“Zahra! ikulah denganku!” Budi mengulurkan tangannya.“Ke mana?” “Bertemu dengan seseorang!”“Siapa?”“Nanti kau juga akan tahu! Ayo!”Dengan ragu Zahra menyambut uluran tangan calon suaminya. Keduanyapun berjalan berdampingan. Tak ada kesan romantis. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.Sesampainya mereka di lantai atas resto, Budi menghentikan langkah. Begitu juga dengan Zahra yang hampir saja menabrak Budi yang berada di hadapan.Semilir angin menerpa wajah nan ayu. Gadis itu mengedarkan pandangan. Tak terlihat seseorangpun di sana. Bangku yang berjajar terlihat kosong.“Kok kosong. Sebenarnya kita mau ketemu siapa sih?” bisik Zahra lirih. Sepertinya dia merasa takut dengan suasana yang begitu sunyi. Dia makin erat menggenggam jemari Budi.“Kau lihat pria yang berdiri dan bersandar pada pembatas kaca itu?” Budi menunjuk ke arah seorang pria yang sedang memandang ke arah jalan. Tatapan pria itu begitu kosong, seolah tanpa harapan.Zahra menatap ke arah mana telunjuk Budi. D
Zahra masih terus menangis. Hatinya diliputi oleh keraguan. Satu sisi, dia bisa saja membatalkan pernikahan dengan Budi dan menikah dengan elang. Namun Zahra tahu betul jika Budi sangat mencintainya. Tentu saja hal itu akan membuatnya sedih dan kecewa.Dan bagaimana dengan rasa malu yang harus ditanggung oleh keluarganya. Bagaimana keluarganya harus memberikan alasan kepada keluarga Budi. Sungguh semua menjadi dilema.“Sekarang, hapus air matamu. Temuilah Elang dan bicarakan apa yang ingin kau katakan padanya. Aku tunggu kau di bawah. Oke?” Budi menghapus air mata di pipi Zahra. Setelah itu dia pun melangkahkan kakinya. Namun baru saja selangkah, Zahra menghentikan dengan menarik tangannya.“Mas Budi, jangan tinggalkan aku! Aku tidak mau bertemu dengan Elang! Tolonglah!” Zahra berteriak cukup keras hingga membuat Elang mendengarnya.Pria itu mengerutkan kening untuk memastikan siapa wanita yang berteriak. Elang memperhatikan kedua orang yang sepertinya sedang bertengkar. Cahaya remang
“Elang! Aku tak ingin menikah dengan wanita yang hatinya sudah menjadi milik orang lain. Zahra itu masih sangat mencintaimu. Dan aku yakin kau juga punya perasaan yang sama.”“Omong kosong! Percuma aku datang kesini hanya untuk mendengarkan bualanmu saja! Buang-buang waktu saja! Lebih baik aku pergi dari pada mendengar ocehan orang yang sedang mabuk sepertimu!” Elang meninggalkan Budi dengan kesal. Namun Budi mencegahnya dan berhasil mencekal pergelangan tangannya.“Aku tidak mabuk dan dalam keadaan sadar sepenuhnya. Apa yang aku katakan bisa dipertanggungjawabkan. Aku mohon, bicaralah dengan Zahra. Apapun keputusan dia nanti, aku siap menerima dengan lapang dada, sekalipun engkaulah yang akan dipilih oleh Zahra!”Suara Budi kembali bergetar. Hatinya benar-benar tersayat. Namun hal ini harus dilakukan demi kebahagiaan Zahra. Dia tak boleh egois dan hanya memikirkan diri sendiri.Setelah itu Budi memutuskan untuk pergi dan menunggu Zahra di lantai bawah. Budi tak peduli saat Zahra yang
“Sayangku. Mungkin kita memang tidak berjodoh. Dan ... sekuat apapun kita mempertahankan hubungan kita ... kalau memang takdir tak berpihak kepada kita. Kita takkan bisa menyatu. Dan kita harus bisa menerima dengan lapang dada.” Elang menghapus air mata di pipi zahra.“Jadi maksudmu ... aku harus tetap menikah dengan Budi?”“Iya. Budi orang yang baik. Dia tidak bersalah. Kalau kau membatalkan pernikahan dan menikah denganku itu akan sangat menyakiti hatinya. Apalagi dia baru saja sembuh dari keterpurukan. Belum lagi keluarganya dan juga keluargamu. Akan banyak yang kena imbasnya dari hubungan kita. Kau juga harus memikirkan semuanya! Kita tak boleh egois dan hanya memikirkan diri kita sendiri!”“Jadi keputusanmu akan meninggalkanku? Kau tak mencintaiku, Elang?” tanya Zahra dengan perasaan hancur. Harapan untuk bersama pria yang dicinta pupus sudah.“Bukan begitu. Maksudku ...”“Apa kau akan menikah dengann wanita lain?”“Kalau kau tak menginginkannya, aku bersedia untuk tak menikah de
Sepanjang perjalanan tak ada sepatah katapun yang terucap baik dari Zahra maupun Budi. Pria itupun tak berani bertanya. Sesekali hanya melirik ke arah wanita yang berada di sampingnya. Walau tak terlihat tangisan di sana, tapi Budi yakin pasti hati sucinya sedang dalam keadaan bimbang dan sedih.Budi hanya bisa diam dan terus berkonsentrasi dalam mengemudi.Setelah hampir dua puluh menit berlalu, mereka sampai di rumah Zahra.“Sudah sampai.” Budi membuka percakapan.“Oh, ya. Terimakasih.” Jawab Zahra singkat dengan wajah datar.Budi melihat calon istrinya akan membuka pintu mobil. Sepertinya dia memang tak mau bercerita apapun. Namun budi tak bisa diam saja. Dia harus tahu apa keputusan Zahra setelah bertemu dengan Elang.“Zahra. Tunggu!” seru Budi saat Zahra sudah turun dari mobil.Budipun turun dan memutari mobil. Lalu berhenti di depan Zahra.“Bisa kita bicara sebentar?”“Boleh. Kita duduk di sana.” Zahra menunjuk ke salah satu meja bundar dengan kursi yang sudah tertata rapi.Sebe
Hari ini seharusnya menjadi hari yang paling bahagia dan dinantikan oleh calon pengantin. Senyum kebahagiaan terpancar dari wajah yang telah dipoles oleh make up yang sempurna.Namun hal itu tidak terjadi kepada Zahra. Walau make up yang menempel begitu sempurna tak mampu menutupi kesedihan pada wajahnya. Kebaya pengantin berwarna putih tak mampu mencerahkan mendung yang menggelayut pada wajahnya. Sorot matanya kosong dan tak ada senyum yang menghiasi wajahnya.Sang pengantin wanita hanya bisa menatap ke luar lewat jendela kamar di mana dia berdiri saat ini. Tatapannya masih kosong dan tanpa asa.Gadis berhijab itu menatap langit yang sangat cerah. Tak nampak sedikitpun awan hitam menutupi pancaran cahaya mentari.Zahra menatap langit dan ingin mencurahkan hatinya.“Hai, langit. Hari ini aku akan menjadi istri dari pria yang tidak aku cintai. Aku akan menjadi orang lain yang berpura-pura hidup bahagia dengan pernikahan tanpa cinta. Setelah ini aku tak bisa menjadi diriku kembali. Aku
“Kamu dari mana saja?” tanya Ibu Budi saat melihat putranya muncul. Sedari tadi dia tak melihat putranya hingga membuatnya cemas.“Tadi kan aku sudah bilang dari toilet, Bu.” Jawab Budi dengan tersenyum.“Ya sudah. Tuh, lihat. Calon istrimu cantik sekali. Seandainya saja ... ““Sstt.” Budi meletakkan telunjuk di bibir memberi kode kepada ibunya untuk diam.Budi menatap ke arah Elang yang sedang berjalan menuju kursi tamu undangan di bagian paling depan. Lagi-lagi ada yang berdenyut dari dalam dadanya. Rasa sakit yang sulit terlukiskan dengan kata-kata.Pada saat yang bersamaan tatapan keduanya bersirobok. Sejenak Budi terlihat tidak nyaman. Namun perasaannya berubah tenang saat Elang tersenyum dan menganggukkan kepala. Budipun membalasnya dengan menguntai senyum manis.Terlihat calon pengantin wanita yang begitu cantik dan mulai memasuki ruang untuk ijab kabul bersama ibunya. Semua mata menatap kagum terhadap kecantikan sang pengantin. Walau terlihat sedrhana tapi terkesan elegan dan
“Karena saya ... “ sejenak budi menghentikan ucapannya. Pria itu menngambil napas dalam sembari menundukkan kepala. Sangat sulit untuk mengatakan hal ini. tenggorokannya terasa tercekat dan seolah tak mampu untuk meneruskan kata. Tangannya semakin erat menggengam sang ibu.“Apa yang akan kau ucapkan?!” elang terdiam ditempat. Dia sangat cemas menunggu ucapan Budi yang terhenti.Para tamu undangan semakin bertanya-tanya. Mereka saling berbisik dengan opini masing-masing.“Ibu. Tolong kuatkan aku.” Tangan Budi gemetar. Bibirnya juga bergetar.“Bicaralah, Nak. insya alloh keputusanmu yang terbaik untuk kedua belah pihak.” Sang bunda berusaha menguatkan putranya. Sekuat mungkin wanita itu menahan air mata, namun tak mampu. Air mata mengalir deras membasahi pipi yang mulai keriput.“Katakan apa yang ingin kau katakan, Budi!” kembali Elang berteriak dengan kesal.“Mohon maaf. Aku akan membatalkan pernikahan ini!” seru Budi dalam satu tarikan napas. Dia terlihat lebih tenang dari sebelumnya.
“Lia?! Apa kabar?”“Alhamdulillah baik, Mbak!”Keduanya berpelukan dengan erat. Terpancar sinar kebahagiaan dari wajah wanita berhijab itu.“Silakan duduk.” Zahra menarik bangku untuk tamu specialnya.“Terimakasih, Mbak.”“Iya. Sama-sama.”Kemudian Zahra mengambil tempat duduk di seberang. Kini keduanya saling berhadapan.“Oh, ya. Kamu mau pesan apa?” Zahra memberikan buku menu kepada Lia.“Avocado juice sama manggo and banana smoothies.” Jawab Lia sembari mendorong perlahan buku menu tanpa membacanya.“Oke. Untuk makan siangnya kamu mau pesan apa?”“Itu saja sudah cukup, Mbak. Bagiku itu sudah menjadi menu untuk makan siangku.”“Apa kau tidak makan nasi?’ Zahra bertanya penuh selidik sembari menatap tubuh Lia dari ujung kepala hingga ujung kaki. Body yang sangat sempurna dan ideal. Wajahnya juga terlihat bersih dan cerah.“Aku lagi mengurangi karbo, Mbak. Sudah lama tidak makan nasi. Semenjak Mas Budi ketahuan ada benjolan di kepala dan juga riwayat diabetes dan hipertensi dari almar
Elang terperanjat. Pria itu tak mengira jika akan mendapat pertanyaan yang begitu menohok. Sesaat hanya bisa terdiam. Mengenang masa itu hanya akan membuat luka lama yang sudah terkubur, kembali terbuka.“Kenapa diam?!” pertanyaan sang istri membuyarkan lamunan.“Tidak ada apa-apa di antara kami. Yang aku tahu dia itu adiknya Budi. Betul’kan?” Elang berkilah. Dia berusaha untuk menghindar dari pertanyaan.“Itu benar. Yang aku tanyakan hubungan di antara kalian!” Zahra mempertegas pertanyannya.Elang menarik napas dalam. Dadanya terasa sesak seolah tak ada oksigen yang masuk ke dalam organ pernafasannya.“Sudahlah. Aku mau mandi dulu!” Elang menepuk pipi sang istri dengan lembut dan senyum yang sedikit dipaksakan.“Elang! Jangan menghindar! Jujurlah dan jawab pertanyaanku!” Zahra mencekal pergelangan tangan suaminya dengan sedikit meninggikan ucapan.“Aku sudah menjawabnya! Apa lagi yang harus dijawab!” Elang mengibaskan tangannya dengan kasar hingga terlepas dari genggaman tangan sang
