“Dih, Non Sasha! Bibi Desi Ratna Sari mah, cuma bercanda atuh, Non! Permisi ….” Bi Icih melirik ke arah Sasha dan menggaruk pelipis tak gatal. Lekas dia beranjak ke belakang dan membawa sebakul cucian. “Ra, Siang nanti kita ke Bu Uti, yuk! Katanya sudah selesai operasinya, sudah siuman juga.” Sasha mengambil segelas air bening hangat dan meneguknya.“Bukannya kamu lagi dipingit, Sha?” Ameera menaikkan satu alisnya ke atas.“Berangkatnya dianter Papa! Tar pulangnya dijemput dia tuh!” Sasha menunjuk ke arah Aksa yang tengah membawa piring kosong ke arah wastafel.“Ngerepotin aja emang!” Aksa dengan usil mengusap wajah Sasha setelah menyimpan piring dan mencuci tangannya.“Ish, basah, Abang!” omel Sasha sambil memukul punggung Aksa. “Pagi-pagi tuh mandi! Jadi cewek kok pemalas!” oceh Aksa ngedumel sambil berlalu. Sementara itu, Sasha hanya memonyongkan bibirnya saja sambil mengumpat tanpa suara dan menggoyang-goyangkan kepalanya.Ameera tersenyum masam. Ada setitik iri di hatinya. Meli
Semenjak perkelahian dengan Aksa, Ardi kehilangan jejak Ameera. Berulang kali dia mendatangi kontrakan Ameera, tetapi tak menemukan sang pujaan hati di sana. Ardi tahu, Ameera sudah tak bekerja di perusahaan golf itu lagi. Jadi, dia cukup kesulitan untuk bisa menemui Ameera sekarang. “Ya Tuhaaan, di mana kamu, Ameera?” batin Ardi sambil menyugar rambut ke belakang. Masih banyak hal yang ingin ia bicarakan. Salah satunya, ide gila Ardi yang terbit semalam. Tiba-tiba saja, dia memiliki ide untuk membawa Ameera kabur dan meninggalkan pulau jawa. Hidup berdua, jauh dari keluarga yang tak mendukungnya. Tentunya, hal itu setelah paksaan dari keluarga Ardi, agar Ardi mau menerima Safiyya kembali.Hidup Ardi yang semrawut bertambah kusut. Hari ini, ketika pulang dari kantor. Ardi dikejutkan dengan kehadiran dua orang perempuan yang membuatnya muak. Siapa lagi kalau bukan Anesya dan Safiyya. “Di, lihat mama mertua dan istri kamu. Karena kamu tidak mau kembali ke rumah Tuan Rivaldo. Mereka me
“Apa aku gak salah dengar?” Maria membetulkan posisi duduknya.“Nggak, Mar.” Mita menjawab pasti.“Aneh.” Marina ikut menimpali. “Kok aneh? Yang jelas, Safiyya itu sudah cinta mati sama Ardi. Jadi, demi meminta rujuk dari anak mama yang ganteng itu, dia rela-relain datang ke sini mau diajak hidup susah, loh!” tutur Mita menyampaikan sudut pandangnya. “Okelah si Safiyya demi Ardi. Terus, mamanya? Ngapain?” Maria menautkan alis, tak paham.Mita mengedik. Namun, beberapa detik kemudian dia membagi pandangan pada Maria dan Marina bergantian. “Mungkin karena Safiyya anak kesayangan, ya! Mamanya khawatir kita tak memperlakukan dia dengan baik, jadi ikut, deh!” tukas Mita meski tak yakin.“Bisa jadi, sih!” ucap Marina. “Hmmm … ya sudah, di kamar bawah saja, Ma!” Maria menimpali. “Nah itu masalahnya, tadi Mama sempat singgung kamar bawah. Eh, Jeng Anes tampak tak terima. Masa iya, dikasih kamar pembantu.” Mita menjelaskan. “Terus?” Maria dan Marina menatap wajah perempuan yang sudah mel
Ameera dan Sasha sudah tiba di panti. Bangunan yang tak terlalu luas itu, terdengar riuh dengan beberapa anak-anak yang sedang belajar menyanyi di . Tampak di ruangan yang tak luas itu, anak-anak berbaris rapi. Maulida, yang tengah mengajar sukarela hari itu. “Yey, Ibu pulang!” seru salah satu anak berusia sekitar delapan tahun. Lalu, dia melompat keluar barisan dan menyalami Bu Uti.“Yeayyy! Ibu sembuh!” “Ibu pulaaaang!”Sorak sorai terdengar riuh. Lalu, mereka berkerumun menyalami dan memeluk perempuan yang mereka sayangi itu. Bu Uti tersenyum dan menerima uluran tangan mereka satu per satu.“Anak-anak, sudah, ya! Biar Ibunya istirahat dulu!” seru Maulida yang menghampiri dan menyalami Bu Uti juga. Kerumunan anak-anak pun menguar. Erni mendorong kursi roda yang diduduki Bu Uti ke dalam kamar. Ameera dan Sasha mengekorinya dari belakang dan membawakan barang-barang milik Bu Uti.Bu Uti sudah terbaring di ranjang. Erni dan beberapa anak panti yang tadi mengantar pun sudah meninggal
Gavin mematung menatap Sasha yang tengah memetik gitar. Gadis itu terlihat bernyanyi tanpa beban. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk mengikuti irama yang ada. Auranya terlihat bersinar. Lily was a little girlAfraid of the big, wide worldShe grew up within her castle wallsNow and then, she tried to runAnd then on a night with the setting sunShe went in the woods awaySo afraid, all aloneThey warned her, don't go thereThere's creatures who are hidin' in the darkThen somethin' came creepin'It told her, "Don't you worry, " justFollow everywhere I goTop of all the mountains or valley lowGive you everything you've been dreamin' ofJust let me in, oohEverything you want in goldI'll be the magic story you've been toldAnd you'll be safe under my controlJust let me in, oohJust let me in, oohShe knew she was hypnotizedAnd walking on cold, thin iceThen it broke, and she awoke againThen she ran faster andStart screamin', "Is there someone out there?Please help me, come ge
“Ini kamar Anda, Nona!” Gavin mempersilakan Ameera. Mereka baru saja tiba di depan sebuah kamar yang sudah disiapkan.“Terima kasih.” Ameera menatap bagian dalam kamar yang baru saja Gavin bukakan kuncinya. “Silakan masuk, Nona! Jika ada apa-apa bisa menghubungi saya atau Tuan dengan intercom. Satu lagi, sebentar lagi asisten pribadi untuk Non Ameera akan sampai. Dia yang akan membantu mengatur jadwal Non Ameera dan menjadi tangan kanan, Anda.” Gavin menjelaskan panjang lebar. Kedua alis Ameera saling bertaut. Ditatapnya wajah Gavin yang terkesan dingin itu dan kembali bertanya. “Asisten pribadi? Jadwal?” Ameera menatap tak paham. “Ya.” Gavin menjawab singkat. “Aku tak butuh!” ketus Ameera. “Tuan ingin segera agar Anda mengambil alih perusahaan! Jadi, saya harap, Nona bisa mengikuti semua gemblengan yang akan disiapkan! Ingat, Nona! Anda bisa memberikan kehidupan terbaik untuk anak-anak panti yang kurang beruntung itu, jika Anda punya uang dan kekuasaan! Tuhan sudah memilih Anda
Tiba-tiba teringat kembali kilas pertemuan di panti dengan Tuan Rivaldo dan Gavin. ***Langkah Ameera memelan ketika melihat dua sosok yang tak asing tengah menunggunya di ruang serba guna. Ruangan yang tadi ramai dengan anak-anak kecil yang bernyanyi. Kini, dua orang itu tengah menatap ke arahnya.“M—Mereka?” Suara Ameera tercekat dan menggantung begitu saja. Bu Uti mengusap lembut punggung tangan Ameera dan mulai berbicara. “Merekalah donatur yang Ibu bicarakan padamu waktu itu, Meera.” “J—jadi?” Ameera kehabisan kata-kata. Kalimatnya terputus begitu saja. Kakinya seakan tak menginjak bumi saat ini. “Jadi beliaulah orang yang ingin mengadopsimu, Meera!” tutur Bu Uti.Tuan Rivaldo tersenyum dan menatap wajah putri yang dirindukannya. Putri yang kehadirannya mampu menepis ragu. Demi Ameera, dia sudah susah payah melawan egonya yang masih menginginkan keberadaan Safiyya. “Panggil saya, Papa … meskipun kamu tak bisa menerima sebagai Papa kandungmu! Anggap saja saya ini Papa angkatm
Seminggu berada di rumah Tuan Rivaldo, Ameera mulai belajar beradaptasi. Kehidupan di rumah megah itu lebih teratur dan terjadwal. Semua hal yang ia butuhkan selalu disediakan. Meskipun, demikian. Hubungannya dengan sang Papa, belum mengalami perkembangan yang signifikan. Semenjak pertemuan sore itu dan bicara panjang lebar. Tuan Rivaldo pun seperti memberikan ruang pada putrinya. Dia tak memaksa Ameera untuk bisa menerimanya. Di waktu senggang, Prita pun mengajarkannya teknik-teknik dasar bela diri. Ameera yang awalnya tak menyukai olah raga, mau tak mau kini memiliki jadwal rutin untuk berlatih bela diri dan menguras keringatnya. Kehidupannya yang semula santai, berbalik seratus delapan puluh derajat. Prita pun rupanya serba bisa. Selain diajarkan teknik-teknik bela diri dasar, Prita pun piawai memainkan beragam alat musik. Piano, satu alat musik yang kini mulai membuat Ameera merasa nyaman. Dia mulai menikmati setiap denting dari tuts yang ia tekan. Hari itu, Ameera tengah duduk
“Saya harus extra kuat sekarang, Ra. Ada dua perempuan rapuh di rumah. Beruntung Mbak Maria sudah pindah rumah, Marina juga sudah menikah dan ikut suaminya. Seenggaknya, saya dan Papa berbagi tugas untuk mengawasi dua orang itu saja.” Ameera mengangguk-angguk paham. Pantas saja, Ardi tampak jauh cepat lebih tua. Rupanya beban hidup yang dialaminya cukup membuat Ameera turut prihatin.“Salam buat keluarga, ya, Mas! Maaf gak bisa ngobrol lama, ada acara lagi setelah ini.” “Iya, Ra. Sukses terus, ya! Seenggaknya saya bangga pernah menjadi orang yang berarti dalam hidup kamu, meski itu dulu.” Ardi tersenyum kecut dan bicara lirih. Sorot matanya tetap menatap Ameera dengan pandangan yang masih sama, seperti dulu.“Ya, Mas!” Ameera tersenyum, lalu berpamitan dan meninggalkan Ardi yang mengusap rambutnya yang sudah ramai ditumbuhi uban.***Setelah kegiatan perusahaan banyak diambil alih kembali oleh Ameera. Perlahan kesibukkan Gavin mulai terbagi lagi. Kini, dia memiliki sedikit waktu lon
Tuan Rivaldo langsung terdiam ketika mendengar persyaratan yang disampaikan Arsyla. Bahunya melorot, lalu dia meminta Parjo mendorong kursi rodanya kembali ke teras menemani Ameera. Selera makannya mendadak menguap begitu saja.“Mama kamu itu, Ra. Apa gak kasihan sama Papa? Masa iya ngasih syarat diluar nalar kayak gitu.” “Hah, syarat apa, Pa?” Ameera yang baru selesai membalas email bertanya tanpa menoleh pada sang Papa. “Masa iya, dia bilang … Papa jangan pernah menemui dia lagi selama setahun kalau mau dipertimbangkan balikan lagi. Mana mungkin bisa gak ketemu, Papa ‘kan pasti ke sini tiap hari.” Ameera terkekeh, lalu dia berbisik ke telingan Tuan Rivaldo. Lelaki paruh baya itu tampak menautkan alis. Lalu setelahnya menatap Ameera sambil tersenyum sumringah.“Oke, Papa temuin mama kamu dulu! Papa sanggupin saja, ya! Kamu pinter sih, Ra. Papa ‘kan bisa temuin kamu di kantor, jadi gak akan ketemu Mama kamu, walau berat, sih! Setahun, Ra,” tutur Tuan Rivaldo dan segera beranjak ke
Kabar kehamilan Ameera diterima dengan suka cita. Arsyla memeluk haru putri semata wayangnya dengan buncah bahagia. Bahkan, demi memastikan Ameera cukup istirahat dan terjaga pola makannya. Arsyla memutuskan untuk tinggal sementara waktu di kediaman putrinya itu. Aksa merasa senang, setidaknya ditengah kesibukannya, sang istri ada yang memberi ekstra perhatian. Hanya saja, mau tak mau, Gavin yang kini menjadi tumbal. Karena kehamilan Ameera, rencana bulan madunya yang awalnya akan ke Bali dalam beberapa pekan, harus dibatalkan. Aksa meminta Tuan Rivaldo agar Ameera tak terlalu menerima beratnya beban pikiran. Alhasil, Gavin pun bisa memakluminya. Beruntung, Sasha bukan perempuan dengan tipe manja. “Gak apa, kok, Mas! Bulan madu bisa di mana saja! Di kantor juga bisa,” tukas Sasha sambil mengerling jahil. Dia sedang mengeringkan rambut basahnya. Semalam baru saja keduanya berpetualang hebat. Gavin yang baru selesai mandi, menoleh pada sang istri dengan ekor matanya. “Bulan madu? D
Tuan Rivaldo hanya tersenyum kaku. Dia seperti kehabisan kata-kata. Seorang asisten yang menggantikan Gavin, duduk juga di sampingnya. Sementara itu, kedua orang tua Gavin dan Sasha duduk membersamai pengantin di depan sana.“Arsyla … sepertinya jarak yang kamu bentangkan semakin hari, semakin lebar saja … apa tak ada kesempatan untukku menebus segalanya?” batin Tuan Rivaldo. Perempuan yang sudah melahirkan buah hatinya itu tampak begitu ceria mengobrol dengan anak menantunya. Sesekali perempuan paruh baya itu tertawa. “Bodohnya aku,Syla … bodohnya aku yang menyia-nyiakanmu dulu,” batin Tuan Rivaldo dipenuhi sesal. Seorang panitia datang dan mengantarkan pesanan makanan. “Wah, bakso, ya!” Sumringah Bu Uti ketika mencium wangi yang menguar. Rupanya Aksa tadi yang memesan. Hanya saja, Ameera tiba-tiba menutup hidung dan terlihat tak nyaman. “Duh, bau banget, sih, Bang!” rengeknya sambil menjauhkan mangkuk bakso dari depannya.Aksa mengernyit. Pasalnya, biasanya Ameera adalah orang y
Suara deheman Gavin, membuat Sasha mencubit perut Johanes. Lelaki yang dicubitnya itu mengaduh. Lalu, mau tak mau melepas pelukannya.“Masih saja galak! Kuwalat lo sama abang sendiri!” ejek Johanes. Wajahnya tampak datar lagi dan kini dia beralih menyalami Gavin. Sepasang mata elang Gavin seolah tengah melayangkan protes atas kelakuannya tadi.“Biasa aja lihatinnya, Dek! Lo sekarang adek gue juga!” kekeh Johanes tersenyum masam. Dia menepuk pundak Gavin dua kali. “Gue gak perlu nitipin dia ke elo! Gue yakin, elo bakal jagain dia jauh lebih baik dari gue!” Johanes melepas jabatan tangannya dengan Gavin. Lalu menoleh pada perempuan yang berjalan dengan pelan karena perut yang sudah membesar. “Pasti, Bang!” Gavin menjawab singkat. “Berasa tua gue dipanggil Abang,” kekeh Johanes. Tak ada sedikitpun raut bahagia di wajahnya. Dia pun meraih jemari perempuan yang sejak tadi seperti tak diacuhkannya itu. Entah perempuan mana lagi yang dihamilinya. Perut yang besar dengan high heel yang ag
Hanya saja, pesan Sasha pun tetap diabaikan juga. Karena penasaran, Sasha pun mencoba melakukan panggilan. Namun, tak ada satu pun panggilan darinya diterima Johanes.“Ngambeknya kayak anak kecil,” oceh Sasha. *** Resepsi pernikahan, akan diadakan besar-besaran. Apalagi Antoni pun tak mau ketinggalan. Dia tetap tebal muka dengan penolakan Sasha. Bahkan dia sudah mendeklarasikn kepada rekan bisnisnya tentang keberadaan putri kandungnya. Karena itu, pernikahan Sasha terbilang dirancang dengan cukup megah. Di mana ada tiga pendonor utama yaitu dokter Subarkah, Anotni dan juga Tuan Rivaldo. Waktu bergerak merangkak. Persiapan pernikahan yang dilakukan sudah hampir rampung. Johanes, belum memberikan kabar keberadaan hingga sekarang. Hanya saja, ada sedikit kemajuan. Jika Ibunya mengirim pesan, setidaknya dibalas. Dia selalu bilang, kalau sekarang dia berada di tempat yang aman. Butuh waktu untuk lelaki itu mengobati luka yang menganga cukup besar. Hanya dua orang yang pesannya dibalas.
Sasha menatap langit-langit kamar yang polos. Rasa lelah seharian, tak serta merta membuatnya bisa tidur cepat. Hari ini terlalu penuh kejutan untuknya. Malam yang mulai larut, putaran jam dinding yang terus menggulir waktu, tak bisa membuat Sasha dengan mudah memejamkan mata. Bayangan wajah Gavin yang hari ini memberi kejutan luar biasa untuknya. Terus-menerus bergelayut di kelopak mata. Sudah sejak tadi dia bolak-balik membuka sosial medianya. Beberapa postingan yang memuat kebersamaannya dengan Gavin, sudah memenuhi wall-nya. Sengaja Sasha postingkan untuk mengabadikan momen yang sangat langka dan berharga ini. Sontak banyak sekali komentar dari link pertemanan yang menyatakan kaget luar biasa. [Lo sama Jo, udahan?] [Secepat itu kamu berubah haluan, Sha?] [Wah? Dilamar? Jadi, Jo kalah gercep?] [So sweet banget, sih! Kelihatan banget dia ngasih kejutan dadakan, sampe cicinnya kebesaran.] Dan banyak lagi komentar yang menyangkut pautkannya dengan hubungan Sasha dengan Johanes
Sepasang netra Sasha kembali besinar. Dia bergegas menghampiri Bu Uti dan ikut membaca sederet tulisan lama yang menuliskan alamat Sasti. Sasha pun mengambil gambar dengan ponselnya lekas menoleh ke arah Gavin, Ameera dan Aksa.“Aku mau ke sana! Aku ingin mencari Mama!” Ketiganya mengangguk. Tak menunggu waktu, hari itu juga mereka bergerak menuju lokasi yang disebutkan. Mereka menggunakan satu mobil saja, sedangkan yang satunya dititip di panti. Setelah menempuh waktu sekitar empat jam, akhirnya mereka tiba di sebuah perkampungan. Asing, itulah yang Sasha rasakan. Setelah berputar-putar mencari nama tersebut dan di arahkan ke sana sini. Banyak yang bernama Sasti, tapi rata-rata usianya masih muda, ada juga yang masih bayi. Hingga akhirnya mereka diarahkan ke sebuah rumah, katanya dulunya milik almarhumah Bu Sasti. Hanya saja ternyata rumah itu sedang kosong. Beruntung, ada seorang perempuan berjilbab lebar yang kebetulan keluar dari rumah megah yang berseberangan menanyai mereka.“
Sasha meninggalkan rooftop rumah sakit dengan mood yang sudah membaik. Ide Ameera menelpon Gavin sepertinya adalah ide paling tepat. Kini, wajah Sasha yang tadi terlihat begitu muram, perlahan terlihat cerah. Meranti, Subarkah, Merisa dan Antoni ternyata menunggu mereka di lantai satu. Aksa sudah membocorkan kondisi Sasha. Semua turut senang, kesedihan itu tak bertahan lama.Bersamaan dengan pintu lift yang terbuka. Empat pasang mata itu menatap kedatangan dua pasang muda-mudi itu. Jemari mereka saling bertaut. Hanya saja, Sasha yang tak biasa, lekas melepas gamitan jemari Gavin ketika melihat ada empat orang tua yang tengah menunggunya. “Sha … anak kesayangan mama.” Meranti langsung memburu Sasha, memeluk erat dan menangis tersedu. Dia merasa begitu bersalah karena selalu mengulur waktu untuk memberitahu pada Sasha hal yang sebenarnya. Dia selalu merasa tak siap menghadapi reaksi Sasha. Hingga akhirnya itu hanya menjadi bom waktu yang pada hari ini harus meledak diluar kendali mer