Hay selamat malam. Maaf, othor baru muncul. Ada tragedi dari kemarin siang. Sepupu usia 14 bulan, meninggal karena terlalu banyak menelan air sabun. Dia main di kamar mandi bersama kakak laki-lakinya berusia 7 tahun. Kalau ada pembaca di sini sebagai orang tua yang memiliki balita dan bayi, mohon jangan lengah dengan putra putri kita. Jadikan pembelajaran agar tidak menyesal di kemudian hari.
Kedua bola mata Aleksei melebar kaget. Sudah dua puluh tahun terlewati dan baru sekarang mereka bertemu langsung. "Sayudha ...," desisnya. "Aku di sini, Aleksei! Kau tak ingin memelukku?" Yudha merentangkan kedua tangannya. "Tidak. Aku tidak mengenalmu," jawab Aleksei dengan wajah malu. Namun pria itu langsung menghampiri Yudha dan menghambur dalam pelukannya. Setelah dua puluh tahun berlalu, persahabatan mereka masih hangat. Meski ada patik cemburu dalam hati Yudha namun sangat tidak adil jika ia membenci Aleksei. Terlalu banyak kebaikan Aleksei saat mereka masih bersama. Hacker itu juga tak pernah berusaha meretakkan rumah tangganya bahkan ia mengorbankan seluruh perasaannya untuk menjauhi mereka. Aleksei masih sahabat yang terbaik. "Kau semakin tampan dan gagah untuk seusia kakek-kakek!" Buush! Aleksei melayangkan tinju kecil pada perut Yudha. "Lalu kau, apakah kau masih payah dan menyebalkan?!" timpal Aleksei tersenyum lebar. Sayudha tertawa terbahak-bahak. Ia memu
"Victor!!!" teriak Sofia langsung menutup mulutnya karena sangat terkejut luar biasa. Wanita itu berlari masuk ke dalam ruangan gelap itu. Para pengawalnya langsung mengejarnya karena mereka tahu, di dalam sana adalah area yang sangat berbahaya. Ribuan ular hitam bersarang tanpa peduli siapa yang sedang memasuki wilayah mereka. Kesepuluh pria berbaja itu langsung menyalakan obor kecil yang tersedia di samping dinding. "Victor! Mana Victor?" Suara jeritan laki-laki itu hilang namun berganti dengan gemerisik ramai seperti kecipak air, berderit dan terdengar sangat menakutkan. "Dia sudah menerima hukumannya karena telah berani menentang perintahku," jawab Eldor. Sofia langsung luruh ke lantai sebab persendiannya terasa sangat lemas. "Queen!" Atletha mendekat. Ia meraih tubuh Sofia. Namun di luar perkiraannya, tangannya langsung ditebis Sofia dengan keras. "Pergi kamu dari sini! Ini semua terjadi karenamu!" seru Sofia histeris. Ia benar-benar shock. "Ma-maafkan saya, Quee
"Apa yang sedang kau lakukan di tempatku?" Aleksei menelisik. Matanya menyelidik pada setiap sisi komputer dan tombol keyboardnya. "Aku hanya ingin melihat kekasihku yang sedang melewati lorong menuju atas," jawab Eldor santai. Jarinya menunjuk layar yang menampilkam Aletha yang sedang berjalan didampingi dua penjaga. Aleksei berjalan mendekati Eldor. Ia meraba keyboar yang berada di sampingnya. Tatapannya awas dan ia merasakan ada yang tidak beres. "Gadis itu masih baru kau kenal, Eldor. Tak seharusnya kamu menunjukkannya banyak hal di istana ini. Kita tidak tahu, bisa jadi dia ...." "Berhenti. Cukup. Aku tidak butuh saran dari siapa pun. Ini istanaku, kekuasaanku dan aku berhak untuk menentukan siapa yang datang dan pergi bahkan siapa yang boleh bertahan di sini," timpal Eldor dengan mengangkat wajahnya angkuh. Perlahan Aleksei membuka jaket hodienya dan meletakkannya begitu saja di sofa coklat tua di sisi kirinya. Ia juga melepaskan sepatunya dan menggantinya dengan sandal
"Oh ya?! Waw! Surprise!" seru Yudha tak menyangka. Setidaknya dia lega, ada wanita yang jauh lebih cantik dari Helena. Ia yakin, gadis di depannya itu adalah gadis dari keluarga terpandang. Lihat saja, kulitnya seputih susu dengan bibir bak apel fuji. Setidaknya, ia harus mendapatkan menantu yang memiliki kredibilitas yang kuat. "Bohong! Dia bohong!" seru Farid gelagapan. "Aku gak mau putus dari dia, Om," tambah Aletha merasa makin percaya diri karena ia mendapat dukungan dari ayah pria dingin di depannya itu. "Kau memang sinting!" Farid mengepal tangannya menahan marah. Aletha santai saja tak peduli. Dengan wajah mengetat, Farid mencondongkan tubuhnya pada Aletha. "Farid, ingat pesan Mama-mu, jangan kasar dengan wanita. Sekarang kalian bicara baik-baik ya. Papa cariin kudapan. Sepertinya kentang goreng bisa jadi pilihan. Bagaimana?" seloroh Yudha tersenyum lebar yang disambut anggukan pelan dari Aletha. "Kenapa kamu bisa sampai ke sini? Kamu mencurigakan." "Pertanyaanmu an
