PART 16Kami semua masih hening di dalam ruang tamu. Sofa murahan yang dibilang Mbak Niken, terasa penuh. Dika dan Zaki, kami minta untuk bermain di luar. Kami nggak mau, anak-anak mendengar masalah ini. Nggak bagus untuk perkembangannya."Man, ini Niken mau ngomong!" ucap Ibu membuka percakapan. Semua mata seolah menoleh ke arah Mbak Niken. Mau ngomong apa dia? Mau ngomong saja minta di persilahkan dulu sama mertua.Jemari Mbak Niken terlihat saling bertautan. Mungkin dia deg-degan. Atau bisa jadi dia lagi menahan rasa gengsinya. Atau keringat dingin sedang keluar? Entahlah."Emmm, Man ... Ka ... sebelumnya aku minta maaf. Aku mau minta tolong kepada kalian, untuk mengambil alih hutang Bank yang kami ambil," ucap Mbak Niken akhirnya. Walau dengan nada yang terbata-bata.Aku meneguk ludah. Kemudian menghela napas sejenak. Kemudian beradu pandang dengan Mas Firman. Mas Firman terlihat memejamkan mata sejenak. Kemudian mengusap pelan wajahnya, yang masih terlihat kusut.Ya, bagi kami s
Part 17Bapak sudah duduk diantara kami. Hati ini sedikit lega, karena nampaknya, Bapak ada bersama anak bungsunya. "Bapak ini gimana?" tanya Ibu seolah nada pertanyaannya menunjukan ketidaksukaan."Gimana? Ibu yang gimana?" tanya Bapak. Ibu terlihat mengerutkan kening. Aku masih memilih posisi aman. Diam."Andra ini dalam masalah! Kalau bukan saudaranya yang bantu, siapa lagi?" ucap Ibu, jelas sekali dalam pengamatanku. Ibu berat kepada anak sulungnya."Iya, Bapak tahu. Tapi, setelah Bapak pikir-pikir, kita ini nggak adil dengan Firman!" balas Bapak. Lagi, aku lihat keningnya semakin melipat. Mbak Niken aku lihat wajahnya semakin pucat. Entahlah, mungkin karena dia belum sembuh total, atau pucat karena akan hancur sebentar lagi."Nggak adil gimana? Bapak ini ada-ada saja!" ucap Ibu. Bapak terlihat mengusap wajah pelan."Berkali-kali Firman dia bilang tak mampu, tapi ibu tak mendengarkan keluhnya! Adilkah seperti itu? Dan kamu Andra, harusnya kamu berpikir panjang, jika akan berurus
PART 18"Mas, aku lihat mereka dulu, ya! Takut ada apa-apa," pamitku. Seraya ingin beranjak. Tapi, Mas Firman menarik tanganku cepat."Jangan biarkan saja! Mereka sudah tua ini. Mereka pasti bisa mikir mana yang baik dan buruk," ucap Mas Firman. Seketika aku mengangguk pelan. Ikut duduk di sebelahnya lagi. Tak berani membantah juga. Demi kebaikan rumah tanggaku sendiri.Suara lantang masih terus terdengar di telinga. Ya Allah ... pasti Mak Giyem dengar, dan akan menjadi gosip yang hangat, di desa ini."Aku nggak mau hidup kere denganmu! Apalagi kalau sampai serumah dengan orang tuamu yang sok bijak itu. Dan aku juga nggak mau ngontrak. Malu-maluin! Aku ini menikah dengan tujuan ingin hidup enak. Nggak susah kayak gini!" sungut Mbak Niken, masih terdengar sampai rumahku. Karena rumah kami memang berjejeran.Aku melihat eksrpesi suamiku. Wajahnya nampak memerah. Entahlah, mungkin dia murka. Murka? Bisa jadi, karena ucapan Mbak Niken memang sangat amat ngeselin. Membuat sesak dada, jik
Part 19Saking takutnya, Zaki malam ini tidur dirumahku, sekamar dengan Dika. Entah sudah berapa kali, Mbak Niken atau Mas Andra bergantian datang, menjemput anak semata wayang mereka.Tapi, tiap kali di jemput, Zaki memelukku atau memeluk Oomnya. Dia nampaknya takut kena pukul lagi jika pulang.Yah, walau Mbak Niken atau Mas Andra, jemput Zaki dengan raut wajah yang tak mengenakan. Tapi, tetap saja aku tak tega dengan Zaki. Dia hanya anak kecil, yang tak tahu apa-apa.Akhirnya, mungkin mereka lelah. Tak datang lagi sampai pagi. Astaga ... anaknya sendiri aja enggan, apalagi orang lain? Selepas subuh, seperti biasa, aku buatkan minuman hangat untuk semuanya. Pagi ini nambah satu gelas. Ada Zaki diantara kami.Mas Firman sedang memanasi motornya. Rutinitas di pagi hari. Semoga hari ini suasana tenang. Tak ada kegaduhan, karena panas hati dan pikiran.Apalagi, aku banyak diamnya saat adu mulut. Menjawab kalau mereka sudah melampui batas. Karena aku percaya dengan Mas Firman. Dia past
PART 20kami semua sudah selesai sarapan. Piring-piring kotor bekas kami sarapan, sudah aku bereskan. Dika dan Zaki nampak kompak. Lebih tepatnya, Zaki banyak mengalah. Mungkin merasa bukan dirumahnya.Selesai sarapan, aku meraih baju-baju yang masih menumpuk di ranjang. Baju-baju yang belum di lipat. Yah, seperti itulah pekerjaan rutinitas Ibu rumah tangga. Tak ada kata libur.Kalau Mas Firman, sabtu dan minggu waktu libur kerja. Tapi, kalau ibu rumah tangga tak ada waktu liburnya. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, pekerjaan rumah seolah tak ada ujungnya. Semua minta di pegang dan di perhatikan.Tapi, aku sangat menikmati peran ini. Peran istri sekaligus Ibu. Memiliki suami baik dan pengertian seperti Mas Firman, cukup membuatku bahagia. Ditambah hadirnya Dika, yang semakin melangkapi kebahagiaan ini."Mas.""Iya?""Apa idenya? Aku penasaran," tanyaku. Kami ada di ruang TV. Dika dan Zaki mainan di teras. Entah mainan apa mereka. Pokok telinga ini, tak mendengar tangis dan tengkar
Part 21Hari minggu pagi."Mas, Sarapan, yok!" ajakku kepada suami tercinta. Yang di ajak mengulas senyum hangat. Kemudian terlihat mematikan rokoknya.Ya, Mas Firman memang merokok. Tapi, tak kencang. Satu bungkus bisa tiga sampai empat hari. Merokok kalau dia lagi pengen saja. "Ayok," balasnya. Seraya beranjak."Dika! Sarapan, Nak!" titahku kepada anak lanang."Iya, Ma!" balasnya sedikit berteriak. Karena dia lagi di depan. Zaki sudah mau pulang. Kemarin di jemput oleh mamanya. Kami sarapan di meja makan. Suami dan anak, terlihat antusias untuk sarapan. Menu yang aku sajikan pagi ini, daun ubi santan, tempe goreng dan sambal. Walau masih kecil, Dika sudah suka pedas.Kami saling diam. Menikmati sarapan pagi. Dika aku lihat berkali-kali mengambil tempe goreng. Ya, karena dia memang suka. *********Selesai sarapan, aku menyapu teras depan. Aku menoleh ke arah rumah Mbak Niken. Sepi, pintunya juga masih tutup. Belum bangun? Atau mereka pergi? Entahlah.Aku terus melanjutkan pekerja
Part 22"Maaf, Bu Rika. Kami juga nggak tahu mereka ada di mana!" ucap Mas Firman. Aku masih menata hati, yang seketika merasa panas dan sesak."Masa' iya saudara nggak tahu, saudaranya ada di mana? Pasti kalian sekongkol!" balas Bu Rika. Seketika yang di dalam sini ingin meledak. Aku tahan mati-matian. Tangan ini menekan dada yang bergemuruh hebat. Agar bisa terkontrol. Karena rasanya benar-benar ingin memaki dengan kasar. Sabar Eka! Sabar!"Maaf, Bu. Apa untungnya buat kami, kalau ada persengkokolan?" tanya balik Mas Firman. Jujur sumpah aku emosi parah. Tapi, masih terus berusaha mengunci emosi. Menekan lisan agar tak berucap kasar. "Ya, siapa tahukan? Namanya juga saudara! Saling menjaga dan menutupi," balas Bu Rika dengan bibir mencebik. Seolah tak percaya dengan apa yang kami katakan.Benar kata orang. Jika ingin tahu karakter seseorang, maka berurusanlah dengan uang. Ya, contohnya Bu Rika ini. Padahal bukan aku dan Mas Firman yang minjam uangnya. Tapi, seolah marahnya kepada
Part 23"Ibu ini kenapa selalu menyalahkanku?" ucap Mas Firman, saat mendengar ocehan ibu. Mungkin dia geram. Soalnya aku sendiri sangat geram. Merasa semakin di sudutkan."Kalau nggak nyalahin kamu, nyalahin siapa lagi? Faktanya Andra pergi! Dan siapa yang akan nanggung utang mereka semua? Stres Ibu ditagih orang terus! Malu juga!" sungut Ibu. Dengan raut wajah tak suka."Ya, Mas Andra lah yang bayar hutang dia, masa' aku? Aku loo nggak ikut merasakan uang itu! Kok, aku yang di kejar-kejar!" sungutku. Ibu semakin menajamkan sorot matanya."Ternyata bener kata Andra. Kamu sekarang berubah. Sudah tak perduli lagi dengan saudara! Hanya mementingkan diri sendiri! Tak ada rasa kasihan dengan kakakmu!" ucap Ibu semakin menghujam jantung rasanya."Jadi menurut kalian aku berubah? Tapi, Mas Andra tak berubah? Dia jelas-jelas kabur meninggalkan hutang, dan bikin pusing saudara dan semuanya. Jadi menurut Ibu hanya aku yang berubah? Mas Andra nggak?" tanya balik Mas Firman.Ibu nampak terdiam.
Part 66POV ANDRAApa yang aku bilang, kedatangan Mertua semakin membuat hati ini sesak. Gimana nggak sesak? Dia itu sudah minjam dua juta, aku di suruh ganti katanya, tapi travel nggak mau bayar.Itu artinya, dia menyayangkan uang dua juta itu. Semua dia bebankan ke aku. Ya Allah ... mungkin Ibu terlalu di 'lulu' sama Niken dulu itu. Berapapun jumlah nominal yang ibunya mau, selalu Niken turuti, bagaimanapun caranya.Ingin pecah rasanya kepala ini. Emosi luar biasa. Ingin aku terkam perempuan paruh baya bergelar mertuaku itu.Dulu, saat aku masih berduit, tak seperti inilah, rasa kesalku padanya. Karena Niken sendiri juga selalu menutupi sifat yang kurang pas ibunya itu. Sehingga aku gampang juga di perdaya."Ibu bayar saja! Andra nggak ada uang!" ucapku. Ibu terlihat nyengir tak suka."Kok gitu, sih, Ndra? Ibu ini udah jauh-jauh datang ke sini! Cuma ongkos travel saja kamu masalahin? Kalau Ibu punya uang, Ibu nggak minta kamu bayari. Ibu ini memang punya uang, tapi kan uang pinjama
Part 65POV ANDRA"Bu, Bapak," sapaku, saat aku sampai rumah sakit. Mata ini telah melihat kedatangan Bapak dan Ibu. Eka dan Dika juga.Mereka sering mendapatkan perlakuan tak enak dari Niken. Tapi, mereka tetap saja perhatian. Sedangkan keluarga Niken? Seolah menganggap penyakit Niken hanya penyakit sepele. Dan segera sembuh dengan sekali berobat."Ndra," balas Bapak. Aku lihat Ibu diam. Seolah terpaksa datang ke sini. Mungkin Bapak atau Eka yang memaksa. Aku mengulas senyum. Kemudian mencium punggung tangan Bapak dan Ibu. Aku merasakan ada yang berbeda dengan Ibu. Ibu seolah bersikap dingin denganku. Kutarik napas ini. Menghembuskannya perlahan. Menata hati yang terasa bergemuruh hebat.Ibu biasanya orang yang paling care denganku. Tapi semenjak kejadian Niken secara halus mengusir itu, kurasakan Ibu berbeda.Bapak pun juga berbeda. Tapi seolah masih ia tutupi. Eka pun sama. Tapi, seolah mereka masih menutupi. Mungkin tak enak hati denganku. "Ibu ke sini hanya untuk Zaki! Bukan u
PART 64POV ANDRAAku lihat kening Adista melipat, saat aku mengutarakan isi hati untuk meminjam uang. Apakah aku tidak malu? Sungguh aku malu luar biasa. Tapi di tempat yang baru seperti ini, aku mau minjam ke siapa? Hanya Adista dalam pikiranku. Dan menahan rasa malu.Wito? Ah, aku juga tahu kondisi dia. Mau minjam ke toke pasir pun aku tak berani. Karena belum lama kenal juga.Mau minjam Firman, aku juga tak berani. Karena uang dia dulu pernah aku pinjam, dan sampai sekarang belum aku kembalikan.Dulu aku memang punya uang, tapi setiap aku berpikir untuk mengembalikan, selalu didahului Niken untuk belanja baju dan lain sebagainya.Sungguh, entah kenapa aku dulu terlalu nurut dengan Niken. Selalu menuruti keinginannya walau diluar batas mampuku. Kini aku menyesal. Penyesalan memang selalu datang diakhir cerita. Kalau tahu akan seperti ini, tak akan aku mau menuruti, semua keinginan Niken kala itu.Aku lihat Adista masih terdiam. Kemudian merebahkan badannya di sandaran sofa. Entah
PART 63POV EKAKami segera berangkat ke tempat Mas Andra. Dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Mbak Niken memang menyebalkan. Tapi, kami masih punya hati nurani. Walau hati kesal luar biasa karena tingkah lakunya kala itu, tapi hati ini tak menaruh rasa dendam.Ibu akhirnya juga ikut menuju ke rumah Mas Andra. Karena aku yakin, mulut bisa berkata kasar dan tega, tapi isi hati berbeda. Tak ada orang tua yang tega kepada anaknya. Termasuk Ibu mertuaku."Ibu ke sana demi Andra dan Zaki dan Firman pun sudah terlanjur di sana. Juga karena paksaan kalian. Bukan karena Niken." ucap Ibu akhirnya. Walau nada suara itu terdengar berat dan terpaksa. Tapi, aku yakin Ibu memang ingin menemui anak dan menantunya.Pesan singkat yang dikirimkan Mas Firman, mengirimkan foto yang mana keadaan Mbak Niken semakin sekarat. Bahkan terlihat Mbak Niken dibawa ke rumah sakit sudah ditusuk infus. Mungkin Mas Firman yang memaksa membawa Mbak Niken ke rumah sakit. Ya Allah ... Engkau Maha Kaya. Aku yakin
PART 62POV EKAKeadaan Mbak Niken dan Mas Andra benar adanya. Yang dikatakan Mak Giyem tak bohong. Aku telah telponan dengan Mas Firman. Dan sudah mendengar dari Mas Firman bagaimana keadaan mereka sekarang.Dan sekarang, kata Mas Firman kondisi Mbak Niken semakin kritis. Dia pingsan lagi.Jujur saja, ini membuat hatiku tak tenang. Bagaimana mau tenang, mendengar ceritanya saja, hati ini terasa tersayat. Walau aku tahu, dulu Mbak Niken memang sangat menyebalkan.Walau Mbak Niken dulu menyebalkan, tapi tak ada dendam didalam sini. Karena sejatinya Mbak Niken sudah di balas oleh Allah. Mbak Niken sudah mendapatkan karmanya. Ya, tak perlu dibalas, tapi karma memang nyata adanya. Cepat atau lambat.Aku mondar mandir layaknya setrikaan. Karena aku bingung sendiri. Sumpah aku bingung. Mau ke rumah Mertua, aku malas jalan kaki. Karena motor dibawa Mas Firman.Astaga ... kenapa aku tak menelpon Ibu saja? Dalam keadaan bingung, rasanya memang tak bisa berpikir tenang. Tak bisa berpikir jerni
Part 61POV ANDRANiken sudah aku letakan didalam kamar. Kondisinya masih pingsan. Zaki menangis seolah ketakutan. Dalam kondisi seperti ini aku sangat amat kebingungan.Kuraih gawai. Kuutak atik dan sebenarnya tak tahu mau menelpon siapa. Karena pikiran terasa sangat amat kacau.Gawai terus aku scroll, sambil mikir pada siapa aku harus meminta tolong. Akhirnya mata ini tertuju pada nomor kontak Firman.Ya, reflek saja langsung menekan nomor Firman. Dan terhubung.Ya, dalam kondisi seperti ini, tetap lari ke saudara. Malu tak malu. Lebih tepatnya menahan malu.***********Akhirnya Firman bersedia untuk datang. Dan pagi ini, katanya dia sudah berangkat. Firman memang adik yang baik. Aku jadi menyesal dulu aku sering memperlakukan dia hal yang tak pantas antara kakak ke adik.Ya Allah ... karmaMu nyata adanya. Bahkan tak sampai ke anak cucu. Seolah langsung di balas tunai kepada diriku sendiri. Sungguh aku malu dengan perlakuanku dulu. Firman maafkan aku!Niken sudah sadar. Dia pingsan
Part 60POV ANDRA"Kamu ini kenapa, sih, Dek? Aku malu sama Ibu dan Eka!" ucapku kesal dengan Niken.Mumpung Zaki nggak di rumah, ingin aku luapkan semua emosiku. Karena kali ini Niken benar-benar keterlaluan.Zaki keluar sama Adista. Entahlah, semenjak kenal Adista, Zaki lengket dengannya. Mungkin karena Adista sabar dan keibuan. Dan aku tahu, Adista memang suka dan sayang dengan anak kecil. Yang menurutnya, anak kecil itu sangat polos dan jujur."Kamu itu berubah sekarang, Mas. Udah keuangan berubah, sifat juga berubah!" balasnya. Cukup membuatku sangat terkejut.Emosiku semakin naik ke ubun-ubun. Karena ucapan Niken cukup memancing emosiku."Aku berubah? Aku memang selalu salah di matamu! Saat aku masih berjaya pun, aku tak pernah benar di matamu! Tapi, kamu sadar nggak? Kamu intropeksi dirimu nggak? Apakah kamu tak pernah melakukan kesalahan? Harusnya kamu mikir, kalau aku memang berubah, aku berubah karena apa? Kenapa suamimu yang dulu sangat nurut denganmu, sekarang bisa berubah
Part 59POV EKAAku masih sabar menunggu Mak Giyem, yang masih mengatur napasnya, yang terlihat ngos-ngosan. Terlihat seolah sesak napas."Mau aku ambilin minum lagi, Mak?" tanyaku karena kasihan melihatnya. Mak Giyem terlihat menggeleng."Nggak usah. Udah plempoken," jawabnya. Aku mengangguk pelan. Aku biarkan dia yang sedang menata napasnya. Takut malah kebablasan tak bisa napas nanti. Eh,"Firman kerja?" tanya Mak Giyem. "Nggak, dia ijin libur kerja. Sekarang dia menemui Mas Andra," jawabku. Mak Giyem terlihat membulatkan mata."Serius, Firman nemui Andra?" tanya Mak Giyem, seolah memastikan ucapanku."Seriuslah, Mak. Emang kapan aku pernah bohong sama Emak?" tanyaku balik. Mak Giyem terlihat menggigit bibir bawahnya sejenak."Kenapa kamu nggak ikut?" tanya Mak Giyem. Gantian aku yang melipat kening. Kayaknya dia lagi kumat, jiwa keponya. Tapi it's ok. Karena aku juga sudah mulai tumbuh jiwa penasaranku."Aku baru pulang pagi tadi, Mak. Bareng sama mertua. Dan sekarang gantian Mas
PART 58POV EKA"Nggak sudi jenguk Niken lagi! Terserah!" ucap Ibu dengan nada suara tak suka. Ya, selepas subuh kami datang ke rumah Ibu. Mas Firman yang meminta. Kami menyampaikan telpon dari Mas Andra."Kasihan Mas Andra, Bu!" rayu Mas Firman. Ibu terlihat menyeringai kecut. Kemudian membuang muka."Suruh aja mereka menelpon saudara yang dari Niken! Atau suruh orang tua Niken datang! Kenapa minta tolong sini. Jelas-jelas kami udah sampai saja di usir!" sungut Ibu. Masih kekeuh tak mau menemui mereka lagi. Nampakanya ucapa Mbak Niken kemarin, cukup menggores luka dalam di hati Ibu.Kutarik napasku kuat-kuat dan melepaskannya pelan. Badan ini belum ilang capeknya. Bahkan aku belum istirahat. Hanya tidur di dalam mobil saja. Namanya tidur di dalam mobil, saat perjalanan pulang, sama saja bohong. Karena nggak mungkin bisa tidur nyenyak. Hanya tidur-tidur ayam. Sering kebangun, dan hanya meninggalkan rasa pusing saja.Aku lihat Bapak masih sering menguap. Memang masih terlalu pagi dat