"Aku sudah katakan, ini tak mudah, Mas," ucap Luna menebas beberapa semak belukar agar bisa mereka lewati. Yudha juga tak tinggal diam. Ia pun ikut menarik, menghentak akar pohon yang menghalangi jalan mereka.
"Tak masalah, Dek. Aku juga ingin mera ... auuh! Isss!"
Belum selesai Yudha bicara, ia harus menyentak, menyingkirkan belukar berduri yang menggores kulitnya.
"Bahkan Aleksei pun dulu mengomel sepertimu ini, saat dia melewati tempat ini," ucap Luna tersenyum simpul di balik cadarnya.
Yudha hanya menelan salivanya, menelan rasa tidak nyaman mendengar istrinya menyebut nama itu lagi. Ia rela ikut menemani Luna berharap bisa menggantikan memori dan melupakan perjuangannya bersama Aleksei.
"Kita memang harus melewati jalur ini agar tak terjebak ranjau. Kau tahu, Papa Gongger pastilah akan senang melihatmu. Aku sudah menganggapnya seperti seorang ayah," c
Gongger langsung menggenggam botol itu. Nampak dari pintu kamar laki-laki kerdil itu seorang pemuda yang cukup dewasa. Posturnya gempal dengan kulit yang gelap. Di tubuhnya terlihat menempel baju yang bisa mengantongi banyak senjata. "Di-diaa anakku, Angel. Frenk Danger. Dia pembunuh bayaran yang handal," ucap Gongger agak terbata. Ada rasa khawatir dalam dirinya yang makin pekat. Gongger tahu, semakin hari, anak sulungnya itu semakin kehilangan hati. Tanpa rasa takut, Luna mengangguk sembari tangannya menempel di dada untuk isyarat menghormati pemuda itu. Nampak Frenk tetap bergeming dengan tatapannya yang menakutkan. "I-iini Angel Gracelia dan suaminya. Dia datang untuk ...." "Papa tahu, aku tidak suka dusta. Mengapa Papa mengatakan bahwa ramuan hitam itu sudah tak ada lagi?!" Suara Frenk terdengar bariton dan berat. Sayudha yang melihat kedutan rahang pemuda itu pun bergidik ngeri. Jelas terlihat, pemuda itu tak suka berbasa-basi. "Papa tak ingin kau menggunakan ramuan ini
"Hampir copot jantungku, Dek! Tapi syukur kamu menang," ucap Yudha setelah mereka keluar dari markas Gongger dan menuju mobil mereka yang terparkir tak jauh. Kedua suami istri itu terus berjalan meninggalkan hutan yang dikenal dengan sebutan hutan misteri."Aku antar kamu pulang atau ikut denganku ke tempatnya Sofia, Mas?""Ikut! Aku ikut, Dek!" seru Yudha dengan wajah tegang. Alis Luna mengkerut heran, namun ia abai saja. Pikirannya sedang berputar tak karuan. Sungguh, ucapan Gongger tadi benar-benar menggerus egonya.Setelah bermalam di villa yang berada di atas bukit, pagi sekali Luna dan Yudha bersiap. Kali ini, istana bawah tanah Razzor ada di bawah jurang perbukitan itu. Jalurnya cukup terjal jika ingin sampai lebih cepat."Kenapa tidak lewat jalur dekat lapangan saja, Dek? Ngeri kali kalau turun bukit sana," ucap Yudha melirik jurang yang dipenuhi pepohonan rimbun dan batuan yang sangat besar."Lama, Mas. Lewat sana, tingga
Buuughh! Buuughhh! Dentuman samsak yang menggelantung sejajar dengan dada Eldor memantul berat. Kekuatan tinju pemuda itu mampu memindahkan benda itu cukup jauh dari posisi awal dan kembali ke posisi semula dengan suara dentuman juga deritan yang mencekam. Ada emosi yang benda panjang, berat dan hitam itu serap. Emosi seorang pemuda yang memiliki kemarahan yang tak terluapkan. _____________________________________________ Dua minggu yang lalu .... "Tidak mungkin! Kau pendusta! Tidak mungkin!" teriak Eldor mendorong tumpukan uang di depannya. "Untuk apa aku berdusta?! Mahiswara tak pernah berdusta. Aku menginginkan kepalanya." "Jangan berani sentuh dia! Dia sudah seperti ibuku!" Eldor mengangkat telunjuknya di depan wajah lawan bicaranya. Seorang wanita yang menutupi wajahnya dengan jubah hitam. Dialah Nindi Mahiswara, wanita yang sekarang dikenal sebagai penjudi ulung. Tak ada yang pernah melihat wajahnya karena ia selalu menutupinya dengan masker hitam dan jubah berhoodien
"Mama Luna," sapa seseorang gadis belia yang terlihat cantik dengan gigi gingsulnya.Luna yang sedang duduk berzikir setelah sholat asyar langsung menoleh. Dengan cepat ia melilitkan tasbih kayunya menjadikannya gelang di tangan kanannya."Richie? MasyaAllah. Kemari sayang!" seru Luna merentangkan tangannya."Sudah lama?" tanya Richie dalam pelukan Luna."Saat matahari sepenggal naik, aku masuk ke sini, Sayang," jawab Luna merenggangkan pelukannya."Abangmu mana?" lanjut Luna.Richie menggeleng. Ia dan kakaknya itu, dua tahun terakhir ini tak terlalu akur. Pemuda yang dia panggil abang itu tak pernah menunjukkan wajah manisnya lagi. Entah kesalahan apa yang membuatnya tak diterima baik lagi oleh sosok Eldor Sergei. Padahal, ia masih ingat. Beberapa tahun yang lalu, hubungan mereka terbilang erat dan rekat.&nbs
