#Penyakit mematikan"Bundamu menderita leukimia. Sekarang sudah stadium empat. Dia saat ini membutuhkan donor sumsum tulang belakang. Dokter sudah berusaha mencari pendonor, tapi belum ada yang cocok. Dokter bilang, sebaiknya pendonor adalah keluarga sendiri. Rambutnya rontok karena efek kemoterapi. Dia juga harus rutin cuci darah," jelas Bulek.Rasanya aku seperti dihempaskan, sesak sekali. Aku pernah punya teman yang menderita penyakit ini saat aku sekolah menengah atas dulu. Hanya sebentar, sejak diketahui dia menderita penyakit ini dia bisa bertahan. Tubuhnya yang gemuk mengalami penurunan bobot yang drastis. Kalau aku tak salah ingat, tak sampai sebulan, setelah di diagnosa menderita penyakit ini, dia pergi untuk selamanya. Bunda, sesingkat inikah pertemuan kita? Tak ada kesan yang berarti. Haruskah aku mengenangmu yang hanya terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit? Bahkan kamu belum mendengar semua ceritaku. "Bulek. Divya mau mendonorkan sumsum Divya. Pasti cocok sama Bund
POV Malikah – Marah dalam diamSuntuknya aku terkurung di sini. Gara-gara si Bima, aku jadi ikut-ikutan menjarah hasil kebun Mas Chandra. Sial! Padahal sudah beruntung aku mendapat bagian rumah yang cukup besar. Kalau sudah begini, takutnya malah zonk! Menyesal? Entah. Terus terang aku masih marah sama Mas Chandra. Gara-gara dia, aku kehilangan masa mudaku. Baru lagi tamat sekolah, almarhum Bapak sudah memaksaku menikah dengannya, dengan alasan untuk membalas budi atas kebaikan Bapak mertuaku. Bapak Rajasa, si Tuan Tanah yang juga sahabat Bapak sejak kecil. Padahal usiaku dengan Maa Chandra, terpaut sangat jauh.Kata Bapak, kehidupan keluarga kakekku sangat miskin dulu. Bapak Rajasa yang banyak membantu kehidupan mereka, sampai biaya sekolah Bapak, juga dibiayai sama keluarga Rajasa. Bahkan Bapak dulu juga bekerja di kebun milik keluarga Rajasa. Saat Bapak menjodohkanku dengannya. Aku mau saja. Walaupun aku harus mau menganggap keponakannya menjadi anakku sendiri. Karena adiknya sud
POV Malikah – Gara-gara nafsuSemakin lama aku jenuh juga. Apalagi sejak dia diangkat menjadi kepala desa terpilih. Aku dan dia harus terus memakai topeng kemesraan di hadapan warga. Mulai dari pagi hingga malam hari. Pokoknya kalau kami berdua di satu tempat, aku dan dia harus menjadi pasangan serasi yang diteladani semua warga. Aku bingung, menyalurkan hasratku. Kecanduanku pada film panas juga semakin menjadi, sehingga membuatku sering kehilangan kontrol atas diriku sendiri. Sering aku merayu Mas Chandra, tapi tak berhasil. Sampai akhirnya, aku berhasil membujuknya untuk periksa ke dokter spesialis. Barangkali dia ada gangguan dengan kejantanannya, hingga dia tak bisa melakukan kewajiban. Yah, sebagai seorang perempuan dan seorang istri, aku masih berharap bisa memperbaiki keadaan rumah tangga kami. Aku dan dia hanya tak pernah melakukan ritual yang satu itu saja. Aku yakin, kalau dia bisa, maka rumah tangga kami akan bisa benar-benar harmonis tanpa harus berpura-pura. Dia pasti
POV BimaAh sial! Kenapa apes sekali nasibku? Bodoh! Bodoh! Laki-laki bodoh! Sudah mendapat berlian, malah disia-siakan. Susah payah mendapatkan perempuan baik seperti Divya, sekarang malah kacau, gara-gara terlalu serakah! Huft, lelah rasanya merutuki diri. Gara-gara salah sendiri. Apakah Ibu sudah tau, kalau aku sekarang dipenjara? Pasti hatinya sangat hancur kalau tau semuanya. Susah payah aku dulu bisa diterima bekerja di kebun Pak Chandra, Bapak mertuaku. Dia mencari orang yang bisa benar-benar dipercaya karena dia jarang ada di kebun. Dan aku datang di saat yang tepat, kebetulan aku seorang sarjana akuntansi. Maka Pak Chandra mempercayakan aku untuk mengurus keuangan kebun. Artinya, pemasukan dan pengeluaran aku yang catat semua. Ya meski pada awalnya, aku juga harus bekerja layaknya pekerja kebun lain. Aku sejak dulu, memang suka gonta ganti pasangan. Kata teman-temanku aku ini playboy. Sampai saat aku berkunjung kerumah Pak Chandra untuk pertama kalinya, aku bertemu Divya d
#Mengantar surat ceraiAku segera mendorong tubuh Mas Bima. Dia tiba-tiba memelukku dengan sangat erat. Aku dan dia bukan suami istri lagi. Lagipula aku terlanjur jijik dengan dia. Kalau bukan karena ingin mengantar langsung surat cerai ini ke tangannya, aku tak akan mau bertemu dengan laki-laki maniak yang culas ini. Aku sengaja mengantar surat ini langsung padanya. Biar dia tak lagi datang menggangguku. Bisa saja kan, dia mengaku tak pernah menerima surat cerai. Laki-laki seperti dia, bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.Dia terhuyung ke belakang, tangan kanannya berusaha menggapai pinggiran meja. Namun terlambat, dia akhirnya jatuh terjengkang. Dia masih sulit menjaga keseimbangan, karena betisnya yang sebelah kiri masih sakit akibat tembakan dari polisi, karena dia hendak melarikan diri malam itu. Hatiku sudah mati rasa terhadapnya. Tak ada rasa kasihan melihatnya seperti itu. Dia yang sudah membunuh rasa itu. Jadi jangan menyalahkan aku, kalau aku ta
Membawa Bunda ke kampungMasih lagi aku mau buka mulut, hapeku berdering. Segera kulihat dulu, siapa tau penting. Ternyata dari Bulek Ratmi. Barangkali mereka sudah kelamaan menunggu. Hingga Bulek merasa jenuh."Halo, assalamualaikum Bulek," salamku."Waalaikum salam. Kenapa lama sekali?" tanya Bulek."Sebentar Bulek. Divya otw ya," jawabku. Segera kuputuskan panggilan. Agar tak makan waktu lebih lama lagi."Om, Divya harus segera ke rumah sakit sekarang," kataku pada Om Anton seraya memasukkan hapeku ke dalam tas. "Tunggu dulu. Apa yang kamu maksud, Rafika?" tanya Om Anton. Ternyata Om Anton juga mengenal Bunda."Iya Om. Om kenal sama Bunda?" tanyaku."Kenal. Kenal sekali malah. Dia dulu bekerja di warung sebelah, waktu masih gadis. Dia bisa kenal dengan Hendra, karena Om mengajak Hendra makan di warung itu," ungkap Om Anton. Aku jadi tertarik mendengarnya. Barangkali dari sini, aku bisa cari keluarga Bunda. Yang tentunya keluargaku juga. "Om tau, kalau Divya anak kandung Bapak Hen
#Bunda enggan diobati oleh Ustad MahmudNamun aku diam saja. Terkesan tidak sopan kalau aku mengungkapkan di depan Ustad Mahmud, kalau aku tak setuju dia turut mengobati Bunda. Ustad Mahmud yang tadinya duduk di sofa, bangkit mendekati Umi. Dia duduk tepat di hadapan Bunda, memandang dengan seksama wajah Bunda yang layu. "Ibu. Ikhlas," kata Ustad Mahmud lembut pada Bunda. Entah apa maksudnya? Bunda menangis. Air mata tampak jelas merembes dari sudut matanya yang sayu. Aku agak terkesiap. Kenapa hanya mendengar satu kata saja membuat Bunda jadi seperti itu? Tangisannya bikin iba siapa yang melihat meski dia tak meraung. Bunda terlihat seperti menyimpan beban luka yang sangat perih. "Saya tau, nggak mudah. Tapi hanya akan menyiksa batin Ibu sendiri. Ikhlaskan semua. Ini sudah ketentuan Allah," nasehat Ustad Mahmud. Bahu Bunda justru semakin kuat berguncang. Entah kenapa? Lagi. Aku ikut mengeluarkan air mata. Aku seolah bisa merasakan keperihan hati Bunda. Bunda menggeleng lemah. A
#Arsen demamAku sangat lega setelah mendapat pencerahan dari Ustad Mahmud. "Terima kasih penjelasannya Ustad. Semoga Bunda mau diobati dengan terapi ruqyah Ustad." "Sama-sama. Terus motivasi Ibu Rafika. Setiap penyakit pasti ada obatnya. Termasuk yang dialami Bu Rafika. Jadi jangan putus asa. Saya juga hanya bisa membantu semampu saya. Bagaimana hasilnya nanti, biar Allah yang menentukan," kata Ustad Mahmud. Begitu merendahnya beliau."Ya Ustad. Saya mengerti," sahutku. "Kapan saja kalau perlu bantuan saya, hubungi saja. Nomor istri saya ada sama Bu Rajasa. Jam berapapun, walau tengah malam sekalipun. Insha Allah, saya datang. Kalau bisa, bila Bu Rafika sudah mau diterapi. Sebaiknya beliau dirawat di rumah saya. Biar bisa terus saya pantau," saran Ustad Mahmud.Sarannya ada benarnya juga. Sakit Bunda sudah semakin parah, bisa saja sewaktu-waktu dia drop. Siapa tau, melalui Ustad Mahmud, Allah menyembuhkan Bunda. Kalaupun Allah berkehendak lain. Aku ikhlas. Hanya saja … hatiku tetap
"Mbak Divya, Arsen sepertinya haus. Dia nggak mau minum susu lagi," kata Bik Sum gang baru datang dari arah dalam rumah. "Oh iya Bik. Sebentar lagi saya ke kamar," sahutku. "Maaf ya Bripda, saya mau ke dalam dulu," pamitku pada Bripda Farhan. Agak sedikit sungkan juga sih. "Oh silahkan. Tapi sebelumnya, saya boleh minta izin?" Kutahan langkah kakiku yang hendak pergi dari hadapannya. "Minta izin apa Bripda?" "Maaf sebelumnya kalau pertanyaan saya kurang sopan. Apakah masa iddah kamu sudah selesai? Kalau sudah, bolehkah saya menjalin silaturahim melalui hape?" Agak lucu aku mendengar pertanyaannya. Mungkin maksudnya, dia ingin menelepon aku. "Um … maksudnya sebagai sahabat," katanya agak gugup. "Baru saja selesai. Boleh saja kalau ingin menjadi sahabat saya," jawabku. Senyumannya langsung merekah sempurna. "Saya ke dalam dulu ya Bripda." Aku pamit. Takut Arsen mengamuk karena terlalu lama menunggu. Saat sampai di kamar, Arsem yang melihatku langsung menangis manja. Kuraih t
Bu Mega sangat aktif mengajak Bunda berbincang. Cukup membuatku terharu juga. "Kami nggak bisa lama-lama Divya. Takut kemalaman di jalan," kata Bu Mega padaku."Oh iya Bu. Sebentar saya ambilkan surat kuasanya." Aku segera bergegas mengambil surat kuasa yang sudah selesai kubuat tadi sore dan sudah ditanda tangani di atas materai. Aku kembali lagi ke ruang tamu dan memberikan surat itu ke tangan wanita berkacamata minus yang cukup tebal ini. Bu Mega memeriksa isi surat kuasa yang kubuat. "Ok. Berdoa ya, semoga besok hakim bisa memutuskan hukuman yang tepat untuk para tersangka," kata Bu Mega. "Aamiin. Semoga Bu. Saya terima apapun keputusan hakim. Kalau dirasa tak sebanding dengan perbuatannya, biarkan saja, tak perlu ajukan banding lagi. Saya capek, saya hanya ingin tenang sekarang. Mudah-mudahan, hukuman yang mereka terima, benar-benar menjadi pelajaran berharga buat mereka, supaya tidak mengulangi lagi di kemudian hari," kataku. Bu Mega tersenyum. "Kamu besar hati sekali. Jaran
#Menjelang sidang keduaAku sudah menghubungi Bu Mega, membicarakan tentang rencanaku untuk mencabut gugatanku terhadap Bu Malikah. Sebenarnya prosesnya lebih rumit, karena kasus sudah sampai ke meja persidangan. Aku harus menyatakan langsung di depan hakim kalau aku mencabut gugatan terhadap Bu Malikah. Itupun kalau hakim berkenan mengabulkan atas persetujuan tergugat. Mengingat juga, tersangka lebih dari satu orang. Tak apalah sedikit repot, kalau memang begitu prosedurnya. Hari demi hari terus berlalu. Aku juga masih tetap di kampung. Urusan kebun kuserahkan sepenuhnya pada Mas Bagus, agar aku bisa fokus dengan sidang, juga fokus menghabiskan sisa waktu bersama Bunda. Semakin hari kondisi Bunda semakin drop. Dia bersikeras tak mau dibawa ke rumah sakit. Katanya, dia ingin meninggal dengan seluruh keluarga ada di sampingnya. Bunda beralasan, percuma ke rumah sakit. Tak ada lagi obat yang bisa mengatasi penyakitnya. Dia tak mau jauh dari Arsen. Tau sendiri, kalau Bunda dirawat di r
#Ibu depresiTak perlulah aku menceritakan semuanya kasihan Bunda bila terseret dalam kasus ini. Biar semua itu menjadi rahasia bagi kami yang sudah mengetahuinya. Aku juga tak mau mengungkap, kalau karena masalah itu, Ibu Malikah sampai berulangkali melakukan perselingkuhan dengan orang-orang yang berbeda. "Saya nggak tau Bu. Hal seperti itu sangat pribadi. Hanya Ibu saya yang mengetahuinya," jawabku menutupi hal yang sebenarnya. Aku juga tak mau bilang, kalau Bu Malikah berbohong. Aku bertumbuh sebagai anaknya, bagaimanapun, di sudut hatiku yang lain, aku merasa tak sampai hati padanya setelah aku mengetahui cerita yang sebenarnya. Bu Mega bangkit dari duduknya. "Keberatan Yang Mulia," kata Bu Mega pada hakim, untuk menentang kata-kata Ibu. "Hal yang diungkapkan oleh Bu Malikah adalah masalah intern dia dan Pak Chandra. Seharusnya, sebagai seorang istri, Bu Malikah mencari solusi atas permasalahan yang mereka hadapi. Bukan justru menghancurkan suaminya," papar Bu Mega. Aku sang
#Semakin membaikUstad Mahmud sudah pulang kembali ke rumahnya. Kini hanya tinggal kami saja di rumah. Mas Bagus kuminta melihat kebun yang ada di sini, daripada dia bosan menunggu kami."Mbak. Arsen sudah bangun," kata Bik Sum. Kebetulan dia sedang melintas Dari dapur, aku sengaja membiarkan pintu kamar terbuka, jadi kalau Arsen bangun, kami akan segera mengetahuinya. Aku bangkit meninggalkan Bunda yang kembali tidur. Sementara Nenek juga masuk ke kamarnya. Tak bisa dipungkiri, pasti Nenek merasa terpukul atas kenyataan yang baru didengar. Tinggal Bulek Ratmi yang masih menemani Bunda sambil membaca masalah wanita zaman dulu yang sudah entah berapa kali dia baca. Yang kupahami dari pengakuan Bunda. Bundalah penyebab semua ini. Ini seperti kasus berantai, saling terkait antara satu dan yang lainnya. Bunda yang sakit hati sama Kakek, membuat Bapak menjadi suami yang tak bisa memenuhi nafkah batin Ibu Malikah. Ibu Malikah yang kecewa, menduga Bapak tak bisa mencintainya dan tak bisa m
#Bunda diruqyahSetelah berbasa basi sebentar. Ustad Mahmud permisi numpang sholat. Setiap akan mulai mengobati, Ustad Mahmud memulainya dengan sholat Sunnah terlebih dahulu. "Kita mulai ya Bu. Ingat, ikhlaskan semua hal yang membebani hati Ibu. Lepaskan semuanya, maafkan orang-orang yang Ibu anggap telah menyakiti Ibu. Sejatinya, kalau Ibu benar-benar mau sembuh, harus Ibu sendiri yang memohon dengan hati Ibu kepada Allah untuk menyembuhkan. Saya hanya membantu saja," kata Ustad Mahmud pada Bunda. Bunda hanya mengangguk menjawabnya. Ustad Mahmud menggunakan sarung tangan, beliau mulai mengarahkan tasbihnya ke arah Bunda dan mulai melantunkan ayat-ayat suci. Bacaannya begitu tartil dan merdu, hingga membuat merinding yang mendengar.Bunda tampak biasa saja, tidak ada reaksi apapun. Sampai saat dipertengahan Ustad Mahmud membaca doa ruqyah, Bunda mulai gelisah. Matanya liar kesana kemari. Agak terkejut kami melihat reaksinya. "Errgghhh errggghhh." Bunda tiba-tiba menggeram, seperti
#Bunda bersedia diobatiYa Allah. Arsen semakin panas dan rewel. Tadi kata bidan, gapapa. Arsen hanya demam. "Cup cup Sayang." Aku mencoba membuat Arsen tenang. Ini sudah larut malam. Takut mengganggu istirahat yang lain, terutama Bunda. "Divya!" Bulek memanggilku dari luar kamar. "Nopo Are, Ndok?" Nenek juga terbangun. Suara tangisnya Arsen sangat menggelegar, jelas saja terdengar kemana-mana. Kubuka pintu kamarku. Nenek dan Bulek segera masuk, disusul Bik Sum."Nopo Arsen?" tanya Nenek sambil memegang pipi Arsen."Oalah, anget banget! Sum, gawe minyak bawang. Kasih air jeruk nulis." Nenek terkejut mendapati suhu tubuh Arsen yang panas dan meminta Bik Sum membuatkan minyak bawang. Bik Sum.bergegas keluar, sementara aku masih sibuk menenangkan Arsen yang terus rewel. Tubuhnya tak bisa diam di gendonganku, seolah dia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Bik Sum datang kembali membawa sebuah piring kecil berisi minyak bawang."Sini, Arsen sama Uyut yo Ngger." Nenek mengulurkan tan
POV RafikahIngin sekali rasanya Bunda menceritakan semua ini langsung pada Divya. Tapi Bunda tak ingin Divya menjadi seorang pembenci seperti Bunda, Nak. Kebencian ini sudah mengakar kuat di hati Bunda. Mungkin karena Bunda juga sudah mengundang setan untuk menolong Bunda. Bunda sangat sakit hati sekali dengan perbuatan Tuan Rajasa yang terhornat itu! Bunda menemui Mang Pur, dan memintanya untuk melakukan sesuatu agar keluarga Rajasa tak bisa memiliki keturunan yang lain selain kamu. Bunda serahkan semua urusan padanya. Mang Pur mengenal seorang yang dianggap sakti di kampung. Yang lebih dikenal, sebagai Dukun. Bunda hanya membekali dia ongkos untuk pulang kampung dan syarat yang dia minta. Dia hanya minta biodata lengkap Bapak Chandra. Awalnya Bunda tak mengerti. Bunda ingin dia melakukan sesuatu untuk kakekmu, bukan dengan Bapak Chandra. Tapi dia meyakinkan Bunda untuk bermain halus, agar tak ada yang curiga. Dan tujuan Bunda juga tercapai. Caranya, dengan membuat kejantanan ba
POV RafikahMaafkan Bunda Divya. Sesungguhnya, Bunda sangat ingin memeluk erat Divya. Mencium Divya, seperti saat Divya kecil. Bunda sengaja bersikap jutek, agar saat Bunda pergi lagi nanti, Divya tak akan merasa kehilangan. Divya tak tau kan, selama ini Bunda selalu memantau Divya, lewat Ratmi? Bunda tau semua cerita tentang Divya dari Ratmi. Setiap kerinduan Bunda pada Divya, Bunda tuliskan lewat sebuah tulisan. Kalau dulu, Bunda hanya menuliskan semua di sebuah buku saja. Tapi sekarang, Bunda menuliskannya menjadi sebuah karya. Ada yang Bunda jadikan novel untuk menyambung hidup, ada juga yang Bunda jadikan koleksi pribadi Bunda saja. Dulu, saat akhirnya Bunda terpaksa meninggalkan Divya atas permintaan si Tuan Tanah kejam! Hati Bunda hancur, Nak. Bukan hanya tentang kehilangan Divya, tapi juga suami Bunda. Meninggalnya Bapak kandung Divya, berhasil membuat dunia Bunda terasa jungkir balik. Hingga akhirnya Bapak Chandra berhasil membangkitkan semangat Bunda lagi. Dia menawarkan