Gadis berparas ayu nan anggun itu menghentikan langkah saat mendengar seseorang yang memanggil namanya. Kini tatapan matanya tertuju ke arah suara yang memanggilnya. Sejenak mengamati wajah Zahra yang kini semakin pucat dan tirus. “Mbak Zahra?!”“Iya. Kau masih mengenaliku, Lia?” tanya Zahra dengan wajah berbinar.“Tentu saja. Apa kabar, Mbak?”“Kabar baik. Kamu sendiri bagaimana?”“Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Mmm ... sepertinya Mbak terlihat lebih langsing. Dan membuatku hampir saja tak mengenali Mbak.” Gadis cantik itu ternyata bukan hanya cantik pada parasnya saja. Melainkan juga mempunyai sopan santun dan etika yang baik. Walau dari melihat fisiknya saja dia tahu jika wanita di hadapannya sedang tidak baik-baik saja. Namun ucapannya tidak menyinggung perasaan.“Bilang saja kurus kering, karena tubuhku ini sedang digerogoti oleh penyakit yang berbahaya,” jawab Zahra dengan tersenyum kecut. Ada rasa nyeri yang berarang di dada.Zahra tahu jika Lia tak ingin menyakiti perasaan
“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu kepadamu, Elang! Aku yang sekarang bukan lagi istri yang bisa kau banggakan. Aku kini penyakitan dan tidak cantik lagi. Bahkan nanti setelah kemoterapy, rambutku akan mengalami kerontokan. Aku takkan cantik lagi. Dan aku yakin kau akan jijik denganku dan pasti meninggalkanku. Setidaknya jika kau menikah sekarang, aku takkan lebih sakit hati jika masa itu datang. Aku tak mau kau meninggalkanku di saat aku terpuruk.” Zahra menangis terisak. Dia tak sanggup lagi membayangkan jika lelaki yang dicinta akan pergi meninggalkannya.Elang mendekap sang istri dan mengecup puncak kepalanya.“Sayang, aku berjanji kepadamu kalau aku takkan pernah meninggalkanmu dalam keadaan apapun. Hanya maut yang dapat memisahkan kita. Aku mohon percayalah padaku, Sayang.”Zahra semakin terisak. Dalam pelukan lelakinya dia menumpahkan segala kesedihan dan rasa takut. “Aku takut kalau aku akan meninggal, Lang!”“Istighfar. Semua makhluk bernyawa pasti akan pergi meninggal
Zahra dan suami selesai menunaikan ibadah sholat tahajud. Keduanya memanjatkan do’a kepada sang pencipta.Elang berdo’a untuk kesembuhan sang istri tercinta. Hanya itu harapan terbesar satu-satunya untuk saat ini. Tak ada keinginan lain selain kesembuhan sang bidadari.Zahra pun sama khusyuknya dalam berdo’a. Do’a yang dipanjatkan tak hanya untuk dirinya sendiri. Tak lupa pula dia memohon kepada sang pencipta untuk kebahagiaan suaminya. Terutama dengan syarat yang akan diajukan olehnya untuk sang suami.Zahra sudah memikirkan matang tentang rencananya. Setelah melalui pemikiran panjang, keputusan terberat harus di ambil demi sang suami. Semoga saja ini yang terbaik untuk semuanya.“Sayang. Apa kau sudah selesai berdo’a?” pertanyaan Elang membuat Zahra terkejut.“Sudah,” jawab Zahra dengan gugup sembari mengecup punggung tangan suaminya.“Apa kau akan membicarakan syarat yang kau ajukan sekarang atau nanti?’ Elang menembak langsung dengan pertanyaan. Dia memang tak bisa berbasa-basi da
Elang berdo’a dengan begitu khusyuk. Dia sangat berharap jika Tuhan mengabulkan do’a untuk kesembuhan istrinya. Di setiap rintihan do’a tiada henti menyebut nama istri tercinta.Dalam jarak yang tak terlalu jauh, sayup terdengar suara seorang pria yang cukup familiar di telinga Elang. Do’a yang dipanjatkan begitu tulus dan menggugah jiwa.Elang menajamkan telinga untuk mendengar do’a yang membuatnya larut dalam kesedihan. Do’a seorang ayah yang berharap untuk kesembuhan putrinya.“Ya. Alloh. Hamba mohon berikanlah kesembuhan untuk putri hamba. Dia adalah separuh dari nyawa yang ada dalam raga ini. Hamba tak sanggup melihat putri hamba menderita. Jika Engkau berkenan, Hamba bersedia menukar nyawa hamba demi kesembuhannya. Hamba ikhlas Ya Alloh. Hamba ikhlas.” Suara pria itu bergetar dalam isak tangis. Dia pun bersujud dan menumpahkan kesedihan di atas sajadah yang membentang.Elang terkejut mendengar do’a dari insan yang penuh harap. Dia menyadari jika suara itu milik ayah mertuanya. K
Zahra sudah menjalani serangkaian tes sebelum operasi. Dia berusaha untuk tegar dan tak terlihat sedih di mata suaminya. Namun pandangan kosong tak mampu menyembunyikan rasa sedih yang tergambar jelas pada mata sayunya.Gadis cantik itu bersandar pada dinding pembatas balkon yang berada di depan kamarnya. Udara pagi yang begitu bersih mampu menyegarkan pikiran.Biasanya di pagi hari, dia selalu berolahraga bersama suami. Namun semenjak mengetahui ada kista dalam tubuhnya, membuat semangatnya untuk beraktifitas menurun. Bahkan semangat hidupnya ikut menurun hingga sangat mempengaruhi kualitas sexualitasnya.Untuk sementara, Zahra mengambil cuti dari pekerjaan. Dia akan fokus untuk pengobatan penyakitnya.“Sayang, kamu sedang apa?” Elang memeluk pinggang mungil sang istri dari arah belakang. Pria itu tetap romantis walaupun tubuh istrinya tak seindah dulu.“Elang. Aku hanya ingin menghirup udara pagi dan berjemur di sini. Kamu tidak olah raga?” Zahra membalikkan badan. Kini keduanya sal
Zahra mendatangi dr. Arumi untuk memeriksakan diri. Tentunya ditemani oleh suami yang sangat setia.“Bagaimana, Dok? Apa saya hamil?” tanya Zahra saat baru saja selesai diperiksa oleh dr. Arumi.“Tidak. Anda tidak hamil.”“Lalu, kenapa Saya tidak menstruasi?”“Sudah berapa lama Anda tidak menstruasi?” tanya dr. Arumi.“Tiga bulan, Dok.” Jawab Zahra dengan singkat.Dr. Arumi menarik napas panjang sepertinya ada sesuatu yang menyesakkan dada.“Seharusnya Anda bisa datang ke sini lebih awal. Minimal setelah tahu bahwa Anda terlambat datang bulan di bulan pertama.”“Memangnya kenapa, Dok?” Zahra bertanya dengan cemas. Walau dia sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan dokter pribadinya.“Begini, dr. Zahra. Saya harus menyampaikan hal ini walau kurang mengenakkan.”“Bagaimana, dok? Tolong katakan dengan jelas!” Zahra terlihat mulai gelisah. Dia menatap ke arah suaminya.Elang hanya bisa tersenyum dan menggenggam erat jemari sang istri. Pria itu berusaha menguatkan istrinya. Walau sesun
“Bagaimana dengan kondisi rahim saya, Dok? Apa kecelakaan yang menimpa saya beberapa waktu lalu berpengaruh terhadap rahim saya?” dan apa Saya bisa hamil lagi dengan segera?” tanya Zahra kepada dr. Arumi setelah selesai menjalani pemeriksaan.“Sabar, Sayang. Nanya’nya satu-satu.” Elang berkata lirih kepada sang istri.“Iya. Maaf.”“Silakan duduk.’” Dr. Arumi mempersilakan Zahra dan suaminya duduk.“Begini, dr. Zahra. secara keseluruhan kondisi rahim Anda cukup baik. Namun karena Anda baru saja melahirkan secara operasi, ada baiknya Anda menunda hingga tiga atau empat tahun ke depan. Saya rasa sebagai dokter, Anda tahu resikonya.”“Iya. Sebenarnya saya tahu, Dok. Hanya saja, saya ingin sekali segera punya anak lagi.”“Saran saya, lebih baik dokter menikmati masa-masa indah dulu bersama suami. Dan jangan terlalu memikirkan hal ini, hingga bisa membuat anda tertekan. Saya tahu kehilangan seorang anak tidaklah mudah. Namun Anda harus bisa segera bangkit dan membuang semua beban yang ada d