Mata Miss Harram menatapku lekat-lekat. Wajah cantiknya menghadap atas lalu tertawa, seperti mengejekku. Aku mendelik.
“Kenapa?” tanyaku tanpa rasa takut sekalipun. Sebab aku tahu, wanita itu sedang lemah. Lihat saja, darah dari mulutnya masih keluar meskipun tak sebanyak tadi.
“Aku menertawakanmu yang menangis seperti anak kecil. Jangan berpikir untuk menyelamatkan istrimu atau sama saja kau setor nyawa,” ujarnya.
“Aku tak peduli. Dia istriku, kewajibanku melindunginya!” tegasku.
Miss Harram kembali tertawa dan aku benci suara tawanya. Luar biasa takdir Tuhan, sebelumnya aku sangat mengagumi dan jatuh cinta padanya, sekarang justru menjadi musuhku.
“Pikirkan dirimu sendiri, Sayudha. Kau jangan bodoh! Meskipun kau telah memberiku racun, aku masih peduli padamu. Eville adalah mafia paling berbahaya, tanpa rasa dan haus darah. I
Sekarang aku berada di halaman rumah kakekku, melewati kolam ikan yang disukai Luna setiap kali ke sini."Dha ... pagi sekali datang," sapa ibuku yang sedang yoga. Aku tak menjawabnya. Amarah di dadaku makin membesar sebab sikapnya seolah-olah tak terjadi apa-apa.Kuketuk kamar kakekku, tak ada jawaban. Aku membuka pintu itu, ternyata tak dikunci. Tampak kakekku sedang menatap sebuah bingkai. Sepertinya, foto yang biasa ia simpan di bawah bantal."Dari deru nafasmu, kakek tahu, kamu telah banyak tahu," ujarnya menyapaku tanpa melihatku.Aku masih terengah-engah mengatur nafasku."Katakan, apakah benar kau kaki tangan mafia? Namamu adalah Igor Lenya. Benarkah kau tahu semua tentang Luna bahkan sampai alasan kepergiannya sekarang?"Aku terus mendekati kakekku."Otak tuaku tak tahu harus menjawab yan
“Kenapa? Kalian kira aku bercanda?” tanyaku seakan mengolok. “Yudha! Kamu yang sopan sama Mama! Masa ibu sendiri mau diusir,” protesnya. “Dia sama gilanya seperti istrinya, Ma. Ketularan,” ketus Nindi yang membuatku tak akan berubah pikiran. Kudekati adikku yang paling spesial ini. Aku sudah tak bisa menahannya lagi. Plaaak!!! Sempurna, suara pipinya yang kutampar memenuhi sisi rumah ini. Ia langsung menunduk, tak kulihat ekspresinya sebab tertutup rambutnya. Nindi tak punya pilihan selain hanya menerima tamparanku sebab kedua tangannya masih digips. Tapi aku tahu, dia sedang menahan murka. Tiba-tiba pundakku ditarik ibuku. Tangannya akan melayangkan tamparan balasan padaku namun aku tahan dengan cepat. Kugenggam erat tanpa berkata apapun. Gurat-gurat nadi di tangannya menyembul keluar dengan tatapan mata nyalangnya. “Lepas!” tepis ibuku menarik kembali tangannya. “Berani-beraninya kamu menampar adikmu yang sedang sakit, Yudha! Asal kamu tahu! Tangan Nindi bengkok begitu karena
Kakekku tak bergerak sedikitpun. Ia hanya memandang kosong apa yang di depannya. Sebuah chandelier, lampu hias yang berwarna emas yang menjadi ikon mewah rumah ini. Kamar kakekku berada di lantai dua, sehingga terasa sangat dekat dengan benda yang bersinar itu.“Yudha!”Justru Kakekku memanggil namaku dan aku terkesiap, sebab dia sangat jarang menyebut namaku secara langsung begitu. Aku mendekat, entah kenapa, leherku seketika menunduk di depannya.“Lampu hias itu terbuat dari emas murni dan berlian asli. Itu adalah benda kesayangan Nyonya Zanna. Jaga dengan sebaik mungkin sepeninggalku.”Mendengar ucapan kakekku, memoriku langsung berselancar ketika pertama kali istriku menginjakkan kaki di rumah ini dan begitu takjub pada lampu itu.“Itu hanya lampu hias biasa, Dek. Jangan berlebihan bengong begitu, malu ih,” bisikku pada Luna sembari mencubi
“Ap-apa katamu tadi, Aleksei?” tanyaku memastikan.“Dialah Jhonzey Moriz!”Rasanya aku ingin punya ilmu menghilang saja. Leherku seperti dibelenggu, susah akan menoleh. Bagaimana bisa Aleksei dengan ketampanan paripurna itu hasil produksi makhluk di sampingku ini? Kugigit bibirku, berusaha mengukir senyum, menyapanya kembali. Jangan sampai laki-laki botak ini malah mengikatku juga.“He,he, Pah,” sapaku cengengesan langsung menyalim tangannya. Dia terkejut aku sambar tangan kekarnya lalu menciumnya dengan setulus jiwa.“Maaf ya Pah, aku sangat kelaparan sekali sehingga otakku ini tidak bisa berpikir jernih. Kau sudah lihat aku memakan buah jambumu yang sangat manis itu dengan teramat lahap. Aku sangat lapar sebab tak makan 2 hari. Hampir-hampir aku pingsan kehilangan kesadaran jadi aku tak sampai mengenalmu. Hilangnya istriku membuatku payah,” kila
Kulepas pelukannya dengan senyum tetap merekah dari mulutku. Mataku melirik, tak ada tanda-tanda pergerakan Aleksei.Laki-laki botak itu mengantarku sampai pintu rumahnya dan membiarkanku berjalan keluar melewati halamannya. Berkali-kali aku menoleh ke belakang, namun harus membungkuk tersenyum lagi sebab laki-laki botak itu masih berdiri di sana. Baru beberapa melangkah, aku kembali menoleh, namun lagi-lagi Si Botak itu masih mengawasiku. Lagi-lagi aku harus membungkuk dan tersenyum. Aku sudah seperti orang gila saja rasanya. Kenapa Aleksei lama sekali?! Payah!Sekarang aku sudah di depan mobilku, dan Jhonzey masih berdiri di pintu. Tanda-tanda Aleksei muncul tak ada. Aku menghela nafasku, mungkin Aleksei tak bisa membantu dirinya lepas dari tali itu. Mungkin siletnya terlalu kecil atau tipis. Harapanku putus.Aku membuka pintu mobil dan ini terakhir aku menoleh. Kuputar kepalaku, bersiap membungkuk pada Si Botak Hitam
Tok ... Tok ... Tok!!! "Aleksei, bangunlah! Kalau kau muslim, sholat subuh!" teriakku mengetuk pintu. Tak ada tanggapan. Aku kembali ke kamarku, mempersiapkan semuanya. Kupandangi diriku, sempurna. Ini yang aku butuhkan. Kali ini pintuku yang diketuk Aleksei. "Aku siap!" teriaknya. Aku segera membuka pintu. Melihat kemunculanku dari balik pintu, Aleksei terjungkal dengan mata melotot. "Ssssi-ssiapa kau?!" teriaknya mundur. Aku tertawa. "Ini aku, Aleksei! Bagaimana? Aku menarik tidak?" Kuputar-putar tubuhku, lalu memainkan tamborin. Bergemerincing suara alat musik itu membuat Aleksei bangun dan mengangkat leherku. "Kau mau mempermainkanku?!" Aku memukul-mukul tangannya dan dia melepaskan cekikannya. "Uhuhuuk ... uhhhuuk ... dasar mafia gila! Kau mau membunuhku sebelum berperang!" omelku. Nafas Aleksei naik turun. "Aku juga yang salah, lupa memberitahumu rencanaku!" ucapku masih mengelus dada yang terasa sesak. "Dengarkan aku! Kita hanya berdua. Kamu bisa
"Dia memang jual mahal sangat, Bang ... tapi kalau sudah disawer, uuuu, hooooot," jawabku melirik kesal pada Aleksei. Dia hanya diam saja memegang wignya."Antariin pulaaang ya, Baaang," lanjutku agar mereka tidak curiga kami sebenarnya ingin masuk. Mereka terlihat saling pandang."Bagaimana kalau kita bawa mereka ke boss saja? Siapa tahu mereka bisa memberi hiburan malam ini! Kalau boss senang, kita kecipratan!" seru laki-laki mancung tadi dan dianggukkan oleh yang lainnya."Ayo! Masuk!" ucap laki-laki berhidung mancung."Baaang kemenong kitaaa? Neng mau pulang, tapi kalau disawer, maulaah Bang," ucapku bergeleyot di lengan kekarnya."Tenang saja sayang, nanti aku sawer kalau kalian sudah ketemu bosku!" serunya sambil mencubit bibirku.'Sayang? Cuiih! Setelah ini aku akan mandi air suci 7 sumur!'Aku m
Criiiing ....Suara rantai itu berhenti. Luna terus maju tapi langkahnya tertahan. Ia menjulurkan tangannya. Suaranya seperti tertahan."Seret dia!" teriak Eville.Aleksei maju, sepertinya dia sudah tak tahan namun aku menariknya. Kutatap Aleksei dengan sangat serius. Seolah mengatakan, lihatlah sekeliling kita! Puluhan laki-laki berpakaian lengkap dengan senjata memenuhi ruangan itu. Aleksei mereda.Syukurnya gerakan kami tak memberikan kecurigaan mereka.Kembali kutatap Luna yang sudah kembali ke tempatnya semula. Hanya sedikit erangan dari mulutnya sebab 2 orang laki-laki bertubuh kekar menyeretnya kasar. Dihempaskan begitu saja tubuh istriku. Air mata Luna mengucur membersihkan kotoran di wajahnya. Jangan tanya rasa di hatiku, perih tidak bisa kuungkapkan."Kenapa berhenti!?" geger suara Eville."Maafkan kami Tua
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege