Roomboy membukakan pintu kamar yang merupakan milik Alan, Celek!..
“Silakan Nyonya,” ucap Room boy pada Zahira.
“Terima kasih,” balas Zahira, lalu melangkah masuk menarik travel bag, kemudian menutup pintu kamar, terlihat kamar berukuran besar, harum bunga tulip menguar, keseluruh ruangan, tempat tidur berukuran besar, dengan sprei putih seperti hamparan awan.
Zahira masih membeku di tempatnya berdiri, kamar ini lebih mirip dipersiapkan untuk pasangan yang sedang berbulan madu, aroma terapi dari lilin yang berada di setiap sudut ruangan, seakan membuat gairahnya memuncak.
Tok!...tok!.. pintu di ketuk pelan, Zahira berjalan ke arah pintu, dan mengintip, terlihat suaminya yaitu Alan sudah berdiri.
Ceklek!
“Assalamualaikum, Mas,” Zahira langsung meraih tangan suaminya, Alan pun merasa tersanjung sebagai seorang lelaki, begitu di hormati oleh seorang wanita yang berstatus istri.
Alan m
Tautan bibir semakin dalam. Jantung Zahira tak beraturan, bahkan terdengar detak jantungnya, keringat dingin tiba-tiba mengucur dari dahinya, ia memejamkan matanya. Alan memperlihatkan wajah menawan cantik alami, perpaduan manik mata hitam yang mengkilap, dengan bulu lentiknya di padukan dengan hidung bangir, serta kulit wajah nan putih bersih.Alan tertegun mengagumi kecantikan wanita di hadapannya, tangannya kini meraih hijab yang siap dilepaskannya dari kepala Zahira. Tiba-tiba Zahira merasa ketakutan, kejadian buruk di masa lalu tiba-tiba kembali muncul, bayangan wajah Abram, sektika ada di pelupuk matanya, membuat Zahira memundurkan kakinya menjauh dari Alan.“Maaf, aku belum siap,” nada bicara Zahira gemetar, bahkan telapak tangannya mulai berkeringat.“Apa kamu sakit?” tanya Alan yang tampak kebingungan dengan sikap Zahira.“A..a...aku belum bisa melakukannya...” balas Zahira dengan nada terbata-bata, di sisi lain, ia takut dan di sisi lainnya merasa bersalah, belum bisa menja
Alan menarik napas pelan, mencoba menenangkan hatinya, ketika melihat Zahira menahan tangis.“Lalu kenapa ada seorang pengacara yang menuntutku, Zahira?” tanya Alan menahan emosi.“Aku benar-benar tidak tahu Mas, lebih baik kita ke Jakarta, untuk mengetahui semuanya ini,” suara Zahira parau, menahan tangis.“Cepat kemasi barang-barangmu, kita kembali ke Jakarta sekarang juga!” suruh Alan.Zahira menuruti kemauan Alan, dengan cepat ia mengemasi pakaiannya dan memasukannya dalam travel bag miliknya, walau hatinya berkecamuk atas banyak pertanyaan, kenapa Alan menuduhnya seperti itu.Mereka kini sudah duduk di kursi pesawat, duduk bersebelahan tapi saling diam, hingga akhirnya Zahira memberanikan diri untuk bertanya pada Alan.“Mas, kemarin Mas Alan bilang sudah meminta maaf pada ibu, ibu juga sudah memaafkan Mas Alan, kenapa tiba-tiba ada kabar, jika ibu menuntut Mas Alan?”Alan menoleh ke arah Zahira, dengan pandangan kesal.”Ak
Alan terlihat marah, rasa marahnya semakin menjadi ketika ponsel Zahira tidak bisa di hubungi.“Ke mana, Zahira, kenapa ponselnya tidak aktif,” gerutu pria itu sambil mondar-mandir menempelkan ponsel di telinganya, akhirnya pria bertubuh tinggi dan tegap itu putus asa.“Bagaimana Pak Alan, apa kita bisa bertemu dengan Bu Fatima?”“Pak Bagas bicara saja dengan pengacara Bu Fatima, minta supaya di adakan pertemuan.”“Baiklah kita akan coba bernegosisasi dengan pengacara Bu Fatima.”Di sebuah ruangan tertutup, kedua pengacara saling duduk berhadapan, Alan duduk di sebelah Pak Bagas.“Kami ingin bertemu dengan Bu Fatima,” ucap Pak Bagas.“Maaf, klien kami sudah menyerahkannya pada pihak kami, jadi segala sesuatunya silakan bicarakan pada kami,” balas pengacara.Terjadilah berdebatan dan negosiasi di antara kedua belah pihak, hingga akhirnya polisi tetap m
Zahira keluar dari kantor polisi, Rasid masih menunggunya, dengan langkah lebar Zahira menghampiri Rasid.“Gus, terima kasih telah membantu sejauh ini, tapi saat ini aku tidak bisa menerima bantuanmu lagi, maaf, pulanglah.”“Zahira, apa suami memarahimu?”Zahira menggeleng. ”Mas Alan, tidak marah, tapi ia tidak mau aku merepotkanmu, terima kasih banyak.” Telapak tangan Zahira di telengkupkan di dadanya.“Baiklah Hira, aku pamit dulu. Assalamualaikum,” pamit Rasid.“Wa alaikumsalam.”Setelah kepergian Rasid, Zahira memilih untuk naik taksi, kembali ke rumah sakit. Kini Zahira menatap kosong ke arah ibunya yang terbaring di brankar, dengan berbagai alat kesehatan di tubuhnya. Ia tak menyangka, tiba-tiba sang ibu dalam keadaan kritis. Sehari sebelum berangkat ke Surabaya, Zahira sempat berbicara di telepon, dan ia mendengar suara ibunya yang baik-baik saja. Tapi tiba-tiba kondisinya memburuk, bersamaan dengan kasus Alan yang tiba-tiba mencuat.***Hari menjelang pagi , Zahira masih di
“Ada yang ingin, aku bicarakan denganmu, Mas, sangat penting, dan hanya berdua,” timpal Zahira.Abram pun tahu diri, dengan perkataan Zahira.”Baiklah, aku kira kunjunganku cukup, aku pergi dulu. Assalamualaikum, Zahira,” pamit Abram.“Wa alaikumsalam,“ jawab Zahira tanpa menatap wajah Abram.Setelah kepergian Abram, gadis yang mengenakan hijab warna biru muda itu sedikit lega, dihembuskannya pelan napasnya, lalu kembali serius menatap Alan, yang masih menyuap menu di hadapannya.“Bagaimana, keadaan Bu Fatima, apa sudah sadar?” tanya Alan sekilas matanya menatap Zahira“Ibu, belum membaik, aku rasa ada yang sengaja membuat ibu sakit.”Alan seketika menghentikan suapannya, dan menatap Zahira dengan serius.”Apa maksudmu, berbicaralah yang jelas!”“Obat ibu, ditukar dengan obat lain, dan itu menyebabkan ibu terkena serangan jantung. Dan ini juga bertepatan dengan kasus Mas Alan.”“Apa kamu tahu siapa pelakunya?”“Aku belum bisa memastikanya, tapi menurut temanku, ada seorang pria dan wa
Perintah Risma, membuat Alan terkejut, dulu memang ia berniat menceraikan Zahira, tapi rasanya saat ini ia telah berubah pikiran, kini hatinya yang justru tertawan oleh kecantikan Zahira. Gadis itu bukan hanya cantik di wajah, tapi juga cantik di hati, berbeda dengan kebanyakan kaum wanita yang selama ini dikenalnya, Zahira begitu sangat spesial.“Aku tidak akan menceraikan Zahira,” jawab Alan.“Alan, ada apa denganmu, apa kamu juga seperti Oma, terhipnotis oleh gadis cadar itu, sementara ibunya berusaha memenjarakanmu, apa hal ini tidak membuatmu, menyesal menikahi Zahira?” Risma menatap dalam Alan yang duduk di depannya.“Aku rasa ini bukan kemauan Bu Fatima, dia wanita yang baik, aku yakin, Bu Fatima hanya dijadikan kambing hitam, Ibu Fatima pasti memaafkanku, aku rasa ini perbuatan orang lain dengan memanfaatkan kasus kecelakaan itu.”“Jadi sekarang kamu, menyalahkan orang lain, lalu siapa yang menginginkan dirimu di penjara, kamu jangan terpedaya dengan Zahira, dan ibunya,” timpa
Begitu sampai di sebuah rumah mewah minimalis, Zahira turun dari mobil, dan langsung masuk ke dalam rumah, langkah kakinya menuju lantai atas, di mana kamar Amanda berada. Zahira terlihat marah, ia sungguh tak menyangka saudaranya berniat buruk pada ibunya.Brak! Di bukanya pintu kamar dengan keras, membuat sang pemilik kamar terkejut, Amanda menoleh ke arah pintu.“Zahira, ini sudah larut malam, untuk apa kamu datang ke rumahku!” bentak Amanda.Zahira melangkah mendekati Amanda, lalu mendorong tubuh Amanda hingga terjatuh di tempat tidur.“Kamu yang memberikan ibuku obat ini, hingga ibu mengalami seragan jantung ’kan!” tuduh Zahira dengan tegas.“Jangan menuduh tanpa bukti, aku bisa menuntutmu!” timpal Amanda berusaha bangkit. Tapi di dorong lagi oleh Zahira.“Mah...Ayah..!” teriak Amanda.Teriakan Amanda membuat Anita dan Wijaya berlari ke kamar Amanda.“Zahira!” bentak Anita, terkejut melihat Zahira ada di dalam kamar Amanda dan terlihat marah.“Zahira, ada apa?” tanya Wijaya.“Ama
Angin pagi memasuki jendela kamar perawatan, hingga menyapu wajah Zahira yang berdiri di dekat jendela, tatapannya menerawang jauh menembus bangunan tinggi yang menjuang ke langit. Lalu ia berjalan mendekati brankar, di mana sang ibu sedang terbaring. Zahira mengusap lembut tangan Fatima, dan menatap lembut sang ibu, dengan pelan, dia bertanya.“Apa, Amanda menemui ibu sebelum ibu sakit?”“Iya, Hira, Amanda menemui ibu, ia membawa seorang teman, katanya di suruh oleh Ayahmu, untuk menandatangani berkas, kata Amanda untuk beasiswamu di kampus,” jelas Fatima.“Ibu, asal tanda tangan ‘kan, tidak membaca isi formulir itu?”“Bagaimana ibu membacanya, kaca mata itu hilang entah ke mana, karena Amanda dan temannya buru-buru, ya sudah, ibu tanda tangan saja,” ungkap Fatima pelan.Zahira bernapas lega, karena dugaannya terbukti benar, tapi belum bisa mengungkapkan kejadian yang sebenarnya pada Fatima, dengan alasan kondisi Fatima, yang masih lemah.Tak berselang lama, Nina, masuk ke kamar per