Luna mengelus rambut Richie karena merasa sangat gemas sekali. Lebih-lebih saat gadis itu tersenyum manja padanya sembari mengunyah. Luna memandang Richie tak berkedip. Memiliki anak perempuan adalah impiannya namun Allah hanya memberikannya satu. Sejak terbakar di dalam mobil kala itu, ia sudah tak bisa hamil lagi. "Kamu sudah memutuskan memilih agama apa, Richie?" tanya Luna menurunkan cadarnya sembari menikmati segelas jus buah berry hutan. "Aku memilih tidak beragama saja, Ma. Agama terlalu mengekang. Cukup aku terkekang oleh Mama Sofia dan Papa Victor," tutur Richie dengan polosnya. Luna tersenyum mendengar jawaban gadis belia itu. Ia tak heran, anak adalah cetakan kedua orang tuanya. Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah. Orangtuanya yang akan membuat dia yahudi, nasrani, dan majusi (hadist). "Agama itu menenangkanmu, Richie." "Semua agama kan sama saja, Ma." "Tidak. Hanya agama Islam saja. Tidak ada yang lain," ucap Luna tegas. "Kok begitu?!" tanya Richie mengeru
Yudha duduk di tengah aula istana bawah tanah itu. Tepat di atas batu hitam yang pernah menghantam dada ibunya. Ia mengelus dengan lembut dengan perasaan yang teramat sedih. Dua puluh tahun memang telah berlalu dan hidup tanpa seorang ibu juga tidak lah mudah. Lebih-lebih, ibunya tiada karena melawan istrinya. Jauh dalam hatinya, Yudha begitu marah pada takdirnya. Mengapa senaas itu untuknya?"Ma, kenapa semua ini terjadi padaku?" desisnya sendirian mengenang pertempuran dahsyat itu."Kau ingin aku temani?"Yudha menoleh. Sofia tersenyum dan tampak lebih sehat. Ia berjalan perlahan mendekati Yudha. Perasaan bosan menggelayut selama dia di dalam kamar."Kebetulan. Aku memang berniat ingin menemuimu dan bicara, Sofia," ujar Yudha mengulurkan tangannya membantu Sofia naik tangga kecil-kecil menuju singgasana peninggalan Razzore."Katakan, Yudha. Aku senang ji
"Kau luar biasa, Eldor! Aku bangga padamu!" seru Luna bertepuk tangan karena Eldor berhasil membidik target dengan sangat tepat. Pemuda itu masih berkeliling di atas kudanya. Ia menatap tajam. Dengan cepat, tangannya langsung membidikkan panah terhadap Luna. Wanita bercadar itu cukup terkejut. Kedua mata birunya melebar awas. "Namun, itu adalah target yang diam. Akan lebih sulit dan butuh latihan ekstra untuk mengarahkan pada target yang bergerak," lanjut Luna. Ia ikut berputar mengikuti gerakan kuda yang ditunggangi Eldor. Wanita itu berusaha mengabaikan gerakan Eldor yang seperti akan memanahnya. Sedangkan Pemuda itu langsung melompat dari kudanya dan tetap fokus membidik. Luna sedikit gugup saat Eldor semakin mendekat, mengarahkan anak panah yang nampak akan menghujam dadanya. "Apa semua baik-baik saja?" tanya Luna mundur meskipun Eldor masih bergeming dengan busur panah yang siap. Pandangannya fokus tak berkedip ke arah wanita bercadar di depannya. Tanpa ragu, Eldor mengge
Hitungan detik Luna langsung tersadar dari keterkejutannya. Harimau yang di atas tubuhnya sempat bergeser karena gesekan kawannya yang terseret oleh sosok bertopeng itu. Dan kali ini, hewan itu kembali menerkamnya tepat di atas lehernya.Kali ini Luna cukup leluasa untuk fokus menumbangkan lawannya. Tangan kanannya langsung meninju tubuh kenyal harimau itu. Hewan itu menggeram hebat namun tancapan kukunya masih sangat kuat. Kembali tangan kanan Luna menghantam rahang hewan itu dengan sangat keras bersamaan dengan tangan kirinya menarik leher harimau itu agar tumbang.Kraaak!Sayatan tajam kuku hewan itu menembus kulit tubuh Luna bersamaan dengan tubuh harimau itu jatuh ke sampingnya. Luna bangkit dengan cepat. Basah dan koyak baju hitamnya yang lebar. Namun seolah abai, wanita itu justru menoleh pada sosok bertopeng ular. Ia tak bisa mengendalikan matanya untuk tidak melihat ke arah sana. Laki-laki bert
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege