Hanya saja, ketika mereka tiba di area parkiran. Ameera menyenggol lengan Sasha ketika tampak seorang lelaki dengan kaca mata tebal sedang berdiri di samping mobilnya. Lengannya dimasukkan ke dalam saku dan tampak dia mengedarkan pandangan. Gaya cool yang menjadi ciri khasnya membuat beberapa orang caddy yang kebetulan menoleh, berbisik-bisik dan turut mengaguminya juga. Dialah Gavin. Sengaja datang ke tempat kerja Sasha dan Ameera demi satu titah lagi, mencari tahu lebih jauh kehidupan Ameera. “Sha itu, jangan-jangan nyariin ponsel,” bisik Ameera. Dia langsung teringat ponsel Gavin yang tertinggal dan belum sempat dikembalikan. “Eh, seriusan itu dia? Mimpi apa aku semalam, ya?” Sasha mengucek mata. Degub dalam dadanya tiba-tiba bertalu lebih cepat dari biasanya. “Duh, aku jadi gak enak. Nanti dikiranya kita gak mau balikin lagi,” bisik Ameera. Kebetulan, keduanya belum sempat mengembalikan ponsel itu karena bentrok dengan jadwal kerja. “Biar Sasha yang selesaikan.” Sasha menepuk
Jika memang berpisah dengannya Ameera bisa lebih bahagia, maka ia akan berusaha ikhlas menjalani. Hanya saja, dia ingin Ameera tahu, perasaannya masih tak berubah, masih sama seperti yang dulu. Jadi, dia mengirim surat itu dan dikirimkan pada alamat tempat kerja Ameera. Ardi tak bisa memaksakan untuk tetap mempertahankan Ameera. Dia ingat betul jika kakaknya memiliki kepribadian psikopat. Bahkan Maria tega membu-nuh anaknya sendiri. Dulu alasannya adalah syndrome baby blues. Itu pula yang Ardi cemaskan. Jika pada anak sendiri saja tega, apalagi hanya pada Ameera. Apalagi percobaan penculikan kala itu, sudah membuat Ardi cukup shock. Ardi mendengar sendiri Maria berbicara dengan Ibunya, kalau akan melakukan segala hal agar Ardi tak jadi menikahi Ameera. Maria sangat patuh pada ibunya, itu pasalnya. “Semoga kamu bahagia, Ra. Perasaan Mas masih tetap sama. Mas rela berkorban demi kebaikanmu.” Ardi mengusap wajah. Dia pun menatap pantulan dirinya di depan cermin. Baju yang dipilihkan i
Beberapa foto pernikahan Ardi dan Safiyya, Ameera terima. Entah kenapa, adik dan kakakknya Ardi seolah belum puas menjejalinya dengan semua ini. Padahal Ameera sendiri sedang belajar ikhlas untuk tak lagi terlibat dalam kehidupan mereka. Ameera sudah terlalu lelah. Sejak kecil, Ameera hanya ingin mendapat pelukan penuh cinta dari sosok ayah dan Ibu yang tak pernah didapatkannya. Ameera terlalu lelah jika harus mempertaruhkan sisa hidupnya yang mulai terasa baik-baik saja demi sebuah hubungan yang perlu rongrongan, karena itu dia melepaskan. Namun ternyata, tak semudah itu. Orang-orang di sekitar Ardi masih kerap mengganggunya. Ameera tak setangguh itu untuk berjalan menerjang badai, tapi kenapa meskipun dia menjauh, mereka masih merecokinya. Ameera sudah lelah, merasa kesepian dan menangis sendirian. Dia benar-benar hanya merindukan sisa hidup yang penuh kedamaian.Ameera pun langsung menghapus semua pesan yang dikirimkan kakaknya Ardi. Karena dia bukan pendendam. Ameera tak suka me
Kadang bertemu tak sengaja di supermarket, ketika sedang olah raga pagi dan juga kadang Ameera hanya melihat mobil Gavin dari kejauhan. “Sha, dia cinta banget sama kamu kali, ya!” oceh Ameera sambil meluruskan kaki di teras kontrakan. Baru saja dirinya dan Sasha melakukan olah raga pagi. “Kenapa gitu, Ra?” Sasha mengelap keringat yang membasahi pelipisnya dan mengatur napas. “Lagi olah raga saja, ketemu lagi sama dia! Kayaknya banyak banget kebetulannya!” oceh Ameera. Sasha hanya tergelak. Sasha pun berpikiran, jika mereka sedang diawasi. Hanya saja, Sasha tahu betul penyebabnya apa. “Sepertinya hasil test DNA-nya akurat, deh! Karena itu, Tuan Rivaldo nyuruh Gavin buat nguntit! Sebentar lagi, kamu akan punya keluarga, Ra … ketemu ayah sama Ibu kamu seperti yang selalu kamu rindukan dulu,” batin Sasha. Dia tanpa sadar tersenyum sendiri.“Woyyy, Sha! Malah senyum-senyum sendiri! Susah ya kalau orang sudah otw bucin!” oceh Ameera. Dia mengira, Sasha sedang memikirkan Gavin.Sasha te
Tuan Rivaldo masih mematung. Ditatapnya selembar kertas hasil test DNA-nya. Dia menatap lembar tersebut dengan hati berdentum-dentum hebat. Ada rasa bahagia yang berlarian dalam sanubarinya. Instingnya tak bisa dibohongi, hasil test kali ini ternyata menunjukkan kesesuaian juga. Gadis yang begitu mirip Arsyla---mantan istrinya, ternyata adalah putrinya. Hanya saja, di balik kebahagiaan itu, Tuan Rivaldo merasa gamang. Bagaimana bisa, ada dua orang yang memiliki hasil test DNA yang cocok dengannya. Dia ingat sekali, Arsyla tak melahirkan bayi kembar. “Gavin, bagaimana bisa ada dua hasil yang sama?” Gavin termenung dan menatap kertas berlabel rumah sakit ternama itu. Dia pun sama, tak habis pikir juga. Bagaimana bisa, hasilnya bisa sama-sama cocok. “Apa perlu kita panggil untuk test ulang?” Gavin mencoba memberikan solusi. Tuan Rivaldo bergeming. Dia menatap Gavin sejenak, lalu menggeleng pelan. “Tidak untuk sekarang! Jemput saja mereka berdua dulu! Suruh si Mbok siapkan k
“Dia sedang sakit, Ra.”“Terus saja kamu bela dia, Sha! Bella! Kamu bahkan gak pernah tahu rasanya jadi aku.”“Ra,”“Tinggalin aku sendiri, Sha!”“Tapi, Ra?” “Pergi, Sha! Please!” Ameera menunduk dan mengatupkan tangan di depan dada. Sasha membuang napas kasar. Dia pun keluar dengan langkah lunglai dan menemui Gavin yang menunggu di teras. “Maaf, Mas! Ameera ….” “Saya sudah mendengarnya!”“Mungkin dia butuh waktu.”“Kita pergi sekarang kalau gitu.” “Hah, pergi ke mana, Mas?” “Tuan Rivaldo belum tahu cerita yang sebenarnya! Saya tak ingin dia sedih. Ikutlah dulu. Berpura-puralah jadi anaknya sementara waktu. Yang dia tahu, nama kamu adalah Ameera dan merupakan peserta dengan hasil test DNA yang cocok pertama kali.” Sasha bergeming. Tawaran macam apa ini? Bahkan dia tak pernah berpikir untuk menipu orang lain. Hanya saja, melihat tatapan Gavin, tentu saja hati Sasha luluh. Sejauh ini, Gavin juga alasannya bersemangat mengunjungi undangan Tuan Rivaldo. Sasha pun mengangguk. Semen
Mobil yang dikendarai Gavin pun tiba. Sasha turun sambil menenteng koper miliknya. Dia mengedarkan pandangan pada sekeliling pekarangan. Halaman luas itu didominasi tanaman sepatu lili dengan bunga putih berderet di sekeliling taman. Beberapa pot bakung merah membuat suasana menjadi cerah. Serta tanaman hias baby blue eyes. Halaman rumah menjadi terlihat segar dan semarak. Juga ada dua pohon mangga madukeraton yang tumbuh rindang berjejer menaungi sebuah bangku taman. Secara keseluruhan, halaman rumah tersebut terkesan asri, segar, ceria dan menyenangkan. Sasha pun berdecak kagum melihat desain depan rumah milik konglomerat ternama itu. Rumah bergaya eropa terlihat artistik dengan padu padan cat berwarna magoni, jendela-jendela bermotif kotak, juga tepi-tepi sudut bangunan terlihat nyentrik dengan sentuhan aksen warna putih. Perhatian Sasha teralihkan ketika Gavin membuka daun pintu dari kayu itu dan menimbulkan suara. “Ayo, masuk! Tuan Rivaldo sudah menunggu!” tutur Gavin tanpa me
“Mulai hari ini, kita akan sering banget ketemu! Biar ajalah dicoret dari kerjaan, yang penting selalu bisa lihat muka kamu,” tukas Sasha sambil tetap tersenyum mengembang.Hanya saja, rasa nyaman itu tak bertahan lama. Tiba-tiba saja pintu kamar yang Sasha tempati terbuka. Lalu muncul dua orang perempuan dengan wajah tak bersahabat. Salah satu dari mereka, langsung menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Keduanya mendekat dan menatap Sasha dengan pandangan penuh ketidak sukaan.“Oh, jadi kamu penipu itu, heh? Berani-beraninya ngaku-ngaku jadi anak kandung Papaku! Katakan, siapa kamu sebenarnya!” cecar gadis yang terlihat masih muda itu. Wajahnya terlihat cantik dan berpoles make up lengkap.Sasha duduk dan menatap kedua perempuan itu dengan pandangan menilai.“Siapa yang penipu? Kalian siapa?” Tanya Sasha santai. “Kenalin, aku Safiyya! Satu-satunya pewaris keluarga Rivaldo! Karena anak Papaku yang asli sudah meninggal! Kami yakin, kamu cuma ngaku-ngaku! Sebelum kami laporkan kepol
“Saya harus extra kuat sekarang, Ra. Ada dua perempuan rapuh di rumah. Beruntung Mbak Maria sudah pindah rumah, Marina juga sudah menikah dan ikut suaminya. Seenggaknya, saya dan Papa berbagi tugas untuk mengawasi dua orang itu saja.” Ameera mengangguk-angguk paham. Pantas saja, Ardi tampak jauh cepat lebih tua. Rupanya beban hidup yang dialaminya cukup membuat Ameera turut prihatin.“Salam buat keluarga, ya, Mas! Maaf gak bisa ngobrol lama, ada acara lagi setelah ini.” “Iya, Ra. Sukses terus, ya! Seenggaknya saya bangga pernah menjadi orang yang berarti dalam hidup kamu, meski itu dulu.” Ardi tersenyum kecut dan bicara lirih. Sorot matanya tetap menatap Ameera dengan pandangan yang masih sama, seperti dulu.“Ya, Mas!” Ameera tersenyum, lalu berpamitan dan meninggalkan Ardi yang mengusap rambutnya yang sudah ramai ditumbuhi uban.***Setelah kegiatan perusahaan banyak diambil alih kembali oleh Ameera. Perlahan kesibukkan Gavin mulai terbagi lagi. Kini, dia memiliki sedikit waktu lon
Tuan Rivaldo langsung terdiam ketika mendengar persyaratan yang disampaikan Arsyla. Bahunya melorot, lalu dia meminta Parjo mendorong kursi rodanya kembali ke teras menemani Ameera. Selera makannya mendadak menguap begitu saja.“Mama kamu itu, Ra. Apa gak kasihan sama Papa? Masa iya ngasih syarat diluar nalar kayak gitu.” “Hah, syarat apa, Pa?” Ameera yang baru selesai membalas email bertanya tanpa menoleh pada sang Papa. “Masa iya, dia bilang … Papa jangan pernah menemui dia lagi selama setahun kalau mau dipertimbangkan balikan lagi. Mana mungkin bisa gak ketemu, Papa ‘kan pasti ke sini tiap hari.” Ameera terkekeh, lalu dia berbisik ke telingan Tuan Rivaldo. Lelaki paruh baya itu tampak menautkan alis. Lalu setelahnya menatap Ameera sambil tersenyum sumringah.“Oke, Papa temuin mama kamu dulu! Papa sanggupin saja, ya! Kamu pinter sih, Ra. Papa ‘kan bisa temuin kamu di kantor, jadi gak akan ketemu Mama kamu, walau berat, sih! Setahun, Ra,” tutur Tuan Rivaldo dan segera beranjak ke
Kabar kehamilan Ameera diterima dengan suka cita. Arsyla memeluk haru putri semata wayangnya dengan buncah bahagia. Bahkan, demi memastikan Ameera cukup istirahat dan terjaga pola makannya. Arsyla memutuskan untuk tinggal sementara waktu di kediaman putrinya itu. Aksa merasa senang, setidaknya ditengah kesibukannya, sang istri ada yang memberi ekstra perhatian. Hanya saja, mau tak mau, Gavin yang kini menjadi tumbal. Karena kehamilan Ameera, rencana bulan madunya yang awalnya akan ke Bali dalam beberapa pekan, harus dibatalkan. Aksa meminta Tuan Rivaldo agar Ameera tak terlalu menerima beratnya beban pikiran. Alhasil, Gavin pun bisa memakluminya. Beruntung, Sasha bukan perempuan dengan tipe manja. “Gak apa, kok, Mas! Bulan madu bisa di mana saja! Di kantor juga bisa,” tukas Sasha sambil mengerling jahil. Dia sedang mengeringkan rambut basahnya. Semalam baru saja keduanya berpetualang hebat. Gavin yang baru selesai mandi, menoleh pada sang istri dengan ekor matanya. “Bulan madu? D
Tuan Rivaldo hanya tersenyum kaku. Dia seperti kehabisan kata-kata. Seorang asisten yang menggantikan Gavin, duduk juga di sampingnya. Sementara itu, kedua orang tua Gavin dan Sasha duduk membersamai pengantin di depan sana.“Arsyla … sepertinya jarak yang kamu bentangkan semakin hari, semakin lebar saja … apa tak ada kesempatan untukku menebus segalanya?” batin Tuan Rivaldo. Perempuan yang sudah melahirkan buah hatinya itu tampak begitu ceria mengobrol dengan anak menantunya. Sesekali perempuan paruh baya itu tertawa. “Bodohnya aku,Syla … bodohnya aku yang menyia-nyiakanmu dulu,” batin Tuan Rivaldo dipenuhi sesal. Seorang panitia datang dan mengantarkan pesanan makanan. “Wah, bakso, ya!” Sumringah Bu Uti ketika mencium wangi yang menguar. Rupanya Aksa tadi yang memesan. Hanya saja, Ameera tiba-tiba menutup hidung dan terlihat tak nyaman. “Duh, bau banget, sih, Bang!” rengeknya sambil menjauhkan mangkuk bakso dari depannya.Aksa mengernyit. Pasalnya, biasanya Ameera adalah orang y
Suara deheman Gavin, membuat Sasha mencubit perut Johanes. Lelaki yang dicubitnya itu mengaduh. Lalu, mau tak mau melepas pelukannya.“Masih saja galak! Kuwalat lo sama abang sendiri!” ejek Johanes. Wajahnya tampak datar lagi dan kini dia beralih menyalami Gavin. Sepasang mata elang Gavin seolah tengah melayangkan protes atas kelakuannya tadi.“Biasa aja lihatinnya, Dek! Lo sekarang adek gue juga!” kekeh Johanes tersenyum masam. Dia menepuk pundak Gavin dua kali. “Gue gak perlu nitipin dia ke elo! Gue yakin, elo bakal jagain dia jauh lebih baik dari gue!” Johanes melepas jabatan tangannya dengan Gavin. Lalu menoleh pada perempuan yang berjalan dengan pelan karena perut yang sudah membesar. “Pasti, Bang!” Gavin menjawab singkat. “Berasa tua gue dipanggil Abang,” kekeh Johanes. Tak ada sedikitpun raut bahagia di wajahnya. Dia pun meraih jemari perempuan yang sejak tadi seperti tak diacuhkannya itu. Entah perempuan mana lagi yang dihamilinya. Perut yang besar dengan high heel yang ag
Hanya saja, pesan Sasha pun tetap diabaikan juga. Karena penasaran, Sasha pun mencoba melakukan panggilan. Namun, tak ada satu pun panggilan darinya diterima Johanes.“Ngambeknya kayak anak kecil,” oceh Sasha. *** Resepsi pernikahan, akan diadakan besar-besaran. Apalagi Antoni pun tak mau ketinggalan. Dia tetap tebal muka dengan penolakan Sasha. Bahkan dia sudah mendeklarasikn kepada rekan bisnisnya tentang keberadaan putri kandungnya. Karena itu, pernikahan Sasha terbilang dirancang dengan cukup megah. Di mana ada tiga pendonor utama yaitu dokter Subarkah, Anotni dan juga Tuan Rivaldo. Waktu bergerak merangkak. Persiapan pernikahan yang dilakukan sudah hampir rampung. Johanes, belum memberikan kabar keberadaan hingga sekarang. Hanya saja, ada sedikit kemajuan. Jika Ibunya mengirim pesan, setidaknya dibalas. Dia selalu bilang, kalau sekarang dia berada di tempat yang aman. Butuh waktu untuk lelaki itu mengobati luka yang menganga cukup besar. Hanya dua orang yang pesannya dibalas.
Sasha menatap langit-langit kamar yang polos. Rasa lelah seharian, tak serta merta membuatnya bisa tidur cepat. Hari ini terlalu penuh kejutan untuknya. Malam yang mulai larut, putaran jam dinding yang terus menggulir waktu, tak bisa membuat Sasha dengan mudah memejamkan mata. Bayangan wajah Gavin yang hari ini memberi kejutan luar biasa untuknya. Terus-menerus bergelayut di kelopak mata. Sudah sejak tadi dia bolak-balik membuka sosial medianya. Beberapa postingan yang memuat kebersamaannya dengan Gavin, sudah memenuhi wall-nya. Sengaja Sasha postingkan untuk mengabadikan momen yang sangat langka dan berharga ini. Sontak banyak sekali komentar dari link pertemanan yang menyatakan kaget luar biasa. [Lo sama Jo, udahan?] [Secepat itu kamu berubah haluan, Sha?] [Wah? Dilamar? Jadi, Jo kalah gercep?] [So sweet banget, sih! Kelihatan banget dia ngasih kejutan dadakan, sampe cicinnya kebesaran.] Dan banyak lagi komentar yang menyangkut pautkannya dengan hubungan Sasha dengan Johanes
Sepasang netra Sasha kembali besinar. Dia bergegas menghampiri Bu Uti dan ikut membaca sederet tulisan lama yang menuliskan alamat Sasti. Sasha pun mengambil gambar dengan ponselnya lekas menoleh ke arah Gavin, Ameera dan Aksa.“Aku mau ke sana! Aku ingin mencari Mama!” Ketiganya mengangguk. Tak menunggu waktu, hari itu juga mereka bergerak menuju lokasi yang disebutkan. Mereka menggunakan satu mobil saja, sedangkan yang satunya dititip di panti. Setelah menempuh waktu sekitar empat jam, akhirnya mereka tiba di sebuah perkampungan. Asing, itulah yang Sasha rasakan. Setelah berputar-putar mencari nama tersebut dan di arahkan ke sana sini. Banyak yang bernama Sasti, tapi rata-rata usianya masih muda, ada juga yang masih bayi. Hingga akhirnya mereka diarahkan ke sebuah rumah, katanya dulunya milik almarhumah Bu Sasti. Hanya saja ternyata rumah itu sedang kosong. Beruntung, ada seorang perempuan berjilbab lebar yang kebetulan keluar dari rumah megah yang berseberangan menanyai mereka.“
Sasha meninggalkan rooftop rumah sakit dengan mood yang sudah membaik. Ide Ameera menelpon Gavin sepertinya adalah ide paling tepat. Kini, wajah Sasha yang tadi terlihat begitu muram, perlahan terlihat cerah. Meranti, Subarkah, Merisa dan Antoni ternyata menunggu mereka di lantai satu. Aksa sudah membocorkan kondisi Sasha. Semua turut senang, kesedihan itu tak bertahan lama.Bersamaan dengan pintu lift yang terbuka. Empat pasang mata itu menatap kedatangan dua pasang muda-mudi itu. Jemari mereka saling bertaut. Hanya saja, Sasha yang tak biasa, lekas melepas gamitan jemari Gavin ketika melihat ada empat orang tua yang tengah menunggunya. “Sha … anak kesayangan mama.” Meranti langsung memburu Sasha, memeluk erat dan menangis tersedu. Dia merasa begitu bersalah karena selalu mengulur waktu untuk memberitahu pada Sasha hal yang sebenarnya. Dia selalu merasa tak siap menghadapi reaksi Sasha. Hingga akhirnya itu hanya menjadi bom waktu yang pada hari ini harus meledak diluar kendali mer