231“Maaf, Quin itu calon istri saya. Kami akan segera menikah. Itulah kenapa kami ke sini.”Kini, semua orang beralih pandang ke arah laki-laki muda yang barusan bicara. Percaya dirinya tak kalah tinggi dari Raka. Alister tersenyum miring. Sementara Quin berdecak pelan, dan Raka menatap tajam. “Maaf, tapi sudah kukatakan kalau aku tidak akan ikut pulang. Aku akan tetap di sini, Jimmy!” Quin menatap tajam pemuda yang disebut Matthew sebagai teman masa kecilnya. “Kita akan menikah Princess, seperti janji kita dulu.” Jeremy meyakinkan. Quin menggeleng seraya memejam, wajahnya sedikit pucat. “Jangan bergurau Jim, itu hanya janji anak-anak!”“Tapi aku menganggapnya serius walaupun saat itu kita masih anak-anak. Aku pangeran dan kau seorang puteri, kita mengucapkan janji sehidup semati. Tapi kau pergi jauh sekian lama, membuatku sulit menemukanmu. Kalau tidak, kita pasti sudah menunaikan janji kita.”Quin menggeleng lagi. Wajahnya semakin pucat. Gegas ia menoleh ke arah lelaki di sebel
232“Seharusnya Mama lebih bisa menjaga diri, Ma. Jangan terlalu genit. Ingat umur, Ma. Kita bahkan sudah punya cucu!”Aira memejamkan mata dengan kuat. Kesal. Sangat kesal. Apa sebenarnya yang dipikirkan suaminya? Sejak di rumah sakit tadi siang, sikapnya sangat mengesalkan. Bahkan membuat tensi melonjak tinggi. Bagaimana tidak? Alexander bertingkah seperti remaja umur belasan tahun yang sedang cemburu. Aira tidak boleh duduk di dekat lelaki mana pun. Tidak boleh bicara dengan lelaki mana pun. Bahkan seorang perawat sekali pun. Sikapnya sangat posesif. Itu semua membuat Aira benar-benar kesal. “Kalau Mama mau genit-genitan, sudah Mama lakukan sejak dulu, Pa. Saat masih muda dan cantik. Bukan sekarang saat usia hampir lima puluh dan sudah jadi nenek!” Karena kesal, wanita itu akhirnya menjawab, dan nyatanya itu membuat Alexander semakin meradang. “Oh, jadi saat masih muda dulu, Mama ada rencana buat selingkuh, begitu?” Alexander bertolak pinggang. Menatap marah wanita di hadapan
233Dengan dada bergolak menahan emosi, Alexander keluar kamar. Mencari keberadaan Aira. Ia akan meminta penjelasan sang istri kenapa pria itu mengirimi chat semacam itu. Tak rela rasanya ada pria lain menyebut istrinya cantik. Namun sayangnya, ia tak menemukan Aira di mana pun. Bertanya kepada Aldo atau Sandra? Itu tidak mungkin ia lakukan. Mereka pasti akan curiga.Ke mana Aira pergi? Tidak mungkin keluar rumah karena hari sudah malam. Lelaki itu gegas ke ruang kerja. Mengecek keberadaan sang istri dari CCTV adalah jalan tercepat. Beberapa lama lelaki itu mencari keberadaan Aira lewat layar di depannya. Mengecek dengan detail setiap lorong, ruang, atau di mana pun bagian rumahnya yang terpasang kamera CCTV. Hingga matanya tertuju sebuah lorong di mana Aira berjalan dengan marah, kemudian memasuki kamar pribadi saat ia masih menjadi ibu susu dulu. Alexander mengembus napas lega. Setidaknya Aira masih di dalam rumah. Tidak ke mana-mana. Lelaki itu gegas mematikan layar monitor di
234Alexander tertegun saat memasuki kamar sudah mendapati ruangan itu rapi dan bersih seperti biasa. Tidak ada lagi pecahan benda pintar milik Aira yang semalam berserakan karena ia banting dengan marah. Tempat tidur juga sudah rapi dengan baju kantor yang akan dipakainya pagi ini sudah tersedia di sana seperti biasa. Aira masih melaksanakan kewajibannya, walaupun sedang marah. Ya, Aira marah. Alexander yakin itu, karena saat ingin membuka pintu kamarnya setelah terbangun, pelayan menyampaikan kalau Aira sudah berada di ruang makan, dan Aira juga yang menyuruhnya membangunkan Alexander. Itu artinya Aira tahu dirinya tertidur di depan kamarnya. Namun, sang istri mengabaikannya, dan malah menyuruh pelayan yang membangunkan. Bukankah itu artinya Aira sangat marah? Namun, Alexander tak kalah marah bila mengingat pesan masuk tadi. Pesan yang Aira bahkan tidak tahu, karena kini ponselnya hancur dan kartunya ia sita. Saat Alexander tiba di ruang makan, Aira sedang menata piring untuk s
235Aira merasakan kepalanya pusing bukan main. Masalah keluarganya benar-benar menguras emosi dan tenaga. Raka dan Alister yang tak kunjung mau berdamai, suami yang cemburuan parah, sekarang ditambah masalah Sandra yang belum bisa ia ungkap. Sampai detik ini, gadis itu bahkan belum mau bicara masalah apa yang sedang menderanya. Padahal, ini sudah dua hari sejak ia mendatangi kamar sang anak. Sandra benar-benar bungkam. Tak mau berterus terang. Entah harus bagaimana lagi bicara dengan anak itu. Padahal Aira sudah berusaha memosisikan dirinya sebagai sahabat, agar gadis itu tak segan untuk bercerita. Ia juga berusaha tidak memaksa dan mendakwa agar Sandra tak semakin takut. Selama ini Aira berusaha tak bicara dulu dengan anggota keluarga yang lain, ia ingin bisa mengorek lebih dulu dari pengakuan Sandra sendiri. Baru setelahnya meminta solusi kepada yang lain. Bukan tanpa alasan kalau ia belum membicarakan dengan yang lain. Selain hubungannya dengan Alexander belum membaik pasca ke
236Hari bersejarah untuk Alister pun tiba. Hari ini, ia mengucap janji suci pernikahan lagi untuk kedua kali dalam hidupnya. Dengan wanita berbeda, walaupun dilihat sekilas pandang, kalau saja foto pernikahan mereka disandingkan, seolah Alister menikahi wanita yang sama. Hanya saja, yang ini posturnya lebih kecil dan imut. Mungkin karena ibunya berdarah Asia. Bila Vlora memiliki tinggi hampir sama dengannya, tinggi Quin hanya sebatas pundak laki-laki itu. Namun, fisik bukan tolak ukur seseorang menjatuhkan pilihan kepada pendamping hidup. Karena keindahan fisik akan pudar seiring perjalanan waktu. Kecantikan hati dan sikap yang lebih utama dan abadi. Banyak faktor kenapa Alister menjatuhkan pilihan kepada adik sepupu istrinya itu, dan kenapa ia begitu cepat memutuskan menikah lagi padahal belum lama Vlora pergi. Selain karena Quin masih sepupu Vlora, yang berarti akan semakin menjalin ikatan dengan keluarga Willis, banyak keistimewaan gadis itu yang membuat Alister yakin untuk me
237“Apa yang kau lakukan, Mr. Alister?” pekik Quin dengan wajah memucat. Dadanya terlihat bergerak cepat. Tangannya memegangi tepian meja rias dengan erat. Kening Alister berkerut, ia memiringkan wajah. Menatap ekspresi gadis yang baru disahkan menjadi istrinya tadi siang. “Ada apa?” tanyanya heran dengan kedua tangan terangkat di depan dada. “Aku yang seharusnya bertanya, apa yang kau lakukan?” Quin memegang dadanya yang bergerak cepat. Kening Alister semakin berlipat. “Memangnya apa yang kulakukan? Aku hanya memeluk istriku.” Wajah Alister heran. Quin berkedip, sebelum menarik napas dan membuang muka. “Ke mana bajumu?” Quin menunjuk dada Alister setelah dadanya cukup tenang. Alister memindai dirinya, sebelum mendekat dan melipat tangan di dada. “Kenapa?” Lelaki itu tersenyum nakal. “Kau mau bilang aku berkeliaran tanpa busana lagi?”Quin membuang muka lagi. Alister mengungkit hal itu terus. “Kalau kau bicara begitu lagi, akan kulakukan sekalian agar kau bisa melihatnya de
238Entah sampai berapa lama Alister menatap istri yang baru disahkannya dalam beberapa jam yang lalu. “Ok.” Alister mengibaskan tangan sebelum berjalan ke tepi ranjang pengantin, kemudian menjatuhkan dirinya dengan posisi telentang, hingga jatuh di sana dengan kelopak mawar yang terhampar di sana seolah berloncatan. Sebagian malah jatuh ke lantai. Sebagian lagi menempel di kulitnya. Lelaki itu memejam. Posisinya yang telentang membuat tubuh bagian depannya terekspos sempurna. Kimono tidurnya tak menutup apa pun kecuali punggungnya. Quin bahkan dapat melihat sesuatu yang menyembul di balik underwear berwarna abu-abu itu. Wanita itu membuang muka. Berusaha tak tergoda. “Apanya yang ok?” Quin heran kenapa Alister menanggapi dengan santai ucapannya. Bukankah itu penolakan yang menyakitkan? “Lakukan apa pun yang kau mau! Bilang kalau kau ingin aku kembalikan kepada orang tuamu. Mumpung keluargamu masih di sini semua!” Alister menjawab dengan mata tetap terpejam. “Apa maksudmu?” Quin
Extra partKepanikannya semakin menjadi saat nomor Aira tak kunjung diangkat. Sementara Anyelir menjerit-jerit merasakan rasa mulas di perutnya yang seolah diperas.Wanita paruh baya asisten rumah tangga mereka yang melihat kepanikan itu gegas menyuruh Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit. Sebagai wanita yang sudah berpengalaman melahirkan, ia tahu jika Anyelir akan segera melahirkan.Tanpa pikir panjang, Aldo mengangkat tubuh Anyelir yang beratnya sudah mencapai dua kali lipat dari berat normalnya karena kehamilan ini. Terlebih ada dua bayi kembar dalam perutnya. Untunglah rumah mereka kini bukan apartemen bertingkat. Hingga ia dengan mudah mengevakuasi sang istri.Berdua saja, Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit yang sudah mereka tunjuk untuk tempat bersalin. Sang asisten ia minta untuk terus menghubungi kelurganya, dan menyusul ke rumah sakit setelah urusan di rumah selesai.Selama perjalanan, Anyelir terus mencengkeram lengan Aldo karena merasakan mulas tak terkira. Belum lagi sese
Extra part“Kenapa, sayang?” Aldo yang baru memasuki rumah, menatap sang istri yang bibirnya maju.Anyelir tidak menjawab. Ia meraih tangan sang suami dan menciumnya takzim. Walaupun usia Aldo lebih muda, tetapi posisinya tetap kepala keluarga. Anyelir tetap menghormati dan memperlakukan bagaimana seharusnya memperlakukan suami.Aldo menarik tubuh sang istri tetapi dengan hati-hati agar tak mengganggu perut besarnya. Sebuah kecupan mendarat di kening berpoles bedak tipis. Kemudian beralih kedua pipi dan terakhir menghisap bibir majunya dengan gemas hingga si empunya bibir meronta minta dilepaskan.“Kau membuatku sesak napas.” Anyelir mendorong dada Aldo. “Ciuman macam apa itu?” lanjutnya dengan bibir semakin maju, ditambah tangan yang dilipat di dada.“Itu ciuman penawar marah. Juga penawar rasa lelah di kantor.”Anyelir menoleh. Ia tahu Aldo lelah bekerja seharian di kantor tetapi pulang langsung disuguhi sikap manja dan sensitifnya yang semakin menjadi sejak hamil. Namun, ia tak dap
528 “Tetaplah di sisiku sampai salah satu di antara kita menutup mata. Aku bahkan ingin kebersamaan ini berlanjut hingga kehidupan kekal kita kelak. Jangan pernah tinggalkan aku. Terus dampingi dan bantu aku dalam memperbaiki diri agar menjadi suami yang bisa membimbingmu dan anak-anak kita menjalani kehidupan ini dalam koridor yang lurus. Aku ingin menjadi imam dambaanmu, sayang.” Anyelir mendongak. Hatinya trenyuh. Sejak kejadian itu, Aldo memang banyak berubah. Ia membuktikan dirinya layak mendapatkan maaf dan kesempatan kedua. Anyelir sendiri membuktikan memaafkan dengan tidak pernah membahas masalah yang sama. Jika Aldo mulai mellow, meminta maaf dan terindikasi membahas hal sama, Anyelir sendiri yang mengingatkan dan mengajak melupakan semuanya dengan menatap ke depan. Ia sadar dirinya pun bukan manusia tanpa dosa. Ia bahkan bersikap kekanakan dalam menghadapi masalah ini. Saling memaafkan, saling sadar dan terus berbenah diri, itu yang mereka lakukan saat ini. Terlebih sebent
527Semua orang terdiam mendengar ucapan Sandra. Semua orang tahu jika Gita dirawat di RSJ karena saat ditahan sering mengamuk dan beberapa kali mencoba bunuh diri lagi, bahkan bayi dalam kandungannya sampai gugur karena perilakunya sendiri. Gita akhirnya dirawat di RSJ.Keluarga Aldo menganggap semua telah selesai, karena akhirnya Gita dinyatakan bersalah. Semua bukti dan saksi menunjukkan jika Aldo tidak bersalah. Andika dan istrinya kembali ke Kalimantan. Gita tidak menuntut apa pun kepada Andika, mungkin karena melihat kondisi laki-laki itu yang mengenaskan.Justru perseteruan dengan Aldo yang ia pertahankan walaupun pada akhirnya Gita harus merasakan kehidupan di balik jeruji besi dalam kondisi hamil.Publik juga sudah mulai melupakan kasus ini, hingga Aldo dan keluarga bebas bergerak tanpa banyak yang memperhatikan.Semua sudah berjalan normal dan baik-baik saja. Aldo dan Anyelir menjalani pernikahan dengan bahagia. Terlebih mereka akan memiliki anak. Hubungan mereka bahkan sema
526 “Aku mau poliandri, apa kau setuju?” Anyelir menatap serius. Hening. Binar penuh harap di mata Aldo seketika pudar dan meredup. Senyum yang tadi sempat tersungging, raib dalam waktu singkat. Dada pemuda itu mendadak sesak. Diteguknya ludah dengan susah payah karena kerongkongan yang mendadak kemarau. Napasnya tersengal seolah telah berlari puluhan kilo meter. Bibirnya bergetar. “Mana ada seperti itu, sayang?” tanyanya dengan senyum miris. Anyelir tersenyum. “Ada, ini bukan sungguhan. Jadi, aku hanya pura-pura saja.” “Maksudnya?” Mata Aldo memicing. Anyelir menarik napas panjang. “Begini, orang tua Haris menuntutnya untuk segera menikah. Sementara ia belum menemukan wanita yang cocok. Tapi ia menolak jika harus dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya. Jadi, ia memintaku untuk berpura-pura menjadi….” “Tidak!” Dengan napas yang semakin tersengal dan dada makin sesak, Aldo memotong ucapan Anyelir. “Apa kau sudah gila, sayang?” “Kenapa?” Anyelir memiringkan kepala. Tawan
525“Makanya jangan petakilan. Sudah mau jadi ayah kelakukan masih bocah.” Anyelir berkata ketus seraya melipat tangan di dada. Sementara Aldo terus meringis merasakan sakit di pinggangnya. Terpaksa harus dipijat lagi. Harus menahan lagi sakit yang lebih dari sebelumnya. Namun, di balik itu semua hatinya bahagia tiada tara. Sang istri sudah kembali seperti dulu. Hanya ketus karena kesal. Baginya tak apa diberi wajah ketus seperti itu, daripada harus mendapati wajah dingin yang membuatnya putus asa.Kini, bahkan Anyelir tengah menyuapinya. Ia yang untuk sementara hanya bisa tengkurap dengan kepala hanya bisa mendongak, kesulitan untuk sekadar menyuap. Praktis makan pun harus disuapi. Anyelir geleng-geleng kepala. Ini piring ketiga yang Aldo tandaskan. Pemuda itu seperti kelaparan. Memakan apa pun yang Anyelir suapkan dengan sangat rakus. Bahkan saat piring ketiga tandas pun, lelaki itu masih meminta tambah.“Berapa hari kau tidak makan?” tanya Anyelir heran saat menyuapi dari piring k
524“Sakit ….” Aldo merengek manja dengan wajah menengadah. Tangannya memeluk erat pinggang Anyelir yang pangkuannya ia jadikan bantal.Wajah lelaki itu terlihat berkeringat. Ringisan masih sesekali menghiasi wajahnya. Pemuda itu baru saja berteriak-teriak merasakan sakit akibat pijatan bapak tua penjaga villa.Akibat terlalu bersemangat dan terlampau bahagia karena melihat wanita yang dirindukannya selama ini ada di depan mata, ia berlari hingga tak memperhatikan apa pun lagi. Tangannya menyenggol keranjang buah di atas meja, hingga isinya jatuh ke lantai dan terinjak. Aldo terpeleset karena menginjak buah apel yang jatuh menggelinding, hingga tak terelakkan tubuhnya melayang jatuh. Namun, sebelumnya pinggangnya terbentur tepian meja hingga sakitnya menjadi berlipat-lipat.Beruntunglah bapak penjaga villa bisa memijat urat keseleo. Hingga ia langsung mendapat penanganan.Anyelir yang tengah memasak dibantu istri penjaga villa, kaget karena suara benturan keras. Wanita itu langsung me
524Aldo mengeratkan pelukan demi mendengar nasihat Aira. Kalau boleh memilih, ia ingin pernikahannya lanjut. Tak ingin tercerai berai karena anak yang akan menjadi korban. Kalau boleh ia ingin bertemu Anyelir dulu agar bisa bicara dari hati ke hati. Sayangnya, bahkan di mana keberadaan wanita itu, ia tidak tahu. “Jika Tuhan masih memberimu kesempatan, ingat gunakan sebaik-baiknya. Namun, jika semuanya hanya sampai di sini karena manusia hanya punya keinginan dan usaha, kau tetap harus bisa mengambil hikmahnya, Nak. Mungkin ini takdir kalian. Takdirmu. Jangan menyalahkan Tuhan. Apa yang terjadi sudah digariskan. Jika kalian harus bercerai, itu pasti takdir karena kau sudah berusaha memperbaiki semuanya. Yakin akan ada pelangi setelah hujan, Nak. Jika Tuhan memberi ujian ini, pasti disertai jalan keluar dan hikmah di baliknya.”Aldo hanya diam meresapi setiap kalimat sang ibu. Sungguh, ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan Anyelir. Namun, jika wanita itu tetap memaksa, ia bisa
523“Anye, kamu di mana?” Aldo duduk lesu di lobi hotel. Kepalanya menunduk dalam. Tangannya meremas rambut dengan kuat. Berkali-kali mengembus napas kasar. Beban di dadanya terasa ingin meledak. Setelah menunggu berminggu-minggu dengan setumpuk rindu dan penyesalan, kini hanya mendapati Anyelir yang sudah tidak berada di tempat.Aldo menyandar lemah seraya merogoh ponsel dalam saku. Mencoba keberuntungan. Menghubungi lagi Anyelir. Namun hingga berkali-kali dilakukannya, tetap hanya dijawab operator.Pemuda itu memejam sebelum bangkit dan berjalan keluar. Para pengawal berwajah datar sigap mengiringi.“Putari kota ini, Pak. Siapa tahu aku melihat keberadaan istriku,” titahnya kepada sopir setelah duduk di dalam mobil. Sang sopir hanya mengangguk sebelum menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Mengitari kota Surabaya seperti perintah sang majikan.Hampir seharian Aldo dan rombongan berputar-putar di sana. Semua jalan disusuri bahkan hingga jalan-jalan kecil hanya agar mendapat keber