“Bu. Tolong turuti perintahku dan bawa Zahra masuk!”“Baiklah. Ayo, Nak. Kita masuk!”Zahra menurut saat sang bunda membawanya masuk ke dalam rumah.“Ada apa sebenarnya?” tanya Mustafa setelah menyuruh besan dan menantunya duduk di bangku yang berada di teras.“Sebenarnya ....”“Biar papah saja yang bicara, Lang!’ Baskoro memutus pembicaraan putranya. Dia tak ingin ada kesalahpahamna jika putranya yang menyampaikan kepada Mustafa.“Baiklah, Pah!”Baskoro mulai menceritakan dengan detail setiap kejadian dengan jelas. Tak ada satupun yang terlewat. Mulai dari keadaan Budi setelah kecelakaan dan rasa bersalah Zahra hingga ingin merawat Budi hingga kecemburuan Elang yang berakibat tuduhan yang tak beralasan.Mustafa mengerutkan kening setelah mendengar semuanya. Pantas saja putrinya pulang dalam keadaan menangis. Jelas saja hatinya pasti terluka.“Bagaimana menurut kamu, Mus?” tanya Baskoro kepada besannya yang terlihat terdiam dengan tatapan mata yang tidak fokus.“Entahlah. Aku sendiri
Mustafa masuk ke dalam rumah sembari menutup pintu dengan kasar. Amarahnya benar-benar memuncak. Pria sabar itu tak pernah semarah ini. Namun ketika mendengar putri satu-satunya yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang disakiti oleh menantunya, dia tak bisa menahan amarahnya.“Sabar, Yah!” istri tercinta mengusap-usap dada sang suami untuk meredakan amarahnya.“Bagaimana aku bisa sabar. Seenaknya saja Elang memukul putri kita. Kita saja yang membesarkannya tak pernah sedikitpun melayangkan tangan kepadanya. Dia baru saja ngasih makan anak kita, sudah berani memukulnya!” Mustafa merasa geram.“Yah. Kenapa ayah tadi memukul Elang? Kasihan dia!” tanya Zahra dengan cemas.“Kasihan kamu bilang? Jangan bodoh kamu. Itu balasan yang setimpal karena sudah berani memukulmu!”“Tapi Elang melakukannya karena sedang mabuk. Kalau dia tidak mabuk, tidak mungkin dia memukulku. Itu juga karena aku melakukan sesuatu yang tidak dia suka. Dan selama pernikahan Elang selalu memperlakukan aku dengan baik
Elang tak meninggalkan rumah Zahra. Dia masih berada di dalam mobil dan menunggu sang istri keluar rumah. Dia yakin belahan jiwanya sangat profesional dalam pekerjaan. Untuk hari ini pasti akan tetap bekerja.“Nak. Bagaimana kalau kita pulang saja? Bukankah kau juga harus berangkat ke kantor?” tanya Baskoro kepada putranya.“Tidak, Pah! Aku sudah menyerahkan urusan kantor untuk beberapa hari ke depan kepada orang kepercayaanku. Aku tak bisa konsentrasi dalam bekerja jika permasalahan rumah tanggaku belum selesai.”“Lalu apa rencanamu? Penyelesaian seperti apa yang kau inginkan?”“Yang jelas aku tak ingin berpisah. Aku akan mempertahankan keutuhan rumah tanggaku apapun yang terjadi.”“Baguslah. Tapi ingat, jangan lagi menggunakan cara yang membuat istrimu makin menjauh darimu. Kau mengerti?” Baskoro menepuk-nepuk pundak putranya.“Aku mengerti.” Elang menganggukkan kepala.“Ya sudah. Papah pulang dulu, ya. Biar papah naik taxi saja. Kau saja yang bawa mobilnya.”“Iya, Pah. Hati-hati!”
“Astaghfirulloh hal’adzim!”Zahra menarik napas dan mencoba untuk bersabar. Dia sangat sadar jika mantan kekasihnya itu sedang dalam kondisi tertekan.“Mas Budi. Maaf, aku hanya ....”“Pokoknya aku tidak mau di operasi. Biarkan aku mati yang penting aku tidak kehilangan semua memoryku! Dan kau harus menghargai keputusanku!”“Astaghfirulloh hal’adzim. Keputusanmu makin memberatkan langkahku,” ucap Zahra dengan lirih sembari memijat pelipisnya. Tentu saja hal ini makin sulit untuk meninggalkan budi.“Kau bilang apa?!” tanya Budi yang tak mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh Zahra.“Tidak! baiklah. Aku hargai keputusanmu. Sekarang, aku harus bekerja. Nanti aku datang ke sini lagi. Jangan lupa minum obat dan makan yang banyak supaya cepat pulih.” Zahra menepuk-nepuk lengan Budi sembari tersenyum. Lalu meninggalkan Budi dalam kesendirian.Sementara Budi hanya bisa menangis. Dia merasa sendiri dalam menghadapi cobaan ini. Budi sangat tahu resiko yang akan dia alami kalau tidak diop
“Kau pasti tahu kalau suami Mbak tidak suka Mbak terlalu dekat dengan Mas Budi. Bahkan hubungan kami juga sedang renggang karena peristiwa semalam. Dengan keadaan Mas Mu yang tidak mau operasi akan semakin menyulitkanku. Mbak seperti berada di tengah jurang yang membuatku sama beratnya. Jika memiilih salah satu, tetap saja Mbak akan terjatuh. Dan hal itu sangat menyulitkanku.” Zahra menangkup wajahnya. Dia tak mengerti harus bagaimana menghadapi dua pria yang berarti dalam hidupnya.“Maafkan Lia, Mbak. Seandainya Lia bisa menghadapi seorang diri, mungkin Mbak Zahra tak akan bermasalah dengan suami Mbak.”“Ini bukan salahmu, Lia. Tapi memang Mbak sendiri yang mau merawat Mas mu. Biar masalah rumah tangga Mbak itu jadi urusan Mbak. Sekarang kita fokus saja kepada kesehatan Mas mu!”“Terima kasih, Mbak. Kami tidak tahu harus bagaimana lagi jika tidak ada Mbak.” Lia memeluk Zahra dan mencurahkan kesedihan padanya.“Sama-sama Lia. Coba nanti Mbak konsultasi dulu dengan dr. Ferry. Beliau sa
Zahra beringsut ketakutan. Dia berusaha membuka pintu mobil, tapi tidak berhasil. Bahkan dia juga berteriak minta tolong. Namun semua sia-sia karena tak ada satu orangpun yang mendengarnya. Hujan yang turun sangat deras hingga tak nampak apapun di luar sana.“Tolong! Tolong aku!” Zahra terus berteriak sembari menggedor kaca mobil.“Aw!” Zahra menjerit saat tiba-tiba sang sopir taxi merebut ponselnya.“Kembalikan ponselku! Siapa kau sebenarnya dan apa tujuanmu menculikku?!”“Diamlah!” seru pria misterius itu sembari berpindah ke belakang dan duduk di samping Zahra. Tentu saja hal itu membuat Zahra makin panik dan ketakutan.“Pergi kamu! jangan berani menyentuhku atau aku akan bunuh diri dengan menggigut lidahku!” Zahra berusaha mengendalikan situasi. Pilihannya hanya ada dua. Membunuh atau terbunuh. Dia tidak sudi menjadi korban pelecehan dari sopir gila itu. Bahkan kalau keadaan mendesak bunuh diri akan menjadi pilihan terakhirnya.Gadis cantik itu menyilangkan tangan di dadanya untuk
“Kenapa tidak?” Zahra ingin mendengar jawaban yang jujur dari suaminya.“Tuhan membenci perceraian dan kau pasti tahu itu!”“Iya, betul Tapi juga menghalalkannya. Dalam kondisi seperti ini, aku lebih memilih untuk bercerai dari pada kita mempertahankan pernikahan kita tanpa adanya sebuah kepercayaan.Pondasi perkawinan kita sudah sangat rapuh tanpa adanya kepercayaan. Kalaupun bertahan percuma. Hasilnya nol besar. Semua akan sia-sia.” Zahra berkata dengan berapi-api. Dia juga sudah lelah dengan hubungan yang hanya akan saling menyakiti.“Pokoknya aku takkan pernah menceraikanmu, titik!”“Atau harus aku yang menggugatmu? Kau tahu’kan seorang istri yang belum pernah disentuh oleh suaminya, sangat mudah mengajukan gugatan. Bahkan setelah ceraipun dia tak ada masa iddah!”“Benarkah? Apa itu artinya kau akan menikah dengan Budi setelah kau menceraikanku?!” tanya Elang dengan serius. Dadanya terasa panas membara oleh api cemburu yang membakar hatinya.“Mungkin saja kalau kami berjodoh. Kalau
Elang turun dari mobil dan berlari mengejar istrinya.Sejenak, Zahra terlihat panik dan berhenti. Namun saat melihat ke arah belakang, terlihat Elang tengah mengejarnya. Tentu saja dia tak mau pria itu kembali membawanya pergi. Dan Zahra pun memutuskan untuk terus berlari.“Aw!” Tiba-tiba terdengar suara jeritan ketakutan yang keluar dari bibir Zahra. Ombak yang cukup besar datang dan hampir saja menggulung tubuhnya. Untung saja tak sampai membuatnya terjatuh.“Zahra! kau tidak apa-apa?” Elang terlihat panik saat mendapati istrinya yang masih syok. Dia pun memeluk tubuh sang istri dengan erat.Zahra tak menolak saat sang suami memeluknya. Dia masih sangat syok dan merasa kedinginan. Tubuhnya menggigil dan bibirnya pun memucat.Elang juga merasakan tubuh istrinya yang gemetar. Dan semakin lama dia merasakan tubuh istrinya semakin berat. Ternyata Zahra tak sadarkan diri dalam dekapannya.“Zahra! zahra!” Elang sangat panik. Dia menepuk-nepuk pipi sang istri.Kemudian Elang menggendong tu
“Lia?! Apa kabar?”“Alhamdulillah baik, Mbak!”Keduanya berpelukan dengan erat. Terpancar sinar kebahagiaan dari wajah wanita berhijab itu.“Silakan duduk.” Zahra menarik bangku untuk tamu specialnya.“Terimakasih, Mbak.”“Iya. Sama-sama.”Kemudian Zahra mengambil tempat duduk di seberang. Kini keduanya saling berhadapan.“Oh, ya. Kamu mau pesan apa?” Zahra memberikan buku menu kepada Lia.“Avocado juice sama manggo and banana smoothies.” Jawab Lia sembari mendorong perlahan buku menu tanpa membacanya.“Oke. Untuk makan siangnya kamu mau pesan apa?”“Itu saja sudah cukup, Mbak. Bagiku itu sudah menjadi menu untuk makan siangku.”“Apa kau tidak makan nasi?’ Zahra bertanya penuh selidik sembari menatap tubuh Lia dari ujung kepala hingga ujung kaki. Body yang sangat sempurna dan ideal. Wajahnya juga terlihat bersih dan cerah.“Aku lagi mengurangi karbo, Mbak. Sudah lama tidak makan nasi. Semenjak Mas Budi ketahuan ada benjolan di kepala dan juga riwayat diabetes dan hipertensi dari almar
Elang terperanjat. Pria itu tak mengira jika akan mendapat pertanyaan yang begitu menohok. Sesaat hanya bisa terdiam. Mengenang masa itu hanya akan membuat luka lama yang sudah terkubur, kembali terbuka.“Kenapa diam?!” pertanyaan sang istri membuyarkan lamunan.“Tidak ada apa-apa di antara kami. Yang aku tahu dia itu adiknya Budi. Betul’kan?” Elang berkilah. Dia berusaha untuk menghindar dari pertanyaan.“Itu benar. Yang aku tanyakan hubungan di antara kalian!” Zahra mempertegas pertanyannya.Elang menarik napas dalam. Dadanya terasa sesak seolah tak ada oksigen yang masuk ke dalam organ pernafasannya.“Sudahlah. Aku mau mandi dulu!” Elang menepuk pipi sang istri dengan lembut dan senyum yang sedikit dipaksakan.“Elang! Jangan menghindar! Jujurlah dan jawab pertanyaanku!” Zahra mencekal pergelangan tangan suaminya dengan sedikit meninggikan ucapan.“Aku sudah menjawabnya! Apa lagi yang harus dijawab!” Elang mengibaskan tangannya dengan kasar hingga terlepas dari genggaman tangan sang
Gadis berparas ayu nan anggun itu menghentikan langkah saat mendengar seseorang yang memanggil namanya. Kini tatapan matanya tertuju ke arah suara yang memanggilnya. Sejenak mengamati wajah Zahra yang kini semakin pucat dan tirus. “Mbak Zahra?!”“Iya. Kau masih mengenaliku, Lia?” tanya Zahra dengan wajah berbinar.“Tentu saja. Apa kabar, Mbak?”“Kabar baik. Kamu sendiri bagaimana?”“Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Mmm ... sepertinya Mbak terlihat lebih langsing. Dan membuatku hampir saja tak mengenali Mbak.” Gadis cantik itu ternyata bukan hanya cantik pada parasnya saja. Melainkan juga mempunyai sopan santun dan etika yang baik. Walau dari melihat fisiknya saja dia tahu jika wanita di hadapannya sedang tidak baik-baik saja. Namun ucapannya tidak menyinggung perasaan.“Bilang saja kurus kering, karena tubuhku ini sedang digerogoti oleh penyakit yang berbahaya,” jawab Zahra dengan tersenyum kecut. Ada rasa nyeri yang berarang di dada.Zahra tahu jika Lia tak ingin menyakiti perasaan
“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu kepadamu, Elang! Aku yang sekarang bukan lagi istri yang bisa kau banggakan. Aku kini penyakitan dan tidak cantik lagi. Bahkan nanti setelah kemoterapy, rambutku akan mengalami kerontokan. Aku takkan cantik lagi. Dan aku yakin kau akan jijik denganku dan pasti meninggalkanku. Setidaknya jika kau menikah sekarang, aku takkan lebih sakit hati jika masa itu datang. Aku tak mau kau meninggalkanku di saat aku terpuruk.” Zahra menangis terisak. Dia tak sanggup lagi membayangkan jika lelaki yang dicinta akan pergi meninggalkannya.Elang mendekap sang istri dan mengecup puncak kepalanya.“Sayang, aku berjanji kepadamu kalau aku takkan pernah meninggalkanmu dalam keadaan apapun. Hanya maut yang dapat memisahkan kita. Aku mohon percayalah padaku, Sayang.”Zahra semakin terisak. Dalam pelukan lelakinya dia menumpahkan segala kesedihan dan rasa takut. “Aku takut kalau aku akan meninggal, Lang!”“Istighfar. Semua makhluk bernyawa pasti akan pergi meninggal
Zahra dan suami selesai menunaikan ibadah sholat tahajud. Keduanya memanjatkan do’a kepada sang pencipta.Elang berdo’a untuk kesembuhan sang istri tercinta. Hanya itu harapan terbesar satu-satunya untuk saat ini. Tak ada keinginan lain selain kesembuhan sang bidadari.Zahra pun sama khusyuknya dalam berdo’a. Do’a yang dipanjatkan tak hanya untuk dirinya sendiri. Tak lupa pula dia memohon kepada sang pencipta untuk kebahagiaan suaminya. Terutama dengan syarat yang akan diajukan olehnya untuk sang suami.Zahra sudah memikirkan matang tentang rencananya. Setelah melalui pemikiran panjang, keputusan terberat harus di ambil demi sang suami. Semoga saja ini yang terbaik untuk semuanya.“Sayang. Apa kau sudah selesai berdo’a?” pertanyaan Elang membuat Zahra terkejut.“Sudah,” jawab Zahra dengan gugup sembari mengecup punggung tangan suaminya.“Apa kau akan membicarakan syarat yang kau ajukan sekarang atau nanti?’ Elang menembak langsung dengan pertanyaan. Dia memang tak bisa berbasa-basi da
Elang berdo’a dengan begitu khusyuk. Dia sangat berharap jika Tuhan mengabulkan do’a untuk kesembuhan istrinya. Di setiap rintihan do’a tiada henti menyebut nama istri tercinta.Dalam jarak yang tak terlalu jauh, sayup terdengar suara seorang pria yang cukup familiar di telinga Elang. Do’a yang dipanjatkan begitu tulus dan menggugah jiwa.Elang menajamkan telinga untuk mendengar do’a yang membuatnya larut dalam kesedihan. Do’a seorang ayah yang berharap untuk kesembuhan putrinya.“Ya. Alloh. Hamba mohon berikanlah kesembuhan untuk putri hamba. Dia adalah separuh dari nyawa yang ada dalam raga ini. Hamba tak sanggup melihat putri hamba menderita. Jika Engkau berkenan, Hamba bersedia menukar nyawa hamba demi kesembuhannya. Hamba ikhlas Ya Alloh. Hamba ikhlas.” Suara pria itu bergetar dalam isak tangis. Dia pun bersujud dan menumpahkan kesedihan di atas sajadah yang membentang.Elang terkejut mendengar do’a dari insan yang penuh harap. Dia menyadari jika suara itu milik ayah mertuanya. K
Zahra sudah menjalani serangkaian tes sebelum operasi. Dia berusaha untuk tegar dan tak terlihat sedih di mata suaminya. Namun pandangan kosong tak mampu menyembunyikan rasa sedih yang tergambar jelas pada mata sayunya.Gadis cantik itu bersandar pada dinding pembatas balkon yang berada di depan kamarnya. Udara pagi yang begitu bersih mampu menyegarkan pikiran.Biasanya di pagi hari, dia selalu berolahraga bersama suami. Namun semenjak mengetahui ada kista dalam tubuhnya, membuat semangatnya untuk beraktifitas menurun. Bahkan semangat hidupnya ikut menurun hingga sangat mempengaruhi kualitas sexualitasnya.Untuk sementara, Zahra mengambil cuti dari pekerjaan. Dia akan fokus untuk pengobatan penyakitnya.“Sayang, kamu sedang apa?” Elang memeluk pinggang mungil sang istri dari arah belakang. Pria itu tetap romantis walaupun tubuh istrinya tak seindah dulu.“Elang. Aku hanya ingin menghirup udara pagi dan berjemur di sini. Kamu tidak olah raga?” Zahra membalikkan badan. Kini keduanya sal
Zahra mendatangi dr. Arumi untuk memeriksakan diri. Tentunya ditemani oleh suami yang sangat setia.“Bagaimana, Dok? Apa saya hamil?” tanya Zahra saat baru saja selesai diperiksa oleh dr. Arumi.“Tidak. Anda tidak hamil.”“Lalu, kenapa Saya tidak menstruasi?”“Sudah berapa lama Anda tidak menstruasi?” tanya dr. Arumi.“Tiga bulan, Dok.” Jawab Zahra dengan singkat.Dr. Arumi menarik napas panjang sepertinya ada sesuatu yang menyesakkan dada.“Seharusnya Anda bisa datang ke sini lebih awal. Minimal setelah tahu bahwa Anda terlambat datang bulan di bulan pertama.”“Memangnya kenapa, Dok?” Zahra bertanya dengan cemas. Walau dia sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan dokter pribadinya.“Begini, dr. Zahra. Saya harus menyampaikan hal ini walau kurang mengenakkan.”“Bagaimana, dok? Tolong katakan dengan jelas!” Zahra terlihat mulai gelisah. Dia menatap ke arah suaminya.Elang hanya bisa tersenyum dan menggenggam erat jemari sang istri. Pria itu berusaha menguatkan istrinya. Walau sesun
“Bagaimana dengan kondisi rahim saya, Dok? Apa kecelakaan yang menimpa saya beberapa waktu lalu berpengaruh terhadap rahim saya?” dan apa Saya bisa hamil lagi dengan segera?” tanya Zahra kepada dr. Arumi setelah selesai menjalani pemeriksaan.“Sabar, Sayang. Nanya’nya satu-satu.” Elang berkata lirih kepada sang istri.“Iya. Maaf.”“Silakan duduk.’” Dr. Arumi mempersilakan Zahra dan suaminya duduk.“Begini, dr. Zahra. secara keseluruhan kondisi rahim Anda cukup baik. Namun karena Anda baru saja melahirkan secara operasi, ada baiknya Anda menunda hingga tiga atau empat tahun ke depan. Saya rasa sebagai dokter, Anda tahu resikonya.”“Iya. Sebenarnya saya tahu, Dok. Hanya saja, saya ingin sekali segera punya anak lagi.”“Saran saya, lebih baik dokter menikmati masa-masa indah dulu bersama suami. Dan jangan terlalu memikirkan hal ini, hingga bisa membuat anda tertekan. Saya tahu kehilangan seorang anak tidaklah mudah. Namun Anda harus bisa segera bangkit dan membuang semua beban yang ada d