Dukung cerbung ini dengan GEM dan ulasan bintang⭐⭐⭐⭐⭐ yak kak. Terimakasih sanget sanget🙏
"Aku tak tahu, Di. Tapi aku membutuhkan dia. Saat istriku masih hidup, kami pun dekat dan Luna tak mempermasalahkannya. Dia sahabat sekaligus karyawanku yang sangat bisa aku andalkan. Tentang rasa yang disebut cinta, dalam hatiku ini, Luna istriku masih bertahta penuh dan sulit untukku membuat orang lain menggantikan posisinya," ujarku tenang."Sebegitunya Tuan mengagumi Nyonya.""Kau pasti tak pernah melihat wajah istriku, ya. Sebentar."Aku merogoh ponselku, membuka menu galeri. Kusodorkan foto selfie Luna tanpa cadar, bahkan fotonya saat melepas hijabnya. Tampak rambut lebat indah milik istriku begitu sempurna menghiasi kecantikan wajahnya."Lihatlah! Ini foto Luna istriku. Dia sangat cantik bukan?"Mata Diana tiba-tiba berair. Ia tampak shock dan sesegukan seperti menahan erangannya. Aku jadi tak enak. Mungkin kecantikan Luna membuatnya semakin sedih."Ma
Om Demian tampak sangat marah dan balas meninju wajah Aleksei. Tak mau kalah, Aleksei memasang kuda-kuda bersiap bertarung dengan lawannya."Aaakkkhhhhh!!!" teriak Diana.Wanita itu meringkuk, meringis kesakitan sambil memegang perutnya. Aleksei langsung mendekati Diana sedangkan Om Demian terlihat menyeringai puas melihat Diana."Kenapa?! Eeen ... Aaaakkhhh!!! Apa yang kau rasakan!?" pekik Aleksei meraba wajah Diana. Aku jadi gelagapan. Semua pikiranku berputar-putar membuatku sulit bernafas. Aleksei terlihat sangat panik."Perutku Aleksei! Sakit sekali! Aaaakkkkhhhh!!!"Ia membuka cadar wanita itu hingga tampak kulit gosong itu semakin terang di bawah sinar matahari. Aleksei langsung mengangkat tubuh Diana yang lemah."Urusan kita belum selesai!" ucap Aleksei saat melewati Om Demian."Matilah kau wanita laknat!" umpat Om Demian tertawa
"Aleksei ...," lirih Luna. Aleksei yang duduk di sofa seketika langsung berdiri dan mendekat. "Tolong, kabari Miss Harram. Aku sudah melahirkan," ujar Luna masih lemah. Aleksei mengangguk lalu mengetik tombol dengan cepat. "Sungguh? Baiklah! Aku ke sana sekarang! Aku akan langsung melahapnya! Hahhahahaa!" kekeh Ayu Ruminang dari seberang. "Ciiih ... dasar nenek sihir. Cepatlah!" timpal Aleksei langsung mematikan ponsel. "Bagaimana? Apa kau sudah siap belajar duduk? Kata perawat tadi, kau juga harus kentut dulu," cerocos Aleksei menahan senyumnya. "Tutup mulutmu," ketus Luna. "Makanya, kau sudah kentut apa belum?!" Aleksei menutup mulutnya menahan geli. "Awas saja kau. Ayo bantu aku bangun!" "Berarti sudah ya, kok tak ada suaranya?!" kekeh Aleksei membantu L
"Allahuakbar!!!" pekikku terjungkal jatuh dari kursi tempatku duduk. Dokter Syaiful sigap mendekatiku lalu mengangkatku. Dipapahnya aku duduk di brankar kosong samping mejanya. "Tenanglah, Pak Yudha ... tenanglah! Tarik nafas dalam-dalam. Istigfar, Pak," saran dokter muda itu. Aku memegang dadaku yang terasa seperti air bah yang tertumpah dari bendungan jebol. Seperti ada beban penuh yang keluar menghantam tembok penderitaan batinku. Istriku masih hidup dan ternyata aku memiliki anak! "Ya Allah. Ya Allah. Astaghfirullah. Allahuakbar!" Tangisanku menyeruak dan dokter itu bersedia bahunya basah oleh air mataku. "Tenangkan diri, Pak!" "Ya Allah ... apa ini nyata ya Allah? Dokter! Apa hasil ini benar? Bukan saya tak percaya tapi saya benar-benar tak menyangka!" "Saya bisa membantu Bapak untuk menguraikannya jika kalimat dalam kertas itu membuat bapak masih bingung." Aku menggeleng keras. "Tidak! Bukan itu maksudku. Ya Allah ... saya tak bisa berkata apapun dokter! Allahukbar!" pe
"Tuan ...apa bayi saya sehat?"Aku mengangguk. Kuusap wajahku kasar dan berbalik arah meraih air minum."Kau kenapa sih? Semua baik-baik sajakan? Ratna belum mengabarkan aku apapun," ujar Aleksei serius."Nindi akan dibuka perbannya dan itu artinya ia akan sadar dengan kondisi tubuhnya yang penuh bekas luka. Entah apa akan yang terjadi selanjutnya," jawabku datar."Sebagai seorang kakak, kau pasti terguncang membayangkannya. Namun kau harus standbye, mungkin Nindi akan lebih tenang jika kau ada," tanggap Aleksei."Tadi aku ketemu Ratna, kalian ke sini samaan ya?" tanyaku.Aku harus mencari cara agar the moriz ini meninggalkan istriku. Aku hanya ingin berduaan dengan Luna. Laki-laki itu malah mengangguk. Pasti dia punya seribu alasan untuk mengelabui istrinya. Aku jadi kehabisan akal."Tuan sebaiknya pulang beristirahat saja.
Aku tercenung. Bagaimana ini? Apa aku tidak sedang berfantasi? Mungkinkah aku terlalu lelah hingga berpikir sejauh ini. Tanpa sadar, kupukul pipiku. Ya Allah ... sakit."Kenapa Yudha?!" delik ibuku tajam."Anu, Ma. Aku ... merindukan Luna istriku," ujarku."Dia sudah mati. Lagipula tak ada faedahnya kamu memikirkan masa lalu. Lebih baik kamu menikah dengan Karmila. Cincin berlian yang dipakai Luna kemarin itu kasih Mama.""Cincin berlian yang mana?""Yang ada di jarinya pas meninggal," ujar ibuku santai.Melebar mataku terkejut. Kedua alisku mengkerut.
Luna kembali melebarkan matanya menatapku. Sudah ah, lama-lama aku sendiri yang iba. Aku takut aku yang tak kuat dengan battle ini. Kutinggalkan Luna sendirian dengan pikirannya tentangku. Farid anakku, selalu di dalam gendonganku, ayahnya.Terdengar bel berbunyi. Ada tamu."Biar aku saja!" teriakku pada Luna agar dia tak perlu bergegas membuka pintu.Ternyata Aleksei dan Ayu Ruminang. Kedua makhluk bunian ini hampir setiap hari datang mengunjungi rumah ini. Rasanya, mataku penuh dengan penampakan mereka."Kalian tidak punya rumah ya, tiap hari ngintilin rumah orang," sindirku membiarkan mereka masuk."Aku hanya mampir sebentar. Habis ada proyek," timpal Aleksei santai."Aku ke sini karena anakku di sini. Protes?!" timpal Ayu Ruminang melotot padaku.Aku mendecak kesal. Apalagi wanita yang berpakaian kurang bahan itu langsung mengambil Fa
Ratih mengelus rambut Nindi. Berurai air mata wanita itu melihat kondisi anak gadisnya yang banyak merenung dengan tatapan kosong. "Nin ... ayolah, kamu harus sembuh! Jangan kek orang gila gini. Gimana mama mau bantu kamu lebih kalau kamu begini terus?! Kita harus mencari pelaku penganiayaan itu! Sampai mati, Mama tak ikhlas! Kita harus buat perhitungan dengannya!" Ratih semakin nelangsa jika mengingat bagaimana pertama kali Nindi melihat bekas luka yang menjadi kulit barunya. Gadis itu berteriak sekencang-kencangnya hingga habis suaranya. Pernah ia mengambil pisau buah dan mencoba membunuh diri. Sejak hari itu, tak ada benda tajam di kamar perawatannya. Ratih sampai memindahkan anaknya ke kamar perawatan kelas 2 dua yang ada di lantai bawah. Sebab Nindi pernah mencoba ingin melompat dari ketinggian gedung rumah sakit itu. "Kamu jangan buat Mama jadi ikutan gila, Nin! Sudah lama sekali Mama gak pernah lihat dunia luar. Mama sudah jadi setan penunggu di rumah sakit ini, Nin!" racau R
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege