“Kenapa masih berdiri di situ?! Cepat lakukan tugasmu sebagai seorang istri dengan baik!” Widya menaikaan suaranya satu oktaf membuat Zahra terkejut.
“B-baik, Bu!”
Zahra mengambil nampan dan membawa secangkir teh panas menuju kamar suaminya yang berada di lantai dua. Jantungnya berdetak kencang. Lututnya terasa lemas saat menaiki anak tangga. Dalam hati dia merasa sangat ketakutan kalau suaminya akan memarahinya.
Namun dia tak bisa mundur. Mau tidak mau harus melayani suaminya dengan baik.
“Aw!” Zahra memekik ketika tiba di ujung tangga dan hampir saja menabrak seorang lelaki muda. Untung saja bisa mengendalikan diri hingga tak sampai terjatuh.
“Hati-hati, Kak. Kenalkan, aku Yunus, adik Kak Elang!” pemuda itu mengulurkan tangannya.
Zahra hanya menganggukkan kepala sebagai rasa hormat tanpa menyambut uluran tangannya. Ada riak gelombang pada wajah pemuda tanpan itu. Seketika menarik tangannya de
“Berani kau menamparku, wanita rendah!” Elang mendekat ke arah Zahra. Sorot matanya sangat tajam seolah siap menguliti siapapun yang berani menantangnya. Hal ini membuat gadis itu mundur ketakutan. Dalam hati dia terus berdo’a untuk keselamatan dirinya.“Aku tidak peduli kalau kau menghinaku. Tapi kau sudah menghina orangtuaku aku tak bisa diam saja!” suaranya gemetar.‘Wow, kau pemberani juga ternyata. Baiklah! Sekarang kau akan rasakan penderitaan karena sudah berani melawanku!” ancam pria itu. Dia sudah mengangkat tangannya hendak memukul Zahra kembali. Untung saja ada seseorang yang datang dan menahan tangannya.“Jangan lakukan itu, kak! Dia itu istri Kakak!”Pemuda itu adalah Yubus.“Diam kamu, Yunus! Menyingkirlah atau kamu juga akan merasakan akibat dari kemarahnku!”“Tahan diri, Kak. Semua bisa dibicarakan dengan baik!” Yunus mengunci tubuh kakaknya dengan
“Elang! Apa yang sudah kau lakukan terhadap adikmu?!” tanya Baskoro dengan geram. Dia menyapukan pandangan dan melihat pecahan kaca yang berserakan.“Itu karena kebodohan dia yang sok menjadi pahlawan dengan melindungi si pencuri itu?!”“Siapa yang kau maksud dengan pencuri, Elang?!” Baskoro memegang kedua bahu putranya. Tapi ditepis dengan kasar oleh Elang.“Siapa lagi kalau bukan wanita yang sudah papah umpankan kepadaku!”“Lancang sekali mulutmu! Jaga bicaramu anak sombong!” Baskoro makin geram dengan ulah sang putra. Rahangnya mulai mengeras dan tangannya mengepal. Dia merasa harus memberi pelajaran kepada putranya.Perlahan tangan yang mengepal mulai terangkat dan siap melayangkan tinju ke arah putra pertamanya. Namun sebelum itu terjadi, Widya berhasil menahan dengan mencekal pergelangan tangan suaminya.“Lepaskan tanganku!”“Tenang, Pah. Biar Ma
“Oh, ya. Ada lagi yang mau Mamah tanyakan. Kenapa sampai ada pecahan kaca dan juga luka pada bahu adikmu?”Elang tak langsung menjawab pertanyaan. Sejenak terdiam dan tampak berfikir. Sebenarnya dia juga menyesali perbuatannya. Hingga tanpa sengaja melukai Yunus. Walau keduanya tidak terlalu akrab, tapi Elang tetap manyayangi sang adik.‘Jawab, Elang!” tepukan pada bahu Elang membuyarkan lamunannya. Lantas beranjak dari tempatnya semula menuju jendela yang terbuka lebar. Dia tak pernah melakukan hal itu sebelumnya. Si Mbok lah yang terbiasa membuka jendela setelah dia berangkat kerja.Otak pria sombong itu terus memikirkan siapa yang sudah melakukannya. Dan dia melirik ke arah sprei dan juga bed cover yang sudah tertata rapi. Siapakah yang telah membereskannya. Assisten rumah tangganya tak pernah datang ke kamarnya di pagi hari kecuali kalau dia yang memintanya. Apa wanita itu yang melakukannya. Tapi rasanya tidak mungkin. Pria itu masih
“Hmm, Saya ... Saya ....” Zahra terlihat gugup. Dia tidak sadar kalau apa yang dilakukannya bisa membongkar jati dirinya yang sesungguhnya. Dan parahnya lagi dia sendiri belum mempersiapkan profesi apa yang tepat untuk penyamarannya. Hal ini belum pernah terpikirkan. Dia juga tak pernah membicarakan masalah ini dengan ayah mertuanya. Zahra mendadak jadi gelisah dan sangat gugup.“Aku juga punya pertanyaan yang sama!” ucap Widya.Saat mendengar suara dari ibu mertuanya membuat Zahra semakin gugup. Dia memilin ujung jilbabnya dan tak tahu harus menjawab apa.“Mana mungkin dia bisa menjawab. Karena pekerjaannya adalah mencuri!” jawab Elang dengan sinis.“Jaga mulutmu! Aku dilahirkan dari rahim seorang wanita mulia hingga harus menjaga nama baik dari wanita itu. Tak mungkin aku melakukan perbuatan serendah itu. Tidak seperti dirimu yang tak bisa menjaga nama wanita mulia yang telah melahirkan dan membesarkanmu karena
“Lalu kenapa kau berusaha membuka lemariku? Apa lagi yang akan kau lakukan selain mencuri!” Elang memotong pembicaraan Zahra yang sangat tidak penting baginya. Dia terbiasa dengan sesuatu yang langsung pada pokok pembicaraan tanpa berbelit-belit.“Aku berinisiatif untuk menyiapkan pakaian kerjamu. Hanya itu saja!”Widya terlihat puas dengan jawaban dari menantunya. Walau baru saja mengenalnya, sepertinya Widya mulai menyukainya. Gadis itu terlihat polos dan jujur. Tak ada kebohongan yang terlukis pada matanya.Kini wanita itu menatap ke arah sang putra.“Elang, kau sudah dengar sendiri jawaban dari istrimu. Apa yang kau tuduhkan adalah sebuah kesalahan. Sekarang, kau minta maaf pada istrimu!” perintah Widya kepada putranya.‘Tapi, Mah ....”“Minta maaf sekarang juga!” Widya menaikan suaranya satu oktaf. Hal itu membuat nyali Elang menciut. Dia sangat mencintai dan menghormati wanita
“Sepuluh menit saja!”“Maaf!” jawab dr. Budi singkat. Dia tetap melanjutkan langkahnya.“Aku memang sudah menikah kemarin. Tapi keadaan tetap sama. Aku masih Zahra yang dulu. Kami juga tidur terpisah. Jadi tidak ada yang berubah pada diriku!” Zahra mencoba menjelaskan walau mungkin takkan didengar oleh kekasihnya.Budi seketika menghentikan langkahnya. Membalikkan badab dan menatap tajam ke arah kekasihnya.“Kau pikir aku percaya? Kau pikir aku bodoh? Pria mana yang tidak ingin bermalam pertama dengan istrinya? Kau itu terlalu naif. Buang semua bualanmu jika hanya menginginkan simpati dariku!” Budi menaikan nada suaranya.“Tapi itulah kenyataannya. Tak ada yang terjadi antara aku dan suamiku. Hal itu akan tetap sama sampai kami berpisah!” Zahra melangkah dan berdiri di hadapan kekasihnya.“Cukup, Zahra! Aku tak ingin mendengar penjelasan apapun darimu! Bagiku kau sudah menghia
“Sebenarnya dia itu ....” Baskoro menghentikan ucapannya. Dia ragu untuk kembali berbohong. Berkata jujur juga tidak mungkin. Istrinya bukan orang yang bodoh yang mudah percaya begitu saja.“Pah! Tolong, jangan ada kebohongan lagi.”Baskoro menundukkan kepala. Dia berfikir lebih keras untuk mencari jalan keluar. Jujur ataukah masih harus menutupi kenyataan yang sesungguhnya.Setelah menimbang-nimbang, diapun memutuskan untuk berkata jujur.“Widya! kau tahu’kan aku sangat menyayangi putraku?”“Iya, Aku tahu.’‘Tak mungkin aku melakukan sesuatu yang bisa merusak masa depannya. Semua yang aku lakukan demi kebaikannya, termasuk dengan memilihkan jodoh untuknya.”“Aku mengerti. Lalu kenapa pilihan papah jatuh kepada gadis itu? Dan apa profesi dia sebenarnya?” tanya Widya penuh selidik. Dia sangat penasaran dengan pekerjaan sang menantu.“Zahra adalah
Zahra terlihat begitu lelah. Bukan hanya karena pekerjaan, lebih kepada pikiran. Ya, dia masih saja memikirkan sang kekasih yang terlihat sangat membencinya. Padahal dia sudah menjelaskan semuanya. Namun tetap saja pria yang sangat dicintainya tidak mau mengerti dengan keputusannya.Setelah menaruh peralatan kerja di rumah orangtuanya, dia lalu berpamitan untuk pulang ke rumah suaminya. Sangat berat untuk kembali berpisah dengan keduanya. Namun dia sekarang sudah menyandang status sebagai seorang istri. Apapun yang terjadi pernikahan itu tetap dianggap sebuah perjanjian dengan yang kuasa. Zahra harus tetap memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang istri dan juga menantu.Setelah menyeruput teh hangat dan pisang gorng buatan ibunda tercinta, Zahra segera berpamitan. Dia lebih memilih menggunakan kendaraan umum daripada membawa mobil pribadinya. Bisa-bisa mengundang curiga.Zahra tiba di rumah suaminya sebelum sang suami kembali ke rumah. Dia memang punya komitme
“Lia?! Apa kabar?”“Alhamdulillah baik, Mbak!”Keduanya berpelukan dengan erat. Terpancar sinar kebahagiaan dari wajah wanita berhijab itu.“Silakan duduk.” Zahra menarik bangku untuk tamu specialnya.“Terimakasih, Mbak.”“Iya. Sama-sama.”Kemudian Zahra mengambil tempat duduk di seberang. Kini keduanya saling berhadapan.“Oh, ya. Kamu mau pesan apa?” Zahra memberikan buku menu kepada Lia.“Avocado juice sama manggo and banana smoothies.” Jawab Lia sembari mendorong perlahan buku menu tanpa membacanya.“Oke. Untuk makan siangnya kamu mau pesan apa?”“Itu saja sudah cukup, Mbak. Bagiku itu sudah menjadi menu untuk makan siangku.”“Apa kau tidak makan nasi?’ Zahra bertanya penuh selidik sembari menatap tubuh Lia dari ujung kepala hingga ujung kaki. Body yang sangat sempurna dan ideal. Wajahnya juga terlihat bersih dan cerah.“Aku lagi mengurangi karbo, Mbak. Sudah lama tidak makan nasi. Semenjak Mas Budi ketahuan ada benjolan di kepala dan juga riwayat diabetes dan hipertensi dari almar
Elang terperanjat. Pria itu tak mengira jika akan mendapat pertanyaan yang begitu menohok. Sesaat hanya bisa terdiam. Mengenang masa itu hanya akan membuat luka lama yang sudah terkubur, kembali terbuka.“Kenapa diam?!” pertanyaan sang istri membuyarkan lamunan.“Tidak ada apa-apa di antara kami. Yang aku tahu dia itu adiknya Budi. Betul’kan?” Elang berkilah. Dia berusaha untuk menghindar dari pertanyaan.“Itu benar. Yang aku tanyakan hubungan di antara kalian!” Zahra mempertegas pertanyannya.Elang menarik napas dalam. Dadanya terasa sesak seolah tak ada oksigen yang masuk ke dalam organ pernafasannya.“Sudahlah. Aku mau mandi dulu!” Elang menepuk pipi sang istri dengan lembut dan senyum yang sedikit dipaksakan.“Elang! Jangan menghindar! Jujurlah dan jawab pertanyaanku!” Zahra mencekal pergelangan tangan suaminya dengan sedikit meninggikan ucapan.“Aku sudah menjawabnya! Apa lagi yang harus dijawab!” Elang mengibaskan tangannya dengan kasar hingga terlepas dari genggaman tangan sang
Gadis berparas ayu nan anggun itu menghentikan langkah saat mendengar seseorang yang memanggil namanya. Kini tatapan matanya tertuju ke arah suara yang memanggilnya. Sejenak mengamati wajah Zahra yang kini semakin pucat dan tirus. “Mbak Zahra?!”“Iya. Kau masih mengenaliku, Lia?” tanya Zahra dengan wajah berbinar.“Tentu saja. Apa kabar, Mbak?”“Kabar baik. Kamu sendiri bagaimana?”“Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Mmm ... sepertinya Mbak terlihat lebih langsing. Dan membuatku hampir saja tak mengenali Mbak.” Gadis cantik itu ternyata bukan hanya cantik pada parasnya saja. Melainkan juga mempunyai sopan santun dan etika yang baik. Walau dari melihat fisiknya saja dia tahu jika wanita di hadapannya sedang tidak baik-baik saja. Namun ucapannya tidak menyinggung perasaan.“Bilang saja kurus kering, karena tubuhku ini sedang digerogoti oleh penyakit yang berbahaya,” jawab Zahra dengan tersenyum kecut. Ada rasa nyeri yang berarang di dada.Zahra tahu jika Lia tak ingin menyakiti perasaan
“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu kepadamu, Elang! Aku yang sekarang bukan lagi istri yang bisa kau banggakan. Aku kini penyakitan dan tidak cantik lagi. Bahkan nanti setelah kemoterapy, rambutku akan mengalami kerontokan. Aku takkan cantik lagi. Dan aku yakin kau akan jijik denganku dan pasti meninggalkanku. Setidaknya jika kau menikah sekarang, aku takkan lebih sakit hati jika masa itu datang. Aku tak mau kau meninggalkanku di saat aku terpuruk.” Zahra menangis terisak. Dia tak sanggup lagi membayangkan jika lelaki yang dicinta akan pergi meninggalkannya.Elang mendekap sang istri dan mengecup puncak kepalanya.“Sayang, aku berjanji kepadamu kalau aku takkan pernah meninggalkanmu dalam keadaan apapun. Hanya maut yang dapat memisahkan kita. Aku mohon percayalah padaku, Sayang.”Zahra semakin terisak. Dalam pelukan lelakinya dia menumpahkan segala kesedihan dan rasa takut. “Aku takut kalau aku akan meninggal, Lang!”“Istighfar. Semua makhluk bernyawa pasti akan pergi meninggal
Zahra dan suami selesai menunaikan ibadah sholat tahajud. Keduanya memanjatkan do’a kepada sang pencipta.Elang berdo’a untuk kesembuhan sang istri tercinta. Hanya itu harapan terbesar satu-satunya untuk saat ini. Tak ada keinginan lain selain kesembuhan sang bidadari.Zahra pun sama khusyuknya dalam berdo’a. Do’a yang dipanjatkan tak hanya untuk dirinya sendiri. Tak lupa pula dia memohon kepada sang pencipta untuk kebahagiaan suaminya. Terutama dengan syarat yang akan diajukan olehnya untuk sang suami.Zahra sudah memikirkan matang tentang rencananya. Setelah melalui pemikiran panjang, keputusan terberat harus di ambil demi sang suami. Semoga saja ini yang terbaik untuk semuanya.“Sayang. Apa kau sudah selesai berdo’a?” pertanyaan Elang membuat Zahra terkejut.“Sudah,” jawab Zahra dengan gugup sembari mengecup punggung tangan suaminya.“Apa kau akan membicarakan syarat yang kau ajukan sekarang atau nanti?’ Elang menembak langsung dengan pertanyaan. Dia memang tak bisa berbasa-basi da
Elang berdo’a dengan begitu khusyuk. Dia sangat berharap jika Tuhan mengabulkan do’a untuk kesembuhan istrinya. Di setiap rintihan do’a tiada henti menyebut nama istri tercinta.Dalam jarak yang tak terlalu jauh, sayup terdengar suara seorang pria yang cukup familiar di telinga Elang. Do’a yang dipanjatkan begitu tulus dan menggugah jiwa.Elang menajamkan telinga untuk mendengar do’a yang membuatnya larut dalam kesedihan. Do’a seorang ayah yang berharap untuk kesembuhan putrinya.“Ya. Alloh. Hamba mohon berikanlah kesembuhan untuk putri hamba. Dia adalah separuh dari nyawa yang ada dalam raga ini. Hamba tak sanggup melihat putri hamba menderita. Jika Engkau berkenan, Hamba bersedia menukar nyawa hamba demi kesembuhannya. Hamba ikhlas Ya Alloh. Hamba ikhlas.” Suara pria itu bergetar dalam isak tangis. Dia pun bersujud dan menumpahkan kesedihan di atas sajadah yang membentang.Elang terkejut mendengar do’a dari insan yang penuh harap. Dia menyadari jika suara itu milik ayah mertuanya. K
Zahra sudah menjalani serangkaian tes sebelum operasi. Dia berusaha untuk tegar dan tak terlihat sedih di mata suaminya. Namun pandangan kosong tak mampu menyembunyikan rasa sedih yang tergambar jelas pada mata sayunya.Gadis cantik itu bersandar pada dinding pembatas balkon yang berada di depan kamarnya. Udara pagi yang begitu bersih mampu menyegarkan pikiran.Biasanya di pagi hari, dia selalu berolahraga bersama suami. Namun semenjak mengetahui ada kista dalam tubuhnya, membuat semangatnya untuk beraktifitas menurun. Bahkan semangat hidupnya ikut menurun hingga sangat mempengaruhi kualitas sexualitasnya.Untuk sementara, Zahra mengambil cuti dari pekerjaan. Dia akan fokus untuk pengobatan penyakitnya.“Sayang, kamu sedang apa?” Elang memeluk pinggang mungil sang istri dari arah belakang. Pria itu tetap romantis walaupun tubuh istrinya tak seindah dulu.“Elang. Aku hanya ingin menghirup udara pagi dan berjemur di sini. Kamu tidak olah raga?” Zahra membalikkan badan. Kini keduanya sal
Zahra mendatangi dr. Arumi untuk memeriksakan diri. Tentunya ditemani oleh suami yang sangat setia.“Bagaimana, Dok? Apa saya hamil?” tanya Zahra saat baru saja selesai diperiksa oleh dr. Arumi.“Tidak. Anda tidak hamil.”“Lalu, kenapa Saya tidak menstruasi?”“Sudah berapa lama Anda tidak menstruasi?” tanya dr. Arumi.“Tiga bulan, Dok.” Jawab Zahra dengan singkat.Dr. Arumi menarik napas panjang sepertinya ada sesuatu yang menyesakkan dada.“Seharusnya Anda bisa datang ke sini lebih awal. Minimal setelah tahu bahwa Anda terlambat datang bulan di bulan pertama.”“Memangnya kenapa, Dok?” Zahra bertanya dengan cemas. Walau dia sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan dokter pribadinya.“Begini, dr. Zahra. Saya harus menyampaikan hal ini walau kurang mengenakkan.”“Bagaimana, dok? Tolong katakan dengan jelas!” Zahra terlihat mulai gelisah. Dia menatap ke arah suaminya.Elang hanya bisa tersenyum dan menggenggam erat jemari sang istri. Pria itu berusaha menguatkan istrinya. Walau sesun
“Bagaimana dengan kondisi rahim saya, Dok? Apa kecelakaan yang menimpa saya beberapa waktu lalu berpengaruh terhadap rahim saya?” dan apa Saya bisa hamil lagi dengan segera?” tanya Zahra kepada dr. Arumi setelah selesai menjalani pemeriksaan.“Sabar, Sayang. Nanya’nya satu-satu.” Elang berkata lirih kepada sang istri.“Iya. Maaf.”“Silakan duduk.’” Dr. Arumi mempersilakan Zahra dan suaminya duduk.“Begini, dr. Zahra. secara keseluruhan kondisi rahim Anda cukup baik. Namun karena Anda baru saja melahirkan secara operasi, ada baiknya Anda menunda hingga tiga atau empat tahun ke depan. Saya rasa sebagai dokter, Anda tahu resikonya.”“Iya. Sebenarnya saya tahu, Dok. Hanya saja, saya ingin sekali segera punya anak lagi.”“Saran saya, lebih baik dokter menikmati masa-masa indah dulu bersama suami. Dan jangan terlalu memikirkan hal ini, hingga bisa membuat anda tertekan. Saya tahu kehilangan seorang anak tidaklah mudah. Namun Anda harus bisa segera bangkit dan membuang semua beban yang ada d