"Apa rencanamu hari ini?" tanya Farid menatap sinis pada Aletha. Benar saja, gadis itu menjemputnya pukul tujuh pagi dengan mobil Fortuner hitam. "Aku ingin berenang. Bawa aku ke alamat ini," ucap Aletha santai menyerahkan kertas. Semalaman ia tak tidur karena tak sabar untuk menunjukkan segala kemampuannya pada pria itu. Ia akan menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya agar tak diremehkan. Meski bukan yang sebenar-benarnya. Tak peduli pada akhirnya pria itu akan jatuh cinta atau tidak, yang pasti ia harus membuat Farid mengakui kehebatannya. 'Kamu harus tahu bahwa kamu tak bisa terus menganggapku lemah, dasar pria sombong!' tekad hatinya. Sekali melirik saja, Farid sudah tahu alamat itu. Ia sering menghabiskan waktunya untuk menikmati panorama pantai. Tempat yang ditunjukkan Aletha pernah dia kunjungi. Sebuah hotel yang dikenal memiliki pemandangan fantastik karena dihiasi dengan hamparan laut secara langsung. "Kenapa kamu diam saja?" tanya Aletha saat Farid masih duduk di
Farid langsung melompat. Lututnya terjerembab masuk ke dalam pasir yang membuatnya harus merunduk. Cukup banyak pasir putih yang menempel dan membuat wajahnya tertutup. Pemuda itu bangkit sembari mengusap wajahnya kasar. Dia melihat lautan di depannya. Ia masih melihat tangan yang berusaha melambai lalu hilang. Tangan itu kembali muncul lagi meski sekarang sisa jari-jari telapak tangannya saja. "Dimana wanita itu?" Farid bertanya sendirian sembari membuka pakaiannya. Yang tersisa hanya celana pendek ketat segi empat sebagai pengganti celana dalam. Kain itu menempel begitu lekat dengan kulitnya, menutup bokongnya dan miliknya hingga sedikit ke bawah pangkal pahanya yang kekar. Saat ia berlari masuk ke dalam lautan, Farid melihat kepala Aletha melewati permukaan air laut. Gadis itu menoleh ke belakang seolah tanpa rasa takut. Farid langsung berteriak. "Berhenti!" "Kau pecundang!" timpal Aletha dengan ujung bibirnya terangkat. "Biar aku yang menyelamatkannya! Kembalilah!" Farid
Tak berpikir panjang, Aletha langsung melepaskan remaja yang sudah dia tolong. Dengan cepat ia kembali menyelam, berenang secepat dan sekuat yang dia bisa. Jernih air laut itu bisa membantunya melihat dengan jelas tubuh Farid yang sedang diseret ke dasar dan semakin jauh. Terlihat Farid berusaha menyeimbangkan dirinya namun nampak usahanya sia-sia karena arus itu terus menekannya. Merah padam wajah Farid karena ia akan kehabisan pasokan udara di paru-parunya. Aletha terus berenang lebih cepat seperti seorang putri duyung. Tanpa ragu, ia mendekati pusaran itu dan menjulurkan tangannya. Matanya melebar memberi isyarat pada Farid. Pemuda itu pun berusaha mengangkat tangannya mencoba meraih tangan Aletha. Ia terus mengayuh agar tetap seimbang. Aletha berusaha terus mendekat. Tapi tidak, ia sudah kehabisan napas. Melotot lebar mata Farid lalu secara perlahan, kedua matanya terkulai dan tertutup. Seperti tak memikirkan keselamatan dirinya lagi, Aletha langsung masuk ke dalam pusaran yang t
Sejenak hening terasa dunia Farid. Ia merasakan dingin bibir Aletha menjalar sampai ke sum-sum otaknya. Seolah kemampuannya untuk berpikir hilang seketika hingga menjadi kosong. Sampai usianya dua puluh tiga tahun, ia tak pernah sekali pun merasakan bibir wanita. Meski ia ibarat gula yang dikerubungi semut, pemuda itu masih kokoh dengan prinsip yang diajarkan ibunya; No touch after marriage. Aletha memejamkan matanya, menikmati manis bibir pemuda itu. Terasa dingin namun hangat menjalar sampai hatinya. Ciuman bukan hal yang pertama untuknya namun ciuman kali ini, membuat sontak hatinya seperti bermekaran. Gadis itu nekat dan sebentar lagi akan menggila. Braaak! Setelah sekian detik bibir mereka menyatu, Farid mengambil alih kesadarannya kembali. Aletha gagal ketika lidahnya mulai berani untuk bermain. Rupanya, kecantikan dan kemolekannya yang terekspos gamblang tidak cukup membuat Farid lebih lama menikmati sentuhannya. Hayalan dan harapan Aletha terlalu tinggi. Pria itu membalas
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege