"Bbbuat apaa, Ma?"
Ratna melepaskan genggaman tangan ibunya.
"Buat Luna," jawab Ratih tegas.
Ratna tersentak, kaget luar biasa. Sampai-sampai ia merasakan nafasnya tersendat.
"Kamu kenapa kaget seperti itu?! Justru kamu harus senang, sebab wanita itu takkan bisa menggangu rumah tangga kamu lagi, Rat! Lagi pula, kamu kan benci juga sama dia. Saat inilah waktu yang tepat untuk membalasnya. Kamu tenang saja, racun ini akan menyatu dengan darah, takkan terdeteksi kalau dia mati keracunan. Mama akan atur supaya nanti mayatnya langsung dikuburkan saja, toh dia tak punya keluarga yang jelas," papar Ratih berapi-api.
"Maaa ... please. Urungkan niat ini. Mbak Luna tak seburuk yang kita pikirkan, Ma. Dia ... dia baik, Ma. Aku saja yang terlalu cemburuan. Aku mohon, buang ini, Ma!"
Ratna memegang dadanya yag bergemuruh kencang.
 
Ratna menunduk setelah melihat Luna dan Yudha duduk di kursi. Mereka sedang menunggu Aderald yang akan sampai dari perjalanan luar negeri. "Sayang, kenapa dari tadi kamu diam saja?" tanya Aleksei. Ratna hanya senyum kecil. "Ooh aku tahu, wanita hamil memang selalu moody. Aku sudah membacanya sampai berjam-jam," bisik Aleksei di telinga istrinya. "Kamu deg-degan karena akan mengumumkan berita gembira ini ya sayang?" tanya Aleksei lagi. Laki-laki itu adalah orang yang paling bahagia mengetahui tentang kehamilan istrinya. Semenjak itu, ia mengenyampingkan kebahagiaannya, egonya dan rasa cintanya pada sosok Angel. Ratna hanya mengangguk kecil, berharap suaminya berhenti meracaukan pikirannya. Aleksei menggenggam tangan istrinya yang sedingin es. Ia tersenyum, mengangkat tangan itu, mengecupnya lalu menyimpannya di dada. Ratna cukup terkesiap. Ia menatap suaminya. 'Andai kamu tahu, hari ini mungkin hari terakhir kamu melihat wanita yang kamu cintai itu, Mas. Mungkin kau takkan bisa
Mata Luna menatap tajam pada Aderald. Wanita itu menggertakkan giginya, memberikan kengerian dalam ruang kerja lelaki tua itu."Aakku si-siap mati untukmu My Angel. Kenapa kau meragukanku?" gagap Aderald."Lalu siapa yang menyimpan racun di makanan itu?!"Aleksei menyemburkan nafas amarahnya."Aku sungguh tak tahu. Apa kau seyakin itu, My Angel? Maksudku, makananmu teracuni?" tanya Aderald."Bisa saja makananku juga, makananmu, juga Aderald! Yang telah kita makan!" seru Aleksei memukul tembok.Wajah Aderald memucat."Jono Jene!!!" teriak Aderald tegang.Dua lelaki kepercayaan Aderald muncul."Bawa semua makanan itu ke sini! Cepat!"Wajah Ratih dan dua anaknya sudah seperti kapas ketika tanpa sepatah katapun, 2 orang pengawa
Aku mengusap keringatku yang muncul di dahi. Tegang. Itu sudah pasti. Luna pun terlihat tak enak. Sedari tadi hingga sampai rumah, dia hanya diam saja. "Kamu baik-baik saja, Dek?" Dia hanya mengangguk. "Aku ke kamar duluan, Mas," ucapnya. Giliran aku yang mengangguk sekarang. 10 hari lagi challenge menuju malam pengantin seperti perjanjian itu. Harusnya aku senang dan mempersiapkan moment itu. Tapi entah kenapa, banyak hal yang memenuhi pikiranku. "Karena mereka dilahirkan dari keluarga biasa bukan seperti keluargaku," jawab Luna dingin. "Memangnya keluargamu itu kenapa, Dek?!" tanyaku membungkuk sambil memasang sepatu. "Keluarga mafia," jawab Luna santai. Percakapan itu terus saja berulang-ulang di otakku. Kubuka ponselku dan sejenak kutatap foto itu tanpa bernafas. Luna, apakah kau benar-benar dari keluarga Mafia? Pukul 12.00 dini hari. Aku gelisah. Apa langkah yang harus aku lakukan untuk menyelidiki semua rahasia yang masih terselip ini? Kokom! Yah, aku yaki
Aku langsung duduk dan sejenak membatu.Pikiranku berputar-putar ketika Aleksei datang dengan 10 temannya yang berhoody gelap, lalu menyalamatkan perusahaanku. Mengapa aku tak menaruh curiga sedikit pun?Dan Luna? Dia ...Aku menghela nafasku.Mungkinkah Luna juga salah satu bagian dari Aleksei dan komplotannya?Tapi ....Tak mungkin! Lunaku rajin ibadah. Dia pun juga tak pernah kutemukan serius di depan laptopnya. Lunaku hanya sibuk memasak!"Apalagi yang kamu tahu?" tanyaku kembali setelah di antara kami tak ada suara."Aku tak tak tahu lebih dalam. Mereka tinggal berpindah-pindah. Mereka bergerak di bawah tanah," ujar Benjiro lagi.
Dan 24 jam berlalu, tiba-tiba Aderald mendapatkan ketukan pintu dari Jono."Masuk!" seru Aderald."Maafkan saya, Tuan. Saya membawa berita penting," ujar Jono.Aderald masih menutup matanya. Laki-laki itu duduk di kursi goyangnya sejak sore."Ada apa?" lirihnya."Tepat 5 menit yang lalu, anjing itu mati, Tuan," ucap Jono yang membuat mata Aderald langsung terbuka."Kk-kamu yakin itu?""Yakin, Tuan," jawab Jono tegas.Aderald berdiri."Panggilkan aku Ratih, sekarang!" seru Aderald dengan mata menyala-nyala.Gegas Jono berlari.Di sisi lain, Ratih sejak kemarin tak merasa tenang. Nindi mendekatinya ke kamar."Mana Papa, Ma?""Belum pulang kerja," jawab
Benjiro menangkap tubuhku yang terasa tak bertulang."Kamu kenapa?"Tampak dia mengkhawatirkanku."Ayo kita pergi," ajakku pelan.Dia menganggukAku membuka kaca mobil, agar udara malam masuk ke rongga hidungku. Rasanya sedari tadi, sesak memenuhi. Benjiro tak bertanya apapun."Maafkan aku, kau jadi tak bisa puas bermain," ucapku."Its oke," jawabnya."Besok akan kutransfer 100 jutamu," ujarku."Tak perlu. Kamu membawa hoki. Aku tadi sudah menang 200 juta," jawabnya datar.Aku mengukir sedikit senyum."Kamu kenal Miss Harram?" tanyanya."Bukan hanya kenal. Dia kekasihku selama 2 tahun. Dan baru-baru ini, kami putus."Benjiro melirikku seperti tak menyangka
"Kamu gak ngantor, Dha?" tanya ibuku yang sedang membaca majalah. "Gak, Ma. Kok rada sepi ya? Kemana para pelayan?" tanyaku. "Mama pecat mereka semua. Rekrut orang baru tapi cuma 3 orang. Sebab kakek bilang keuangan sedang tidak baik," jawab ibuku masih fokus membaca. "Kalau butuh uang sekedar buat makan, aku transferkan, Ma," tawarku. Ibuku menutup majalahnya. "Mama minta 50 juta boleh?"Aku mengangguk. Ibuku tersenyum sangat manis. "Ngomong-ngomong, kamu ke sini mau ngapain?""Mau cari sepatuku masa lajang, Ma. Nyempil di mana ya? Warna biru tua ada garis-garis putih," ujarku mengarang. "Gak pernah lihat tuh, Dha. Cari sendiri lah," ujarnya. "Oke, Ma. Aku keliling gak apa-apa, ya," tanyaku mulai celingak celinguk. "Ya. Rumahmu sendiri, pakai izin segala."Ibuku tersenyum sembari geleng-geleng. Raut wajahnya berubah cerah dan ceria. 50 juta jumlah yang sedikit untuk membeli kesempatan ini. 'Ya Allah semoga aku mendapatkan petunjuk tentang racun itu. Walaupun mustahil, aku h
"Kau baik-baik saja?" tanya Jesica seperti sadar dengan kondisiku.Aku hanya mengangguk pelan."Tak ada yang meminum racun ini kan Yudha?" selidiknya.Aku menggeleng."Syukurlah. Baiknya kau buang saja. Lebih baik kau bungkus dan tanam di tanah lapang sebab jika dekat pohon, dikhawatirkan mengganggu tanaman itu," jelas Jesica."Separah itu?"Jesica mengangguk."Dan ini racun yang mahal. Harganya mencapai 200 juta. Benda ini tidak diproduksi di sini. Kemungkinan dari Uzbekistan atau India. Selama ini, aku hanya membaca tentang racun ini tapi sekarang aku menelitinya langsung. Luar biasa."'Mama, kenapa Mama ingin membunuh Luna?' desis hatiku."Are you oke?" tanya Jesica.Aku tersenyum."Terimakasih, Jes.
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege