Hitungan detik Luna langsung tersadar dari keterkejutannya. Harimau yang di atas tubuhnya sempat bergeser karena gesekan kawannya yang terseret oleh sosok bertopeng itu. Dan kali ini, hewan itu kembali menerkamnya tepat di atas lehernya.
Kali ini Luna cukup leluasa untuk fokus menumbangkan lawannya. Tangan kanannya langsung meninju tubuh kenyal harimau itu. Hewan itu menggeram hebat namun tancapan kukunya masih sangat kuat. Kembali tangan kanan Luna menghantam rahang hewan itu dengan sangat keras bersamaan dengan tangan kirinya menarik leher harimau itu agar tumbang.
Kraaak!
Sayatan tajam kuku hewan itu menembus kulit tubuh Luna bersamaan dengan tubuh harimau itu jatuh ke sampingnya. Luna bangkit dengan cepat. Basah dan koyak baju hitamnya yang lebar. Namun seolah abai, wanita itu justru menoleh pada sosok bertopeng ular. Ia tak bisa mengendalikan matanya untuk tidak melihat ke arah sana. Laki-laki bert
Beberapa menit yang lalu .... Laki-laki sawo manis dengan pastur tubuh kekar itu tampak fokus mengetik. Dialah Victor Zeno, sahabat karib Aleksei yang sangat dia percaya sebagai tangan kanannya. Aleksei telah menyelamatkan laki-laki itu saat nyawanya di ujung tanduk. Victor terciduk telah membobol bank swasta. Aleksei telah membantunya memanipulasi data dan sistem komputer hingga laki-laki itu selamat. Semenjak itu, ia telah berjanji akan bekerja di bawah perintah Aleksei The Moriz. Saat ini, Victor disibukkan dengan melayani email pada klien yang meminta barang illegal berupa obat-obatan terlarang. Istana itu benar-benar berisi benda yang bisa menghancurkan satu negara. Razzore bahkan meninggalkan berton-ton heroin dan jenis sabu-sabu. Mereka mendapatkan dengan cara yang hitam. Mengancam, memanipulasi juga menyogok. Dan saat ini, Sofia pun melanjutkan bisnis suaminya itu dengan lihai. Semua makin mudah karena bantuan suaminya yang seorang hacker handal. Booom! Pintu ruangan yan
Wajah Sofia seketika berubah. Semula ia ingin memarahi Aleksei. Mengapa harus dia yang muncul? Di antara ratusan pengawal markas bawah tanah itu, apa tidak ada yang bisa menolong Luna? Mengapa harus Aleksei?! Aleksei miliknya! Tidak ada toleransi dalam hal itu."Apa maksud ucapanmu itu, Mas?""Aku mendengar penjaga sedang berbicara tentang tiga harimau yang dia lepaskan untuk menyerang seseorang. Rupanya benar dugaanku, anakmu mengincar Angel. Ada apa dengannya?! Apa dia tahu sebuah rahasia? Aku harus bicara padanya!"Sofia mematung. Tidak mungkin anaknya senekat itu. Ini pastilah salah paham."Ini pasti salah komunikasi. Kau salah paham, Mas. Eldor tak mungkin sejahat itu pada wanita yang sudah menganggapnya sebagai anak.""Jangan lupakan, Sofia. Di dalam diri Eldor, ada darah Razzore!"Mendengar ucapan suaminya, Sofia kembali memberang. Wajahnya merah
"Kok masih di rumah, Mbok?!" tanya Farid menyapa Tukiyem yang sedang menuangkan air panas dari termos. Di tangan pemuda itu ada tas gym. Ia meletakkannya begitu saja di sofa. Ia juga segera melepas tas ranselnya yang berisi buku-buku. Pemuda itu belajar tentang ilmu bisnis managemen perusahaan secara vip. Diajar langsung oleh dosen dengan jumlah murid hanya lima orang. Ia tak mengambil kuliah resmi. Dia tak perlu ijazah. Perusahaan ayahnya dan mega perusahaan ibunya tak membutuhkan ijazahnya. Farid memiliki banyak waktu untuk belajar banyak hal, termasuk belajar melindungi dirinya sendiri. "I-iiya, Den. Malah mungkin mau nginep ini," jawab Tukiyem dengan wajah panik. "Loh, tumben, Mbok," sambut Farid menuju meja makan dan meraih gorengan tempe dan langsung melahapnya sekali buka mulut. Ia selalu begitu jika melihat Tukiyem di dapur. Selalu ada cara untuk mengajak pengasuhnya itu bicara. Dan ia sangat suka masakan Tukiyem. "Nyonya lagi sakit, Den," jawab Tukiyem siap dengan air
"Oh, jadi anak Mama ada di sini?" ejek Eldor sembari mengusap dadanya yang basah. Otot-otot dadanya yang besar terlihat mengkilat dan keras dari balik kain kemejanya yang basah. Eldor terlihat jauh lebih dewasa daripada Farid meski usianya lebih muda tiga tahun."Memang kenapa kalau jadi anak Mama, ha? Apa kamu anak gorila?" balas Farid sudah siap dengan kuda-kudanya.Eldor langsung melempar gelas yang sedari tadi ia pertahankan. Benda kaca bening itu terhempas hancur bersamaaan dengan sisa minumannya."Beri mereka ruang! Space! Space!" bisik-bisik yang lain sembari kompak mundur membentuk lingkaran luas. Farid tampil dengan bentuk tubuh tegap dan kokoh. Bulu-bulu samar dan panjang di tangannya memberikan kesan tangkas dan macho. Sedangkan yang satu lagi, tinggi, besar dengan bongkahan otot-otot seperti beton, menggumpal keras. Dialah Eldor Sergei."Aku tidak ingin membuatmu m
