‘It’s not your kiss that I miss. It’s your hug that make me warm Loving you is a bliss But also a storm.’ Wolf menunjukkan sedikit lirik yang diperbaikinya pada Zoe. “Aku rasa rima-nya lebih tepat. Warm and Storm. Ada sedikit perbedaan pengucapan vokal, tapi kata storm (badai) lebih tepat untuk menunjukkan hubungan yang kacau.” “Ya, aku rasa bisa.” Zoe mengangguk setuju. Ia mengatakannya dengan amat lancar. Diskusi dengan Wolf itu sudah berlangsung selama kurang lebih satu jam. Zoe sama sekali tidak kesulitan lagi untuk bicara. Dan memang selalu seperti itu. Zoe akan kesulitan saat memulai pembicaraan yang baru terjadi, tapi saat sudah masuk dalam pembicaraan dan berkonsentrasi pada hal selain keinginannya untuk bicara, Zoe akan normal seperti orang pada umumnya. “Ini lagu ketiga yang sudah oke.” Wolf menyimpan file itu dan memasukkannya pada folder yang memang berisi lagu milik Zoe. Semuanya masih mentah tentu. Belum ada yang benar-benar dinyanyikan oleh Zoe. Menunggu Zoe un
“Jangan katakan kau takut aku akan menjualmu seperti dulu.” Wolf separuh mengejek, karena melihat Zoe sepertinya panik, dan terus menatap ke arah luar mobil sejak tadi. “Bukan itu!” Bantahan Zoe lancar karena muncul dengan reflek. “Ini… tempat tinggal banyak artis bukan? Hollywood Hills?” Zoe menunjuk ke belakang. Tempat dimana ia tadi melihat tulisan Hollywood berwarna putih di atas bukit. Landmark yang mungkin terkenal di seluruh dunia. Zoe masih bisa melihatnya sekarang, tapi sudah terlewat di belakang. “Benar. Yang akan kita datangi adalah mantan aktor yang sangat terkenal,” kata Wolf, sambil meminta taksi untuk berbelok. Sebentar lagi mereka akan sampai. Wolf hanya pernah sekali mengunjungi rumah yang menjadi tujuannya, tapi masih cukup ingat meski sudah beberapa tahun terlewat. “Aktor? Untuk apa?” Zoe tentu saja heran. Wolf tadi mengatakan kalau kepergian mereka ke LA adalah untuk mengerjakan bagian lain dari rencana—untuk membuat Zoe yang sukses. Tapi tidak ada alasan
“Tunggu dulu, Lili. Aku belum menjelaskan apapun pada Zoe.” Wolf menahan agar Lili tidak terlalu antusias. “Oh? Aku pikir kau sudah menjelaskan semuanya. Dia yang harus memilih bukan?” Lili melepaskan tangan Zoe dengan kecewa. “Aku akan bicara padanya dulu.” Wolf memandang sekitar, mencari tempat untuk bicara yang lebih tenang. “Duduklah dulu. Aku akan ke dapur untuk meminta makanan.” Clay meminta mereka untuk duduk di sofa. “Aku akan ke atas mengambil tablet.” Lili juga meninggalkan ruang depan agar mereka bisa bicara berdua saja. “Zoe, aku mengajakmu untuk bertemu Lili hari ini, karena ia adalah desainer pakaian. Ia punya brand dan butik di sini, dan cukup terkenal meski baru beberapa tahun berjalan. Aku memintanya untuk menyiapkan aneka baju dan kostum yang nanti akan kau pakai,” jelas Wolf. Selain skill dalam bermusik, Wolf tentu juga peduli pada penampilan. Baju maupun kostum adalah hal yang juga amat penting dalam dunia artis—baik penyanyi maupun aktor/aktris. “Kita hari i
Wolf mengguncang bahu Zoe, dan akhirnya melihat matanya kembali fokus, tapi hanya sekilas.“Ada apa? Kau sakit?” tanya Wolf.Zoe menggeleng, dan menghela napas. Berusaha menenangkan diri. Tapi tangisan itu kembali terdengar. Zoe menutup telinga sambil menggeleng.“Zoe? Apa yang kau dengar?” Wolf ingin menarik tangan itu sampai turun. Ini karena tidak ada suara tangisan lagi. Begitu Clay naik, beberapa detik kemudian tangisan itu berhenti.Seharusnya Zoe tidak mendengar apapun selain pertanyaan Wolf. Tapi Zoe masih mendengarnya. Suara itu masih ada dalam kepalanya.Dengan terhuyung, Zoe melangkah ingin mencari pintu keluar. Ia ingin menjauh dari suara itu.“Kau mau ke mana?” Wolf menggapai, tapi tangannya kalah cepat. Zoe berlari, tapi tidak memilih pintu depan. Yang terlihat pertama oleh Zoe adalah pintu samping, maka ia menghambur keluar ke arah cahaya itu.“ZOE!” Wolf mengejar dan bersyukur melihat Zoe tidak berlari jauh. Tapi keadaan itu tidak berarti baik. Zoe kini berhenti di sam
“Wow!”Wolf bergumam saat memperhatikan bagaimana Zoe mengutuk tanpa tanda titik. Ia biasa mengumpat tapi lebih sering dalam hati. Apa yang dilihatnya saat ini tentu tanpa menakjubkan.Zoe terus mengumpat dalam suara keras selama kurang lebih satu menit. Ia adalah penyanyi, kekuatan suara dan napasnya bertahan lama.Wolf lega mereka tidak berada dalam lingkungan padat hunian. Kalau tidak mungkin sudah ada tetangga yang memanggil polisi dengan keluhan keributan. Suara Zoe bergema di sekitar kolam renang yang terbuka itu.“HEY! ARE YOU NUTS?! Kenapa kau berteriak di sini?!”Terdengar bentakan dan Wolf mendongak ke atas. Terlihat kepala dengan wajah marah menjenguk keluar dari arah jendela. Tentu ada orang yang terganggu mendengar teriakan Zoe itu.Wolf sempat mengira itu adalah Clay, tapi kemudian sadar kalau Clay tidak mungkin berubah menjadi muda lagi. Itu Dustin, anak pertama Clay.“Sorry.”Wolf melambai padanya, dan terlihat Dustin mencibir lalu menutup jendela dalam bantingan. Zoe
“Mmm… maaf itu tadi… Dia sedang belajar untuk ujian.” Clay dengan canggung meminta pengertian. Sementara Dustin mendecak dari atas. Meski di sini Zoe yang salah karena telah berteriak dan menangis tidak tentu arah di rumah orang lain, tapi Clay tetap ingin meminta maaf karena teguran anaknya tentu bisa dikatakan sangat kasar. “Tidak. Maaf. Aku yang seharusnya meminta maaf, Clay. Aku tidak bermaksud mengganggu. Aku akan meminta maaf padanya setelah ini.” Zoe dengan tergesa menggeleng. Wajahnya memerah malu. “Tidak perlu. Dustin memang selalu begitu, dia tidak…” “Bukan salahnya. Sungguh. Aku tamu…Oh? Aku bicara…” Zoe berpaling memandang Wolf yang masih tersenyum. Ia diam mengamati dan sangat puas melihat kelancaran Zoe bicara pada Clay. “Ya, kau bicara. Banyak dan lancar.” Wolf mengangguk. “Oh My God! Tunggu…” Zoe ingin bersorak, tapi menahan perasaan karena tidak ingin terlalu kecewa kalau ternyata ia tidak mampu lagi bicara. “Sing for me,” pinta Wolf. Zoe menelan ludah, sem
“Apa yang kau lakukan padanya?!” Sara membentak begitu mendengar laporan dari Wolf soal Zoe yang pingsan. Menuduh tanpa ragu.“Fokus pada hal positif, Sara! Aku membuatnya bicara! Zoe sudah bisa bicara dan bernyanyi. Itu saja fokusmu. Lalu jelaskan padaku apa yang membuatnya pingsan.” Wolf menuntut balik.“Kau pikir aku punya kemampuan super power yang bisa membuatku menerawang keadaan Zoe dari jarak ribuan mil? Kau membawanya ke rumah sakit bukan? Tanyakan pada dokter yang ada di sana bukan aku!” sergah Sara. Terdengar jengkel karena Wolf sama sekali tidak masuk akal.Wolf mendesah. Ia tentu sadar pertanyaan itu absurd. Tapi pikirannya saat ini hanya bisa menghasilkan pikiran absurd semacam itu memang. Terlalu kacau.“Sekarang ceritakan padaku apa yang terjadi, dan jangan memotong apapun. Semuanya!” Sara mendesis mengancam.“Mmm… Zoe terganggu saat ia mendengar tangisan bayi, lalu dia menutup telinganya meski sudah berada di luar. Aku memintanya tenang, lalu tiba-tiba ia berteriak me
“Kata dokter kau hanya lelah dan boleh pulang setelah ini.” Wolf menjelaskan pada Zoe yang baru saja membuka mata. Zoe mencoba mengumpulkan ingatan, dan langsung merasa kalau apa yang dikatakan Wolf itu tidak penting. Ada hal lain yang harus mereka bahas. Bukan hanya kapan ia akan pulang dari rumah sakit.“Akan ada banyak rencana menunggu setelah ini. Aku yang akan melatihmu, menjadi guru vokalmu. Dan aku punya rencana bagus lain. Aku tahu cara yang tepat untuk membuatmu dengan cepat mendapat eksposure, tapi mungkin tekanannya untukmu akan lebih besar.”Wolf menjelaskan segala rencana yang sekali lagi tidak ingin didengar Zoe.“Bagaimana kau ingin mendengarnya atau tidak?” tanya Wolf sambil menarik kursinya mendekat ke ranjang.Zoe menatapnya lalu mendengus. “Kau ternyata pengecut,” gerutunya.“Kau… Kau menyebutku apa?!”Wolf tadinya lega karena mendengar Zoe bisa kembali bicara, tidak mundur seperti dugaan Sara. Tapi mendengar sebutan pengecut itu, tentu Wolf meradang.“Pengecut. Ta
“LORIA MOREAU!”Zoe diam. Ia mendengar namanya, tapi tidak percaya kalau nama itu miliknya.“Wake up, Baby. And smile. It’s your’s.” (Bangun dan tersenyumlah. Piala itu milikmu)Bisikan Wolf itu akhirnya memunculkan emosi. Zoe memerah karena haru, baru bisa berdiri saat Wolf membantunya. Sayang Wolf tidak bisa mengantarnya ke panggung.Untungnya ada tangan Syanne yang membantunya, lalu Jacob yang ada paling dekat dengan panggung, membantunya meniti tangga agar sampai di atas.Zoe beberapa kali mengucapkan terima kasih pada orang yang mengulurka piala miliknya, sebelum akhirnya berdiri di hadapan mic untuk menyampaikan sambutan.Zoe menghela napas beberapa kali, menghapus air mata dan akhirnya bisa menatap ke arah kamera dan penonton—yang menunggunya dengan sabar.“Ini hal yang tidak pernah saya impikan, berdiri di sini dan menerima ini.” Zoe menatap piala yang ada di tangannya sekali lagi dan tersenyum.“Saya… sempat mengubur impian ini. Tidak lagi berharap untuk bisa bernyanyi—apalagi
“Zoe, tunggu. Apa hanya seperti ini?” Max terlihat kembali akan menyentuh tangan Zoe, tapi ditepis. “Zoe, kita punya masa lalu, dan…” “Exactly! Masa lalu yang sudah tidak signifikan lagi karena aku sudah menemukan masa depan yang indah. Tidak lagi menjadi kacung yang kau anggap seperti kain kotor!” Bentakan yang membuat Max terdiam dan kembali menunduk meremas tangannya. Zoe tidak lagi peduli apakah orang lain mendengarnya atau tidak. Ia ingin Max mengerti agar tidak lagi berusaha. “Kembalilah ke liang dimana kau berada, dan silahkan mengingat kenapa kau dulu memilih untuk membiarkanku mati. Agar kau sadar kenapa aku tidak akan pernah berkelas kasihan padamu!” Zoe menyambar kacamata hitam yang ada di meja lalu memakainya dan berjalan keluar. Urusannya berakhir. Ia kemarin juga sudah menolak permintaan Iris yang berusaha menghubunginya dari penjara. Zoe tidak ingin merusak harinya dengan mendengar omong kosong. Sedangkan Billy—ia tidak mencoba sama sekali. Diantara mereka bertiga
Zoe melakukan sesuatu yang tidak akan disukai oleh Wolf. Ia tidak akan berbohong, tapi akan mengatakannya nanti setelah selesai. Zoe ingin menyelesaikan ini sendiri tanpa campur tangan orang lain.Tentu saja tidak mudah. Ia melangkah dengan hati gelisah. Zoe beberapa kali menggeser kacamata hitam yang ada di atas hidung, sementara tangan yang lain menenteng bunga dan box hadiah berwarna pink yang cantik.Zoe gelisah karena tahu ia akan dikenali saat masuk nanti. Tapi sudah pasrah. Tidak mungkin juga menyembunyikan identitasnya sekarang—mengingat orang yang akan ditemuinya.Zoe menghampiri loket setelah ia menuliskan nama dan nomor tahanan di selembar formulir, dan menyerahkannya.“Silahkan tunggu di sana. Nanti akan kami panggil,” kata sipir penjara yang ada di belakang loket.Ia menatap Zoe beberapa kali saat ada sipir lain yang memeriksa bawaan Zoe—memastikan tidak ada benda terlarang diselundupkan, melirik untuk memastikan—bahkan membaca namanya yang ada di formulir, tapi tidak ber
“Ini.” Wolf menyerahkan cangkir pada Zoe. Zoe ingin menerima tapi tangannya masih sibuk membalas pesan yang masuk ke ponselnya. “Cliff benar-benar belum punya kekasih bukan?” tanya Zoe. “Hm? Untuk apa kau bertanya?” Wolf mengernyit curiga tentu.“Untuk Sara. Ia ingin meyakinkan karena tidak percaya pria seperti Cliff masih single.” Zoe mendecak sambil menunjukkan pesan yang dikirim oleh Sara untuknya. Menunjukkan kalau ia tidak berbohong. Ia memang bertanya untuk Sara bukan untuk dirinya. “Belum. Kata Clay ia sempat punya—wartawan atau MC, aku lupa. Tapi putus saat Cliff akan pindah dan ke sini. Entah dia pindah lalu mereka putus, atau putus dan baru pindah.” Wolf hanya mengulang kata-kata Clay tentu. Dan kini Zoe mengulangnya dalam bentuk pesan untuk Sara, dan mengirimnya agar tenang. “Bagaimana kau bisa tahu detail ini?” Setelah mengirim pesan dan mengambil cangkir bagiannya Zoe bertanya dengan heran. Pengetahuan itu terlalu mendetail—terutama saat berasal dari Wolf yang bias
“Tapi seharusnya dia ada di penjara…”Max mengingkari kenyataan sekali lagi. Baginya Loria masih tidak mungkin Zoe karena seharusnya ia ada di dalam penjara.“Tololmu tidak ada habisnya!” Billy menggebrak meja dan mengamuk. Mencekik leher Max dengan tangannya yang terborgol. Tentu saja segera terjadi keributan dan teriakan saat polisi yang berjaga menerjang Billy melumpuhkannya ke lantai.Tapi rupanya Billy benar-benar marah pada Max, karena ia masih memberontak dan memaki pada Max, meski ia sudah ada dalam posisi menelungkup.“DASAR OTAK UDANG! KEPALAMU ITU…”“SILENCE!”Bentakan Billy kalah dari hakim yang berseru menggelegar. Tidak hanya Billy yang terdiam, wartawan dan penonton yang ribut pun diam. “Sekali lagi ada yang mengganggu aku akan menjadwalkan ulang sidang ini! PAHAM?!”Sunyinya ruangan itu, hanya berarti mereka semua mengerti. “Bawa keluar. Mr. Dacosta, saya akan memastikan tindakan ini akan masuk dalam dakwaan Anda. Penyerangan, tindak tidak sopan dan mengganggu keter
Jaksa itu memulai dengan pertanyaan standar, tentang latar belakang Sara—pendidikan, berapa lama ia telah menjadi psikiater dan lain sebagainya. Baru setelah itu ia menyebut tentang Zoe. “Sejak kapan Ms. Zoe Anderson menjadi pasien Anda?” tanya Jaksa. “Lebih dari setahun.” Sara menjawab dengan jelas. Tidak terlihat lagi mode ceria yang biasa dipakainya saat berhadapan dengan pasien. “Bisa Anda jelaskan bagaimana keadaan Ms. Anderson saat itu?” “Zoe datang dengan keinginan untuk sembuh, karena ia menderita trauma berat yang sangat terlihat dan membuatnya tidak bisa menjalani kehidupan yang normal.” “Bisa tolong jelaskan lebih lanjut tentang trauma itu?” Sara mengangguk. Tenang karena semua sesuai dengan perkiraan yang diberikan Cliff. “Zoe datang dalam keadaan tidak bisa bicara, tapi hasil pemeriksaan dokter memperlihatkan kalau Zoe tidak menderita luka fisik lagi. Semua syarafnya normal tanpa gangguan, maka bisa dipastikan kalau keadaan tidak bisa bicara itu adalah hasil lain da
“Itu… Aneh. Kau jangan bercanda!” Iris menggeleng keras sambil menatap Zoe dari ujung kepala sampai ujung kaki. Berusaha mengenali sosoknya sebagai orang yang sama—dengan yang dilihatnya dulu saat bersama dengan Max.“Apa aku pernah bercanda saat bicara denganmu?”Wolf membalas dengan datar sambil menarik kursi untuk Zoe. Kursi yang paling jauh dari Iris. Ia masih kehilangan kata-kata dan terus memandang Zoe.“Kau benar-benar Zoe Anderson?” Iris masih melotot ke arah Zoe.“Ya, sebelum mengubah nama menjadi Loria Moreau, itu adalah namaku juga.” Zoe membalas dengan tenang. Kegugupan yang tadi menghantui tidak lagi ada.Pertemuan dengan Iris itu mungkin tidak terduga dan nyaris menyebalkan, tapi Zoe merasa mendapat kekuatan, karena sangat sadar kalau ia saat ini berada di atas.Melihat Iris yang terkejut, Zoe merasakan kepuasan. Kemenangan karena berhasil menunjukkan dirinya yang baru kepada Iria. Bukan lagi perempuan kumal yang dulu ditemuinya—dan diabaikan karena dianggap tidak setara
Zoe mengusap rock dan blazernya yang berwarna cream netral. Pilihan dari Darcy agar Zoe tidak tampak mengintimidasi maupun muram. Ia tengah merasa gugup karena dari kejauhan bisa melihat bagaimana wartawan berkerumun di depan pengadilan. Mreka tentu saja menunggu sosok Zoe Anderson yang sama sekali misterius. Tidak ada yang memuat gambar Zoe dalam berita, karena memang tidak ada dokumentasi apapun dari kasus Zoe. Dulu Zoe terluka dan ada di rumah sakit, jadi sama sekali tidak menghadiri pengadilan sebagai tersangka. Tidak ada yang merekam wajahnya maupun tertarik untuk mencari tahu di rumah sakit karena kasus itu sangat jelas membuatnya menjadi tersangka. Zoe juga mengusap rambutnya yang berwarna kembali pirang. Ia tidak memakai wig hari ini. Pertama kalinya ia akan muncul tanpa rambut hitam—dan sejujurnya membuat Zoe lebih gugup lagi. Seolah melepaskan topeng yang selama ini melindunginya. Zoe akan menjadi Zoe di hadapan orang banyak, bukan lagi Loria. “Mereka akan terpesona pada
“Dia ingin menyelamatkan diri! Licik sekali!” Wolf mendesis kesal.Sudah jelas dari pernyataan Iris itu terlihat kalau ia memang hanya ingin menyelamatkan dirinya sendiri dengan menyalahkan Max dan juga Billy.“Ia membuat mereka terkesan menekan dirinya untuk menyembunyikan kenyataan tentang Zoe. Iris lalu memakai alasan tekanan itu dan menjadikannya terlihat sebagai alasan semua perbuatan anehnya kemarin. Ia bersembunyi dari kesalahan dengan memakai alasan kesehatan mental.” Sara menggeleng dan tampak jengkel. Tentulah ia kesal saat ada orang yang menjadikan kesehatan mental sebagai kebohongan.“Dia berhasil keluar memakai sekoci sebelum kapalnya benar-benar karam.” Cliff memandang Iris yang terus terisak dan menangis diantara kata-katanya.“Tidak masalah. Biarkan saja,” kata Zoe sambil bersedekap dan menatap ke arah televiisi tanpa berkedip.“Apa maksudmu biarkan saja? Dia berbohong lagi!” Wolf juga menunjuk ke arah televisi dengan wajah tidak terima.“Setidaknya dia telah jujur, ba