Rodney's Bistro terlihat cukup ramai pengunjung, Kara baru sadar jika ini adalah malam sabtu, pantas saja. "Sebelah sini Kar," ujar Bagas seraya menarik tangan Kara. Dari kejauhan Kara dapat melihat ekspresi terkejut Gavin saat melihat Kara ikut datang. "Hai," sapa Gavin kepada Kara saat Kara muncul. Kara mengangguk, ia menutup hidungnya karena mencium bau asap. "Saya gak tau kalo kamu ikut, sebentar," tukas Gavin lalu melambai memanggil seorang pelayan, "Ada meja kosong di non smoking section gak mbak? Ada yang lagi hamil," ujar Gavin seraya menatap Kara sekilas. "Oh ada kok, sebelah sini," tukas pelayan tersebut memandu mereka ke ruangan yang lain. Kara dan Bagas bergandengan tangan berjalan di belakang Gavin. Gavin menarik tempat duduk untuk Kara, "Silahkan Kar," tukas Gavin yang cukup untuk membuat Bagas melirik heran kepada Gavin. "To the point aja Vin, kamu mau ngomong apa?" tanya Bagas seraya menghempaskan tubuhnya di atas kursi di samping Kara. "Santai Gas, anggap aja kit
Butuh waktu lama untuk membujuk Papa dan Mama agar muncul di publik dan memberikan klarifikasi akan berita yang beredar mengenai Gavin si anak diluar nikah. Bagas terus menerus menekankan pada Mamanya bahwa semuanya akan lebih baik jika Bagas dan Gavin bersaing secara kompetitif. Untuk sementara waktu, Bagas meminta mamanya untuk mempercayakan semua kepada Bagas, Bagas berjanji tidak akan mengecewakan Mamanya. "Setelah press conference sialan ini apalagi yang kamu minta dari Mama?" tanya Mama dengan kesal. Bagas terdiam sejenak, begitupun Kara yang duduk di sebelahnya. "Untuk sekali ini aja Ma, ijinin Papa untuk duduk bareng Ibunya Gavin di pelaminan," ujar Bagas memberanikan diri. Wajah Mama langsung memerah, seperti yang sudah Bagas duga, Mama tak akan semudah itu berkata 'iya'. "Have you lost your mind! Apa kata orang Gas? Semua ibu-ibu arisan bakal ngetawain Mama! Tega kamu ngeliat Mama digituin!" oceh Mama dengan nafas turun naik. Bagas menghela nafas panjang, ia menatap Kara
Kara sibuk menyusun jadwalnya yang cukup padat. Ia dan Bagas merencanakan akan pindah ke Penthouse dalam waktu dekat, ditambah ia harus check up bulanan dan harus membantu Papa untuk mempersiapkan pernikahannya dengan tante Nia. "Ayok, udah siap Kar?" tanya Bagas yang melihat Kara masih duduk di depan cermin. "Gas, kita beneran gak mau gender reveal? Emang kamu gak penasaran anak kita cowok atau cewek? Kan kita bisa siapin keperluan dia dari sekarang kalau tau jenis kelaminnya," oceh Kara berusaha membujuk Bagas agar ia mau mengikuti keinginan Kara untuk mengungkap jenis kelamin bayi mereka. Bagas menghela nafas panjang, "Kita udah debat semalaman loh Kar soal ini, kan saya udah bilang, terserah kamu kalo emang mau gender reveal, tapi kalau saya gak sih gak setuju," sahut Bagas dengan wajah meledek. Kara mencibir, "Ya kalo gak setuju namanya bukan terserah," sahut Kara sebal seraya bangkit dari duduknya. Bagas tertawa, "Ya udah oke deh..." tukas Bagas yang tak ingin melihat wajah
"Jadi hari sabtu minggu depan?" tanya Kara pada Papa yang sedang asik membuat bolu karamel. Entah kenapa sejak Papa Kara dekat dengan tante Nia, Papa jadi suka sekali membuat kue. "Iya, gak usah resepsi, Papa mau intimate dinner aja sama keluarga kita," tukas Papa sambil sesekali mengaduk gula yang sedang dijadikan karamel. Kara dan Bagas manggut-manggut, "Tante Nia punya anak?" tanya Kara yang belum terlalu tahu banyak tentang tante Nia selain fakta bahwa ia adalah seorang dokter bedah saraf. "Oh iya Papa belum cerita ya, tante Nia punya satu anak cowok, yah kurang lebih seumuran kamulah, tante Nia rencananya mau kenalin anaknya sore ini, kalau Papa sih udah pernah ketemu," ujar Papa yang hanya disahuti 'oh' panjang oleh Kara. Setelah menunggu beberapa lama, tante Nia muncul di dapur dengan senyum hangatnya. Ia menghampiri Kara dan mengecup kedua pipi Kara. "Sehat Nak?" tanya tante Nia lembut. "Sehat tan, tante sehat?" Kara menyambut baik niat tante Nia yang sepertinya sedang ber
"Batal nikah? Yang bener Kar?" tanya Bagas dengan wajah yang benar-benar terkejut. Kara mengangguk, "Beneran, tadi Gavin bilang begitu," tukas Kara seraya menghempaskan tubuhnya di atas sofa di sebelah Bagas. Setelah itu Kara menceritakan semua yang Gavin ceritakan kepadanya. "Kayaknya kamu bener deh, setelah Papa mulai membuka jati diri Gavin ke publik, Gavin jadi gak se-obsesif dulu," cetus Kara sambil memiringkan kepala menatap suaminya. Bagas tertegun, ia tidak menyangka jika Gavin bisa berubah secepat itu. "Kamu kenapa Gas? Kok kayak lagi mikir gitu?" tanya Kara heran. Bagas menghela nafas panjang, "Saya kepikiran aja sama alasan Gavin," jawab Bagas pelan. Kara mengernyitkan keningnya, "Alasan? Tentang Siera yang gak bisa menghargai ibunya Gavin?" tanya Kara masih belum mengerti arah pembicaraan Bagas. "Iya," Jawab Bagas, ia menghela nafas panjang, "Saya memang pernah benci setengah mati sama Ibunya Gavin, tapi sekarang kenapa saya jadi kasian ya..." ujar Bagas lebih seperti s
"Ra, Menurut kamu Mama bakal seneng gak liat Papa nikah lagi?" tanya Papa seraya menatap foto mendiang Mama Kara di tangannya. Kara menyandarkan kepalanya di bahu Papanya, "I bet she is, and I guess tante Nia adalah orang yang tepat, Mama pasti seneng knowing you're married to someone who love you as much as she loves you," tukas Kara dengan sedikit rasa haru di hatinya karena merindukan mendiang Mamanya. Hari itu Papa Kara dan tante Nia resmi menikah sehingga otomatis menjadikan Kara dan James menjadi saudara. Mereka menyewa satu unit restoran Italia untuk merayakan pernikahan Papa Kara dan tante Nia yang hanya dihadiri oleh saudara dan kerabat terdekat saja. Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir Kara berkumpul dengan keluarga besarnya. Bahkan Mama Bagas dan Papa Bagas juga ikut datang untuk mengucapkan selamat kepada Papa Kara. "Nyuk! Aaaaaaaa kangeeeeen!!!" pekik Nadine saat bertemu dengan Kara. Mereka berpelukan dengan erat. "Lo sih lama banget di Bali!" seru Kara setelah me
Kara terbangun dengan pandangan mata yang sedikit kabur. Ia dapat mencium aroma khas rumah sakit dan telinganya dapat mendengar dengan jelas suara detak yang mirip seperti suara detak jantung manusia dengan ritme yang lebih cepat. Setelah sepenuhnya terjaga, Kara baru menyadari jika ia berada di dalam ruang IGD rumah sakit dengan alat bantu nafas tertancap di hidungnya dan alat CTG menempel di perutnya. Ternyata detak jantung yang ia dengar adalah detak jantung bayi dalam kandungannya yang terdengar melalui alat CTG atau Cardiotocography. "Pasien siuman dok!" teriak seorang perawat yang sedang memantau gerakan alat CTG di perut Kara. Seorang dokter bergegas mendekat, ia memeriksa mata Kara. "Halo bu, saya dengan dokter Ratna, ibu sekarang berada di Royal Hospitals, keluarga ibu sedang menunggu di luar, jadi jangan cemas ya. Saya mau tanya beberapa pertanyaan untuk memeriksa keadaan ibu," ujar dokter Ratna dengan senyum yang ramah. Kara hanya mengangguk samar, nyaris tak terlihat. "
Tak ada yang lebih mengerikan dari pada fakta bahwa ada seseorang atau mungkin lebih, yang berhasil menyelinap masuk ke dalam kediaman keluarga Mahendra tanpa seorang pun menyadarinya. "Saya masih yakin ada orang dalam yang terlibat, it's not easy Gas buat bawa-bawa tabung klorin ke ruang pompa kolam renang sementara satu-satunya akses masuk cuma dari pintu utama," tukas Kara keesokan harinya setelah keadaannya sudah semakin membaik. Bagas mengangguk, "Kamu bener, polisi lagi selidiki semuanya Kar, jangan khawatir ya... We're moving to penthouse soon," ujar Bagas yang cukup membuat Kara terkejut. "Penthouse? Bukannya malah lebih riskan Gas?" tanya Kara agak khawatir. "Penthouse tempat yang paling aman Kar, saya gak bisa ngebiarin kamu di rumah Mama sementara kita belum tau siapa diantara para pekerja kita yang ternyata berkhianat, gimana saya bisa tenang sementara benak saya terus berprasangka apa jangan-jangan makanan kamu diracun atau jangan-jangan akan ada yang dorong kamu dari
Seolah semuanya sudah diatur, Papa berpulang tepat ketika Kara berkunjung ke Indonesia. Serangan jantung karena komplikasi katanya, persis seperti penyakit Papa mertuanya. Papa Kara yang tidak pernah keluar masuk rumah sakit sama sekali, justru berpulang lebih dulu. Tak ada pesan terakhir yang terucap, namun Kara tahu, Papa hanya ingin Kara pulang, untuk menemani Papa di hari akhirnya. Semuanya terasa seperti mimpi, Kara merasa seperti melayang. Namun keberadaan Bagas dan Brie selalu bisa membuat Kara sadar bahwa hidup harus terus berlanjut. Orang yang paling terlihat terpukul adalah tante Nia, baru tiga tahun pernikahan, ia sudah harus kembali menjanda. Walau hanya tiga tahun, tapi ikatan cinta mereka seolah mengalahkan hubungan suami istri yang sudah terjalin bertahun-tahun lamanya. Tante Nia seperti kehilangan cahaya di wajahnya, ia berduka lebih dari Kara. Empat hari sudah berlalu sejak meninggalnya Papa dan ditengah rasa dukanya Kara harus hadir di pernikahan Gavin. Kara bisa
Satu Tahun Kemudian, "Itu Juan!" teriak Kara seraya menunjuk Juan yang mengangguk ke arahnya. "Apa kabar Ju?" sapa Bagas lalu menjabat tangan Juan dengan ramah. "Baik Pak, mari Pak mobilnya di sebelah sini," tukas Juan mengarahkan Bagas, Kara dan Brianna menuju mobil yang akan membawa mereka ke rumah orang tua Bagas. "Wah, tiga tahun gak pulang, ternyata cukup banyak yang berubah yaaa..." cetus Kara takjub melihat perubahan kota Jakarta. Bagas mengangguk, "Iya, kangen juga sama Jakarta! Brie ini hometown kamu nihh, Jakarta!" seru Bagas sambil mengamit tangan Brie. Brie yang sedang asik dengan mainannya tak begitu peduli. Hari ini Bagas dan Kara membawa Brie kembali ke Jakarta untuk mengunjungi keluarga mereka, sekaligus untuk menghadiri resepsi pernikahan Gavin dengan gadis pilihannya yang belum pernah dikenalkan kepada Kara ataupun Bagas. Mobil berhenti tepat di depan rumah orang tua Bagas. Papa dan Mama Bagas tampak menyambut di teras dengan wajah tak sabar. Mereka bukannya tak
Dua tahun kemudian, "Gimana menurut kamu jadinya?" tanya Bagas sambil melipat kedua tangan di depan dadanya. Kara tampak berpikir sejenak, "Yah susah juga sih Gas, dia kan ngelakuin hal kayak gitu karena tamunya kurang ajar, Kita gak bisa pecat orang hanya karena dia mempertahankan harga dirinya," tukas Kara tegas. Bagas menghela nafas panjang, "Ya saya setuju sih sama kamu, tapi kita harus siap kehilangan pelanggan dari Froil, which is mereka adalah salah satu company yang rutin kerjasama dengan restoran kita..." ujar Bagas dengan berat hati. Kara mendekat pada Bagas, memegang kedua tangan Bagas. "Whenever you stuck with this kind of situation just remember apa tujuan awal kita ngejalanin bisnis, it's never about money Gas, kita ngejalanin bisnis ini karena kita suka dan kita mau terus sama-sama, iya kan?" tukas Kara lembut. "Yeah, you're right... Ini nih kenapa kamu mesti sesekali kunjungan ke kantor, untuk ngingetin saya mana yang baik dan mana yang buruk!" seru Bagas lalu mena
"Gas! Brie kok kayak kuning gitu sih?" seru Kara saat ia sedang berjemur bersama Brie di halaman rumah. Bagas yang sedang memeriksa tanaman terkejut lalu menghampiri Kara. "Masa sih?!" tukas Bagas tak percaya, ia mengamati wajah Brie dengan seksama, "Iya sih Kar, waduh kenapa yah?" tanya Bagas dengan khawatir. "Kayaknya gara-gara bilirubin-nya tinggi deh, kita bawa ke dokter aja deh Gas!" tukas Kara merasa takut. Sebagai ibu baru, Kara masih meraba-raba bagaimana caranya menjadi ibu yang baik bagi Brianna, sehingga segala hal kecil tidak akan luput dari perhatiannya. Pagi itu setelah mandi dan sarapan, Bagas dan Kara bergegas menuju St. Pauls dan langsung mendaftar di poli anak. "Brianna Rose Mahendra!" panggil seorang perawat. Bagas dan Kara segera bangkit dan masuk ke dalam ruang periksa. Dokter mengatakan jika Brie mengalami breastfeeding jaundice yang membuatnya menjadi kuning. Dokter menyarankan Kara untuk lebih sering menyusui Brie dan makan makanan yang bergizi serta menghin
Dunia seakan runtuh bagi Bagas saat ia melihat Kara terkulai lemas. Dokter mengatakan Kara mengalami perdarahan hebat sehingga dokter perlu memberikan Kara alat bantu nafas dan transfusi darah karena HB kara yang anjlok ke angka 7.Bagas diminta untuk menunggu di luar agar ia tidak panik, sementara bayi perempuan mereka sudah di urus oleh perawat dan di masukan ke dalam inkubator karena kondisinya yang prematur. Di sela doa dan tangisnya Bagas teringat Mamanya, ia menghubungi Mamanya dan menceritakan apa yang terjadi, Mama sangat terkejut dan memberi wejangan untuk membesarkan hati Bagas. "Ma makasih ya udah lahirin aku ke dunia, selama ini aku gak tau kalau perjuangan Mama dulu mungkin juga seberat ini. Aku minta maaf kalau selama ini selalu bikin Mama kecewa, sekarang aku minta tolong sama Mama buat do'ain Kara supaya dia bisa lalui semua dengan baik..." ujar Bagas sambil sesekali menyeka air matanya. "Aku gak akan bisa hidup bahagia kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk sama K
Dengan panik Bagas menggendong Kara ke dalam mobil. Kara merasakan sedikit mulas pada perutnya, "Okee Kara relaks atur nafas... atur nafas... everything will be alright..." Kara mencoba menenangkan diri sementara Bagas sedang sibuk mencari rumah sakit terdekat di mesin pencarian google. "Oke Kar, let's do this! Hang in there baby!" seru Bagas lalu menginjak pedal gas dan melaju menuju St. Pauls Hospitals. Baik Kara maupun Bagas sama sekali tidak mengira bahwa Kara akan mengalami pecah ketuban di usia kandungan yang baru menginjak 33 minggu. Keringat dingin mulai membasahi kening dan leher Kara, Bagas merasa sangat gugup dan panik karena ia tidak menyangka hal ini akan terjadi lebih awal. Ia hanya terus menerus mengatakan pada Kara bahwa semua akan baik-baik saja. Sampai di rumah sakit, Bagas segera menghentikan mobil di depan IGD dan meminta bantuan staf medis untuk membawa Kara ke dalam. Kara terlihat sudah sangat pasrah sambil terus menerus mencoba mengatur nafasnya. Seorang per
Bukan hal mudah untuk berbicara pada Mama dan Papa Bagas perkara keinginan Bagas dan Kara untuk pindah ke negara lain. Tapi setelah mereka mengatakan ini semua demi keselamatan dan kenyamanan hidup cucu mereka, akhirnya Papa dan Mama Bagas setuju, bahkan Papa Bagas berjanji akan membantu untuk memblokir akses Visa Thalita ke negara tersebut. "Konyol ya Gas kita..." gumam Kara seraya memandang ke sekeliling penthouse. Bagas menoleh, menatap Kara dengan tatapan penuh tanda tanya. "Selama dua tahun pernikahan, kita udah berapa kali pindah rumah, ini penthouse baru di renov terus mau kita tinggalin lagi," tukas Kara setengah tertawa. Bagas ikut mendengus tertawa, "Gak pa pa lah, ikutin insting aja, yang penting happy!" seru Bagas yang sudah merasa sangat yakin dengan keputusannya. Kara mengangguk, "Semoga di tempat yang baru kita bisa lebih bahagia ya Gas..." ucap Kara seraya merangkul leher Bagas dengan kedua tangannya. "Semoga..." sahut Bagas lalu mengecup bibir Kara lembut. *****Sa
"Gas, kamu yakin mau melanjutkan perkara ini?" tanya Kara pelan. Saat itu ia dan Bagas sedang duduk berdua di kitchen bar. Bagas melamun, menatap piring di depannya dengan tatapan kosong. "Saya takut Kar, saya takut dia akan bertindak lebih jauh..." tukas Bagas tanpa menatap Kara. "Kemaren Theo bilang Thalita bisa aja dijerat hukuman sampai lima belas tahun penjara, kamu yakin kamu gak akan merasa bersalah sama dia seumur hidup kamu?" tanya Kara dengan perasaan yang campur aduk. Bagas mendongak, "Memangnya kamu bisa memaafkan?" Bagas balik bertanya, matanya menatap Kara dalam. "Saya lebih baik memaafkan Thalita dari pada harus ngeliat kamu berkubang dalam rasa bersalah seumur hidup kamu," tukas Kara, tak ada keraguan di matanya. "Kamu yakin Kar? Dia gila Kar, dia bisa bertindak nekat!" seru Bagas, bayangan Thalita yang histeris kemarin melintas di benaknya. "Saya justru mau tanya sama kamu, kamu yakin setelah menjebloskan Thalita ke penjara lagi untuk waktu yang lama kamu bisa hi
"Nemuin Thalita?!" tanya Kara dengan wajah terkejut. Bagas mengangguk pelan. Saat itu mereka sudah berada di Penthouse yang interiornya sudah selesai dirubah menjadi lebih ramah anak. "Emang gak bahaya?" tukas Kara dengan wajah gamang. Bagas menghela nafas panjang, "Kar, dia jadi kayak gitu karena saya..." gumam Bagas sambil menunduk. Dua tahun yang lalu di positano, Bagas berjanji akan kembali ke Thalita setelah kontrak pernikahannya dengan Kara selesai. Thalita dengan segala kehidupan bebasnya mempercayakan hatinya kepada Bagas, satu-satunya pria di dunia yang pernah dicintainya, tapi Bagas mengecewakannya. Seumur hidup Thalita ia tidak pernah dicampakkan. Puluhan kali berpacaran dengan banyak pria, Thalita adalah pihak yang selalu mencampakkan. Namun Bagas merubah semuanya. Bagas menyakitinya dan meninggalkannya tepat di saat ia memilih untuk mempercayakan hidupnya pada Bagas. Tak ada lagi yang tersisa bagi Thalita, bagi Thalita hidupnya berakhir tepat saat Bagas memilih untuk