“Zoe? Lihat aku… Tenang dulu…” Wolf berusaha menenangkan karena melihat Zoe berada di tepi air mata. Padahal Zoe tidak boleh menangis. Tangisan akan merusak make up dan segala persiapan yang dilakukannya sekarang. “Tenang dulu… Tarik nafas dalam-dalam, perlahan. Semua akan baik-baik saja.” Wolf berbisik sambil menepuk pelan kedua pipi Zoe. Tapi Zoe menggeleng sambil kembali mencakar lehernya. Ingin mengatakan kalau ia tidak bisa bicara. “Oh, tenang dulu.” Wolf tentu saja ikut panik. Ia mengerti apa yang dimaksud oleh Zoe, tapi ia menyembunyikan kepanikannya dan menurunkan tangan Zoe dari leher, meremasnya pelan. “Dengar aku, Zoe. Apapun yang terjadi hari ini, tidak akan ada yang berubah. Kau akan tetap menjadi milikku. Kalaupun kau gagal di sini, tidak akan ada yang bisa mengubah itu. Aku tetap menginginkanmu. Jadi tidak ada hal yang perlu kau takutkan,” bujuk Wolf, menenangkan. Tapi Zoe menggeleng dan berusaha kembali mencakar lehernya. Ia ingin bernyanyi. Ia ingin bisa bernyan
Zoe merasa seperti separuh bermimpi separuh sadar. Ia menunggu di belakang panggung—setelah mendapat omelan dari produser karena menghilang, dengan wajah yang amat datar. Padahal seharusnya Zoe menunjukkan reaksi yang tepat saat kamera beralih kepada peserta yang menunggu. Mungkin hanya dua atau tiga detik reaksi–tepuk tangan atau senyuman, tapi mereka sudah mendapat briefing khusus untuk tetap berwajah antusias. Tentu untuk membuat acara tetap hidup. Dan semuanya dilewatkan oleh Zoe, sampai Laila beberapa kali harus menyenggol lengannya agar Zoe tidak terlalu banyak melamun. Zoe tentu juga melewatkan penampilan spektakuler Max yang membuka acara, padahal sorakan yang terdengar di ruang tunggu cukup menulikan telinga. Bahkan lebih buruk lagi, Zoe nyaris melewatkan penampilan Laila dan hanya bertepuk saat terakhir—lalu juga penampilannya sendiri, nyaris terlewatkan sampai Laila mendampinginya ke bibir panggung agar Zoe tidak melamun. Zoe berhasil, sangat berhasil bernyanyi live kar
Laila menerangkan dengan gamblang. Hanya menyebut garis besar yang dilihatnya dengan jelas, tanpa terkontaminasi oleh emosi campur aduk yang dirasakan Zoe selama berhubungan dengan Wolf. Mengesampingkan seks yang mereka lakukan, Wolf yang kasar dan menyebalkan, juga sikapnya yang terkadang terlihat terlalu aneh, apa yang dikatakan Laila sangat benar. Wolf yang bahkan menolak Sara—yang sebagai wanita Zoe anggap sempurna dengan segala kelebihan yang menyilaukan—tiba-tiba saja dengan rela dua kali untuk menciumnya. Itu berarti ada sesuatu di sana. Sesuatu yang berbeda. Mungk---hanya mungkin, Wolf tidak hanya bicara tentang suaranya tadi. Kata-kata ambigu itu—tentang Wolf yang menginginkannya, jika digabungkan dengan ciuman itu menjadi lebih masuk akal. Dan semakin berisiklah kepala Zoe saat itu juga. Seperti ada sesuatu yang tiba-tiba mondar-mandir berusaha memadamkan pikiran yang selama di singkirkannya jauh-jauh. Pikiran yang diredam itu sekarang seolah berlomba untuk muncul, ber
Max tersenyum mengusap lengan, bahkan bahu Zoe, dan Zoe tidak menolak. Zoe beberapa kali mengibaskan rambut hitamnya yang panjang itu, sambil tertawa menutupi bibirnya. Terlihat semakin manis tentu, tapi sikap manis itu seharusnya jadi ditunjukkan pada Max. Wolf harus mengingatkan dirinya beberapa kali, kalau ia tidak boleh maju dan menerjang pria yang tengah menyandang gitar itu. Pria yang juga sangat terlihat jelas ia tengah menebar pesona sambil menyibak rambutnya yang sedikit panjang itu. Lalu beberapa kali memperlihatkan senyumnya yang cemerlang seperti lampu neon iklan itu. Kurang lebih mereka berdua memancarkan aura menyilaukan dan Wolf ingin sekali mencabut stop kontak apapun untuk mematikan suasana menyenangkan itu. Tapi tentu ia hanya bisa memandang. Wolf menyingkir ke pintu keluar tempat parkir itu, dan mengambil rute memutar untuk kembali ke mobilnya agar Zoe tidak kaget dengan kemunculannya. Wolf terus mengawasi mereka berdua sampai lehernya terasa kaku, dan matanya
Mata Zoe menyipit. Tidak mengerti kenapa ia harus mendapat sambutan yang masam itu. “Lalu aku harus melakukan apa?” tanya Zoe. “Kau hanya tinggal menjawab panggilanku dan pergi meninggalkan bajingan itu! Kau bisa memakainya sebagai alasan untuk pergi, dan…” “Ah… itu bisa juga.” Zoe mengangguk. Ia tidak berpikir ke arah sana. “Tapi aku perlu bicara padanya, karena…” “Kau masih perlu membicarakan apalagi dengannya?! Apalagi yang perlu kau dengar darinya selain omong kosong?!” desis Wolf. “Memang kebanyakan omong kosong, tapi aku perlu mendengarkannya, Aku bermaksud untuk berpura-pura tertarik padanya. Kalau bisa, aku akan menjadi kekasihnya.” CKIT! Wolf menekan pedal rem terlalu cepat. Untuk saja tidak ada mobil lain di belakang mereka yang menempel. “Kau apa? Kau masih mau menjadi kekasihnya?! Are you insane?!” Wolf memalingkan separuh tubuhnya memandang Zoe dengan wajah murka. “Kau yang gila!” Zoe menggelengkan kepala. Lelah karena sejak tadi ia hanya mendengar Wolf yang mar
“Tidak adakah acara lain yang bisa kau lakukan?” tanya Wolf, sambil membelokkan mobilnya memasuki halaman rumah miliknya.“Mungkin ada, tapi saat ini cara termudah untuk mendekati Max adalah dengan berpura-pura menjadi kekasihnya. Max tertarik padaku.”Zoe menggeleng karena ironi itulah yang membuatnya memiliki ide untuk berpura-pura menjadi kekasih Max tadi. Max tanpa ragu membuangnya saat masih menjadi Zoe, tapi sekarang Max tanpa ragu mendekatinya hanya karena Loria terlihat sedikit berbeda dari Zoe.BLAK!Zoe tersentak kaget karena tiba-tiba saja Qolf membanting pintu mobilnya dengan sangat keras saat ia turun.“Ada apa denganmu?!” Zoe tentu akhirnya kesal, karena mengikuti perubahan emosi Wolf yang tidak jelas itu. Sebentar pria itu marah, tenang, lalu marah lagi.“Aku mempertanyakan keputusanmu, Zoe! Bagaimana bisa kau membuat keputusan untuk mendekati pria itu lagi? Kau membencinya dan…”“Justru karena itu aku ingin mendekatinya lagi! Karena aku membencinya! Aku ingin membuatn
Zoe tidak berniat untuk membuat suasana diantara mereka menjadi mengharukan, karena memang Zoe hanya menginginkan pengakuan atas segala sikap Wolf yang sangat ambigu itu. Tapi kemudian Zoe menyadari kalau memang ia membutuhkan pengakuan itu dengan jelas. Pengakuan itu akan membuatnya menjadi lebih tenang. Bukan hanya berkaitan dengan sifat Wolf yang dengan mudah berganti wanita itu, tapi juga tentang keadaan hatinya yang rapuh. Zoe ingin mendengar kalau dirinya berarti sesuatu untuk seseorang. Berharga dan diinginkan. Bukan cadangan yang bisa dibuang begitu saja. “Zoe…” Wolf mendesah sambil memejamkan mata. Justru tidak bisa lagi menolak saat Zoe meminta dengan sedikit lembut. Wolf tidak lagi bisa menganggap keinginan Zoe adalah konyol, setelah melihat bagaimana wajah Zoe berubah sedikit memerah. Meski hanya sekilas, tapi Wolf sempat ada kilauan air mata yang singgah tadi. Wolf meraih tangan Zoe dan menariknya mendekat. “It's gonna be really weird, but bear with it.” (Mungkin ak
Wolf ingin menikmati Zoe secara perlahan, tapi itu tidak mungkin. Bibir dan tubuhnya terlalu gembira menemukan apa yang ditunggunya selama ini. Tubuh Zoe terdorong menabrak sofa di ruang depan, saat Wolf berusaha melepaskan pakaiannya. Gaun mahal dari Lili mengalami kerusakan saat Wolf merenggut dan membuangnya ke lantai. “Kita ada di luar…” Zoe mengingatkan diantara ciuman Wolf. “Hmm…” Wolf hanya bergumam. Ia tentu tahu, tapi tidak peduli. Tidak akan ada yang datang ke rumahnya. Wolf mengangkat tubuh Zoe yang telah polos membawanya duduk di sofa, lalu memeluk tubuh yang dirindukannya itu dengan kekuatan yang nyaris bisa meremukkan. “Akh…” Zoe mengeluh pelan saat Wolf meremas terlalu kuat. “Maaf, tapi aku akan sangat kasar…” Wolf mendengus sambil membaringkan tubuh Zoe. Tidak ada protes tentu. Zoe tidak keberatan dengan gaya kasar saat ia menginginkannya juga. Aroma dan otot yang saat ini menguasainya tidak pernah mengecewakannya dalam hal ini. Tangan Zoe meraba perut rata da
“LORIA MOREAU!”Zoe diam. Ia mendengar namanya, tapi tidak percaya kalau nama itu miliknya.“Wake up, Baby. And smile. It’s your’s.” (Bangun dan tersenyumlah. Piala itu milikmu)Bisikan Wolf itu akhirnya memunculkan emosi. Zoe memerah karena haru, baru bisa berdiri saat Wolf membantunya. Sayang Wolf tidak bisa mengantarnya ke panggung.Untungnya ada tangan Syanne yang membantunya, lalu Jacob yang ada paling dekat dengan panggung, membantunya meniti tangga agar sampai di atas.Zoe beberapa kali mengucapkan terima kasih pada orang yang mengulurka piala miliknya, sebelum akhirnya berdiri di hadapan mic untuk menyampaikan sambutan.Zoe menghela napas beberapa kali, menghapus air mata dan akhirnya bisa menatap ke arah kamera dan penonton—yang menunggunya dengan sabar.“Ini hal yang tidak pernah saya impikan, berdiri di sini dan menerima ini.” Zoe menatap piala yang ada di tangannya sekali lagi dan tersenyum.“Saya… sempat mengubur impian ini. Tidak lagi berharap untuk bisa bernyanyi—apalagi
“Zoe, tunggu. Apa hanya seperti ini?” Max terlihat kembali akan menyentuh tangan Zoe, tapi ditepis. “Zoe, kita punya masa lalu, dan…” “Exactly! Masa lalu yang sudah tidak signifikan lagi karena aku sudah menemukan masa depan yang indah. Tidak lagi menjadi kacung yang kau anggap seperti kain kotor!” Bentakan yang membuat Max terdiam dan kembali menunduk meremas tangannya. Zoe tidak lagi peduli apakah orang lain mendengarnya atau tidak. Ia ingin Max mengerti agar tidak lagi berusaha. “Kembalilah ke liang dimana kau berada, dan silahkan mengingat kenapa kau dulu memilih untuk membiarkanku mati. Agar kau sadar kenapa aku tidak akan pernah berkelas kasihan padamu!” Zoe menyambar kacamata hitam yang ada di meja lalu memakainya dan berjalan keluar. Urusannya berakhir. Ia kemarin juga sudah menolak permintaan Iris yang berusaha menghubunginya dari penjara. Zoe tidak ingin merusak harinya dengan mendengar omong kosong. Sedangkan Billy—ia tidak mencoba sama sekali. Diantara mereka bertiga
Zoe melakukan sesuatu yang tidak akan disukai oleh Wolf. Ia tidak akan berbohong, tapi akan mengatakannya nanti setelah selesai. Zoe ingin menyelesaikan ini sendiri tanpa campur tangan orang lain.Tentu saja tidak mudah. Ia melangkah dengan hati gelisah. Zoe beberapa kali menggeser kacamata hitam yang ada di atas hidung, sementara tangan yang lain menenteng bunga dan box hadiah berwarna pink yang cantik.Zoe gelisah karena tahu ia akan dikenali saat masuk nanti. Tapi sudah pasrah. Tidak mungkin juga menyembunyikan identitasnya sekarang—mengingat orang yang akan ditemuinya.Zoe menghampiri loket setelah ia menuliskan nama dan nomor tahanan di selembar formulir, dan menyerahkannya.“Silahkan tunggu di sana. Nanti akan kami panggil,” kata sipir penjara yang ada di belakang loket.Ia menatap Zoe beberapa kali saat ada sipir lain yang memeriksa bawaan Zoe—memastikan tidak ada benda terlarang diselundupkan, melirik untuk memastikan—bahkan membaca namanya yang ada di formulir, tapi tidak ber
“Ini.” Wolf menyerahkan cangkir pada Zoe. Zoe ingin menerima tapi tangannya masih sibuk membalas pesan yang masuk ke ponselnya. “Cliff benar-benar belum punya kekasih bukan?” tanya Zoe. “Hm? Untuk apa kau bertanya?” Wolf mengernyit curiga tentu.“Untuk Sara. Ia ingin meyakinkan karena tidak percaya pria seperti Cliff masih single.” Zoe mendecak sambil menunjukkan pesan yang dikirim oleh Sara untuknya. Menunjukkan kalau ia tidak berbohong. Ia memang bertanya untuk Sara bukan untuk dirinya. “Belum. Kata Clay ia sempat punya—wartawan atau MC, aku lupa. Tapi putus saat Cliff akan pindah dan ke sini. Entah dia pindah lalu mereka putus, atau putus dan baru pindah.” Wolf hanya mengulang kata-kata Clay tentu. Dan kini Zoe mengulangnya dalam bentuk pesan untuk Sara, dan mengirimnya agar tenang. “Bagaimana kau bisa tahu detail ini?” Setelah mengirim pesan dan mengambil cangkir bagiannya Zoe bertanya dengan heran. Pengetahuan itu terlalu mendetail—terutama saat berasal dari Wolf yang bias
“Tapi seharusnya dia ada di penjara…”Max mengingkari kenyataan sekali lagi. Baginya Loria masih tidak mungkin Zoe karena seharusnya ia ada di dalam penjara.“Tololmu tidak ada habisnya!” Billy menggebrak meja dan mengamuk. Mencekik leher Max dengan tangannya yang terborgol. Tentu saja segera terjadi keributan dan teriakan saat polisi yang berjaga menerjang Billy melumpuhkannya ke lantai.Tapi rupanya Billy benar-benar marah pada Max, karena ia masih memberontak dan memaki pada Max, meski ia sudah ada dalam posisi menelungkup.“DASAR OTAK UDANG! KEPALAMU ITU…”“SILENCE!”Bentakan Billy kalah dari hakim yang berseru menggelegar. Tidak hanya Billy yang terdiam, wartawan dan penonton yang ribut pun diam. “Sekali lagi ada yang mengganggu aku akan menjadwalkan ulang sidang ini! PAHAM?!”Sunyinya ruangan itu, hanya berarti mereka semua mengerti. “Bawa keluar. Mr. Dacosta, saya akan memastikan tindakan ini akan masuk dalam dakwaan Anda. Penyerangan, tindak tidak sopan dan mengganggu keter
Jaksa itu memulai dengan pertanyaan standar, tentang latar belakang Sara—pendidikan, berapa lama ia telah menjadi psikiater dan lain sebagainya. Baru setelah itu ia menyebut tentang Zoe. “Sejak kapan Ms. Zoe Anderson menjadi pasien Anda?” tanya Jaksa. “Lebih dari setahun.” Sara menjawab dengan jelas. Tidak terlihat lagi mode ceria yang biasa dipakainya saat berhadapan dengan pasien. “Bisa Anda jelaskan bagaimana keadaan Ms. Anderson saat itu?” “Zoe datang dengan keinginan untuk sembuh, karena ia menderita trauma berat yang sangat terlihat dan membuatnya tidak bisa menjalani kehidupan yang normal.” “Bisa tolong jelaskan lebih lanjut tentang trauma itu?” Sara mengangguk. Tenang karena semua sesuai dengan perkiraan yang diberikan Cliff. “Zoe datang dalam keadaan tidak bisa bicara, tapi hasil pemeriksaan dokter memperlihatkan kalau Zoe tidak menderita luka fisik lagi. Semua syarafnya normal tanpa gangguan, maka bisa dipastikan kalau keadaan tidak bisa bicara itu adalah hasil lain da
“Itu… Aneh. Kau jangan bercanda!” Iris menggeleng keras sambil menatap Zoe dari ujung kepala sampai ujung kaki. Berusaha mengenali sosoknya sebagai orang yang sama—dengan yang dilihatnya dulu saat bersama dengan Max.“Apa aku pernah bercanda saat bicara denganmu?”Wolf membalas dengan datar sambil menarik kursi untuk Zoe. Kursi yang paling jauh dari Iris. Ia masih kehilangan kata-kata dan terus memandang Zoe.“Kau benar-benar Zoe Anderson?” Iris masih melotot ke arah Zoe.“Ya, sebelum mengubah nama menjadi Loria Moreau, itu adalah namaku juga.” Zoe membalas dengan tenang. Kegugupan yang tadi menghantui tidak lagi ada.Pertemuan dengan Iris itu mungkin tidak terduga dan nyaris menyebalkan, tapi Zoe merasa mendapat kekuatan, karena sangat sadar kalau ia saat ini berada di atas.Melihat Iris yang terkejut, Zoe merasakan kepuasan. Kemenangan karena berhasil menunjukkan dirinya yang baru kepada Iria. Bukan lagi perempuan kumal yang dulu ditemuinya—dan diabaikan karena dianggap tidak setara
Zoe mengusap rock dan blazernya yang berwarna cream netral. Pilihan dari Darcy agar Zoe tidak tampak mengintimidasi maupun muram. Ia tengah merasa gugup karena dari kejauhan bisa melihat bagaimana wartawan berkerumun di depan pengadilan. Mreka tentu saja menunggu sosok Zoe Anderson yang sama sekali misterius. Tidak ada yang memuat gambar Zoe dalam berita, karena memang tidak ada dokumentasi apapun dari kasus Zoe. Dulu Zoe terluka dan ada di rumah sakit, jadi sama sekali tidak menghadiri pengadilan sebagai tersangka. Tidak ada yang merekam wajahnya maupun tertarik untuk mencari tahu di rumah sakit karena kasus itu sangat jelas membuatnya menjadi tersangka. Zoe juga mengusap rambutnya yang berwarna kembali pirang. Ia tidak memakai wig hari ini. Pertama kalinya ia akan muncul tanpa rambut hitam—dan sejujurnya membuat Zoe lebih gugup lagi. Seolah melepaskan topeng yang selama ini melindunginya. Zoe akan menjadi Zoe di hadapan orang banyak, bukan lagi Loria. “Mereka akan terpesona pada
“Dia ingin menyelamatkan diri! Licik sekali!” Wolf mendesis kesal.Sudah jelas dari pernyataan Iris itu terlihat kalau ia memang hanya ingin menyelamatkan dirinya sendiri dengan menyalahkan Max dan juga Billy.“Ia membuat mereka terkesan menekan dirinya untuk menyembunyikan kenyataan tentang Zoe. Iris lalu memakai alasan tekanan itu dan menjadikannya terlihat sebagai alasan semua perbuatan anehnya kemarin. Ia bersembunyi dari kesalahan dengan memakai alasan kesehatan mental.” Sara menggeleng dan tampak jengkel. Tentulah ia kesal saat ada orang yang menjadikan kesehatan mental sebagai kebohongan.“Dia berhasil keluar memakai sekoci sebelum kapalnya benar-benar karam.” Cliff memandang Iris yang terus terisak dan menangis diantara kata-katanya.“Tidak masalah. Biarkan saja,” kata Zoe sambil bersedekap dan menatap ke arah televiisi tanpa berkedip.“Apa maksudmu biarkan saja? Dia berbohong lagi!” Wolf juga menunjuk ke arah televisi dengan wajah tidak terima.“Setidaknya dia telah jujur, ba