tidak menyesali pernikahan ini. Menurutnya, Eka adalah wanita spesial dan ses
"Maafin, aku ya, Ayu. Aku minta Eka untuk ajak kamu ke sini," ungkap Ar seraya menghela napas berat.Ar mengajak Ayu untuk berjalan-jalan santai, menelusuri keramaian di pameran. Hembusan angin malam dan kencangnya musik di sana, menambah kesan romantis bagi dua insan yang sedang mabuk asmara. "Iya, Aa. Enggak apa-apa. Ayu paham kok, apa yang Aa rasakan. Soalnya Ayu pun, merasakan hal yang sama, yang mungkin Aa rasakan sekarang."Seketika itu juga, Ar menghentikan langkahnya. Dia berdiri menatap calon istrinya itu. Keduanya berdiri telah di depan komedi putar. "Kamu mau tahu enggak, Yu. Sebenarnya apa yang aku rasakan sekarang?"Gadis cantik itu berpikir keras. Beberapa detik berselang, dia menggeleng cepat. "Tidak tahu! Ayu kan, bukan cenayang yang bisa membaca isi pikiran Aa," jawabnya sedikit bercanda.Ar pun merasa gemas dibuatnya. Terasa ketegangan itu, seakan berangsur hilang. Kendati demikian, Ar masih merasa gugup. Memikirkan hari H, yang tinggal menghitung jari, membuatnya
TUJUH HARI MENUJU HARI H.Eka sekeluarga sudah berada di Bandung, sebab resepsi pernikahan akan diadakan di Bandung, di tempat mempelai wanita.Persiapan sudah hampir selesai, surat undangan pun telah disebarkan. Acaranya akan digelar di rumah Ayu. "Ayolah, Dek. Bantu kakak!" mohon Ar dengan sungguh-sungguh sambil menarik-narik tangan Eka supaya mau membantunya."Kenapa harus aku yang datang ke rumahnya Teh Ayu? Kenapa enggak Kak Ar aja yang ke sana? Kak Ar yang punya urusan, bukan aku!" Eka menolaknya tegas seraya menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Arkana."Ayolah, Dek! Kali ini aja bantu aku, Dek. Soalnya aku enggak berani datang ke rumahnya Ayu," ungkap Ar ragu-ragu."Enggak berani kenapa, Kak?" Eka melotot dan berkacak pinggang. Dia menatap heran, bisa-bisanya Kak Ar tidak berani datang ke rumah Ayu, padahal sebentar lagi ia akan menjadi suaminya Ayu. Ar diam, kemudian membuang napas panjang. "Kalau aku yang ke sana, pastinya enggak dibolehin buat ketemu Ayu. Aku ma
"Dim, gue tau. Lu bukan cowok brengsek kayak di luaran sana. Lu cowok setia. Sebenarnya lu bukannya enggak tertarik sama cewek, tapi lu takut ... Apa yang pernah lu alami dulu sama Lia, terulang lagi."Ar beranjak bangun dari tempat duduknya, sementara Dimas langsung mendongak, ketika nama 'Lia' lolos dari mulut Ar begitu saja.Dimas merasakan gendang telinganya ingin pecah, saat Ar mengulik kembali masa lalunya."Lu cinta banget kan sama si Lia, sayangnya tuh cewek malah selingkuh. Akhirnya melakukan hubungan terlarang dan si Lia hamil."Dimas menahan diri untuk tidak meledak-ledak. Namun, dia mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Ada gejolak hebat, mengaduk-aduk di rongga dadanya.Kisah masa lalu, yang tidak akan pernah Dimas lupakan sampai kapan pun juga. Sekaligus menjadi, titik awal dirinya enggan mendekati wanita."Lia tuh cewek enggak bener, Dim. Buktinya, setelah ketahuan selingkuh, enggak lama kemudian dia hamil. Apa itu disebut cewek baik-baik, Dim?""Tuhan, lebih sayang sa
"Om, aku pengen minum kopi dingin," pinta Eka memelas, seraya melepaskan pelukannya dan sorot mata berbinar-binar. Dika mengerutkan keningnya. "Kopi dingin?" Kurang paham dengan apa yang diinginkan Eka. "Iya, Om. Kayaknya seger gitu, pagi-pagi ngopi dingin," jawabnya enteng seraya cengengesan seperti bocah yang ingin dibelikan es krim."Tidak boleh!" tegas Dika, setelah tahu niat sang istri. "Kenpaa enggak boleh, Om? Aku pengen minum kopi dingin." Eka sedikit memaksa. "Jangan kebanyakan minum es, Dek. Nanti radang tenggorokan," ungkap Dika mengingatkan. Namun, bukan Eka kalau langsung menyerah."Dikit aja, Om. Ya ... Suamiku yang ganteng, manis dan baik hati," bujuknya disertai rayuan maut."Tidak boleh, tetap tidak boleh! Meskipun sedikit atau banyak, tetap saja tidak boleh!" ucap Dika dengan tegas. Sekali dia mengambil keputusan, tidak bisa diganggu gugat. Saat ini, apa pun yang Eka konsumsi harus diperhatikan dengan baik. Tidak bisa asal pilih. "Ah, Om mah jahat. Padahal cuma
Hari berikutnya. Pagi yang cerah pun telah menyapa. Dika dan Eka bersiap untuk pergi jalan-jalan, menikmati hari yang penuh bahagia itu. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, keduanya harus berhenti di halaman depan.Di sana, sosok pemuda dua puluh lima tahun, berdiri gagah di samping motor sportnya. Baik Dika maupun Eka sudah tidak asing lagi dengan pemuda tersebut. Dialah yang kemarin membonceng Eka hingga ke rumah ini."Mau apa lagi, kamu datang ke sini?" Belum apa-apa, Dika sudah tersulut emosi. Dia mempercepat langkahnya, menghampiri pemuda itu. Mengikis jarak di antara keduanya.Eka tampak panik, lantaran tidak biasanya sang suami, bersikap demikian kepada orang baru."Om, tunggu dulu!" Eka mencoba menahannya. Namun, Dika sudah lebih dulu menarik kerah baju Dimas. "Ngapain lagi kamu datang ke sini, ah? Apa tidak cukup, kamu memukul wajah saya?" Dika berdengus kesal. Dia meninggikan suara dan menatap tajam lawan bicaranya.Alih-alih merasa takut, Dimas malah tersenyum kecil, seo
Di tempat terpisah. Masih di hari yang sama. Dimas pun sudah sampai di kosannya, setelah mengantar Eka pulang ke rumah.Dimas merebahkan tubuhnya di atas kasur lantai yang ukurannya muat untuk satu orang saja.Dia menatap langit-langit kamar kosannya yang sederhana. Hanya lampu LED menjadi penerang di ruangan ini.Dalam diamnya, Dimas kembali membayangkan, momen saat Eka memeluk pinggangnya sangat erat. Meskipun sudah berlalu beberapa jam. Akan tetapi, kesan dari pelukan itu, masih sangat terasa hingga detik ini.Selama perjalanan, Eka memang tidak mengatakan sepatah kata pun. Namun, Dimas bisa merasakan, kalau Eka saat itu sangat ketakutan. "Kira-kira, kenapa ya, dia tadi?" Dimas pun bergumam dan bertanya-tanya. Masalah apa yang sedang Eka hadapi, sehingga membuatnya sangat ketakutan seperti itu? Mungkinkah semua ini menyangkut pria yang dikatakannya sebagai 'Penculik' itu?Dimas menerka dan menebak kemungkinan yang ada. Namun, dia tidak sepenuhnya yakin dengan dugaan yang ada di d
Satu jam kemudian.[Minta, Lusi mengesahkan surat pengunduran dirinya. Mulai hari ini, dia bukan lagi karyawan di kantor saya!] tegas Dika, sangat serius. Dia sedang berbicara dengan seseorang dari sambungan telepon.[Tapi, Pak. Apa alasan pemecatannya?][Alasannya ... Karena, dia mencoba untuk membuat rumah tangga saya berantakan. Minta dia untuk mengurus surat pemberhentiannya. Sekarang!]Dika pun menyudahi sambungan telpon itu, tanpa menunggu jawaban dari Robi. Pria yang sangat ia percayai, untuk mengurus perusahaan.Sementara itu, Eka telah sadarkan diri. Dia menatap pria berstatus suaminya itu, dari kejauhan. Dia mendengar semua percakapan Dika dengan Robi tadi. Pria itu kah, yang beberapa saat lalu ia marahi? Pria yang sangat menyayanginya, tanpa mengharapkan balasan.Dika memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Kemudian dia berbalik badan, tepat saat itu, dia melihat Eka yang sudah sadarkan diri.Pandangannya dan Eka saling bertemu dalam satu garis lurus. Dari jarak dan pos
"Kakak!" rengek Eka, yang langsung menghambur ke dalam pelukan Arkana.Ya. Eka minta diantar untuk pulang ke kediaman Seputra. Kebetulan, Arkana ada di sana dan hendak pergi.Eka memeluk sang kakak dengan erat. Dari pelukan itu, Ar bisa merasakan ada sesuatu yang terjadi kepada adiknya itu."Ada apa ini, Dek? Kenapa kamu ada di sini?" Ar langsung mencecarnya dengan beberapa pertanyaan. Dia merenggangkan pelukan hangat adik tercintanya.Eka menangis tersedu-sedu, sontak membuat Ar kalang kabut. "Kenapa kamu, Dek? Kenapa nangis kayak gini? Siapa yang udah bikin kamu nangis, ah? Katakan, Dek! Apa Dika yang udah bikin kamu kayak gini?"Ar paling tidak suka dan membenci seseorang yang membuat adiknya menangis. Eka terisak-isak. Garis bawah matanya merah. Tubuh mungilnya bergetar hebat. Dia menundukkan kepalanya, walaupun Ar mencoba untuk mengangkatnya kembali."Kamu ke sini sama siapa?" tanya Ar lagi. "Dia datang bareng gue, Bro!" seru seseorang yang baru saja memasuki ruangan. Dia adal
"Dek! Tunggu!" teriak Mahardika, memanggil Eka berulang kali. Namun, wanita yang sedang hamil muda itu, tak menggubrisnya. Dia tetap berlari sekencang mungkin, melawati orang-orang yang ada di sana.Dika terus mengejar Eka yang berlari menuju lobby. Kendati sedang hamil, tetapi Eka masih mampu berlari kencang. Memiliki tubuh mungil, suatu keuntungan bagianya."Dek! Dengarkan aku dulu." Dika berhasil meraih tangan Eka. Namun, detik itu juga Eka langsung menariknya dengan kasar. Dika tersentak kaget. Ditatapnya Eka dengan perasaan tidak percaya. Sementara itu, Eka menjatuhkan tatapan nanar kepada suaminya sendiri. Sorot mata yang tidak pernah Dika lihat selama ini. Ada kekecewaan yang sangat mendalam dari mata Eka. Dika tidak menampik, kalau istrinya sangat marah sekarang. "Dengarkan penjelasan saya dulu, Dek. Apa yang kamu lihat, tidak seperti yang kamu pikirkan. Saya tidak melakukan apa-apa dengan Lusi!" ungkap Dika sedikit memelas. "Ini hanya kesalahpahaman saja. Kopi itu tidak