‘Sial! Harus kemana aku mencarinya! Apa perlu aku mencari seorang Office Girl dengan pakaian seperti ini! bisa-bisa menurunkan harga diriku! Tapi sudah kepalang tanggung. Aku harus menuntaskan penyelidikan ini supaya terbebas daru rasa penasaranku!”
Elang turun dari mobil dan merapihkan jasnya. Dia tak mau menghabiskan waktu sia-sia. Lebih baik dia menghubungi salah satu orang yang berpengaruh di rumah sakit ini.
Namun Elang kembali berpikir. “Apa pantas seorang investor mencari seorang Office Girl. Apalagi kalau mereka sampai tahu kalau wanita itu istriku. Tidak. Hal itu tak boleh terjadi. Lebih baik aku bertanya kepada security saja. Siapa tahu aku bisa mendapat informasi dari mereka.”
Elang bergegas menuju lift untuk mencari ruang bagian informasi..
Setelah tiba dia bertanya kepada salah satu security yang ada di depan pintu lift.
“Maaf, Saya mau tanya. Apa salah satu Office Girl di sini ada yang benama Zahra?&rdquo
“Permisi, Dok.” Seorang peawat yang memakai jilbab masuk ke ruangan dr. Zahra.“Iya.” Jawab Zahra sembari membetulkan letak duduknya.“Di depan ada pasien yang terlihat sangat pucat dan mengeluhkan sakit kepala yang tak tertahankan. Bolehkah beliau menjadi pasien pertama, Dok?”“Boleh. Silakan.”“Baik, Dok.”Lalu perawat tersebut keluar dan menyuruh kepada security untuk membantu memapah Elang.“Mari saya bantu, Pak.” Ucapa pria yang memakai baju safari warna hitam.Elang tersentak dan menengadahkan kepala. Wajahnya pucat seperti mayat. Dia masih tidak bisa mengendalikan diri dan masih syok dengan kenyataan yang dihadapi. Tak ada jawaban apapun yang keluar dari mulutnya yang menganga lebar.“Wajah Bapak pucat sekali. Mari saya bantu masuk ke dalam.” Security menawarkan jasa untuk membantu Elang. Namun pria angkuh yang sudah tak bertaring itu men
Elang menurut saja saat perawat memerintahkan untuk berbaring. Dia sangat syok hingga tak mampu berkata apapun.Perawat berlalu sembari menutup korden.Zahra juga masih sangat syok dan tak tahu harus berbuat apa. Namun dia harus bersikap profesional sebagai seorang dokter. Dia tetap harus memeriksa pasiennya sekalipun itu suaminya sendiri.“Bismillah.” Zahra menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Setelah itu dia menarik masker ke atas dan ke bawah hingga menutupi sebagian wajahnya. Setelah dirasa aman, dia lalu menyibak korden dan mendekat ke arah pasien.Elang masih terdiam. Pria itu masih belum bisa menetralisir rasa terkejutnya.“Maaf, tolong dibuka kancing bajunya. Saya mau periksa,” Ucap Zahra kepada Elang. Entah kenapa baru kali ini dia merasa menjadi orang yang paling bodoh dengan menyuruh pasien membuka kancing bajunya.“Baik,” jawab Elang singkat. Suaranya terdengar parau.Zah
Elang pulang lebih awal dari biasanya dengan wajah kusut.“Baru pulang, Nak?” tanya Widya saat melihat putranya terlihat sangat lelah.“Iya. Pekerjaan hari ini sangat melelahkan.” Jawab Elang sembari mencium punggung tangan mamahnya.“Ya, sudah. Kamu istirahat dulu. Mamah siapkan teh panas untukmu.”“Kenapa harus Mamah? Apa ... Zahra belum pulang?” tanya Elang sedikit ragu. BiasanyaZahralah yang mempersiapkan seluruh kebutuhannya.“Tumben kamu tanya tentang Dia? Biasanya kamu juga cuek!’ Tanya baskoro sembari menyeruput teh panas yang ada di meja.“Memangnya tidak boleh? Percuma saja kalau aku punya istri tapi tetap saja Mamah yang menyiapkan keperluanku!” tegas Elang tak mau kalah.“Kamu’kan punya dua istri. Kenapa tak kau suruh istrimu yang satunya? Jangan memperlakukan Jessica seperti ratu. Bisa besar kepala dia!” jawab Baskoro dengan kesal.
