Sasha bergeming. Apakah tebakan Johanes benar? Ya, sepertinya benar. Dia tak siap bertemu dengan Gavin. “Tenang, Sha! Selama ini lo udah banyak bantuin gue! Sekarang tinggal saatnya gue bantuin lo!” Sasha menatap tajam Johanes. Lelaki itu membuang puntung rokok setelah mematikan apinya. Lalu mengulurkan jari kelingking ke arah Sasha.“Jadikan gue pasangan lo biar gak digangguin mantan lo itu, oke?” Perlahan bibir Sasha tertarik ke samping. Senyumnya tersungging. Lalu dia pun menerima kaitan jari kelingking yang Johanes tawarkan padanya. “Deal?!”“Oke, deal!”*** Suara musik mengalun memenuhi ball room. Sepasang pengantin yang baru saja mengikat janji suci tampak berjalan saling bersisian. Ameera terlihat mempesona dengan kebaya putih dengan hiasan ronce melati segar. Mahkota yang berkilau membuat kecantikannya kian terpancar. Aksa pun tak kalah gagah. Pakaian senada dikenakannya. Sekuntum bunga mawar menghiasi jasnya. Dia menggandeng lengan Ameera yang mengait padanya, keduanya
Kaki Ameera sudah mulai terasa pegal. Para tamu tak henti mengucapkan selamat dan bergantian menyalaminya dan Aksa.Disaat tengah sibuk-sibuknya menerima ucapan semay, sepasang netra Ameera menyipit. Tampak empat orang dewasa bersama satu anak kecil mendekat ke arahnya. Wajah perempuan paruh baya itu terlihat sesekali ditekuk ketika berbicara dengan sang menantu. Langkah mereka kian mendekat. Tanpa Ameera sangka, sang perempuan paruh baya yang baru selesai bersalaman dengan orang tua Aksa, langsung saja memeluknya.“Ameera, Ya Allah … pupus sudah harapan Mama biar kamu bisa balikan sama Ardi. Mungkin itulah jodoh, ya! Padahal Mama berharap banget kamu bisa jadi mantu mama,” tuturnya sedih. Wajahnya terlihat sendu. Ameera membuang napas pelan. Perlahan pelukan dari perempuan itu dilepaskan. Dia ingat betul, setelah jati dirinya diumumkan, Anesya masuk penjara. Hampir setiap minggu Mita dan Maria bergantian mengunjungi rumahnya. Waktu itu, hanya beberapa kali dia temui. Selebihnya, di
Safiyya menunduk dalam dan menggigit bibir bawahnya. Bukan hanya sekali perempuan paruh baya itu membanding-bandingkan dirinya dengan Ameera. “Sudah ih, Ma! Lupa apa ada anak kecil!” desah Ardi. “Ini semua gara-gara kamu! Kenapa gak keguguran saja sih, dulu! Mengacaukan rencanaku saja!” ketus Mita sambil menunjuk kesal pada gadis kecil yang kini bersembunyi ke belakang tubuh Ardi ketakutan. Ardi mambuang napas kasar. Dia menatap Mita dan mulai mengeluarkan ancaman, “Kalau mama gini terus! Aku bakal keluar dari rumah dan gak bakal lagi kasih Mama jatah bulanan! Mau?” tegas Ardi.Mita melirik ke arah Safiyya dan membulatkan mata, “Semua ini gara-gara kamu juga! Kamu yang jebak Ardi buat hamilin kamu! Mana warisan yang kamu janjikan, hah? Mana?” bentak Mita sambil melengos pergi meninggalkan suami dan anak menantunya. Begitulah kehidupan mereka. Tak pernah sedikitpun damai dan tenang. Mita selalu mengungkit-ungkit kesalahan Safiyya. Kelakuan gadis itu yang dulu menipunya. Juga janji-
Pertemuan keluarga itu tak membuahkan hasil. Baik Sasha maupun Johanes keduanya dengan kompak mengemukakan alasan karir. Sasha yang kini bekerja di salah satu tempat pariwisata di Jogja, bersikeras masih ingin menikmati kehidupannya di sana. Padahal itu hanya alasan semu saja. Empat tahun berlalu, tetapi sosok Gavin masih saja sering mengganggu pikirannya. Mereka berdua berhasil kabur setelah beralasan akan ke toilet. Hanya saja ketika tiba di parkiran, tanpa Sasha prediksi dia dipertemukan dengan seseorang. Gavin baru saja membuka pintu mobilnya dan bersiap pulang. Beberapa detik, pandangan mereka saling terkunci. Sasha berulang kali menelan saliva. Hatinya merutuki debar dada yang menggila. Ada rindu luar biasa yang mati-matian dia hanguskan.Cup!“Hay, Sayang!” Tiba-tiba lengan Johanes melingkar ke pinggangnya. Sontak sepasang netra Sasha mendelik marah. Namun, kekehan dan kedipan mata Johanes membuat Sasha sadar, ada Gavin yang tengah memandangnya.“Hay!” Suara Sasha tak setegar
Antoni termangu. Dia menatap lekat-lekat wajah anak lelakinya yang pembangkang. “Kamu tidak sopan bentak-bentak orang tua, Jo! Percuma Papa didik dan kuliahkan!” tegas Antoni sambil menatap Papanya. Johanes terkekeh, lalu maju satu langkah dan mendorong dada bidang lelaki yang beranjak tua itu hingga mundur beberapa langkah.“Sebaik-baik orang tua dalam mendidik, itu ngasih contoh! Apa Papa paham? Selama ini aku Cuma niru apa yang papa lakukan!” kekeh Johanes sambil tersenyum masam.“HENTIKAN OMONG KOSONG KAMU, JO! DURHAKA KAMU SAMA ORANG TUA!” bentak Antoni. Amarahnya sudah menanjak ke ubun-ubun.Johanes melenggang pelan. Dia mengambil gawainya dan membuka galeri. Lalu dia mengklik satu video dan dilemparnya ponsel itu ke depan Antoni. “Perhatikan baik-baik! Itu baru beberapa perempuan yang sudah Papa kencani ahm bukan itu saja, papa tiduri juga diam-diam! Lalu kenapa harus marah ketika aku main perempuan … papa … juga sama.” Johanes terkekeh puas. Antoni mematung. Wajahnya teras
Sasha duduk resah. Untuk pertama kalinya kakinya menginjakkan ke kelab malam. Johanes yang berdiri di dekat meja bar, sudah mulai meracau. Janjinya pada Sasha, tak dia tepati. Tadi memohon-mohon minta ditemani sebentar saja. Janji hanya dua teguk terus pulang. Namun, kini, sudah berapa gelas entah, bahkan matanya sudah memerah.“Jo! Ayo balik!” “Bentar lagi, Cin!” “Cin?” Johanes tergelak melihat Sasha yang melotot padanya.“Micin,” kekehnya. “Habis gelas itu kalo lo masih gak mau balik! Gue tinggal!” ketus Sasha. "Iya, kita balik, Say!""Makin ngaco kamu Jo!""Sayur," kekeh Johanes. Suaranya timbul tenggelam, hingar bingar musik memekakkan telinga. Namun, Johanes terlihat menikmatinya. Johanes dan Sasha memang sama-sama menyukai kebebasan. Namun, Sasha tak menyukai dunia malam seperti sekarang. Kerlap-kerlip lampu disco, music yang kencang, para lelaki dan perempuan yang bebas menari sambil beradegan mesra, membuat perut Sasha mual. Johanes menenggak minuman dalam gelasnya hin
“Iya, Bos! Nyari cewek aja di dalam banyak!” Sasha tak lagi menyimak kalimat-kalimat mereka. Lekas dia menarik lengan Johanes dan mendudukkannya di jok dengan kasar. Lalu dia masuk ke balik kemudi. Langit yang gelap semakin mendung, gerimis sudah mulai turun. Sasha lekas menginjak gas setelah kontak dinyalakan. Mobil tersebut perlahan menuju keluar. “Mama, Papa, maafin Sasha ….” Tiba-tiba ada rasa bersalah menyelinap. Baru kali ini dia berani pergi diam-diam. “Cin, gue suka sama lo! Gue cinta sama lo! Cuma gue tau diri, lo gak bakal mau sama barang rongsokkan kayak gue ‘kan?” Sasha mendengar racauan lirih Johanes yang matanya terpejam. Dia bersandar lemah di jok sebelahnya. “Asal lo tau, gue udah insaf, gue udah lama gak pernah lagi maen perempuan! Gue suka sama lo, Cin!” Lalu Johanes tertawa sendiri, “Ya, gue yakin, lo gak bakal mau ama gue. Barang rongsokkan, barang bekas, keset aja masih lebih bagus dari pada gue, ya, kan?” Sasha mendengus kasar. Dia cukup terkejut dengan rac
Suara letupan senapan memekikkan gendang telinga. Pekikkan kesakitan, lalu darah segar mengalir terguyur hujan. Kelima lelaki yang tadi mengerubungi Sasha, satu per satu berjatuhan. Lalu, tampaklah oleh Sasha lelaki yang berjalan dengan limbung tengah memegang senapan. Johanes, berjalan terpincang-pincang menghampiri Sasha dengan pakaian yang sudah tak karuan. Kaosnya penuh robekan. Air matanya mengalir, sorot matanya terlihat lemah ketakutan. “Cin, lo tenang aja ada gue,” tutur Johanes dengan suara parau. Johanes fokus pada Sasha. Dia mengungkung tubuh Sasha dengan maksud ingin melepaskan tali yang mengikat tangan gadis itu. Hanya saja, tiba-tiba sebuah hantaman keras mengenai pundak Johanes, rupanya Erlan masih berusaha menyerang. Meski rasa sakit karena timah panas menembus bahunya terkena tembakan Johanes yang membabi buta. “Jo!” Suara Sasha menjerit nyaring. Tubuh jangkung Johanes terkulai menimpanya. Terasa berat, tetapi Sasha tak bisa menyingkirkan tubuh itu karena tangannya
“Saya harus extra kuat sekarang, Ra. Ada dua perempuan rapuh di rumah. Beruntung Mbak Maria sudah pindah rumah, Marina juga sudah menikah dan ikut suaminya. Seenggaknya, saya dan Papa berbagi tugas untuk mengawasi dua orang itu saja.” Ameera mengangguk-angguk paham. Pantas saja, Ardi tampak jauh cepat lebih tua. Rupanya beban hidup yang dialaminya cukup membuat Ameera turut prihatin.“Salam buat keluarga, ya, Mas! Maaf gak bisa ngobrol lama, ada acara lagi setelah ini.” “Iya, Ra. Sukses terus, ya! Seenggaknya saya bangga pernah menjadi orang yang berarti dalam hidup kamu, meski itu dulu.” Ardi tersenyum kecut dan bicara lirih. Sorot matanya tetap menatap Ameera dengan pandangan yang masih sama, seperti dulu.“Ya, Mas!” Ameera tersenyum, lalu berpamitan dan meninggalkan Ardi yang mengusap rambutnya yang sudah ramai ditumbuhi uban.***Setelah kegiatan perusahaan banyak diambil alih kembali oleh Ameera. Perlahan kesibukkan Gavin mulai terbagi lagi. Kini, dia memiliki sedikit waktu lon
Tuan Rivaldo langsung terdiam ketika mendengar persyaratan yang disampaikan Arsyla. Bahunya melorot, lalu dia meminta Parjo mendorong kursi rodanya kembali ke teras menemani Ameera. Selera makannya mendadak menguap begitu saja.“Mama kamu itu, Ra. Apa gak kasihan sama Papa? Masa iya ngasih syarat diluar nalar kayak gitu.” “Hah, syarat apa, Pa?” Ameera yang baru selesai membalas email bertanya tanpa menoleh pada sang Papa. “Masa iya, dia bilang … Papa jangan pernah menemui dia lagi selama setahun kalau mau dipertimbangkan balikan lagi. Mana mungkin bisa gak ketemu, Papa ‘kan pasti ke sini tiap hari.” Ameera terkekeh, lalu dia berbisik ke telingan Tuan Rivaldo. Lelaki paruh baya itu tampak menautkan alis. Lalu setelahnya menatap Ameera sambil tersenyum sumringah.“Oke, Papa temuin mama kamu dulu! Papa sanggupin saja, ya! Kamu pinter sih, Ra. Papa ‘kan bisa temuin kamu di kantor, jadi gak akan ketemu Mama kamu, walau berat, sih! Setahun, Ra,” tutur Tuan Rivaldo dan segera beranjak ke
Kabar kehamilan Ameera diterima dengan suka cita. Arsyla memeluk haru putri semata wayangnya dengan buncah bahagia. Bahkan, demi memastikan Ameera cukup istirahat dan terjaga pola makannya. Arsyla memutuskan untuk tinggal sementara waktu di kediaman putrinya itu. Aksa merasa senang, setidaknya ditengah kesibukannya, sang istri ada yang memberi ekstra perhatian. Hanya saja, mau tak mau, Gavin yang kini menjadi tumbal. Karena kehamilan Ameera, rencana bulan madunya yang awalnya akan ke Bali dalam beberapa pekan, harus dibatalkan. Aksa meminta Tuan Rivaldo agar Ameera tak terlalu menerima beratnya beban pikiran. Alhasil, Gavin pun bisa memakluminya. Beruntung, Sasha bukan perempuan dengan tipe manja. “Gak apa, kok, Mas! Bulan madu bisa di mana saja! Di kantor juga bisa,” tukas Sasha sambil mengerling jahil. Dia sedang mengeringkan rambut basahnya. Semalam baru saja keduanya berpetualang hebat. Gavin yang baru selesai mandi, menoleh pada sang istri dengan ekor matanya. “Bulan madu? D
Tuan Rivaldo hanya tersenyum kaku. Dia seperti kehabisan kata-kata. Seorang asisten yang menggantikan Gavin, duduk juga di sampingnya. Sementara itu, kedua orang tua Gavin dan Sasha duduk membersamai pengantin di depan sana.“Arsyla … sepertinya jarak yang kamu bentangkan semakin hari, semakin lebar saja … apa tak ada kesempatan untukku menebus segalanya?” batin Tuan Rivaldo. Perempuan yang sudah melahirkan buah hatinya itu tampak begitu ceria mengobrol dengan anak menantunya. Sesekali perempuan paruh baya itu tertawa. “Bodohnya aku,Syla … bodohnya aku yang menyia-nyiakanmu dulu,” batin Tuan Rivaldo dipenuhi sesal. Seorang panitia datang dan mengantarkan pesanan makanan. “Wah, bakso, ya!” Sumringah Bu Uti ketika mencium wangi yang menguar. Rupanya Aksa tadi yang memesan. Hanya saja, Ameera tiba-tiba menutup hidung dan terlihat tak nyaman. “Duh, bau banget, sih, Bang!” rengeknya sambil menjauhkan mangkuk bakso dari depannya.Aksa mengernyit. Pasalnya, biasanya Ameera adalah orang y
Suara deheman Gavin, membuat Sasha mencubit perut Johanes. Lelaki yang dicubitnya itu mengaduh. Lalu, mau tak mau melepas pelukannya.“Masih saja galak! Kuwalat lo sama abang sendiri!” ejek Johanes. Wajahnya tampak datar lagi dan kini dia beralih menyalami Gavin. Sepasang mata elang Gavin seolah tengah melayangkan protes atas kelakuannya tadi.“Biasa aja lihatinnya, Dek! Lo sekarang adek gue juga!” kekeh Johanes tersenyum masam. Dia menepuk pundak Gavin dua kali. “Gue gak perlu nitipin dia ke elo! Gue yakin, elo bakal jagain dia jauh lebih baik dari gue!” Johanes melepas jabatan tangannya dengan Gavin. Lalu menoleh pada perempuan yang berjalan dengan pelan karena perut yang sudah membesar. “Pasti, Bang!” Gavin menjawab singkat. “Berasa tua gue dipanggil Abang,” kekeh Johanes. Tak ada sedikitpun raut bahagia di wajahnya. Dia pun meraih jemari perempuan yang sejak tadi seperti tak diacuhkannya itu. Entah perempuan mana lagi yang dihamilinya. Perut yang besar dengan high heel yang ag
Hanya saja, pesan Sasha pun tetap diabaikan juga. Karena penasaran, Sasha pun mencoba melakukan panggilan. Namun, tak ada satu pun panggilan darinya diterima Johanes.“Ngambeknya kayak anak kecil,” oceh Sasha. *** Resepsi pernikahan, akan diadakan besar-besaran. Apalagi Antoni pun tak mau ketinggalan. Dia tetap tebal muka dengan penolakan Sasha. Bahkan dia sudah mendeklarasikn kepada rekan bisnisnya tentang keberadaan putri kandungnya. Karena itu, pernikahan Sasha terbilang dirancang dengan cukup megah. Di mana ada tiga pendonor utama yaitu dokter Subarkah, Anotni dan juga Tuan Rivaldo. Waktu bergerak merangkak. Persiapan pernikahan yang dilakukan sudah hampir rampung. Johanes, belum memberikan kabar keberadaan hingga sekarang. Hanya saja, ada sedikit kemajuan. Jika Ibunya mengirim pesan, setidaknya dibalas. Dia selalu bilang, kalau sekarang dia berada di tempat yang aman. Butuh waktu untuk lelaki itu mengobati luka yang menganga cukup besar. Hanya dua orang yang pesannya dibalas.
Sasha menatap langit-langit kamar yang polos. Rasa lelah seharian, tak serta merta membuatnya bisa tidur cepat. Hari ini terlalu penuh kejutan untuknya. Malam yang mulai larut, putaran jam dinding yang terus menggulir waktu, tak bisa membuat Sasha dengan mudah memejamkan mata. Bayangan wajah Gavin yang hari ini memberi kejutan luar biasa untuknya. Terus-menerus bergelayut di kelopak mata. Sudah sejak tadi dia bolak-balik membuka sosial medianya. Beberapa postingan yang memuat kebersamaannya dengan Gavin, sudah memenuhi wall-nya. Sengaja Sasha postingkan untuk mengabadikan momen yang sangat langka dan berharga ini. Sontak banyak sekali komentar dari link pertemanan yang menyatakan kaget luar biasa. [Lo sama Jo, udahan?] [Secepat itu kamu berubah haluan, Sha?] [Wah? Dilamar? Jadi, Jo kalah gercep?] [So sweet banget, sih! Kelihatan banget dia ngasih kejutan dadakan, sampe cicinnya kebesaran.] Dan banyak lagi komentar yang menyangkut pautkannya dengan hubungan Sasha dengan Johanes
Sepasang netra Sasha kembali besinar. Dia bergegas menghampiri Bu Uti dan ikut membaca sederet tulisan lama yang menuliskan alamat Sasti. Sasha pun mengambil gambar dengan ponselnya lekas menoleh ke arah Gavin, Ameera dan Aksa.“Aku mau ke sana! Aku ingin mencari Mama!” Ketiganya mengangguk. Tak menunggu waktu, hari itu juga mereka bergerak menuju lokasi yang disebutkan. Mereka menggunakan satu mobil saja, sedangkan yang satunya dititip di panti. Setelah menempuh waktu sekitar empat jam, akhirnya mereka tiba di sebuah perkampungan. Asing, itulah yang Sasha rasakan. Setelah berputar-putar mencari nama tersebut dan di arahkan ke sana sini. Banyak yang bernama Sasti, tapi rata-rata usianya masih muda, ada juga yang masih bayi. Hingga akhirnya mereka diarahkan ke sebuah rumah, katanya dulunya milik almarhumah Bu Sasti. Hanya saja ternyata rumah itu sedang kosong. Beruntung, ada seorang perempuan berjilbab lebar yang kebetulan keluar dari rumah megah yang berseberangan menanyai mereka.“
Sasha meninggalkan rooftop rumah sakit dengan mood yang sudah membaik. Ide Ameera menelpon Gavin sepertinya adalah ide paling tepat. Kini, wajah Sasha yang tadi terlihat begitu muram, perlahan terlihat cerah. Meranti, Subarkah, Merisa dan Antoni ternyata menunggu mereka di lantai satu. Aksa sudah membocorkan kondisi Sasha. Semua turut senang, kesedihan itu tak bertahan lama.Bersamaan dengan pintu lift yang terbuka. Empat pasang mata itu menatap kedatangan dua pasang muda-mudi itu. Jemari mereka saling bertaut. Hanya saja, Sasha yang tak biasa, lekas melepas gamitan jemari Gavin ketika melihat ada empat orang tua yang tengah menunggunya. “Sha … anak kesayangan mama.” Meranti langsung memburu Sasha, memeluk erat dan menangis tersedu. Dia merasa begitu bersalah karena selalu mengulur waktu untuk memberitahu pada Sasha hal yang sebenarnya. Dia selalu merasa tak siap menghadapi reaksi Sasha. Hingga akhirnya itu hanya menjadi bom waktu yang pada hari ini harus meledak diluar kendali mer