Farid mendekati Sofia. Ada rasa bersalah menjalar di hatinya. Meski tubuhnya memar karena pukulan Sofia, namun secuil pun tak ada rasa kesal pada wanita itu. "Maafkan aku, Mama Pia. Aku ...." Sofia menutup mulut Farid dengan jarinya. Air matanya masih mengalir deras. "Kamu jangan minta maaf. Mamamu ini tempatnya salah." "Jangan bilang begitu Mama Pia. Aku yang salah karena menyerang dia duluan. Tak bisa kutahan diriku karena rasa marahku. Seperti aku menyayangimu, aku juga sangat menyayangi Mama Luna. Kalian ibuku." Sofia mengangguk-angguk sembari mengusap air matanya. Ia tersenyum dalam tangisnya sembari duduk memeluk lututnya. Farid mendekatinya dan memeluk kaki Sofia. Perlahan Sofia mengusap kepala Farid lalu mencium rambut pemuda itu. "Aku juga sangat menyayangimu seperti kepada Eldor. Aku dan ibumu sudah seperti saudara. Sejak masa gadis, kami sangat dekat bahkan meski ada kecemburuan dan rasa marah dalam hatiku tapi aku bisa mengorbankan nyawaku untuk melindunginya. Aku
"Tidak. Kita tidak pernah bertemu," ucap Aleksei dengan wajah yakin.Farid menyunggingkan senyum di tengah rasa bingungnya. Bibirnya sedikit terangkat dan dengan cepat, ia mendecak sendirian membuang rasa aneh di dalam dadanya. Perlahan, pemuda itu meraih dua sarung tinju yang tadi digeletakkan begitu saja oleh Victor. Dia menatap Aleksei dengan pikiran yang ia sendiri tak mengerti. Matanya meyakini pernah merekam memori tentangnya tapi di mana dan kapan?!"Ayo, serang aku!" seru Aleksei siap dengan kuda-kudanya.Ia memegang sebuah punch mitt yang merupakan salah satu alat yang biasa dipakai oleh para pelatih tinju. Alat ini mirip dengan bantal namun posisinya berada di tangan seorang pelatih. Fungsinya untuk mengarahkan pukulan dari seorang petinju.Dengan lincah, Farid mengikuti gerakan Aleksei. Tak ingin terlihat mudah, Aleksei meningkatkan kecepatannya. Kiri, bergeser lagi, lagi dan langsung berpindah ke kanan. Aleksei melompat
Dengan hentakan kaki kasar dan berdentam-dentam, Sofia menuju tempat latihan suaminya. Seolah tak terjadi apa pun, Aleksei sibuk mengusap tubuhnya yang berkeringat. "Kenapa kau tak berusaha menghindar darinya, Mas? Kamu pasti tahu, siapa dia," ucap Sofia dengan tatapan tajam. "Aku tidak memiliki perjanjian apapun denganmu kecuali tentang Angel. Berhenti melihatku seperti itu, seolah aku sudah melakukan kesalahan besar," timpal Aleksei berusaha abai. "Dia putra ...."Aleksei langsung membuka topengnya. Ia membalas tatapan Sofia dengan ekspresi yang jauh lebih dingin dan penuh penekanan, membuat Sofia tak bisa melanjutkan ucapannya. Laki-laki itu mendekatkan wajahnya pada wajah istrinya. "Jangan pernah menekanku, Sofia. Aku tak suka. Sekuat hati dan ragaku memenuhi janjiku tapi jangan kau gerus aku sehingga jiwaku tak memiliki ruang. Nanti aku bisa meledak.""Aku .... aku ...."Sofia bergetar. Ia takut sekali jika sampai Aleksei meninggalkannya. Bahkan bibirnya yang merah ranum samp
Pagi itu terlihat suram di mata seorang ibu. Bagaimana tidak? Tanpa Sofia kabari pun, Luna tahu, anaknya telah menyerang Eldor lebih dulu. Hal itu langsung direkam oleh Jene yang kebetulan ada di lokasi. Kepala karyawannya itu saat ini adalah seorang duda dan masih senang bergaya layaknya anak muda di malam akhir pekan. ___________Tadi malam___________________"Apa saya perlu melerai mereka, Nyonya?!" tanya Jene saat melakukan panggilan vidio. "Tidak. Biarkan aku melihat mereka. Perintahkan beberapa orang untuk ke sana sekarang!" seru Luna tegang melihat putranya sedang memasang kuda-kuda. Sebagai seorang ibu, melihat bagaimana putranya bertarung melawan sosok yang dianggap anak itu juga tak kalah sedihnya. Lebih-lebih telinganya mendengar secara langsung bagaimana Eldor mengatakan bahwa dia sudah tak layak lagi menjadi gurunya karena sudah tua. "Buah memang tergantung dari pohonnya," desis Luna menegak air minumnya. Ia sudah memakai
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege