Beranda / Romansa / INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak) / Chapter 25 Pembatalan Perceraian

Share

Chapter 25 Pembatalan Perceraian

Penulis: Azeela Danastri
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Abraham melambatkan langkah begitu dekat dengan ruang tempat Intan di rawat dan bertemu dengan CS yang sedang membersihkan ruangan tesebut.

“Istri saya mana ya, Mbak?” tanyanya kebingungan, keringat dingin sudah mulai membasahi punggung. Panik jelas, serta penasaran di mana gerangan sang istri apalagi orang yang ia suruh menjaga saat ia pulang semalam juga tak nampak batang hidungnya.

“Sudah pindah rumah sakit, Pak.”

Abraham kaget setengah mati, ini baru hari kedua dan seingatnya saat ia semalam meninggalkan Intan. Wanita yang melalui tahap perceraian dengannya itu masih belum sadarkan diri setelah operasi.

“Pindah ke mana?”

“Waduh, kurang tahu saya. Bisa ditanyakan ke bagian informasi, Pak. Maaf permisi.”

Abraham menepi memberi  jalan untuk dua orang di depannya mendorong troli laundry pergi. Setelah bisa menguasai diri dari rasa t

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 26 Biasa Ingkar Jani

    Cuaca hari ini terasa sangat hangat, matahari masih dengan setia menerangi walau kini jam sudah menunjukkan pukul 17.30 menit. Jalan kampung tepat di depan rumah Intan pun masih ramai orang berlalu lalang, bahkan anak-anak tetangga yang mulai banyak bermain petasan pun masih berkeliaran. Sudah terhitung dua bulan lamanya Abraham kembali ke kota dan belum menampakkan batang hitungnya lagi. Terakhir mereka berkomunikasi adalah seminggu setelah ia kembali ke kota.“Maaf Sayang aku tidak bisa kembali secepat yang aku janjikan. Padahal aku ingin sekali membawamu segera ke kota dan supaya kamu lebih mudah untuk terapi,” janji Abraham kala itu.“Kamu ‘kan sudah biasa ingkar janji.”“Bukan. Aku harus menyelesaikan sesuatu demi masa depan kita. Kamu tidak perlu bekerja, Kamu sudah buktikan sendiri bukan? Kalau semua yang kamu lakukan di sana mendapatkan pertentangan oleh warga.”“Menjad

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 27 Hati yang terkoyak

    Intan dan yang lainnya sampai di rumah tetapi suasana sudah sepi. Hamdani duduk di ruang tamu seraya memegang sebuah dokumen. Ia terus menyuruh semuanya duduk bersama.“Ke mana orang-orang, Pak?” tanya Intan.“Sudah pulang.”“Lalu itu apa?” tanyanya dengan tidak sabar.“Ini adalah surat kesepakatan warga. Kamu harus pindah dari desa ini.”“Maskudnya Mbak Intan diusir?!” tanya Noto kaget.“Iya To.”“Loh, kok gitu?! Memang salah apa? Apa karena berhenti kerja, ‘kan memang kemauan sendiri,” ujar Noto.“Lagi pula fitnah berkedok gosip itu juga sangat terlalu, jelas-jelas tidak benar,” tambah Izar.Hamdani menghela napas Panjang. “Bapak juga bingung kenapa orang-orang berpikiran pendek.”“Demi kebaikan sih memang kamu mending pindah, Mbak,” ujar Izar.“Duit dari mana untuk pindah?&r

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Pulang Ke Rumahku

    “Benar Dokter, Teteh saya sudah sembuh?”“Benar Pak Ham.”“Kenapa sampai hampir 30 tahun baru sembuh?” tanya Hamdani kebingungan. Saat ini ia sedang menghadap ke Dokter Kejiwaan di Panti Rehabilitasi Kejiwaan.“Kita nggak tahu rahasia Tuhan. Saya hanya seorang Dokter, saya perantara sementara kesembuhan sendiri adalah hak prerogative Tuhan tentu saja. Suatu mukjizat untuk Nyonya Ajeng Rahwani bisa sembuh.”“Kalau boleh tahu progresnya bagaimana sampai akhirnya bisa dinyatakan sembuh?”“Ada seseorang yang sering menjenguk ke sini. Tapi beliau tetap ingin bertemu anaknya. Itulah sebabnya saya menghubungi Bapak.”“Kenapa selama ini kalian nggak kasih tahu saya kalau ada orang lain yang menjenguk Teteh saya, Dok?”Dokter Teguh menundukkan kepalanya. Ia sejujurnya merasa bersalah juga bagaimanapun Hamdani selaku keluarga kandung pasien seharusnya yang paling berhak menentukan siapa saja yang bisa membesuk Kakak Perempuannya.

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Sama-sama Tahu

     “Intan anakku,” jawab Hamdani.“Anakmu? Bukannya Risa, namanya?” tanya Ajeng kembali memastikan mencocokan dengan ingatannya yang mulai membaik.“Risa dan Intan.”Ajeng menggeleng dan tersenyum tipis. “Kita sama-sama tahu Hamdani. Kamu hanya dikaruniai satu anak. Intan pasti anakku, bukan? Kamu akhirnya menemukan dia.”Hamdani dan Aminah lalu terduduk di lantai. Terpekur dengan bahu merosot tak berani beradu pandang kepada Ajeng dan Wira.Ajeng dan Wira pun kaget dengan tingkah keduanya. “Ada apa ini?” Wira paham, jika Intan adalah anak Ajeng sudah pasti itu juga adalah anaknya. Berapa usianya 27 tahun?Hamdani dan Aminah masih terdiam.“Ada apa? Katakan, jangan membuat bingung kami,” ujar Ajeng yang kebingungan.“Hamdan tolong jawab, Tetehmu. Kamu nggak mau dia bingung lagi ‘kan?”Hamdani menangkup kedua tangan di depan dada. “Maaf Teh, aku sudah lama menemukan tapi aku juga teledor. Banyak

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Bujukan Wira

    Kelima orang dewasa dalam ruang tamu itu saling melempar pandangan dengan kekagetan yang tidak ditutup-tutupi. Keterkejutan yang terlihat pada selebar wajah mereka masing-masing dengan berbagai asumsi yang berbeda.“Dokter kok, bisa di sini dan kenal sama Bapak-Ibu?” tanya Intan lagi setelah membagi minuman dan duduk di seberang mereka semua.Asna muncul tak lama kemudian membawa pisang dan singkong goreng dengan parutan keju diatasnya dan sepuluh susun piring lepek kecil sekaligus garpu kecil.“Mari silakan di makan dan minum. Sebentar lagi hujan turun. Enak kalau jam segini ngemil. Saya masih masak untuk makan malam,” ujar Intan ceria entah mengapa melihat keberadaan Dokter Wira di sini suasana hatinya yang mendung menghilang begitu juga mual yang dirasakannya.“Namamu Intan?” tanya Ajeng dengan suara lembut keibuan. Sementara Wira dengan kesadaran baru bahwa pasien yang selama ini ia tangani tak lain adalah buah hatinya membuat tak ha

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   SEDANG DIHAKIMI

    “Benar itu, Nak?” tanya Wira menatap Intan dengan intens. Intan yang selalu merasa segan sejak kasus sakitnya dulu ditangani oleh Wira kini semakin merasa segan dan ada rasa tidak nyaman disamping rasa malu serta rasa—bersalah. Kesadaran itu membuat Intan kini menunduk, bagaimana bisa dirinya merasa bersalah dengan ditanyai oleh orang yang sama sekali tidak ada hubungan darah dengannya sementara orangtuanya sendiri saja memutus hubungan—benar-benar tidak peduli dengan keadaanya.Aminah baru mengangkat bokongnya untuk mendekati Intan, menguatkan keponakkannya yang seolah sedang dihakimi saat ini karena jelas suara Wira lebih tinggi lebih seperti teguran daripada hanya rasa terkejut. Namun belum juga dirinya meluruskan tubuh Ajeng sudah lebih dulu duduk merapat di sisi Intan dan merengkuh bahunya. “Jangan takut sama, Papa,” ujarnya lembut dan seketika mata Intan membulat dan menoleh ke arah Ajeng. Ajeng yang awalnya tadi spontan menanyakan soal kehamilan Intan sejujurnya hanya ingin t

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   TUMBANG DISAAT YANG TIDAK TEPAT

    Risa menggigit bibir bawahnya dengan gemas. Sudah lebih dari sepuluh kali dirinya mencoba menghubungi nomor Bu Lurah tetapi tak sekalipun mendapat sabutan. Padaha jelas sabungannya sangat aktif.Asna mendekati Risa yang duduk di balik meja kerja Intan. “Gimana?” Risa menggeleng. “Aku datangi rumahnya ya?”Risa mendongak bersitatap dengan Asna. “Jangan Teh. Mantan suamimu ‘kan kerja di sana.” Risa tidak mau nanti Asna ikut terkena getahnya jika sampai ketahuan membantu Intan dan keluarganya.“Lalu gimana? Kalau telpon Pak Lurah saja?”Risa kembali menggeleng. “Takut,” ujarnya dengan raut cemberut menahan tangis. Ia sangat kasihan dengan keadaan Intan saat ini yang pasti sangat membutuhkan dukungan dari Abraham. Ah, pria itu. Ke mana sebenarnya apa benar tidak mau bertanggungjawab? Padahal saat terkena paku saja, Intan menjaganya di rumah sakit dan dirinya merengek seperti anak kecil saat mau ditinggal Intan.“Kang Dharma bagimana?”“Sama nggak ada yang angkat. Apa mereka benar-benar su

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   MAS BRAM DI MANA?

    Aris sudah lebih dari tiga jam mondar-mandir di ruang tamu. Boy sama sekali belum memberikan kabar apapun bahkan ponsel anak buahnya itu tidak dapat dihubungi. Apa yang sebenarnya terjadi? Masa mencari satu orang saja sangat sulit, bahkan Aris sudah bisa memastikan bahwa Abraham tidak mungkin bisa bergerak karena sudah sangat lemah. Apa benar dia sudah disantap Macan atau ular seperti kelakarnya?Aris kembali meremas rambutnya dengan jengkel, menyesali kenyataan kenapa sang ibu baru mengabari sekarang bukan kemarin-kemarin. Jika sampai seperti ini memang dirinya yang susah. Namun ya bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Dapat menculik Abraham dan menyiksanya sedemikian rupa buktinya bisa membuatnya puas. Ada kepuasan batin tersendiri menyiksa pria bajingan yang memperlakukan Intan seperti keset usang. Memperlakukan wanita pujaannya itu seperti budak. Lalu kini bisa-bisanya mendekati Intan kembali dan wanita itu seperti budak pelacur dengan suka rela membuka kakinya demi Abraham. S

Bab terbaru

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   ABRAHAM BINGUNG

    “Rangga?” Abraham dengan suara serak kembali bertanya-tanya dengan yang dikatakan orang-orang di depannya. Kembali terucap pertanyaan tentang nama itu, bukan dirinya pastinya tetapi dirinya pun tidak asing dengan nama itu. Abraham berusaha mengingat-ingat siapa kira-kira orang yang memiliki nama itu diantara sepupu-sepupunya tetapi semakin keras ia berusaha mengingat semakin sakit kepala dibuatnya.Mereka orang-orang asing yang baru ia temui tapi rasanya ia seperti bukan orang asing. Apalagi pemilik bola mata indah yang berdiri di sebelah pria yang memiliki kulit lebih gelap dan mata hitam setajam elang, tampan seperti dirinya—nyaris sama dengannya tetapi jelas lebih muda.Apalagi pria tua yang berada di sebelah orang yang ia tebak adalah serorang Dokter, walau jelas tidak memakai seragam kebesaran mereka. Wajahnya mirip dengan sang ayah, Yusuf.“Bagaimana perasaanmu? Adikmu bilang kalau kamu tadi kesakitan?” tanya Abah Yayud

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   MAS BRAM DI MANA?

    Aris sudah lebih dari tiga jam mondar-mandir di ruang tamu. Boy sama sekali belum memberikan kabar apapun bahkan ponsel anak buahnya itu tidak dapat dihubungi. Apa yang sebenarnya terjadi? Masa mencari satu orang saja sangat sulit, bahkan Aris sudah bisa memastikan bahwa Abraham tidak mungkin bisa bergerak karena sudah sangat lemah. Apa benar dia sudah disantap Macan atau ular seperti kelakarnya?Aris kembali meremas rambutnya dengan jengkel, menyesali kenyataan kenapa sang ibu baru mengabari sekarang bukan kemarin-kemarin. Jika sampai seperti ini memang dirinya yang susah. Namun ya bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Dapat menculik Abraham dan menyiksanya sedemikian rupa buktinya bisa membuatnya puas. Ada kepuasan batin tersendiri menyiksa pria bajingan yang memperlakukan Intan seperti keset usang. Memperlakukan wanita pujaannya itu seperti budak. Lalu kini bisa-bisanya mendekati Intan kembali dan wanita itu seperti budak pelacur dengan suka rela membuka kakinya demi Abraham. S

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   TUMBANG DISAAT YANG TIDAK TEPAT

    Risa menggigit bibir bawahnya dengan gemas. Sudah lebih dari sepuluh kali dirinya mencoba menghubungi nomor Bu Lurah tetapi tak sekalipun mendapat sabutan. Padaha jelas sabungannya sangat aktif.Asna mendekati Risa yang duduk di balik meja kerja Intan. “Gimana?” Risa menggeleng. “Aku datangi rumahnya ya?”Risa mendongak bersitatap dengan Asna. “Jangan Teh. Mantan suamimu ‘kan kerja di sana.” Risa tidak mau nanti Asna ikut terkena getahnya jika sampai ketahuan membantu Intan dan keluarganya.“Lalu gimana? Kalau telpon Pak Lurah saja?”Risa kembali menggeleng. “Takut,” ujarnya dengan raut cemberut menahan tangis. Ia sangat kasihan dengan keadaan Intan saat ini yang pasti sangat membutuhkan dukungan dari Abraham. Ah, pria itu. Ke mana sebenarnya apa benar tidak mau bertanggungjawab? Padahal saat terkena paku saja, Intan menjaganya di rumah sakit dan dirinya merengek seperti anak kecil saat mau ditinggal Intan.“Kang Dharma bagimana?”“Sama nggak ada yang angkat. Apa mereka benar-benar su

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   SEDANG DIHAKIMI

    “Benar itu, Nak?” tanya Wira menatap Intan dengan intens. Intan yang selalu merasa segan sejak kasus sakitnya dulu ditangani oleh Wira kini semakin merasa segan dan ada rasa tidak nyaman disamping rasa malu serta rasa—bersalah. Kesadaran itu membuat Intan kini menunduk, bagaimana bisa dirinya merasa bersalah dengan ditanyai oleh orang yang sama sekali tidak ada hubungan darah dengannya sementara orangtuanya sendiri saja memutus hubungan—benar-benar tidak peduli dengan keadaanya.Aminah baru mengangkat bokongnya untuk mendekati Intan, menguatkan keponakkannya yang seolah sedang dihakimi saat ini karena jelas suara Wira lebih tinggi lebih seperti teguran daripada hanya rasa terkejut. Namun belum juga dirinya meluruskan tubuh Ajeng sudah lebih dulu duduk merapat di sisi Intan dan merengkuh bahunya. “Jangan takut sama, Papa,” ujarnya lembut dan seketika mata Intan membulat dan menoleh ke arah Ajeng. Ajeng yang awalnya tadi spontan menanyakan soal kehamilan Intan sejujurnya hanya ingin t

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Bujukan Wira

    Kelima orang dewasa dalam ruang tamu itu saling melempar pandangan dengan kekagetan yang tidak ditutup-tutupi. Keterkejutan yang terlihat pada selebar wajah mereka masing-masing dengan berbagai asumsi yang berbeda.“Dokter kok, bisa di sini dan kenal sama Bapak-Ibu?” tanya Intan lagi setelah membagi minuman dan duduk di seberang mereka semua.Asna muncul tak lama kemudian membawa pisang dan singkong goreng dengan parutan keju diatasnya dan sepuluh susun piring lepek kecil sekaligus garpu kecil.“Mari silakan di makan dan minum. Sebentar lagi hujan turun. Enak kalau jam segini ngemil. Saya masih masak untuk makan malam,” ujar Intan ceria entah mengapa melihat keberadaan Dokter Wira di sini suasana hatinya yang mendung menghilang begitu juga mual yang dirasakannya.“Namamu Intan?” tanya Ajeng dengan suara lembut keibuan. Sementara Wira dengan kesadaran baru bahwa pasien yang selama ini ia tangani tak lain adalah buah hatinya membuat tak ha

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Sama-sama Tahu

     “Intan anakku,” jawab Hamdani.“Anakmu? Bukannya Risa, namanya?” tanya Ajeng kembali memastikan mencocokan dengan ingatannya yang mulai membaik.“Risa dan Intan.”Ajeng menggeleng dan tersenyum tipis. “Kita sama-sama tahu Hamdani. Kamu hanya dikaruniai satu anak. Intan pasti anakku, bukan? Kamu akhirnya menemukan dia.”Hamdani dan Aminah lalu terduduk di lantai. Terpekur dengan bahu merosot tak berani beradu pandang kepada Ajeng dan Wira.Ajeng dan Wira pun kaget dengan tingkah keduanya. “Ada apa ini?” Wira paham, jika Intan adalah anak Ajeng sudah pasti itu juga adalah anaknya. Berapa usianya 27 tahun?Hamdani dan Aminah masih terdiam.“Ada apa? Katakan, jangan membuat bingung kami,” ujar Ajeng yang kebingungan.“Hamdan tolong jawab, Tetehmu. Kamu nggak mau dia bingung lagi ‘kan?”Hamdani menangkup kedua tangan di depan dada. “Maaf Teh, aku sudah lama menemukan tapi aku juga teledor. Banyak

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Pulang Ke Rumahku

    “Benar Dokter, Teteh saya sudah sembuh?”“Benar Pak Ham.”“Kenapa sampai hampir 30 tahun baru sembuh?” tanya Hamdani kebingungan. Saat ini ia sedang menghadap ke Dokter Kejiwaan di Panti Rehabilitasi Kejiwaan.“Kita nggak tahu rahasia Tuhan. Saya hanya seorang Dokter, saya perantara sementara kesembuhan sendiri adalah hak prerogative Tuhan tentu saja. Suatu mukjizat untuk Nyonya Ajeng Rahwani bisa sembuh.”“Kalau boleh tahu progresnya bagaimana sampai akhirnya bisa dinyatakan sembuh?”“Ada seseorang yang sering menjenguk ke sini. Tapi beliau tetap ingin bertemu anaknya. Itulah sebabnya saya menghubungi Bapak.”“Kenapa selama ini kalian nggak kasih tahu saya kalau ada orang lain yang menjenguk Teteh saya, Dok?”Dokter Teguh menundukkan kepalanya. Ia sejujurnya merasa bersalah juga bagaimanapun Hamdani selaku keluarga kandung pasien seharusnya yang paling berhak menentukan siapa saja yang bisa membesuk Kakak Perempuannya.

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 27 Hati yang terkoyak

    Intan dan yang lainnya sampai di rumah tetapi suasana sudah sepi. Hamdani duduk di ruang tamu seraya memegang sebuah dokumen. Ia terus menyuruh semuanya duduk bersama.“Ke mana orang-orang, Pak?” tanya Intan.“Sudah pulang.”“Lalu itu apa?” tanyanya dengan tidak sabar.“Ini adalah surat kesepakatan warga. Kamu harus pindah dari desa ini.”“Maskudnya Mbak Intan diusir?!” tanya Noto kaget.“Iya To.”“Loh, kok gitu?! Memang salah apa? Apa karena berhenti kerja, ‘kan memang kemauan sendiri,” ujar Noto.“Lagi pula fitnah berkedok gosip itu juga sangat terlalu, jelas-jelas tidak benar,” tambah Izar.Hamdani menghela napas Panjang. “Bapak juga bingung kenapa orang-orang berpikiran pendek.”“Demi kebaikan sih memang kamu mending pindah, Mbak,” ujar Izar.“Duit dari mana untuk pindah?&r

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Chapter 26 Biasa Ingkar Jani

    Cuaca hari ini terasa sangat hangat, matahari masih dengan setia menerangi walau kini jam sudah menunjukkan pukul 17.30 menit. Jalan kampung tepat di depan rumah Intan pun masih ramai orang berlalu lalang, bahkan anak-anak tetangga yang mulai banyak bermain petasan pun masih berkeliaran. Sudah terhitung dua bulan lamanya Abraham kembali ke kota dan belum menampakkan batang hitungnya lagi. Terakhir mereka berkomunikasi adalah seminggu setelah ia kembali ke kota.“Maaf Sayang aku tidak bisa kembali secepat yang aku janjikan. Padahal aku ingin sekali membawamu segera ke kota dan supaya kamu lebih mudah untuk terapi,” janji Abraham kala itu.“Kamu ‘kan sudah biasa ingkar janji.”“Bukan. Aku harus menyelesaikan sesuatu demi masa depan kita. Kamu tidak perlu bekerja, Kamu sudah buktikan sendiri bukan? Kalau semua yang kamu lakukan di sana mendapatkan pertentangan oleh warga.”“Menjad

DMCA.com Protection Status