Ya Allah. Jangan biarkan dia bisa masuk ke kamarku. Adrenalinku terpacu dengan sangat kencang. Jantung rasanya berdebaran tak karuan, tanganku mulai berkeringat dingin. Cepat kuambil Arsen ke dalam gendonganku. Jangan sampai Arsen takut mendengar suara pintu yang berusaha dibuka paksa itu."Divya! Kamu di dalam?" Suara Bapak. Fiuh, berangsur aku bisa bernafas lega. Ternyata bukan Mas Bima yang datang."I–iya Pak," sahutku. Kuatur nafasku perlahan, agar irama jantungku kembali beraturan. Baru aku bangkit, untuk membuka pintu."Kenapa tak bilang, kalau mau pulang? Kan, bisa Bapak jemput," kata Bapak begitu aku menampakkan wajah di hadapannya. Masih seperti dulu, tetap perhatian padaku."Divya tadi langsung ke pengadilan agama, Pak," kataku. Bapak mengambil Arsen dari gendonganku. Kelihatan sekali dia kangen pada cucu semata wayangnya."Apa tak bisa lagi diubah keputusanmu?" tanya Bapak sembari duduk di sofa. Aku juga duduk di sofa yang lain. "Divya nggak bisa memaksakan hati Divya lagi
"Pak, Divya tadi bertemu pengacara yang akan membantu proses cerai Divya." Aku memberitahu Bapak mengenai Bang Dion. "Terus, apa katanya?" tanya Bapak."Ya dia bisa bantu, kalau Divya sudah menyelesaikan administrasi. Bisa aja sih, gratis tanpa biaya, paling hanya biaya baterai dan fotocopy aja. Tapi harus mengurus surat keterangan tidak mampu," jelasku. "Berapa biayanya?" tanya Bapak lagi. Jelas saja Bapak lebih milih membayar, daripada harus aku mengurus surat keterangan tidak mampu. Bisa hilang muka Bapak, di hadapan staff desa nanti."Um, tunggu ya Pak." Aku segera ke kamarku. Mengambil hape yang kuletakkan di atas bantal. Aku membuka pesan dari Bang Dion tadi, lalu menunjukkan pada Bapak. "Ini Pak," kataku.Bapak berdiri, sambil menggendong Arsen. Bapak melihat nilai yang tertera di pesan Bang Dion, juga semua rinciannya. "Ya sudah, nanti ke rumah. Bapak nggak bawa uang," kata Bapak.Aku termangu, duduk kembali di sofa. Bapak masih berdiri, sambil menimang Arsen. Ke rumah Bap
"Sana gih, cepat. Kalau terlalu malam melewati kebun sawit, kasihan Arsen," kata Bapak usai dia sholat. Bapak cepat sekali sholatnya. Apakah Bapak tak bisa khusyuk? Atau … ah sudahlah, lebih baik aku cepat berwudhu. Entah kenapa, sejak peristiwa yang menimpa Satria, aku selalu saja paranoid dengan hal-hal yang begituan. Apalagi aku ingat, waktu itu Bapak sempat muntah. Namun Bapak tak mau datang lagi untuk di ruqyah.Bapak benar, untuk keluar menuju ke jalan raya, butuh waktu sekitar dua puluh menit. Takutnya Arsen akan takut nanti, melihat pohon-pohon sawit di kegelapan malam. Pasti akan tampak menyeramkan di mata anak kecil seusia Arsen. Jangankan Arsen, aku sendiri terkadang takut kalau memandang pohon-pohon sawit yang berjajar rapi di malam hari. Berasa horor kalau diliatin lama-lama. Bapak menunggu di ruang tamu, seperti aku tadi. Usai sholat aku bermunajat pada yang Maha Kuasa, berharap keputusanku untuk berpisah dari Mas Bima adalah keputusan yang tepat. Memohon kelancaran, j
Usai menunaikan sholat Isya, aku rebahan di sebelah Arsen. Kuambil gawaiku dari dalam tas. Kucari nama Bang Dion. Aku mau mengabari dia kalau aku besok akan ke Pengadilan Agama untuk mengantar berkas yang diperlukan lagi, juga uang untuk biaya mengajukan perkara gugatan ceraiku.Telponku tersambung, tapi belum diangkat. Mungkin dia sedang sholat atau ada hal lain. Sampai nada sambung berakhir, tak juga diangkat. Kucoba lagi, dengan sabar aku menunggu panggilanku diangkat olehnya. "Halo. Assalamualaikum." Akhirnya diangkat juga panggilanku."Waalaikum salam. Ini saya Divya Bang. Yang pagi tadi kita ketemu di kantor Pengadilan Agama," jelasku. "Divya yang senyumnya manis itu kan, yang ada gingsulnya." Dia malah menggodaku, dan berhasil membuat pipi ku jadi panas. Kalau aku bercermin, pasti ada semburat merah di pipiku."Malah gombal. Serius nih, besok kita ketemu di pengadilan lagi ya," kataku untuk menutup rasa kikuk yang tiba-tiba hadir."Wah, baru tadi pagi ketemu, udah kangen aja.
Sampai di kamar, adrenalinku benar-benar terpacu. Dadaku berdebaran Sanca kencang, mana haus lagi. Belum sempat ambil minum tadi. Apa aku tak salah dengar tadi? Berarti, Bapak tak pernah mencintai Ibu selama ini? Berarti, semua kemesraan dan keharmonisan yang dipertontonkan, hanya drama saja. Gila! Pantas saja Bapak tak begitu peduli dengan kelakuan buruk Ibu. Dia hanya mementingkan nama baik saja, hingga hatinya sekeras batu, atau … ada hal lain yang membuat Bapak seperti itu? Mataku tak bisa terpejam lagi, masih terngiang kata-kata Ibu tadi. Ah, lebih baik aku sholat tahajud saja, biar adem hati ini. ★★★KARTIKA DEKA★★★"Bapak jadi ikut sama Divya?" tanyaku pada Bapak saat kami sedang menikmati sarapan di meja makan. Hanya ada aku, Bapak dan Arsen di gendonganku. Ibu? Aku tak tau dia dimana, dan aku tak peduli tentang itu. Aku tak mengizinkan Bik Sum menggendong Arsen, aku sengaja pura-pura ngambek sama dia. Biar dia tau, kalau dia bersekongkol sama Ibu, itu adalah sebuah kesalah
"Kamu yakin, kamu tak salah lihat." Astaga nih orang. Masih nggak percaya juga. Disodorkannya padaku satu gelas air mineral. Kuterima, kumasukkan sedotannya dan langsung menyedotnya sampai habis. Pengen marah sama nih orang, tapi kok alasannya nggak jelas.Huuuhhhh haaaahhh. Kutarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Baiklah, tak ada malu-malu lagi. Biar Bang Dion tau dan jelas dengan ceritaku. "Saya nggak salah lihat Bang. Saya melihat dengan mata saya sendiri. Saya juga dalam keadaan sadar, tidak sedang bermimpi atau baru bangun dari tidur. Apa perlu saya peragakan caranya biar Abang percaya?" tantangku. Berusaha menutupi rasa kesalku."Boleh, saya bersedia jadi pemeran suami kamu. Dimana? Disini? Ayo." Mataku melotot mendengarnya. Tak menyangka dia malah menantangku balik. Kuambil sendiri air mineral yang ada di tengah meja, kali ini nggak pake sedotan, tapi langsung kukoyak segelnya dan langsung kutenggak sampai habis. Haduh, hilang kalemku di hadapannya. Kok ngeselin ya
"Percuma kesana, Rafika tak di sana lagi. Sudah sangat lama dia pergi," kata Bapak.Aku melihat ke jalanan. Menerawang jauh, menghayal seandainya aku bisa bertemu dengan ibu kandungku. Ibu yang sudah melahirkanku di tengah kedukaannya saat Ayah kandungku meninggal. Membayangkannya membuat mataku panas. "Ssruut srruut." Aku menyedot ingus yang ikut timbang rasa dengan air mata yang perlahan tapi pasti mengalir dari kelopak mataku."Kamu nangis?" tanya Bapak. Pengen rasanya aku jawab, nggak Pak, Divya ketawa. Tapi urung kulakukan, diam saja lebih baik. Hatiku sedang melow sekarang. Toh Bapak bisa lihat kalau aku menangis. Kuambil tisu yang ada di atas dashboard. Kuusap air mata dulu baru hidungku yang berair. "Divya ingin sekali bertemu Ibu kandung Divya, Pak," kataku. Bapak menghembuskan nafasnya yang berat. "Nanti Bapak coba cari nomor sahabat Bapak itu. Sudah belasan tahun kami tak saling berhubungan. Nomornya hilang entah kemana. Dulu bukan seperti sekarang, pake hape. Dulu hany
"Gimana Pak? Udah Bapak cari tau sama teman-teman Bapak?" tanyaku pagi ini dengan semangat pada Bapak. Kuabaikan Ibu yang sedang joging.Pagi ini, Bapak duduk santai sambil menikmati segelas kopi juga pisang goreng yang pastinya buatan Bik Sum. Sementara Ibu Joging ringan di halaman belakang tanpa alas kaki. Kalau orang lain yang melihat kami, pasti iri. Betapa hangatnya situasi keluarga di rumah ini. Mereka tak tau aja, ada larva panas yang sedang menggelegak di dalamnya. Satu malaman aku hampir tak bisa tidur dengan nyenyak. Menunggu pagi datang, rasanya lama sekali. Aku ingin segera menagih janji Bapak semalam, yang ingin mencari nomor kontak sahabat lamanya yang ada di Jakarta. Sahabat baik Bapak, yang dulu Bapak percayakan untuk menjaga ibu kandungku.Rasanya waktu berjalan sangat lambat. Aku ingin segera mendengar kabar baik dari Bapak. Jadi begitu pagi datang. Kulihat Bapak juga sudah duduk santai menikmati masa pensiunnya, langsung aku datangi. Heran juga, kenapa Bapak masih
"Mbak Divya, Arsen sepertinya haus. Dia nggak mau minum susu lagi," kata Bik Sum gang baru datang dari arah dalam rumah. "Oh iya Bik. Sebentar lagi saya ke kamar," sahutku. "Maaf ya Bripda, saya mau ke dalam dulu," pamitku pada Bripda Farhan. Agak sedikit sungkan juga sih. "Oh silahkan. Tapi sebelumnya, saya boleh minta izin?" Kutahan langkah kakiku yang hendak pergi dari hadapannya. "Minta izin apa Bripda?" "Maaf sebelumnya kalau pertanyaan saya kurang sopan. Apakah masa iddah kamu sudah selesai? Kalau sudah, bolehkah saya menjalin silaturahim melalui hape?" Agak lucu aku mendengar pertanyaannya. Mungkin maksudnya, dia ingin menelepon aku. "Um … maksudnya sebagai sahabat," katanya agak gugup. "Baru saja selesai. Boleh saja kalau ingin menjadi sahabat saya," jawabku. Senyumannya langsung merekah sempurna. "Saya ke dalam dulu ya Bripda." Aku pamit. Takut Arsen mengamuk karena terlalu lama menunggu. Saat sampai di kamar, Arsem yang melihatku langsung menangis manja. Kuraih t
Bu Mega sangat aktif mengajak Bunda berbincang. Cukup membuatku terharu juga. "Kami nggak bisa lama-lama Divya. Takut kemalaman di jalan," kata Bu Mega padaku."Oh iya Bu. Sebentar saya ambilkan surat kuasanya." Aku segera bergegas mengambil surat kuasa yang sudah selesai kubuat tadi sore dan sudah ditanda tangani di atas materai. Aku kembali lagi ke ruang tamu dan memberikan surat itu ke tangan wanita berkacamata minus yang cukup tebal ini. Bu Mega memeriksa isi surat kuasa yang kubuat. "Ok. Berdoa ya, semoga besok hakim bisa memutuskan hukuman yang tepat untuk para tersangka," kata Bu Mega. "Aamiin. Semoga Bu. Saya terima apapun keputusan hakim. Kalau dirasa tak sebanding dengan perbuatannya, biarkan saja, tak perlu ajukan banding lagi. Saya capek, saya hanya ingin tenang sekarang. Mudah-mudahan, hukuman yang mereka terima, benar-benar menjadi pelajaran berharga buat mereka, supaya tidak mengulangi lagi di kemudian hari," kataku. Bu Mega tersenyum. "Kamu besar hati sekali. Jaran
#Menjelang sidang keduaAku sudah menghubungi Bu Mega, membicarakan tentang rencanaku untuk mencabut gugatanku terhadap Bu Malikah. Sebenarnya prosesnya lebih rumit, karena kasus sudah sampai ke meja persidangan. Aku harus menyatakan langsung di depan hakim kalau aku mencabut gugatan terhadap Bu Malikah. Itupun kalau hakim berkenan mengabulkan atas persetujuan tergugat. Mengingat juga, tersangka lebih dari satu orang. Tak apalah sedikit repot, kalau memang begitu prosedurnya. Hari demi hari terus berlalu. Aku juga masih tetap di kampung. Urusan kebun kuserahkan sepenuhnya pada Mas Bagus, agar aku bisa fokus dengan sidang, juga fokus menghabiskan sisa waktu bersama Bunda. Semakin hari kondisi Bunda semakin drop. Dia bersikeras tak mau dibawa ke rumah sakit. Katanya, dia ingin meninggal dengan seluruh keluarga ada di sampingnya. Bunda beralasan, percuma ke rumah sakit. Tak ada lagi obat yang bisa mengatasi penyakitnya. Dia tak mau jauh dari Arsen. Tau sendiri, kalau Bunda dirawat di r
#Ibu depresiTak perlulah aku menceritakan semuanya kasihan Bunda bila terseret dalam kasus ini. Biar semua itu menjadi rahasia bagi kami yang sudah mengetahuinya. Aku juga tak mau mengungkap, kalau karena masalah itu, Ibu Malikah sampai berulangkali melakukan perselingkuhan dengan orang-orang yang berbeda. "Saya nggak tau Bu. Hal seperti itu sangat pribadi. Hanya Ibu saya yang mengetahuinya," jawabku menutupi hal yang sebenarnya. Aku juga tak mau bilang, kalau Bu Malikah berbohong. Aku bertumbuh sebagai anaknya, bagaimanapun, di sudut hatiku yang lain, aku merasa tak sampai hati padanya setelah aku mengetahui cerita yang sebenarnya. Bu Mega bangkit dari duduknya. "Keberatan Yang Mulia," kata Bu Mega pada hakim, untuk menentang kata-kata Ibu. "Hal yang diungkapkan oleh Bu Malikah adalah masalah intern dia dan Pak Chandra. Seharusnya, sebagai seorang istri, Bu Malikah mencari solusi atas permasalahan yang mereka hadapi. Bukan justru menghancurkan suaminya," papar Bu Mega. Aku sang
#Semakin membaikUstad Mahmud sudah pulang kembali ke rumahnya. Kini hanya tinggal kami saja di rumah. Mas Bagus kuminta melihat kebun yang ada di sini, daripada dia bosan menunggu kami."Mbak. Arsen sudah bangun," kata Bik Sum. Kebetulan dia sedang melintas Dari dapur, aku sengaja membiarkan pintu kamar terbuka, jadi kalau Arsen bangun, kami akan segera mengetahuinya. Aku bangkit meninggalkan Bunda yang kembali tidur. Sementara Nenek juga masuk ke kamarnya. Tak bisa dipungkiri, pasti Nenek merasa terpukul atas kenyataan yang baru didengar. Tinggal Bulek Ratmi yang masih menemani Bunda sambil membaca masalah wanita zaman dulu yang sudah entah berapa kali dia baca. Yang kupahami dari pengakuan Bunda. Bundalah penyebab semua ini. Ini seperti kasus berantai, saling terkait antara satu dan yang lainnya. Bunda yang sakit hati sama Kakek, membuat Bapak menjadi suami yang tak bisa memenuhi nafkah batin Ibu Malikah. Ibu Malikah yang kecewa, menduga Bapak tak bisa mencintainya dan tak bisa m
#Bunda diruqyahSetelah berbasa basi sebentar. Ustad Mahmud permisi numpang sholat. Setiap akan mulai mengobati, Ustad Mahmud memulainya dengan sholat Sunnah terlebih dahulu. "Kita mulai ya Bu. Ingat, ikhlaskan semua hal yang membebani hati Ibu. Lepaskan semuanya, maafkan orang-orang yang Ibu anggap telah menyakiti Ibu. Sejatinya, kalau Ibu benar-benar mau sembuh, harus Ibu sendiri yang memohon dengan hati Ibu kepada Allah untuk menyembuhkan. Saya hanya membantu saja," kata Ustad Mahmud pada Bunda. Bunda hanya mengangguk menjawabnya. Ustad Mahmud menggunakan sarung tangan, beliau mulai mengarahkan tasbihnya ke arah Bunda dan mulai melantunkan ayat-ayat suci. Bacaannya begitu tartil dan merdu, hingga membuat merinding yang mendengar.Bunda tampak biasa saja, tidak ada reaksi apapun. Sampai saat dipertengahan Ustad Mahmud membaca doa ruqyah, Bunda mulai gelisah. Matanya liar kesana kemari. Agak terkejut kami melihat reaksinya. "Errgghhh errggghhh." Bunda tiba-tiba menggeram, seperti
#Bunda bersedia diobatiYa Allah. Arsen semakin panas dan rewel. Tadi kata bidan, gapapa. Arsen hanya demam. "Cup cup Sayang." Aku mencoba membuat Arsen tenang. Ini sudah larut malam. Takut mengganggu istirahat yang lain, terutama Bunda. "Divya!" Bulek memanggilku dari luar kamar. "Nopo Are, Ndok?" Nenek juga terbangun. Suara tangisnya Arsen sangat menggelegar, jelas saja terdengar kemana-mana. Kubuka pintu kamarku. Nenek dan Bulek segera masuk, disusul Bik Sum."Nopo Arsen?" tanya Nenek sambil memegang pipi Arsen."Oalah, anget banget! Sum, gawe minyak bawang. Kasih air jeruk nulis." Nenek terkejut mendapati suhu tubuh Arsen yang panas dan meminta Bik Sum membuatkan minyak bawang. Bik Sum.bergegas keluar, sementara aku masih sibuk menenangkan Arsen yang terus rewel. Tubuhnya tak bisa diam di gendonganku, seolah dia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Bik Sum datang kembali membawa sebuah piring kecil berisi minyak bawang."Sini, Arsen sama Uyut yo Ngger." Nenek mengulurkan tan
POV RafikahIngin sekali rasanya Bunda menceritakan semua ini langsung pada Divya. Tapi Bunda tak ingin Divya menjadi seorang pembenci seperti Bunda, Nak. Kebencian ini sudah mengakar kuat di hati Bunda. Mungkin karena Bunda juga sudah mengundang setan untuk menolong Bunda. Bunda sangat sakit hati sekali dengan perbuatan Tuan Rajasa yang terhornat itu! Bunda menemui Mang Pur, dan memintanya untuk melakukan sesuatu agar keluarga Rajasa tak bisa memiliki keturunan yang lain selain kamu. Bunda serahkan semua urusan padanya. Mang Pur mengenal seorang yang dianggap sakti di kampung. Yang lebih dikenal, sebagai Dukun. Bunda hanya membekali dia ongkos untuk pulang kampung dan syarat yang dia minta. Dia hanya minta biodata lengkap Bapak Chandra. Awalnya Bunda tak mengerti. Bunda ingin dia melakukan sesuatu untuk kakekmu, bukan dengan Bapak Chandra. Tapi dia meyakinkan Bunda untuk bermain halus, agar tak ada yang curiga. Dan tujuan Bunda juga tercapai. Caranya, dengan membuat kejantanan ba
POV RafikahMaafkan Bunda Divya. Sesungguhnya, Bunda sangat ingin memeluk erat Divya. Mencium Divya, seperti saat Divya kecil. Bunda sengaja bersikap jutek, agar saat Bunda pergi lagi nanti, Divya tak akan merasa kehilangan. Divya tak tau kan, selama ini Bunda selalu memantau Divya, lewat Ratmi? Bunda tau semua cerita tentang Divya dari Ratmi. Setiap kerinduan Bunda pada Divya, Bunda tuliskan lewat sebuah tulisan. Kalau dulu, Bunda hanya menuliskan semua di sebuah buku saja. Tapi sekarang, Bunda menuliskannya menjadi sebuah karya. Ada yang Bunda jadikan novel untuk menyambung hidup, ada juga yang Bunda jadikan koleksi pribadi Bunda saja. Dulu, saat akhirnya Bunda terpaksa meninggalkan Divya atas permintaan si Tuan Tanah kejam! Hati Bunda hancur, Nak. Bukan hanya tentang kehilangan Divya, tapi juga suami Bunda. Meninggalnya Bapak kandung Divya, berhasil membuat dunia Bunda terasa jungkir balik. Hingga akhirnya Bapak Chandra berhasil membangkitkan semangat Bunda lagi. Dia menawarkan