Elang memutuskan untuk menelpon Zahra. Namun dia tak menemukan nama istri pertamanya itu pada phone booknya. Dan dia baru mengingat sesuatu sembari menepuk keningnya.“Astaga! Aku tak pernah menyimpan nomor telponnya! Acch ... sial!”“Ada apa, Elang?” tanya Baskoro yang tiba-tba saja sudah ada di hadapan Elang. Pria itu membuat Elang terkejut.‘Mmm aku ... aku ....” Elang sangat gugup dan berusaha menutupinya. Tak ingin papahnya tahu tentang isi hatinya.“Kamu mencari Zahra?” tanya Baskoro langsung. Dia tahu anaknya punya ego yang tinggi. Takkan mungkin mengakui perasaannya.‘Tidak. Aku hanya ....”‘Zahra menginap di rumah orangtuanya. Tadi sudah minta ijin sama Papah!”‘Apa? menginap di rumah orangtuanya? Bagaimana mungkin. Dan kenapa Dia tidak meminta ijin kepadaku, tapi malah minta ijin kepada papah! Aku yang suaminya, bukan Papah!” elang sangat ter
Zahra merasakan bumi tempatnya berpijak seperti berputar. Sejenak memejamkan mata untuk mengurangi rasa pusing di kepala.“Ssss.” Zahra mendesis dan merasakan perih pada ujung bibirnya.“Kak, Zahra. Kau tidak apa-apa?” Yunus mencoba menolong wanita paling sempurna di matanya.“Jangan sentuh istriku!” tegas Elang dan mencoba menjauhkan Yunus dari Zahra.Pemuda itu tak tinggal diam. Sorot matanya begitu tajam seolah siap menguliti siapapun yang berada di hadapan. Rahangnya mengeras dan tangannya mengepal dan terayun ke arah Elang. Satu pukulan mendarat di pipi kakak yang selama ini sangat dihormatinya.“Yunus! Tahan emosimu, Nak!” Baskoro memegangi tubuh putra bungsunya yang terlihat sangat emosi.“Kau berani memukulku, Yunus?!” tatapan mata Elang sangat tak bersahabat.“Ini bukan balasan dari pukulan Kakak terhadapku. Tapi untuk pukulan terhadap Kak Zahra!” jawab Y
‘Tapi itu cara yang salah, Pah. Kau tahu’kan bagaimana sifat Elang. Dia tak bisa mengontrol emosinya.”“Iya, Mah. Papah janji gak akan mengulanginya. Maafin Papah ya?”Baskoro mengecup puncak kepala istrinya. Keduanya melangkah beriringan menuju kamar untuk beristirahat.***Zahra masuk ke dalam kamar dan merebahkan diri di atas peraduan. Mencoba mengatur napas untuk mengontrol emosinya. Hari ini terasa begitu melelahkan. Ditambah lagi dengan masalah yang baru saja dialaminya. Semua sangat menguras emosi.Zahra saja masih ragu apakah suaminya masih percaya kalau wanita yang bertemu di rumah sakit tadi bukan dirinya. Namun Zahra tahu suaminya bukan orang yang dengan mudah untuk dibohongi. Tetap saja harus berhati-hati dan sebisa mungkin menghindarinya sampai siap untuk membuka jatidiri yang sebenarnya.“Permisi.’ Terdengar suara dari luar. Belum sempat Zahra menjawabnya pintu sudah terbuka. Alangkah t
51.“Astaga, sudah jam berapa ini? kenapa tak ada yang membangunkan aku!” Elang memicingkan mata saat sinar sang mentari mulai masuk ke dalam kamar.“Aw!” Elang memegangi lehernya yang terasa sakit. Dia mengamati tempat sekitar.“Kenapa aku bisa tidur di sini?” Elang baru menyadari kalau dia tidak tidur di kamarnya melainkan di kamar istri pertamanya. Dia juga baru menyadari kalau tertidur di sofa. Hal inilah yang menyebabkan lehernya terasa sakit.Dengan terus memegangi punggung dan leher, Elang keluar menuju kamarnya dengan tergesa. Lalu bergegas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badan.Ketika keluar dari kamar mandi hanya dengan melilitkan handuk yang menutupi bagian perut ke bawah, Elang terkejut saat melihat Zahra sedang ada di kamarnya.“Sedang apa kamu di sini?” sentaknya seraya berlari ke arah jendela dan berusaha menutupi tubuhnya di balik gordyn.“Aku hanya menyiapk
“Pak, Ibu saya berangkat dulu.” Zahra berpamitan kepada Baskoro dan Widya.“Tidak makan dulu?”‘Tidak usah, Pak. Nanti makan di kantin saja. Sudah kesiangan,” jawab Zahra.“Iya, hati-hati.”“Mari aku antar, Kak. Kebetulan kita satu arah.” Ucap Yunus dengan menyudahi makan paginya. Matanya berbinar kala melihat wanita yang lebih tua darinya tapi membuat hatinya bergetar. Yunus tahu ini salah karena dia menyukai istri dari kakaknya. Namun perasaan tak bisa dibohongi. Benih-benih cinta tumbuh begitu saja saat sering mengobrol dengan kakak iparnya itu.“Jangan macam-macam, Yunus! Dia itu istriku!” Elang mengebrak meja makan. Selera makannya menghilang saat mendengar adiknya begitu berani.“Aku tahu Kak Zahra memang istrimu. Tapi Kakak membiarkan Kak Zahra berangkat kerja sendiri bahkan terkadang memakai kendaraan umum. Lalu apa aku salah jika ingin mengantarnya menggun
“Lia?! Apa kabar?”“Alhamdulillah baik, Mbak!”Keduanya berpelukan dengan erat. Terpancar sinar kebahagiaan dari wajah wanita berhijab itu.“Silakan duduk.” Zahra menarik bangku untuk tamu specialnya.“Terimakasih, Mbak.”“Iya. Sama-sama.”Kemudian Zahra mengambil tempat duduk di seberang. Kini keduanya saling berhadapan.“Oh, ya. Kamu mau pesan apa?” Zahra memberikan buku menu kepada Lia.“Avocado juice sama manggo and banana smoothies.” Jawab Lia sembari mendorong perlahan buku menu tanpa membacanya.“Oke. Untuk makan siangnya kamu mau pesan apa?”“Itu saja sudah cukup, Mbak. Bagiku itu sudah menjadi menu untuk makan siangku.”“Apa kau tidak makan nasi?’ Zahra bertanya penuh selidik sembari menatap tubuh Lia dari ujung kepala hingga ujung kaki. Body yang sangat sempurna dan ideal. Wajahnya juga terlihat bersih dan cerah.“Aku lagi mengurangi karbo, Mbak. Sudah lama tidak makan nasi. Semenjak Mas Budi ketahuan ada benjolan di kepala dan juga riwayat diabetes dan hipertensi dari almar
Elang terperanjat. Pria itu tak mengira jika akan mendapat pertanyaan yang begitu menohok. Sesaat hanya bisa terdiam. Mengenang masa itu hanya akan membuat luka lama yang sudah terkubur, kembali terbuka.“Kenapa diam?!” pertanyaan sang istri membuyarkan lamunan.“Tidak ada apa-apa di antara kami. Yang aku tahu dia itu adiknya Budi. Betul’kan?” Elang berkilah. Dia berusaha untuk menghindar dari pertanyaan.“Itu benar. Yang aku tanyakan hubungan di antara kalian!” Zahra mempertegas pertanyannya.Elang menarik napas dalam. Dadanya terasa sesak seolah tak ada oksigen yang masuk ke dalam organ pernafasannya.“Sudahlah. Aku mau mandi dulu!” Elang menepuk pipi sang istri dengan lembut dan senyum yang sedikit dipaksakan.“Elang! Jangan menghindar! Jujurlah dan jawab pertanyaanku!” Zahra mencekal pergelangan tangan suaminya dengan sedikit meninggikan ucapan.“Aku sudah menjawabnya! Apa lagi yang harus dijawab!” Elang mengibaskan tangannya dengan kasar hingga terlepas dari genggaman tangan sang
Gadis berparas ayu nan anggun itu menghentikan langkah saat mendengar seseorang yang memanggil namanya. Kini tatapan matanya tertuju ke arah suara yang memanggilnya. Sejenak mengamati wajah Zahra yang kini semakin pucat dan tirus. “Mbak Zahra?!”“Iya. Kau masih mengenaliku, Lia?” tanya Zahra dengan wajah berbinar.“Tentu saja. Apa kabar, Mbak?”“Kabar baik. Kamu sendiri bagaimana?”“Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Mmm ... sepertinya Mbak terlihat lebih langsing. Dan membuatku hampir saja tak mengenali Mbak.” Gadis cantik itu ternyata bukan hanya cantik pada parasnya saja. Melainkan juga mempunyai sopan santun dan etika yang baik. Walau dari melihat fisiknya saja dia tahu jika wanita di hadapannya sedang tidak baik-baik saja. Namun ucapannya tidak menyinggung perasaan.“Bilang saja kurus kering, karena tubuhku ini sedang digerogoti oleh penyakit yang berbahaya,” jawab Zahra dengan tersenyum kecut. Ada rasa nyeri yang berarang di dada.Zahra tahu jika Lia tak ingin menyakiti perasaan
“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu kepadamu, Elang! Aku yang sekarang bukan lagi istri yang bisa kau banggakan. Aku kini penyakitan dan tidak cantik lagi. Bahkan nanti setelah kemoterapy, rambutku akan mengalami kerontokan. Aku takkan cantik lagi. Dan aku yakin kau akan jijik denganku dan pasti meninggalkanku. Setidaknya jika kau menikah sekarang, aku takkan lebih sakit hati jika masa itu datang. Aku tak mau kau meninggalkanku di saat aku terpuruk.” Zahra menangis terisak. Dia tak sanggup lagi membayangkan jika lelaki yang dicinta akan pergi meninggalkannya.Elang mendekap sang istri dan mengecup puncak kepalanya.“Sayang, aku berjanji kepadamu kalau aku takkan pernah meninggalkanmu dalam keadaan apapun. Hanya maut yang dapat memisahkan kita. Aku mohon percayalah padaku, Sayang.”Zahra semakin terisak. Dalam pelukan lelakinya dia menumpahkan segala kesedihan dan rasa takut. “Aku takut kalau aku akan meninggal, Lang!”“Istighfar. Semua makhluk bernyawa pasti akan pergi meninggal
Zahra dan suami selesai menunaikan ibadah sholat tahajud. Keduanya memanjatkan do’a kepada sang pencipta.Elang berdo’a untuk kesembuhan sang istri tercinta. Hanya itu harapan terbesar satu-satunya untuk saat ini. Tak ada keinginan lain selain kesembuhan sang bidadari.Zahra pun sama khusyuknya dalam berdo’a. Do’a yang dipanjatkan tak hanya untuk dirinya sendiri. Tak lupa pula dia memohon kepada sang pencipta untuk kebahagiaan suaminya. Terutama dengan syarat yang akan diajukan olehnya untuk sang suami.Zahra sudah memikirkan matang tentang rencananya. Setelah melalui pemikiran panjang, keputusan terberat harus di ambil demi sang suami. Semoga saja ini yang terbaik untuk semuanya.“Sayang. Apa kau sudah selesai berdo’a?” pertanyaan Elang membuat Zahra terkejut.“Sudah,” jawab Zahra dengan gugup sembari mengecup punggung tangan suaminya.“Apa kau akan membicarakan syarat yang kau ajukan sekarang atau nanti?’ Elang menembak langsung dengan pertanyaan. Dia memang tak bisa berbasa-basi da
Elang berdo’a dengan begitu khusyuk. Dia sangat berharap jika Tuhan mengabulkan do’a untuk kesembuhan istrinya. Di setiap rintihan do’a tiada henti menyebut nama istri tercinta.Dalam jarak yang tak terlalu jauh, sayup terdengar suara seorang pria yang cukup familiar di telinga Elang. Do’a yang dipanjatkan begitu tulus dan menggugah jiwa.Elang menajamkan telinga untuk mendengar do’a yang membuatnya larut dalam kesedihan. Do’a seorang ayah yang berharap untuk kesembuhan putrinya.“Ya. Alloh. Hamba mohon berikanlah kesembuhan untuk putri hamba. Dia adalah separuh dari nyawa yang ada dalam raga ini. Hamba tak sanggup melihat putri hamba menderita. Jika Engkau berkenan, Hamba bersedia menukar nyawa hamba demi kesembuhannya. Hamba ikhlas Ya Alloh. Hamba ikhlas.” Suara pria itu bergetar dalam isak tangis. Dia pun bersujud dan menumpahkan kesedihan di atas sajadah yang membentang.Elang terkejut mendengar do’a dari insan yang penuh harap. Dia menyadari jika suara itu milik ayah mertuanya. K
Zahra sudah menjalani serangkaian tes sebelum operasi. Dia berusaha untuk tegar dan tak terlihat sedih di mata suaminya. Namun pandangan kosong tak mampu menyembunyikan rasa sedih yang tergambar jelas pada mata sayunya.Gadis cantik itu bersandar pada dinding pembatas balkon yang berada di depan kamarnya. Udara pagi yang begitu bersih mampu menyegarkan pikiran.Biasanya di pagi hari, dia selalu berolahraga bersama suami. Namun semenjak mengetahui ada kista dalam tubuhnya, membuat semangatnya untuk beraktifitas menurun. Bahkan semangat hidupnya ikut menurun hingga sangat mempengaruhi kualitas sexualitasnya.Untuk sementara, Zahra mengambil cuti dari pekerjaan. Dia akan fokus untuk pengobatan penyakitnya.“Sayang, kamu sedang apa?” Elang memeluk pinggang mungil sang istri dari arah belakang. Pria itu tetap romantis walaupun tubuh istrinya tak seindah dulu.“Elang. Aku hanya ingin menghirup udara pagi dan berjemur di sini. Kamu tidak olah raga?” Zahra membalikkan badan. Kini keduanya sal
Zahra mendatangi dr. Arumi untuk memeriksakan diri. Tentunya ditemani oleh suami yang sangat setia.“Bagaimana, Dok? Apa saya hamil?” tanya Zahra saat baru saja selesai diperiksa oleh dr. Arumi.“Tidak. Anda tidak hamil.”“Lalu, kenapa Saya tidak menstruasi?”“Sudah berapa lama Anda tidak menstruasi?” tanya dr. Arumi.“Tiga bulan, Dok.” Jawab Zahra dengan singkat.Dr. Arumi menarik napas panjang sepertinya ada sesuatu yang menyesakkan dada.“Seharusnya Anda bisa datang ke sini lebih awal. Minimal setelah tahu bahwa Anda terlambat datang bulan di bulan pertama.”“Memangnya kenapa, Dok?” Zahra bertanya dengan cemas. Walau dia sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan dokter pribadinya.“Begini, dr. Zahra. Saya harus menyampaikan hal ini walau kurang mengenakkan.”“Bagaimana, dok? Tolong katakan dengan jelas!” Zahra terlihat mulai gelisah. Dia menatap ke arah suaminya.Elang hanya bisa tersenyum dan menggenggam erat jemari sang istri. Pria itu berusaha menguatkan istrinya. Walau sesun
“Bagaimana dengan kondisi rahim saya, Dok? Apa kecelakaan yang menimpa saya beberapa waktu lalu berpengaruh terhadap rahim saya?” dan apa Saya bisa hamil lagi dengan segera?” tanya Zahra kepada dr. Arumi setelah selesai menjalani pemeriksaan.“Sabar, Sayang. Nanya’nya satu-satu.” Elang berkata lirih kepada sang istri.“Iya. Maaf.”“Silakan duduk.’” Dr. Arumi mempersilakan Zahra dan suaminya duduk.“Begini, dr. Zahra. secara keseluruhan kondisi rahim Anda cukup baik. Namun karena Anda baru saja melahirkan secara operasi, ada baiknya Anda menunda hingga tiga atau empat tahun ke depan. Saya rasa sebagai dokter, Anda tahu resikonya.”“Iya. Sebenarnya saya tahu, Dok. Hanya saja, saya ingin sekali segera punya anak lagi.”“Saran saya, lebih baik dokter menikmati masa-masa indah dulu bersama suami. Dan jangan terlalu memikirkan hal ini, hingga bisa membuat anda tertekan. Saya tahu kehilangan seorang anak tidaklah mudah. Namun Anda harus bisa segera bangkit dan membuang semua beban yang ada d