Zoe kembali menunduk lalu mencengkram paha Wolf, meminta agar mereka keluar saja dari ruangan dokter itu.Tentu Wolf tidak beranjak memenuhi keinginan Zoe, tapi sebagai ganti, Wolf menggenggam tangan dingin Zoe yang panik itu. Zoe menarik tangannya, ingin memberi tahu kalau ia benar-benar ingin keluar.Namun, genggaman Wolf lebih kuat, dan bukan hanya mencengkram kuat. Wolf mengelus tangan Zoe. Menggosok punggung tangannya, mengelus telapak tangannya dengan lembut. Memberi sentuhan yang lebih menenangkan. Membujuk tapi dengan belaian, dan lebih manjur. Geli menggelitik dan hangat membuat jantung Zoe terpacu bukan lagi oleh ketakutan. Zoe mungkin akan mendesah, seandainya tidak mendengar dokter—yang tengah bersemangat menjelaskan, menyebut namanya dengan lengkap. Zoe mengatupkan bibirnya serapat mungkin setelah itu, sambil melirik ke arah Wolf. Yang tentu saja berwajah datar. Bahkan tidak terlihat berkedip saat memandang Howard.“Aku ingat siapa kau. Zoe Anderson. Aku tidak mungkin m
Zoe secepat kilat langsung menghapus air matanya dan kembali menunduk, tapi gerakan itu sangat menarik perhatian. Zoe sejak tadi tidak banyak bergerak.Bukan hanya Wolf yang melihatnya, tapi juga Howard yang terlihat langsung panik.“Astaga! Tunggu! Jangan bersedih dulu. Ini bukan kabar yang buruk. Bukan sesuatu yang harus ditangisi.”Howard dengan tergesa berdiri untuk mengambil tisu dan menyerahkannya pada Zoe. Wolf yang menerima, mengambil beberapa lembar tisu lalu menggulurkannya kepada Zoe.Ia tentu sudah menyesal karena air matanya semakin tidak terkendali. Emosinya bercampur aduk karena banyak hal.“Ini bukan kabar buruk. Maaf, seharusnya aku mengatakan dengan lebih jelas.” Howard juga menyerahkan botol air kepada Zoe, untuk menenangkannya.“Anda mengatakan tidak bisa membantu Zoe. Ini berarti keadaannya permanen bukan?” Wolf bertanya sesuai dengan pengertian yang tadi ditangkapnya. Semikian pula Zoe. Ia juga berpikir seperti itu, karenanya langsung menangis.“Bukan. Keadaan Zo
“Untuk apa aku disini kalau ternyata kau tak datang?” Wolf mendesis. Waktunya sangat berharga, tentu ia akan kesal kalau ada janji yang dibatalkan dengan tiba-tiba seperti itu. Tapi ia bisa mengerti kenapa Clay tiba-tiba harus membatalkan janji. Istrinya harus pergi ke dokter atau semacam itu, maka batal rencana mereka untuk bertemu.. “Maaf, nanti aku akan mencoba membuat janji lagi.” Clay terdengar menyesal. “Tidak perlu. Kau urus saja istrimu itu.” Wolf sudah malas. Terdengar tawa renyah Clay. “Kenapa kau terdengar seperti istri yang cemburu? Aku curiga…” “Bawa kecurigaanmu itu sampai mati!” sergah Wolf, lalu memutuskan panggilan. Ia tahu lidah Clay terkadang tidak normal, tapi ia malas mendengar ketidaknormalan itu saat ini. Wolf meletakkan ponselnya, kembali mengiris steak yang menjadi makan malamnya. “Dia tidak jadi datang?” Zoe mengangsurkan ponsel berisi pertanyaan. Ia sendiri sudah selesai makan karena tidak harus menerima panggilan telepon dari siapapun. Wolf menata
Tidak perlu meminta dengan seram seperti itu sebenarnya, karena Zoe tidak berencana melawan.Tapi tentu Zoe kembali mengutuk kepatuhannya itu. Pikiran kategori nakal yang seharusnya tidak muncul. Tapi suara rendah Wolf yang menggelitik—belum lagi sentuhan tangannya, yang membawa Zoe ke tengah ruangan, hanya memperparah rasa yang melanda Zoe saat ini.Wolf membawanya ke tengah ruangan, dan Zoe sudah akan mengikuti saat Wolf duduk di sofa, tapi Wolf melepaskan tangannya. Zoe mengernyit karena tentu hal itu tidak biasa.“Kau kecewa? Ayolah… jangan terlalu mudah ditebak…” Wolf mengejek saat melihat kerutan di kening Zoe. Senyum kepuasan itu jelas saja membuat Zoe kesal.Zoe akhirnya mengacungkan jari tengahnya. Sudah sangat jelas kalau sejak tadi Wolf hanya menggodanya. Ia tidak mengajaknya kesini “APA MAUMU?!!” Zoe menambahkan tanda seru sebanyak mungkin untuk menunjukkan kemarahannya. Wolf hanya tersenyum, lalu menuang brandy yang sudah disiapkan sesuai pesanannya juga.“Sing for me
Zoe mengedipkan mata beberapa kali. Ingin melihat apakah sosok yang saat ini tertidur di sampingnya akan menguap dan hilang menjadi asap, menjadi bagian dari mimpinya.Tapi Wolf masih ada. Tertidur nyenyak dengan napas berat. Menangkup pinggang Zoe, membuatnya tidak bisa bergerak menjauh.Ini sangat baru, karena biasanya Wolf tidak pernah tinggal sampai tertidur di sampingnya. Kalau pun tinggal sampai tertidur, Zoe tidak tahu, karena ia selalu lelah dan tertidur cepat. Lalu setiap kali bangun Wolf sudah bangun terlebih dahulu. Entah dia mandi, atau bahkan kadang sudah berangkat kerja. Yang jelas Zoe tidak pernah terbangun di samping Wolf setelah mereka tidur bersama.Wolf sendiri nyaris tidak pernah tidur di rumah. Jadi selain hari di mana mereka ‘melakukannya’, mereka tidak pernah tidur bersama di satu ranjang. Zoe tidak tahu di mana Wolf tidur pada hari yang lain, dan tidak terlalu ingin peduli. Tapi sekarang ia bertanya-tanya. Karena bisa jadi Wolf ada bersama wanita lain saat ti
Setelah perjalanan ke Los Angeles itu, Wolf menghilang hampir selama seminggu. Tidak benar-benar menghilangkan karena kadang Zoe masih melihatnya pulang. Sekadar berganti baju, mengambil sesuatu atau entah melakukan apa. Yang jelas Wolf tidak pernah ada di rumah lebih dari dua jam, dan Zoee tentu saja amat sangat bersyukur untuk itu.Selain karena berarti dirinya bebas tugas tidur, Zoe bisa melanjutkan kegiatannya untuk menguntit.Sebenarnya Zoe juga ingin tahu bagaimana kelanjutan konsultasi dengan psikiater itu, tapi ia tidak akan memaksa Wolf dengan bertanya-tanya, karena itu adalah keinginan Wolf.Dan sejujurnya Zoe hanya tidak ingin kecewa seandainya psikiater yang ditemuinya nanti mengatakan keadaannya sulit ditanggulangi atau lain sebagainya. Zoe saat ini lebih memilih untuk lari dan merasa aman. Pelariannya tentu saja mengerjakan apa yang menjadi tujuannya sejak awal. Balas dendam.Zoe memakai kacamata hitam murahan yang dibelinya kemarin. Meski sudah tertutup, Zoe masih mema
“MATAMU BUTA?!” bentak Iris. Zoe menahan senyum mendengar itu. Tapi tentu ia tidak menampakkannya.Zoe dengan cepat mengetikkan balasan di ponselnya.“Maaf, aku tidak sengaja. Dan maaf lagi, aku tidak bisa bicara karena tenggorokanku sakit.”“Yakin hanya tenggorokanmu yang sakit? Matamu juga sakit! Kau tidak memakainya dengan benar!” Iris mengamuk, dan menepis saat Zoe berusaha mengusap bahunya.“Maaf, aku benar-benar tidak sengaja. Aku akan mengganti biaya laundry pakaianmu.” Zoe meminta maaf sekali lagi, dan menambahkan soal uang karena tahu hal itu akan membuat Iris semakin marah.“Uang? Aku tidak membutuhkan uangmu! Kau membuat tubuhku lengket dan tidak nyaman!” Iris menendang minuman yang Zoe letakkan di lantai, membuat basahnya melebar.Zoe saat ini menyayangkan karena ia tidak bisa mengambil video karena itu tadi kekasaran yang epic. Tapi suara itu sudah sangat mewakili. “Iris, aku mohon jangan marah.” Cleo menghampiri dengan panik. Sambil menatap sekitar untuk melihat apakah
“Aku ingin melihat wajah seperti apa yang kau anggap buruk itu,” kata Max, sambil tersenyum menatap wajah Zoe.Zoe rasanya ingin mati saat Max terus menatapnya. Mata Max bergulir memandang bintik di atas hidung Zoe, tapi hanya itu.Jantung Zoe yang tadinya mekar karena panik, perlahan bergetal melambat dan menyusut saat tidak melihat tanda Max mengenalinyaSelain wajahnya sangat memerah saat ini, make up yang dipakai Zoe memang bisa dikatakan sangat tebal—jauh dari dirinya yang dulu lusuh. Tapi bintik di pipi dan atas hidungnya itu, sangat tidak mencerminkan Zoe, karena wajahnya dulu bersih mulus.“Aku tidak melihat keburukan di sini. Kau tidak perlu malu berfoto denganku.” Max melepaskan dagu Zoe, dan tentu saja Zoe otomatis menjauh.“Maaf, tapi aku benar-benar malu.” Zoe menuliskan itu dengan tangan yang sangat gemetar untungnya masih bisa tertulis dengan benar.Max kembali tertawa. “Kau lucu sekali,” katanya.“Begini saja. Aku akan memberimu nomor ponselku. Kalau kau ingin sesi f
“LORIA MOREAU!”Zoe diam. Ia mendengar namanya, tapi tidak percaya kalau nama itu miliknya.“Wake up, Baby. And smile. It’s your’s.” (Bangun dan tersenyumlah. Piala itu milikmu)Bisikan Wolf itu akhirnya memunculkan emosi. Zoe memerah karena haru, baru bisa berdiri saat Wolf membantunya. Sayang Wolf tidak bisa mengantarnya ke panggung.Untungnya ada tangan Syanne yang membantunya, lalu Jacob yang ada paling dekat dengan panggung, membantunya meniti tangga agar sampai di atas.Zoe beberapa kali mengucapkan terima kasih pada orang yang mengulurka piala miliknya, sebelum akhirnya berdiri di hadapan mic untuk menyampaikan sambutan.Zoe menghela napas beberapa kali, menghapus air mata dan akhirnya bisa menatap ke arah kamera dan penonton—yang menunggunya dengan sabar.“Ini hal yang tidak pernah saya impikan, berdiri di sini dan menerima ini.” Zoe menatap piala yang ada di tangannya sekali lagi dan tersenyum.“Saya… sempat mengubur impian ini. Tidak lagi berharap untuk bisa bernyanyi—apalagi
“Zoe, tunggu. Apa hanya seperti ini?” Max terlihat kembali akan menyentuh tangan Zoe, tapi ditepis. “Zoe, kita punya masa lalu, dan…” “Exactly! Masa lalu yang sudah tidak signifikan lagi karena aku sudah menemukan masa depan yang indah. Tidak lagi menjadi kacung yang kau anggap seperti kain kotor!” Bentakan yang membuat Max terdiam dan kembali menunduk meremas tangannya. Zoe tidak lagi peduli apakah orang lain mendengarnya atau tidak. Ia ingin Max mengerti agar tidak lagi berusaha. “Kembalilah ke liang dimana kau berada, dan silahkan mengingat kenapa kau dulu memilih untuk membiarkanku mati. Agar kau sadar kenapa aku tidak akan pernah berkelas kasihan padamu!” Zoe menyambar kacamata hitam yang ada di meja lalu memakainya dan berjalan keluar. Urusannya berakhir. Ia kemarin juga sudah menolak permintaan Iris yang berusaha menghubunginya dari penjara. Zoe tidak ingin merusak harinya dengan mendengar omong kosong. Sedangkan Billy—ia tidak mencoba sama sekali. Diantara mereka bertiga
Zoe melakukan sesuatu yang tidak akan disukai oleh Wolf. Ia tidak akan berbohong, tapi akan mengatakannya nanti setelah selesai. Zoe ingin menyelesaikan ini sendiri tanpa campur tangan orang lain.Tentu saja tidak mudah. Ia melangkah dengan hati gelisah. Zoe beberapa kali menggeser kacamata hitam yang ada di atas hidung, sementara tangan yang lain menenteng bunga dan box hadiah berwarna pink yang cantik.Zoe gelisah karena tahu ia akan dikenali saat masuk nanti. Tapi sudah pasrah. Tidak mungkin juga menyembunyikan identitasnya sekarang—mengingat orang yang akan ditemuinya.Zoe menghampiri loket setelah ia menuliskan nama dan nomor tahanan di selembar formulir, dan menyerahkannya.“Silahkan tunggu di sana. Nanti akan kami panggil,” kata sipir penjara yang ada di belakang loket.Ia menatap Zoe beberapa kali saat ada sipir lain yang memeriksa bawaan Zoe—memastikan tidak ada benda terlarang diselundupkan, melirik untuk memastikan—bahkan membaca namanya yang ada di formulir, tapi tidak ber
“Ini.” Wolf menyerahkan cangkir pada Zoe. Zoe ingin menerima tapi tangannya masih sibuk membalas pesan yang masuk ke ponselnya. “Cliff benar-benar belum punya kekasih bukan?” tanya Zoe. “Hm? Untuk apa kau bertanya?” Wolf mengernyit curiga tentu.“Untuk Sara. Ia ingin meyakinkan karena tidak percaya pria seperti Cliff masih single.” Zoe mendecak sambil menunjukkan pesan yang dikirim oleh Sara untuknya. Menunjukkan kalau ia tidak berbohong. Ia memang bertanya untuk Sara bukan untuk dirinya. “Belum. Kata Clay ia sempat punya—wartawan atau MC, aku lupa. Tapi putus saat Cliff akan pindah dan ke sini. Entah dia pindah lalu mereka putus, atau putus dan baru pindah.” Wolf hanya mengulang kata-kata Clay tentu. Dan kini Zoe mengulangnya dalam bentuk pesan untuk Sara, dan mengirimnya agar tenang. “Bagaimana kau bisa tahu detail ini?” Setelah mengirim pesan dan mengambil cangkir bagiannya Zoe bertanya dengan heran. Pengetahuan itu terlalu mendetail—terutama saat berasal dari Wolf yang bias
“Tapi seharusnya dia ada di penjara…”Max mengingkari kenyataan sekali lagi. Baginya Loria masih tidak mungkin Zoe karena seharusnya ia ada di dalam penjara.“Tololmu tidak ada habisnya!” Billy menggebrak meja dan mengamuk. Mencekik leher Max dengan tangannya yang terborgol. Tentu saja segera terjadi keributan dan teriakan saat polisi yang berjaga menerjang Billy melumpuhkannya ke lantai.Tapi rupanya Billy benar-benar marah pada Max, karena ia masih memberontak dan memaki pada Max, meski ia sudah ada dalam posisi menelungkup.“DASAR OTAK UDANG! KEPALAMU ITU…”“SILENCE!”Bentakan Billy kalah dari hakim yang berseru menggelegar. Tidak hanya Billy yang terdiam, wartawan dan penonton yang ribut pun diam. “Sekali lagi ada yang mengganggu aku akan menjadwalkan ulang sidang ini! PAHAM?!”Sunyinya ruangan itu, hanya berarti mereka semua mengerti. “Bawa keluar. Mr. Dacosta, saya akan memastikan tindakan ini akan masuk dalam dakwaan Anda. Penyerangan, tindak tidak sopan dan mengganggu keter
Jaksa itu memulai dengan pertanyaan standar, tentang latar belakang Sara—pendidikan, berapa lama ia telah menjadi psikiater dan lain sebagainya. Baru setelah itu ia menyebut tentang Zoe. “Sejak kapan Ms. Zoe Anderson menjadi pasien Anda?” tanya Jaksa. “Lebih dari setahun.” Sara menjawab dengan jelas. Tidak terlihat lagi mode ceria yang biasa dipakainya saat berhadapan dengan pasien. “Bisa Anda jelaskan bagaimana keadaan Ms. Anderson saat itu?” “Zoe datang dengan keinginan untuk sembuh, karena ia menderita trauma berat yang sangat terlihat dan membuatnya tidak bisa menjalani kehidupan yang normal.” “Bisa tolong jelaskan lebih lanjut tentang trauma itu?” Sara mengangguk. Tenang karena semua sesuai dengan perkiraan yang diberikan Cliff. “Zoe datang dalam keadaan tidak bisa bicara, tapi hasil pemeriksaan dokter memperlihatkan kalau Zoe tidak menderita luka fisik lagi. Semua syarafnya normal tanpa gangguan, maka bisa dipastikan kalau keadaan tidak bisa bicara itu adalah hasil lain da
“Itu… Aneh. Kau jangan bercanda!” Iris menggeleng keras sambil menatap Zoe dari ujung kepala sampai ujung kaki. Berusaha mengenali sosoknya sebagai orang yang sama—dengan yang dilihatnya dulu saat bersama dengan Max.“Apa aku pernah bercanda saat bicara denganmu?”Wolf membalas dengan datar sambil menarik kursi untuk Zoe. Kursi yang paling jauh dari Iris. Ia masih kehilangan kata-kata dan terus memandang Zoe.“Kau benar-benar Zoe Anderson?” Iris masih melotot ke arah Zoe.“Ya, sebelum mengubah nama menjadi Loria Moreau, itu adalah namaku juga.” Zoe membalas dengan tenang. Kegugupan yang tadi menghantui tidak lagi ada.Pertemuan dengan Iris itu mungkin tidak terduga dan nyaris menyebalkan, tapi Zoe merasa mendapat kekuatan, karena sangat sadar kalau ia saat ini berada di atas.Melihat Iris yang terkejut, Zoe merasakan kepuasan. Kemenangan karena berhasil menunjukkan dirinya yang baru kepada Iria. Bukan lagi perempuan kumal yang dulu ditemuinya—dan diabaikan karena dianggap tidak setara
Zoe mengusap rock dan blazernya yang berwarna cream netral. Pilihan dari Darcy agar Zoe tidak tampak mengintimidasi maupun muram. Ia tengah merasa gugup karena dari kejauhan bisa melihat bagaimana wartawan berkerumun di depan pengadilan. Mreka tentu saja menunggu sosok Zoe Anderson yang sama sekali misterius. Tidak ada yang memuat gambar Zoe dalam berita, karena memang tidak ada dokumentasi apapun dari kasus Zoe. Dulu Zoe terluka dan ada di rumah sakit, jadi sama sekali tidak menghadiri pengadilan sebagai tersangka. Tidak ada yang merekam wajahnya maupun tertarik untuk mencari tahu di rumah sakit karena kasus itu sangat jelas membuatnya menjadi tersangka. Zoe juga mengusap rambutnya yang berwarna kembali pirang. Ia tidak memakai wig hari ini. Pertama kalinya ia akan muncul tanpa rambut hitam—dan sejujurnya membuat Zoe lebih gugup lagi. Seolah melepaskan topeng yang selama ini melindunginya. Zoe akan menjadi Zoe di hadapan orang banyak, bukan lagi Loria. “Mereka akan terpesona pada
“Dia ingin menyelamatkan diri! Licik sekali!” Wolf mendesis kesal.Sudah jelas dari pernyataan Iris itu terlihat kalau ia memang hanya ingin menyelamatkan dirinya sendiri dengan menyalahkan Max dan juga Billy.“Ia membuat mereka terkesan menekan dirinya untuk menyembunyikan kenyataan tentang Zoe. Iris lalu memakai alasan tekanan itu dan menjadikannya terlihat sebagai alasan semua perbuatan anehnya kemarin. Ia bersembunyi dari kesalahan dengan memakai alasan kesehatan mental.” Sara menggeleng dan tampak jengkel. Tentulah ia kesal saat ada orang yang menjadikan kesehatan mental sebagai kebohongan.“Dia berhasil keluar memakai sekoci sebelum kapalnya benar-benar karam.” Cliff memandang Iris yang terus terisak dan menangis diantara kata-katanya.“Tidak masalah. Biarkan saja,” kata Zoe sambil bersedekap dan menatap ke arah televiisi tanpa berkedip.“Apa maksudmu biarkan saja? Dia berbohong lagi!” Wolf juga menunjuk ke arah televisi dengan wajah tidak terima.“Setidaknya dia telah jujur, ba