222“Kau....” Alister bergumam tak selesai. Ia bingung harus bicara apa. Kalimat yang tadi sudah disiapkan untuk memarahi gadis itu, menguap entah ke mana. Dan ia masih saja menatap wajah yang dibingkai mukenah warna putih itu saat ekspresi Quin juga terkejut. Gadis itu baru menyadari ia menemui Alister masih dengan mukenah menutupi tubuhnya. Sekejap ia memegang kain yang membungkus kepalanya, sebelum menguasai diri, dan menunjukkan ekspresi datar. “Ada apa mencariku?” tanyanya setelah berhasil menguasai diri. “Makan dulu, kau belum makan sejak siang.” Akhirnya hanya itu kalimat yang keluar dari mulut Alister dengan pelan. “Aku tidak ingin disalahkan Mr. Willis kalau kau sampai sakit.”Setelah mengatakan itu, Alister berlalu dari hadapan Quin. Meninggalkan gadis yang menggerutu pelan. “Bisa tidak kau mengkhawatirkanku karena dirimu sendiri. Bukan karena orang lain?” Quin menghentakkan kaki sebelum menutup pintu dan melepas kain yang menutup tubuhnya. “Jadi, kau seorang muslimah?”
223“Apa yang kau lakukan?” Quin mendesis setelah melepaskan diri dari pelukan Alister. Wajahnya terlihat pucat, dadanya bergerak sangat cepat. Ia mundur beberapa langkah seraya memegangi dadanya. Alister menatap Quin, sebelum menatap kedua tangannya sendiri. Ia pun kaget kenapa melakukan itu. Semua hanya refleks karena gemas dengan semua ucapan gadis di depannya. Tidak ada sedikit pun maksud untuk memeluk Quin. “Maaf,” ucapnya pelan seraya menatap dengan perasaan beralah. Namun, hanya ditanggapi dengan Quin berlari ke kamarnya.Alister memejam, sebelum mengembus napas kasar. Kemudian berjalan gontai menuju kamarnya sendiri. Menatap Angel yang sudah tertidur pulas. Tersenyum, dan mendekat. Alister ingin selalu tidur memeluk Angel akhir-akhir ini. Padahal Angel juga punya kamar sendiri. Hanya bila bayi itu menangis ingin minum susu, ia akan mengantarkan Angel ke babysitternya. Setelah membersihkan diri, lelaki itu merebahkan diri di samping sang anak yang sudah pulas. Menatap wajah
224Hari ini lebih parah dari kemarin. Quin tidak bicara sama sekali. Yang ia lakukan hanya mengekori Alister. Bahkan, tak ada anggukan kepala sama sekali. Hanya, saat staf administrasi cantik di salah satu resto bicara dengan Alister, Quin baru bereaksi. Ia sengaja berdiri di antara keduanya, hingga staf bernama Sesil itu memasang wajah tidak suka. Quin tidak peduli. Ia bahkan bertekad kalau sudah bisa menghandel sendiri salah satu resto itu, ia akan memilih bekerja di sini, agar Alister tak perlu ke sana dan bertemu staf yang di matanya terlihat kegatalan. Satu yang membuat Quin semakin kesal. Tidak seperti kemarin, hari ini Alister cenderung mengabaikan aksi tutup mulutnya. Bila kemarin seharian Alister terus mengajaknya bicara meski dirinya tak menanggapi, bahkan terkesan merayu dirinya agar mau bicara, tidak untuk hari ini. Alister bahkan membiarkan dirinya yang tetap diam. Lelaki itu hanya bicara seperlunya terkait pekerjaan. Namun meski begitu, Quin tak pergi jauh sedetik pu
225“Ada yang bisa kubantu?”Melihat Quin yang shock dan bersandar di dinding yang sejajar dengan pintu, timbul jiwa iseng Alister. Lelaki itu sengaja keluar pintu dan lebih mendekat. Saat bell berbunyi, ia memang tengah berolah raga. Selain untuk menjaga kebugaran tubuhnya, malam ini hasrat kelelakiannya sedang tinggi, ia sedang merindukan sang istri, merindukan saat-saat mereka memadu kasih. Olah raga sampai lelah adalah jalan yang ia pilih agar hasrat itu tak tersalur semestinya. Namun, siapa sangka saat tengah asyik berolah raga, suara bell membuyarkan latihannya. Baby sitter tengah menidurkan Angel, hingga akhirnya ia yang harus membuka pintu. Alister mengintip dulu siapa yang datang dari layar interkom di samping pintu. Dan entah kenapa jiwa isengnya muncul begitu saja saat terlihat wajah cantik berbingkai kerudung yang sedang menunggu di depan pintu. Alister sudah menduga hal ini akan terjadi. Melihatnya dengan dada sedikit terbuka saja, Quin begitu malu dan mencak-mencak,
226Alister gelisah malam ini. Ia belum juga dapat memejamkan matanya. Padahal tubuhnya sangat lelah. Tadi sepulang Quin ke apartemen bawah, ia melanjutkan olahraga sampai tenaganya benar-benar terkuras. Padahal juga ia kembali ke sini dengan menaiki tangga setelah mengantar gadis itu sampai depan unitnya. Ya, tadi Alister mengantar gadis itu pulang untuk memastikan ia baik-baik saja. Pasalnya, setelah pembicaraan mereka yang tidak menemukan titik temu, Quin langsung pamit dengan wajah kuyu. Kini Alister gelisah. Entah karena apa. Ia bahkan heran dengan dirinya sendiri. Ia merasa tidak punya perasaan apa pun kepada gadis itu selain tanggung jawab yang diembankan Mr. Willis kepadanya. Namun, saat wanita itu berada dalam masalah, rasa ingin melindunginya begitu kuat. Lalu saat Quin menyebut laki-laki lain, ada rasa tak rela dalam hatinya. Alister mengusap wajahnya. Kemudian menatap foto Vlora yang tergantung di dinding kamar. “Vlo, bolehkah aku membagi hatiku untuk orang lain?” guma
227Alister mencoba tersenyum kepada pria bule yang wajahnya merah padam dan matanya memancarkan kemarahan maksimal. Matthew Willis. Alister mengenalnya. Pria itu adik kandung Artur Willis, ayah mertuanya. Mereka pernah bertemu dan bicara beberapa kali saat ia masih tinggal di Kanada dan menjadi bagian keluarga Willis. Hanya saja, Alister tidak menyangka kalau ayah Quin adalah pria ini. Selama menikah dengan Vlo, Quin tidak pernah terlihat di keluarga itu. Ia baru tahu belakangan kalau Matthew Willis punya anak gadis. Vlo juga tidak pernah bercerita kalau ia punya sepupu yang sangat mirip dengannya. Mungkin karena Quin kuliah di luar negeri. Atau seperti pengakuannya, kalau ia tidak membanggakan keluarga seperti Vlo, karenanya keluarga tidak begitu mengakui keberadaannya. Alister tersenyum seraya mengulurkan tangan. “Selamat sore Mr. Matthew Willis, selamat datang di negara kami. Senang bertemu kembali dengan Anda.” Sambutan ramah coba Alister berikan. Pria yang garis wajahnya
228“Apa maksudmu? Ingin menikahi putriku?” Mata Matthew kini menatap tajam Alister. “Ya, benar sekali Mr. Matthew Willis. Aku akan menikahi putrimu sesegera mungkin.” Alister menjawab yakin tanpa keraguan. Tangannya meremas lembut punggung tangan Quin yang sedingin es. Menghadirkan rasa hangat dan rasa-rasa lain yang berbaur di hati Quin. “Kau menikahi putriku, dan dia tetap ikut agamamu, begitu?” Matthew bertanya sinis. Alister mengangguk. Juga dengan yakin. Sementara Matthew tersenyum miring. “Apa kau pikir aku akan mengulang kebodohan Artur? Membiarkan putriku dinikahi laki-laki yang membawa pengaruh buruk kepadanya dan hanya bisa menumpang hidup dengan harta mertuanya?”Alister terperanjat. Ditatapnya lekat pria paruh baya yang baru saja berucap. “Maksud Anda?” Kedua alis Alister bertaut. Lelaki itu merasa tersinggung. “Aku tidak sebodoh Artur yang akan membiarkan putriku mengikuti keyakinan suaminya. Apalagi laki-laki itu hanya bisa menumpang hidup kepada keluarga istrinya
229“Bang Ali,” gumam Alister sambil tersenyum. Lelaki itu tengah mengemudikan mobilnya. Sementara di sampingnya, Quin terus membuang muka. Sejak kelepasan menyebut Alister dengan sebutan Bang Ali, Quin menjadi tak berani menatap Alister. Lelaki itu terus saja menggodanya. Panggilan yang sangat manis terdekat di telinga Alister. Entah dari mana Quin terpikir panggilan itu. Karena biasanya ia memanggil dirinya dengan sebutan kaku, Mr. Alister. Alister juga terus menggoda Quin dengan sebutan fans gelap. Karena gadis itu tahu banyak tentang dirinya. Padahal tidak pernah menanyakan apa pun. Mereka semua kini tengah dalam perjalanan menuju rumah Alexander. Pria itu memaksa ingin menjamu Matthew dan keluarganya. Awalnya Alexander sedang mencari Aira. Ia mengira sang istri pergi ke apartemen Alister. Namun, tak sengaja mendengar semua perdebatan di dalam apartemen milik besannya itu. Alexander sangat tersinggung saat mendengar seseorang merendahkan dan menuduh Alister dengan sangat keja
Extra partKepanikannya semakin menjadi saat nomor Aira tak kunjung diangkat. Sementara Anyelir menjerit-jerit merasakan rasa mulas di perutnya yang seolah diperas.Wanita paruh baya asisten rumah tangga mereka yang melihat kepanikan itu gegas menyuruh Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit. Sebagai wanita yang sudah berpengalaman melahirkan, ia tahu jika Anyelir akan segera melahirkan.Tanpa pikir panjang, Aldo mengangkat tubuh Anyelir yang beratnya sudah mencapai dua kali lipat dari berat normalnya karena kehamilan ini. Terlebih ada dua bayi kembar dalam perutnya. Untunglah rumah mereka kini bukan apartemen bertingkat. Hingga ia dengan mudah mengevakuasi sang istri.Berdua saja, Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit yang sudah mereka tunjuk untuk tempat bersalin. Sang asisten ia minta untuk terus menghubungi kelurganya, dan menyusul ke rumah sakit setelah urusan di rumah selesai.Selama perjalanan, Anyelir terus mencengkeram lengan Aldo karena merasakan mulas tak terkira. Belum lagi sese
Extra part“Kenapa, sayang?” Aldo yang baru memasuki rumah, menatap sang istri yang bibirnya maju.Anyelir tidak menjawab. Ia meraih tangan sang suami dan menciumnya takzim. Walaupun usia Aldo lebih muda, tetapi posisinya tetap kepala keluarga. Anyelir tetap menghormati dan memperlakukan bagaimana seharusnya memperlakukan suami.Aldo menarik tubuh sang istri tetapi dengan hati-hati agar tak mengganggu perut besarnya. Sebuah kecupan mendarat di kening berpoles bedak tipis. Kemudian beralih kedua pipi dan terakhir menghisap bibir majunya dengan gemas hingga si empunya bibir meronta minta dilepaskan.“Kau membuatku sesak napas.” Anyelir mendorong dada Aldo. “Ciuman macam apa itu?” lanjutnya dengan bibir semakin maju, ditambah tangan yang dilipat di dada.“Itu ciuman penawar marah. Juga penawar rasa lelah di kantor.”Anyelir menoleh. Ia tahu Aldo lelah bekerja seharian di kantor tetapi pulang langsung disuguhi sikap manja dan sensitifnya yang semakin menjadi sejak hamil. Namun, ia tak dap
528 “Tetaplah di sisiku sampai salah satu di antara kita menutup mata. Aku bahkan ingin kebersamaan ini berlanjut hingga kehidupan kekal kita kelak. Jangan pernah tinggalkan aku. Terus dampingi dan bantu aku dalam memperbaiki diri agar menjadi suami yang bisa membimbingmu dan anak-anak kita menjalani kehidupan ini dalam koridor yang lurus. Aku ingin menjadi imam dambaanmu, sayang.” Anyelir mendongak. Hatinya trenyuh. Sejak kejadian itu, Aldo memang banyak berubah. Ia membuktikan dirinya layak mendapatkan maaf dan kesempatan kedua. Anyelir sendiri membuktikan memaafkan dengan tidak pernah membahas masalah yang sama. Jika Aldo mulai mellow, meminta maaf dan terindikasi membahas hal sama, Anyelir sendiri yang mengingatkan dan mengajak melupakan semuanya dengan menatap ke depan. Ia sadar dirinya pun bukan manusia tanpa dosa. Ia bahkan bersikap kekanakan dalam menghadapi masalah ini. Saling memaafkan, saling sadar dan terus berbenah diri, itu yang mereka lakukan saat ini. Terlebih sebent
527Semua orang terdiam mendengar ucapan Sandra. Semua orang tahu jika Gita dirawat di RSJ karena saat ditahan sering mengamuk dan beberapa kali mencoba bunuh diri lagi, bahkan bayi dalam kandungannya sampai gugur karena perilakunya sendiri. Gita akhirnya dirawat di RSJ.Keluarga Aldo menganggap semua telah selesai, karena akhirnya Gita dinyatakan bersalah. Semua bukti dan saksi menunjukkan jika Aldo tidak bersalah. Andika dan istrinya kembali ke Kalimantan. Gita tidak menuntut apa pun kepada Andika, mungkin karena melihat kondisi laki-laki itu yang mengenaskan.Justru perseteruan dengan Aldo yang ia pertahankan walaupun pada akhirnya Gita harus merasakan kehidupan di balik jeruji besi dalam kondisi hamil.Publik juga sudah mulai melupakan kasus ini, hingga Aldo dan keluarga bebas bergerak tanpa banyak yang memperhatikan.Semua sudah berjalan normal dan baik-baik saja. Aldo dan Anyelir menjalani pernikahan dengan bahagia. Terlebih mereka akan memiliki anak. Hubungan mereka bahkan sema
526 “Aku mau poliandri, apa kau setuju?” Anyelir menatap serius. Hening. Binar penuh harap di mata Aldo seketika pudar dan meredup. Senyum yang tadi sempat tersungging, raib dalam waktu singkat. Dada pemuda itu mendadak sesak. Diteguknya ludah dengan susah payah karena kerongkongan yang mendadak kemarau. Napasnya tersengal seolah telah berlari puluhan kilo meter. Bibirnya bergetar. “Mana ada seperti itu, sayang?” tanyanya dengan senyum miris. Anyelir tersenyum. “Ada, ini bukan sungguhan. Jadi, aku hanya pura-pura saja.” “Maksudnya?” Mata Aldo memicing. Anyelir menarik napas panjang. “Begini, orang tua Haris menuntutnya untuk segera menikah. Sementara ia belum menemukan wanita yang cocok. Tapi ia menolak jika harus dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya. Jadi, ia memintaku untuk berpura-pura menjadi….” “Tidak!” Dengan napas yang semakin tersengal dan dada makin sesak, Aldo memotong ucapan Anyelir. “Apa kau sudah gila, sayang?” “Kenapa?” Anyelir memiringkan kepala. Tawan
525“Makanya jangan petakilan. Sudah mau jadi ayah kelakukan masih bocah.” Anyelir berkata ketus seraya melipat tangan di dada. Sementara Aldo terus meringis merasakan sakit di pinggangnya. Terpaksa harus dipijat lagi. Harus menahan lagi sakit yang lebih dari sebelumnya. Namun, di balik itu semua hatinya bahagia tiada tara. Sang istri sudah kembali seperti dulu. Hanya ketus karena kesal. Baginya tak apa diberi wajah ketus seperti itu, daripada harus mendapati wajah dingin yang membuatnya putus asa.Kini, bahkan Anyelir tengah menyuapinya. Ia yang untuk sementara hanya bisa tengkurap dengan kepala hanya bisa mendongak, kesulitan untuk sekadar menyuap. Praktis makan pun harus disuapi. Anyelir geleng-geleng kepala. Ini piring ketiga yang Aldo tandaskan. Pemuda itu seperti kelaparan. Memakan apa pun yang Anyelir suapkan dengan sangat rakus. Bahkan saat piring ketiga tandas pun, lelaki itu masih meminta tambah.“Berapa hari kau tidak makan?” tanya Anyelir heran saat menyuapi dari piring k
524“Sakit ….” Aldo merengek manja dengan wajah menengadah. Tangannya memeluk erat pinggang Anyelir yang pangkuannya ia jadikan bantal.Wajah lelaki itu terlihat berkeringat. Ringisan masih sesekali menghiasi wajahnya. Pemuda itu baru saja berteriak-teriak merasakan sakit akibat pijatan bapak tua penjaga villa.Akibat terlalu bersemangat dan terlampau bahagia karena melihat wanita yang dirindukannya selama ini ada di depan mata, ia berlari hingga tak memperhatikan apa pun lagi. Tangannya menyenggol keranjang buah di atas meja, hingga isinya jatuh ke lantai dan terinjak. Aldo terpeleset karena menginjak buah apel yang jatuh menggelinding, hingga tak terelakkan tubuhnya melayang jatuh. Namun, sebelumnya pinggangnya terbentur tepian meja hingga sakitnya menjadi berlipat-lipat.Beruntunglah bapak penjaga villa bisa memijat urat keseleo. Hingga ia langsung mendapat penanganan.Anyelir yang tengah memasak dibantu istri penjaga villa, kaget karena suara benturan keras. Wanita itu langsung me
524Aldo mengeratkan pelukan demi mendengar nasihat Aira. Kalau boleh memilih, ia ingin pernikahannya lanjut. Tak ingin tercerai berai karena anak yang akan menjadi korban. Kalau boleh ia ingin bertemu Anyelir dulu agar bisa bicara dari hati ke hati. Sayangnya, bahkan di mana keberadaan wanita itu, ia tidak tahu. “Jika Tuhan masih memberimu kesempatan, ingat gunakan sebaik-baiknya. Namun, jika semuanya hanya sampai di sini karena manusia hanya punya keinginan dan usaha, kau tetap harus bisa mengambil hikmahnya, Nak. Mungkin ini takdir kalian. Takdirmu. Jangan menyalahkan Tuhan. Apa yang terjadi sudah digariskan. Jika kalian harus bercerai, itu pasti takdir karena kau sudah berusaha memperbaiki semuanya. Yakin akan ada pelangi setelah hujan, Nak. Jika Tuhan memberi ujian ini, pasti disertai jalan keluar dan hikmah di baliknya.”Aldo hanya diam meresapi setiap kalimat sang ibu. Sungguh, ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan Anyelir. Namun, jika wanita itu tetap memaksa, ia bisa
523“Anye, kamu di mana?” Aldo duduk lesu di lobi hotel. Kepalanya menunduk dalam. Tangannya meremas rambut dengan kuat. Berkali-kali mengembus napas kasar. Beban di dadanya terasa ingin meledak. Setelah menunggu berminggu-minggu dengan setumpuk rindu dan penyesalan, kini hanya mendapati Anyelir yang sudah tidak berada di tempat.Aldo menyandar lemah seraya merogoh ponsel dalam saku. Mencoba keberuntungan. Menghubungi lagi Anyelir. Namun hingga berkali-kali dilakukannya, tetap hanya dijawab operator.Pemuda itu memejam sebelum bangkit dan berjalan keluar. Para pengawal berwajah datar sigap mengiringi.“Putari kota ini, Pak. Siapa tahu aku melihat keberadaan istriku,” titahnya kepada sopir setelah duduk di dalam mobil. Sang sopir hanya mengangguk sebelum menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Mengitari kota Surabaya seperti perintah sang majikan.Hampir seharian Aldo dan rombongan berputar-putar di sana. Semua jalan disusuri bahkan hingga jalan-jalan kecil hanya agar mendapat keber