150“Saya ikut senang kalau kamu sudah baikan. Oh ya, kenalkan saya Aldi. Mungkin kamu belum mengenal saya, tapi kamu sudah jalan-jalan ke rumah saya.”Kening Aira berkerut mendengar kalimat terakhir si pria.“Bapak ini pemilik apartemen di bawah apartemen Vallery, Sayang.” Alexander buka suara saat melihat sang istri kebingungan. Senyum tipis pun terbit di bibir Aira setelah mengerti. “Oh, jadi Bapak yang menolong saya kemarin? Terima kasih banyak, Pak. Kalau Bapak tidak menolong, mungkin saat ini saya tinggal nama.” Aira menangkupkan kedua telapak tangan di dada. “Tidak apa, itu sudah takdir. Tuhan menakdirkan kamu selamat dan panjang umur. Saya hanya perantara.”“Terima kasih.” Sekali lagi Aira berucap. “Tidak perlu sungkan. Sudah saya bilang itu takdir. Kebetulan saya sedang di rumah, mendengar keributan di belakang. Saat saya ke sana, melihat ada kaki wanita tergantung dari balkon atas. Takdir juga yang menggerakkan saya menarik tubuh kamu. Tapi saya menyesal tidak dapat menol
Aira memejam dengan kuat. Bayangan saat pria yang sekarang duduk di kursi pesakitan dengan baju berwarna orange itu, ingin menodainya, terus saja berkelebat. Mengganggu konsentrasinya. Padahal, Alexander sudah membawanya menemui psikiater untuk penyembuhan psikisnya. Sakit hati, jijik, benci, dan entah rasa apa lagi yang harus ia taklukan saat ini. Padahal sebelum masuk ke ruangan sidang sebagai saksi korban tadi, Alexander dan Sultan sudah memberinya banyak nasihat dan support agar ia tenang dan kuat. Namun, nyatanya saat harus berhadapan langsung dengan pria yang didakwa dengan pasal berlapis itu, tetap saja tubuhnya bereaksi berlebihan. Panas dingin, berkeringat, dada berdebar, lutut lemas dan masih banyak yang ia rasakan. Terlebih saat tahu kalau jaksa penuntut awalnya ingin menuntut dirinya dengan tuduhan berlapis juga. Menyerang Jo hingga pria itu cacat, juga membuat Vallery jatuh hingga meninggal. Syukurnya, dengan perjuangan Sultan dan tim-nya yang bekerja siang malam menc
152“Apa aku terlihat jelek dengan kumis dan jenggot ini?” Alexander masih mengusap wajahnya. “Papa tetap ganteng. Tetap maskulin. Aku tetap jatuh cinta. Bahkan lagi dan lagi. Hanya saja, akan sedikit aneh bila si kumis itu ....” Aira tidak melanjutkan kalimatnya. Ia malu membayangkan kegelian karena bulu-bulu yang mulai tumbuh liar di wajah sang suami. Alexander mengerti ke mana muara kalimat sang istri. Ia malah sengaja menarik wajah Aira. Lalu menggesekkan pipi mereka, hingga sang istri kegelian. Aira berusaha melepaskan dirinya. “Papa janji membawa kalian jalan-jalan ke luar negeri setelah semua berlalu,” ucap Alexander setelah beberapa saat lalu Aira melepaskan diri. Malu dilihat banyak orang walaupun semua berupa-pura tak melihat. “Cuma jalan-jalan?” Bola mata Aira berputar menggoda. Alexander gemas dibuatnya. Ia menarik pinggang sang istri. “Tentu saja bukan. Bahkan mungkin tidak akan ada jalan-jalan dalam arti sesungguhnya. Kita hanya akan jalan-jalan dalam kamar.”Keduan
Wanita bergaun sutera transparan itu berdiri di depan jendela kaca. Jendela yang langsung menghadap hamparan pasir putih dan deburan ombak yang terus menjilati batu karang.Kesempurnaan mahakarya Tuhan yang indah tiada tara terhampar sejauh mata memandang. Tiada sesiapa yang sanggup menyaingi hasil karya Sang Maha Pencipta. Wanita bergaun tipis tak bosan menikmati keindahan alam itu padahal mereka sudah dua hari di sana. Sungguh pandai suaminya memilih tempat ini untuk destinasi wisata keluarga sekaligus bulan madu yang tertunda. Hotel yang mereka sewa berada di atas bukit dengan jendela langsung menghadap keindahan laut di satu sisinya, dan kegagahan gunung yang menjulang tinggi dengan hamparan salju menyelimuti, di sisi lainnya. Bak berada di negeri dongeng, atau menyambangi alam mimpi. Namun semua nyata adanya. Wanita bergaun tipis melirik ke arah perutnya, di mana sepasang tangan kokoh baru saja melingkarinya. Disusul gesekan lembut tengkuknya dengan bulu-bulu halus yang baru
154Beberapa bulan kemudian.... Ruangan itu sudah tampak semarak dengan berbagai hiasan yang didominasi balon warna-warni dan berbagai bentuk. Kertas mengkilap berbulu yang juga berwarna-warni terbentang di sepanjang dinding dan menghubungkan setiap kelompok balon itu. Aneka karakter kartun dengan boneka besar-besar terpajang di setiap sudut ruang. Suasansa ceria khas anak-anak sangat terasa di sini. Dua birthday cake besar sudah tersaji di atas meja panjang, di pusat ruangan. Di belakangannya, terpampang spanduk besar bertuliskan Raka & Alister's birthday dengan huruf dan ornamen yang juga berwarna-warni dan ceria, khas anak-anak. Ya, hari ini perayaan ulang tahun Raka dan Alister yang kedua Tahun. Karena jarak hari lahir mereka yang tidak terlalu jauh. Hanya terpaut dua bulan saja. Mereka memutuskan menyatukan perayaan itu. Alexander ingin menebus kesalahan di masa lalu, saat ia malah menyinggung perasaan Aira saat ulang tahun anak-anak mereka. Wajah-wajah berseri penuh kebahag
155Dua puluh tiga tahun berlalu.... Sore hari langit berwarna keemasan. Matahari sudah tak terlalu menampakkan kegarangan. Ini jam sibuk. Kendaraan yang merayap di jalanan, polusi asap kendaraan yang mengepul dan membuat sedikit batuk, suara klakson dari para pengendara yang tidak sabar, menjadi pemandangan biasa di jalan-jalan protokol ibu kota. Seorang pemuda gagah berkulit sawo matang menghembus napas lega. Ia baru saja terbebas dari keramaian jalan bak arak-arakan itu, setelah membelokkan sepeda motor Kawasaki Ninja berwarna hijaunya memasuki gerbang sebuah kompleks perumahan elite. Itulah kenapa ia lebih suka menggunakan sepeda motor daripada kendaraan roda empat. Ia malas harus menghabiskan banyak waktu di jalan dengan bermacet-macetan. “Nanti aku tua di jalan, Pa, Ma.” Itu alasannya saat orang tuanya protes. Sementara orang tuanya ingin pemuda itu memakai mobil seperti saudaranya. Pemuda yang baru saja bernapas lega itu melebarkan mata di balik helm pullface-nya, saat te
Traffic light baru saja berwarna merah. Raka memejamkan mata sejenak. Ucapan gadis yang sejatinya akan dijodohkan dengan Alister itu terus saja terngiang. “Aku akan menerima perjodohan ini, jika Kak Raka laki-lakinya. Bukan Kak Alister!”Bagaimana bisa gadis itu berucap begitu lantang di hadapan dua keluarga yang berharap bisa menjadi besan itu, tanpa memikirkan perasaan semua orang? Pantaslah Alister pergi begitu saja. Ia pasti merasa harga dirinya diinjak-injak. Di satu sisi ia kagum dengan sikap berani gadis itu, tetapi di sisi lain menyayangkan pertemuan keluarga itu yang tidak mendapatkan hasil yang mereka inginkan. Raka tidak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu. Karena ia langsung berpamitan. Ada acara di luar yang harus ia hadiri. Terlebih sang ibu juga mewanti-wanti agar ia menjemput Alexandra, adik perempuan satu-satunya. Suara klakson panjang dari kendaraan di belakang mobilnya, menarik Raka ke alam nyata. Lampu telah berubah hijau sejak tadi, tetapi ia tak jua beran
157“Al.” Raka bergumam hampir tak terdengar. Kepalanya menggeleng lemah. Matanya menatap nanar. Tak percaya rasanya, saudara yang sama-sama tumbuh bersama sejak bayi itu berpikir sepicik itu. Bagi Raka, Alister bukan sekadar adik sepersusuan atau adik tiri. Ia sudah seperti saudara kembarnya. Sejak bayi mereka tumbuh bersama. Menyusu dari ibu yang sama. Selalu memakai pakaian yang sama. Mereka sering tidur dalam satu kasur. Bermain sama-sama. Menyantap makanan yang sama. Setiap menit setiap detik selalu bersama seolah tak terpisahkan. Raka tidak pernah merasa bersaing atau saling mengalahkan. Ia menyayangi Alister sebagai saudara dengan tulus. Sama seperti menyayangi Alexandra dan Aldo. Lalu kenapa harus ada ucapan seperti itu keluar dari mulutnya? “Keluar dari kamarku sekarang, Kak!” Alister mengulang perintah, saat Raka hanya diam mematung. Wajah sok sedihnya, di mata Alister sangat menyebalkan. Ia benci Raka. Pemuda itu selalu saja bernasib lebih baik dari dirinya. Padahal Rak
Extra partKepanikannya semakin menjadi saat nomor Aira tak kunjung diangkat. Sementara Anyelir menjerit-jerit merasakan rasa mulas di perutnya yang seolah diperas.Wanita paruh baya asisten rumah tangga mereka yang melihat kepanikan itu gegas menyuruh Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit. Sebagai wanita yang sudah berpengalaman melahirkan, ia tahu jika Anyelir akan segera melahirkan.Tanpa pikir panjang, Aldo mengangkat tubuh Anyelir yang beratnya sudah mencapai dua kali lipat dari berat normalnya karena kehamilan ini. Terlebih ada dua bayi kembar dalam perutnya. Untunglah rumah mereka kini bukan apartemen bertingkat. Hingga ia dengan mudah mengevakuasi sang istri.Berdua saja, Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit yang sudah mereka tunjuk untuk tempat bersalin. Sang asisten ia minta untuk terus menghubungi kelurganya, dan menyusul ke rumah sakit setelah urusan di rumah selesai.Selama perjalanan, Anyelir terus mencengkeram lengan Aldo karena merasakan mulas tak terkira. Belum lagi sese
Extra part“Kenapa, sayang?” Aldo yang baru memasuki rumah, menatap sang istri yang bibirnya maju.Anyelir tidak menjawab. Ia meraih tangan sang suami dan menciumnya takzim. Walaupun usia Aldo lebih muda, tetapi posisinya tetap kepala keluarga. Anyelir tetap menghormati dan memperlakukan bagaimana seharusnya memperlakukan suami.Aldo menarik tubuh sang istri tetapi dengan hati-hati agar tak mengganggu perut besarnya. Sebuah kecupan mendarat di kening berpoles bedak tipis. Kemudian beralih kedua pipi dan terakhir menghisap bibir majunya dengan gemas hingga si empunya bibir meronta minta dilepaskan.“Kau membuatku sesak napas.” Anyelir mendorong dada Aldo. “Ciuman macam apa itu?” lanjutnya dengan bibir semakin maju, ditambah tangan yang dilipat di dada.“Itu ciuman penawar marah. Juga penawar rasa lelah di kantor.”Anyelir menoleh. Ia tahu Aldo lelah bekerja seharian di kantor tetapi pulang langsung disuguhi sikap manja dan sensitifnya yang semakin menjadi sejak hamil. Namun, ia tak dap
528 “Tetaplah di sisiku sampai salah satu di antara kita menutup mata. Aku bahkan ingin kebersamaan ini berlanjut hingga kehidupan kekal kita kelak. Jangan pernah tinggalkan aku. Terus dampingi dan bantu aku dalam memperbaiki diri agar menjadi suami yang bisa membimbingmu dan anak-anak kita menjalani kehidupan ini dalam koridor yang lurus. Aku ingin menjadi imam dambaanmu, sayang.” Anyelir mendongak. Hatinya trenyuh. Sejak kejadian itu, Aldo memang banyak berubah. Ia membuktikan dirinya layak mendapatkan maaf dan kesempatan kedua. Anyelir sendiri membuktikan memaafkan dengan tidak pernah membahas masalah yang sama. Jika Aldo mulai mellow, meminta maaf dan terindikasi membahas hal sama, Anyelir sendiri yang mengingatkan dan mengajak melupakan semuanya dengan menatap ke depan. Ia sadar dirinya pun bukan manusia tanpa dosa. Ia bahkan bersikap kekanakan dalam menghadapi masalah ini. Saling memaafkan, saling sadar dan terus berbenah diri, itu yang mereka lakukan saat ini. Terlebih sebent
527Semua orang terdiam mendengar ucapan Sandra. Semua orang tahu jika Gita dirawat di RSJ karena saat ditahan sering mengamuk dan beberapa kali mencoba bunuh diri lagi, bahkan bayi dalam kandungannya sampai gugur karena perilakunya sendiri. Gita akhirnya dirawat di RSJ.Keluarga Aldo menganggap semua telah selesai, karena akhirnya Gita dinyatakan bersalah. Semua bukti dan saksi menunjukkan jika Aldo tidak bersalah. Andika dan istrinya kembali ke Kalimantan. Gita tidak menuntut apa pun kepada Andika, mungkin karena melihat kondisi laki-laki itu yang mengenaskan.Justru perseteruan dengan Aldo yang ia pertahankan walaupun pada akhirnya Gita harus merasakan kehidupan di balik jeruji besi dalam kondisi hamil.Publik juga sudah mulai melupakan kasus ini, hingga Aldo dan keluarga bebas bergerak tanpa banyak yang memperhatikan.Semua sudah berjalan normal dan baik-baik saja. Aldo dan Anyelir menjalani pernikahan dengan bahagia. Terlebih mereka akan memiliki anak. Hubungan mereka bahkan sema
526 “Aku mau poliandri, apa kau setuju?” Anyelir menatap serius. Hening. Binar penuh harap di mata Aldo seketika pudar dan meredup. Senyum yang tadi sempat tersungging, raib dalam waktu singkat. Dada pemuda itu mendadak sesak. Diteguknya ludah dengan susah payah karena kerongkongan yang mendadak kemarau. Napasnya tersengal seolah telah berlari puluhan kilo meter. Bibirnya bergetar. “Mana ada seperti itu, sayang?” tanyanya dengan senyum miris. Anyelir tersenyum. “Ada, ini bukan sungguhan. Jadi, aku hanya pura-pura saja.” “Maksudnya?” Mata Aldo memicing. Anyelir menarik napas panjang. “Begini, orang tua Haris menuntutnya untuk segera menikah. Sementara ia belum menemukan wanita yang cocok. Tapi ia menolak jika harus dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya. Jadi, ia memintaku untuk berpura-pura menjadi….” “Tidak!” Dengan napas yang semakin tersengal dan dada makin sesak, Aldo memotong ucapan Anyelir. “Apa kau sudah gila, sayang?” “Kenapa?” Anyelir memiringkan kepala. Tawan
525“Makanya jangan petakilan. Sudah mau jadi ayah kelakukan masih bocah.” Anyelir berkata ketus seraya melipat tangan di dada. Sementara Aldo terus meringis merasakan sakit di pinggangnya. Terpaksa harus dipijat lagi. Harus menahan lagi sakit yang lebih dari sebelumnya. Namun, di balik itu semua hatinya bahagia tiada tara. Sang istri sudah kembali seperti dulu. Hanya ketus karena kesal. Baginya tak apa diberi wajah ketus seperti itu, daripada harus mendapati wajah dingin yang membuatnya putus asa.Kini, bahkan Anyelir tengah menyuapinya. Ia yang untuk sementara hanya bisa tengkurap dengan kepala hanya bisa mendongak, kesulitan untuk sekadar menyuap. Praktis makan pun harus disuapi. Anyelir geleng-geleng kepala. Ini piring ketiga yang Aldo tandaskan. Pemuda itu seperti kelaparan. Memakan apa pun yang Anyelir suapkan dengan sangat rakus. Bahkan saat piring ketiga tandas pun, lelaki itu masih meminta tambah.“Berapa hari kau tidak makan?” tanya Anyelir heran saat menyuapi dari piring k
524“Sakit ….” Aldo merengek manja dengan wajah menengadah. Tangannya memeluk erat pinggang Anyelir yang pangkuannya ia jadikan bantal.Wajah lelaki itu terlihat berkeringat. Ringisan masih sesekali menghiasi wajahnya. Pemuda itu baru saja berteriak-teriak merasakan sakit akibat pijatan bapak tua penjaga villa.Akibat terlalu bersemangat dan terlampau bahagia karena melihat wanita yang dirindukannya selama ini ada di depan mata, ia berlari hingga tak memperhatikan apa pun lagi. Tangannya menyenggol keranjang buah di atas meja, hingga isinya jatuh ke lantai dan terinjak. Aldo terpeleset karena menginjak buah apel yang jatuh menggelinding, hingga tak terelakkan tubuhnya melayang jatuh. Namun, sebelumnya pinggangnya terbentur tepian meja hingga sakitnya menjadi berlipat-lipat.Beruntunglah bapak penjaga villa bisa memijat urat keseleo. Hingga ia langsung mendapat penanganan.Anyelir yang tengah memasak dibantu istri penjaga villa, kaget karena suara benturan keras. Wanita itu langsung me
524Aldo mengeratkan pelukan demi mendengar nasihat Aira. Kalau boleh memilih, ia ingin pernikahannya lanjut. Tak ingin tercerai berai karena anak yang akan menjadi korban. Kalau boleh ia ingin bertemu Anyelir dulu agar bisa bicara dari hati ke hati. Sayangnya, bahkan di mana keberadaan wanita itu, ia tidak tahu. “Jika Tuhan masih memberimu kesempatan, ingat gunakan sebaik-baiknya. Namun, jika semuanya hanya sampai di sini karena manusia hanya punya keinginan dan usaha, kau tetap harus bisa mengambil hikmahnya, Nak. Mungkin ini takdir kalian. Takdirmu. Jangan menyalahkan Tuhan. Apa yang terjadi sudah digariskan. Jika kalian harus bercerai, itu pasti takdir karena kau sudah berusaha memperbaiki semuanya. Yakin akan ada pelangi setelah hujan, Nak. Jika Tuhan memberi ujian ini, pasti disertai jalan keluar dan hikmah di baliknya.”Aldo hanya diam meresapi setiap kalimat sang ibu. Sungguh, ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan Anyelir. Namun, jika wanita itu tetap memaksa, ia bisa
523“Anye, kamu di mana?” Aldo duduk lesu di lobi hotel. Kepalanya menunduk dalam. Tangannya meremas rambut dengan kuat. Berkali-kali mengembus napas kasar. Beban di dadanya terasa ingin meledak. Setelah menunggu berminggu-minggu dengan setumpuk rindu dan penyesalan, kini hanya mendapati Anyelir yang sudah tidak berada di tempat.Aldo menyandar lemah seraya merogoh ponsel dalam saku. Mencoba keberuntungan. Menghubungi lagi Anyelir. Namun hingga berkali-kali dilakukannya, tetap hanya dijawab operator.Pemuda itu memejam sebelum bangkit dan berjalan keluar. Para pengawal berwajah datar sigap mengiringi.“Putari kota ini, Pak. Siapa tahu aku melihat keberadaan istriku,” titahnya kepada sopir setelah duduk di dalam mobil. Sang sopir hanya mengangguk sebelum menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Mengitari kota Surabaya seperti perintah sang majikan.Hampir seharian Aldo dan rombongan berputar-putar di sana. Semua jalan disusuri bahkan hingga jalan-jalan kecil hanya agar mendapat keber