Sina menolak untuk diantarkan Rangga pulang. Ia memilih naik bus, karena kondisinya sudah lebih baik. Sina mulai terbiasa lagi dengan tatapan orang-orang yang seolah jijik terhadapnya.
"Wah, itukan si pengecut Sina, gais!" ujar seorang siswi yang baru masuk ke dalam bus.
Sina cepat-cepat menyembunyikan wajahnya ke dalam tas. Namun, naas sekali ia sudah lebih dulu ketahuan.
Sebut saja Misha, dia adalah temannya Olive yang sangat membenci Sina. Sina tak tahu jelas apa alsan Misha ikut membencinya, yang pasti selama Sina sekolah di sekolah lama, gadis itu pun ikut membullynya.
"Hallo, apa kabar Sinar Rembulan?" sapa Misha yang langsung duduk di samping Sina. Dan Lia memilih duduk di belakang Sina.
"Semenjak lo pindah, sekolah kita jadi sepi. Ya, gak?" Misha meminta persetujuan Lia, adik kelasnya.
"Bener tuh, Kak. Kita jadi kesepian gak ada kakak ini. Hihi!"
"Saran gue, Sin. Mending Lo balik lagi aja ke SMA Arwana."
"Ngga!" balas S
Olive tahu apa yang harus ia lakukan untuk menebus kesalahannya pada Deo, karena sudah membohonginya waktu itu. Ia memutuskan untuk ikut berperang dengan ST, meski sebenarnya ia tak ingin menyakiti Farel.Pink Girls adalah nama geng yang Olive ketuai. Tidak banyak memang anggotanya. Namun, mereka sangat berpengaruh.Olive memang liar, bahkan sudah sejak dari dulu. Hanya saja ia pandai menutup diri, menyembunyikannya dari keluarga.Di sekolah banyak yang tidak tahu bahwa ia adalah kakaknya Sina. Sina sendiri yang melarang Olive mengakui dirinya.Tiap melihat adiknya dibully, tentu Olive akan menolong Sina. Akan tetapi, gadis itu akan menjauh darinya, karena Sina pun tak mau membuat nama Olive jadi jelek saat mereka tahu bahwa Sina adalah adiknya.Pernah suatu hari, ketika Sina terjatuh di pinggir lapangan ulah seorang cowok yang meringkus kaki Sina saat berjalan.Pada saat Sina terjatuh beberapa orang menaburinya dengan sampah. Ke
"Pah kalo Sina dijemput mama sama bunda Sina boleh ikut gak?"Rian menoleh kala mendengar kalimat itu dari putrinya. Rian dengan lekat memandang wajah Sina yang pucat."Kalo kamu ikut sama mereka, berarti kamu gak sayang sama papa.""Tapi Sina capek hidup dilingkarkan luka terus, Pa. Papa gak pernah tahu rasanya jadi Sina," keluh gadis itu yang terlihat muram."Sebentar lagi mereka datang. Sina mau ikut mereka aja ah.""Siapa?""Mama sama bunda, Pah," sahut Sina dengan semangat yang berapi-api.Ternyata ucapan Sina benar. Ada dua orang wanita cantik yang mendatangi mereka di taman bunga."Tuh mama sama bunda!" Tunjuk Sina pada mereka berdua yang sedang bergandengan tangan menuju ke arah Sina dan Rian.Rian mematung di tempat. Ia benar-benar menyaksikan Lili dan Rindu datang menghampirinya. Dua cinta dalam kisah berbeda. Mereka nyata.Sina beranjak untuk memenuhi uluran tangan Lili dan Rindu."Se
Gadis bermata bening sedang duduk di kursi belajarnya seraya menelisik kalender di depannya. Gadis itu mengambil kalender berukuran sedang. Ia menghela napas. Huft! "Sebentar lagi ujian semester," ucapnya. "Harus belajar mati-matian. Aku sempat ketinggalan materi lagi." Sina mengetok kepalanya. "Kalo aja gak pingsan! Huh!" Sina mulai membuka buku. Jendela di biarkan terbuka, membuat angin malam menemani Sina dengan kesibukannya. Tak terasa malam semakin larut. Kepala Sina perlahan turun, kelopak matanya perlahan menutup. Pulpen di tangannya terjatuh di atas meja belajarnya. Gadis itu tertidur menindih buku-buku berisi tugas yang hampir rampung. Malam berganti pagi, tepatnya subuh. Sina dibangunkan oleh Nessa, karena hari ini hari Minggu. Tugas Sina pada hari ini adalah berbelanja sebelum matahari terlihat, sebab di pasar subuh semua bahan akan menjadi murah dari harga relatif pada siang dan sore hari. Ne
Sina duduk di taman yang tak cukup ramai. Ia mengayunkan kakinya di kursi panjang dekat dengan bunga-bunga taman yang sedang kuncup.Kepalanya mulai mendongak ke atas, melihat langit yang dipenuhi taburan bintang-bintang kemilau.Sina tersenyum kecil kala melihat bulan bersinar terang."Malam ini kamu ngga sendiri lagi, banyak bintang yang menemani malammu," racau Sina kepada sang Dewi Malam."Andai aku jadi bulan--""Maka gue akan jadi langitnya," sela Farel yang tiba-tiba duduk di sebelah Sina. Gadis itu terlonjak kaget dan langsung mendelik."Lo akan selalu melekat pada langit apa pun kondisinya," imbuh Farel sembari menatap Sina lekat-lekat.Sina masih belum beranjak dari tatapan mata Farel. Entah kenapa ia juga terhanyut dalam pandangannya, seolah jiwanya ikut bergetar kala netra Farel berserobok dengan netranya.Sina segera bergeleng untuk menyadarkan dirinya. Ia segera melihat ke depan lagi. Tiba-tiba dadanya berdebar he
"Kenapa si harus pakai berantem segala. Kamu ada masalah apa sama Farel?" Sina menjamah luka di bagian pipi Rngga."Aku juga gak tau, awshh." Desis Rangga seraya menahan sakit di bagian wajahnya. Pukulan Farel sungguh luar biasa, seakan wajahnya di buat beku oleh lebam."Kok gak tau? Farel gak mungkin nyerang kamu kalo ngga ada sebabnya. Kalian itu kenapa si? Ada apa?" Dengan hati-hati Sina mengobati luka-luka itu."Farel cuma salah paham," jawab Rangga akhirnya."Tuh kan, pasti ada yang terjadi. Coba cerita sama aku, Ga." Dengan telaten gadis itu merawat lukanya."Farel lihat aku ciuman sama Shela," kata Rangga membuat tangan Sina berhenti.Deg!Sina menurunkan tangannya dari wajah Rangga.Entah kenapa hatinya tiba-tiba sakit kala mendengar itu dari Rangga."Tapi pada nyatanya aku gak ngelakuin itu. Farel salah lihat," lanjut Rangga membuat Sina menoleh.Rangga menceritakan yang sebenarnya terja
Setibanya di halaman rumah, Farel melihat mobil Surya terparkir.Kening Farel mengkerut. "Tumben jam segini udah pulang? Biasanya kan malam," gumam Farel seraya melangkah masuk ke dalam rumah."Dari mana kamu?" tanya Surya bernada ketus.Farel mendongak mendengar suara Surya.Di sudut sofa ada Dila sedang tertunduk dengan mata sembab. Farel sudah menduga pasti wanita itu mengadu. Sementara Alan duduk di samping sang ibu sambil mengusap bahunya. Anak dan ibu sama saja, pikir Farel."Dari rumah Didi," jawab Farel datar."Terus kenapa muka kamu babak belur sepeti itu? Berantem kamu?" tanyanya beranak-pinak."Langsung to the poin aja deh, Pah!" Farel yakin sebetulnya sang ayah sudah mengetahui perkelahian anatara ia dan Alan."Kamu berantem sama Alan betul?" Surya bertanya, sebab saat ia pulang pun Alan juga babak belur. Bukan hanya itu saja, Dila juga sedang menangis. Ketika Surya bertanya pada Alan dan Dila, dari mere
Sina menggigit jarinya takut. Badannya gemetar setelah mengetahui kondisi Olive yang kritis.Semangat Farel, cowok itu terus mondar mandir tak bisa diam.Nessa sudah dihubungi dan akan segera ke sini, sedangkan Rian masih belum di beri tahu, sebab pria itu tidak mengangkat telepon.Berjam-jam Sina dan Farel menunggu kabar lagi dari dokter. Kondisi Olive benar-benar mengawatirkan semua orang yang sedang menunggunya.Pintu di buka, memperlihatkan seorang dokter yang terlihat risau."Gimana, Dok?" tanya Farel."Sebentar ya, keadaanya semakin kritis.""Sus tolong panggilkan Dokter Indra. Keadaan pasien semakin gawat saya takut detak jantungnya segera berhenti," titah Dokter Gunawan pada suster yang bertugas.Sina panik bukan main kala mendengar itu. "Dok, tolong selamatkan kakak saya!" rengek Sina. Dokter Gunawan mencoba menjabarkan Sina setelah itu kembali lagi ke dalam ruangan dan menutup pintunya dengan rapat.Farel
"Titip kakak gue ya. Titip Kak Olive. Mungkin gue ngga bisa jaga dia lagi."Farel tertegun mendengar itu, tidak seharusnya Sina mengatakan hal tadi.Farel menempelkan jari telunjuknya pada bibir Sina. "sutt! Lo ga boleh ngomong gitu."Sina memejamkan matanya untuk beberapa saat. Ia menahan air matanya sekuat mungkin."Sin, doain kita semua ya, besok ST akan tempur."Mendengar lalimat yang diucapkan Farel, Sina membuka kembali kelopak matanya.Saat itu Sina berpikir akan ikut berperang demi membalas perbuatan mereka."Rel, gue ingin ikut," kata Sina yang langsung mendapat tolakan dari sang empu."Gak boleh, Sin. Kondisi lo sedang tidak memungkinkan. Gue cuma minta doa aja dari lo. Semoga anak-anak menang, ya." Farel menggenggam kedua tangan Sina.***Usai menjenguk Sina, Farel pergi ke rumah sakit Medika untuk menengok Olive.Kala sudah sampai di depan ruangan di mana Olive dirawat, ada Rian yang
Tiga tahun berlalu. Embusan angin menyapa di setiap sudut kota. Seorang laki-laki bertubuh jangkung baru saja keluar mini market dengan segelas soft drink di tangannya.Wush!"Uhuk-uhuk!""Gila, hampir aja tuh debu masuk semua ke paru-paru," keluh sang empu, sebab angin dari barat begitu kencang.Farel menaiki kendaraannya kembali. Sebelum itu ia tampak mentahbiskan minumannya dan membuang botol kaleng itu ke tempat sampah yang tak begitu jauh darinya.Ia melesat dan masuk membelah jalanan kota yang masih dipenuhi oleh lalu lalang kendaraan.Meski cuaca terasa panas, laki-laki itu tampak tak terburu-buru dalam berkendara. Justru ia malah menikmati perjalanannya.Akhirnya sampailah ia di halaman rumah. Pria itu lekas turun dari motor dan membawa plastik putih berisikan eskrim pesanan sang adik."Bang, Falel pulang!" sorak anak kecil berusia hampir empat tahunan. Anak itu berlari dan langsung menghambur ke pelukan Farel.
"Pah," panggil Olive dengan suara lirih. Ia melihat pria yang semakin beruban itu tengah duduk melamun di kursi rodanya. Gurat kesedihan dan gurat usianya bercampur menjadi satu. Rian terlihat sangat menyedihkan."Pah, udah yuk, papah makan dulu." Olive membawa semangkuk bubur untuk sang ayah."Habis makan papah istirahat. Ingat lho kata dokter. Papah ngga boleh kebanyakan bengong. Gak baik," ucap Olive mengingatkan. Sejak kepergian Sina, Rian jatuh sakit dan sakitnya berasal.dari sebuah lamunan dan rasa bersalah."Aa, buka mulutnya Pah." Olive melayangkan sendok ke depan mulut Rian. Namun, pria beruban itu enggan membuka kedua bibirnya."Pah, sekali aja! Yah, ayo makan.""Papah ngga mau makan, Liv," toko Rian seraya terus menatap ke depan."Gimana papah mau sembuh kalo ngga mau makan. Sakit juga butuh tenaga Pah. Yah, makan dulu," bujuk Olive yang masih menggantung sendok di udara."Ngga liv--""Sesuap aja pah--"
Farel berjalan dengan tetap menatap ke layar ponselnya. Ia mendapat pesan dari seseorang yang tidak dikenal.Farel tetap terfokus pada layar ponselnya, sampai seseorang yang tengah berlari ke arahnya tak ia sadari hingga akhirnya ....Bruk!Orang itu menabrak tubuh Farel. Namun malah ia yang tersungkur. Dan hampir saja ponsel Farel terjatuh.Seorang gadis meringis. Ia segera berdiri dan meminta maaf pada cowok yang sudah ditabraknya."Maafin, Sinar, ya, Kak. Sinar gak senagaja," ucap gadis itu yang terus menunduk.Mendengar nama gadis itu, dada Farel tiba-tiba berdebar tak karuan."Sina?" kata Farel membuat gadis itu mendongak. Lalu memperlihatkan wajahnya yang manis."Nama lo, Sina?" tanya Farel tak percaya. Saat mendengar nama itu, Farel langsung teringat dengan gadis yang sudah satu tahun meninggalkannya."Sinar! Ada huruf R nya, kak," ralat cewek itu membenarkan."Sinar?" Kedua alis Farel terangkat."Le
Shela memberi satu botol air mineral pada Rangga yang sedang duduk merenung di halaman sekolah. Gadis itu terduduk dan memerhatikan raut wajah Rangga dari samping. Rangga meneguk air itu setengah habis. Kemudian meletakkannya di samping dengan penuh emosi sampai botol itu berdentum. "Kenapa, Ga?" tanya Shela melihat hari Rangga agaknya kurang baik. "Bokap dan nyokap, maksa gue buat kuliah di luar negeri," sahut Rangga sambil terus menatap nanar ke arah depan. "Ya bagus dong. Di sana kan--" Shela segera menutup mulut kala Rangga mendelik sinis padanya. "Gue gak suka, Shel! Gue gak suka dipaksa. Gue ingin jadi diri gue sendiri!" pekik Rangga. Shela mengusap bahu Rangga berusaha untuk menyabarkannya. "Lo bisa bicarakan ini baik-baik," saran Shela. *** Usai dari sekolah, Rangga tidak langsung pulang. Ia berjalan-jalan di lorong sekolah. Rangga meraba setiap jendela yang ia lewati. Dan sampailah
"Ngomonglah, Di! Masa dari tadi diem aja." "Di!" ulang Farel. Namun sang empu masih juga tidak menengok. Akhirnya Farel kembali terfokus menyetir. "Kenapa si Rel, lo maksa banget buat gue pulang? Gue tuh masih kesel sama mereka!" gerutu Didi yang akhirnya membuka suara. "Kesalnya udahan kali, Di. Beri mereka kesempatan." Farel mendelik sekilas sesusah itu terfokus pada jalanan lagi. "Udah berulang kali gue beri kesempatan. Tapi apa? Nyatanya mereka tetep ngga bisa menghargai gue!" pekik Didi. "Ya lo ngegasnya jangan ke gue dong!" "Udahlah, berpikiran positif aja," lanjut Farel. Ia sedikit menambah kecepatannya, agar segera sampai ke rumah Didi. Di sana Sinta dan Dafa sudah menunggu kepulangan Didi. Setibanya di depan rumah, anak itu malah tetap duduk di dalam mobil. Farel mengembuskan napas jengkel. "Ayo turun!" paksa Farel seraya menarik lengan Didi dari mobilnya. "Akh!" sentak Didi yang terus dipaksa Far
Setelah dua hari Didi tidak kunjung pulang. Anak itu pergi entah ke mana, yang pasti sungguh membuat Sinta dan Dafa khawatir. Bahkan Dafa sudah melapor pada polisi atas kehilangan anaknya. Sinta pergi untuk menemui Farel. Barangkali anak itu mengetahui keberadaan Didi. Sinta mengetuk pintu. Ia sedikit ragu. Namun tetap melakukannya. Tak berapa lama, Farel membukanya. Ia terkejut melihat kedatangan mamahnya Didi. "Tante Sinta?" "Rel bisa saya bicara sama kamu?" kata Sinta terlihat panik. "Masuk Tante. Kita ngobrol di dalam aja." Sinta duduk di sofa ruang tamu. Ia disuguhkan minuman dingin oleh Farel. "Santai aja ya, Tan di sini lagi ngga ada siapa-siapa kok. Orang rumah lagi pada ke luar." "Iya Rel. Sebelumnya Tante minum dulu ya." Sinta segera meneguk minuman yang telah disediakan untuknya. Sinta sangat merasa haus sehingga menghabiskan segelas sirup itu. "Iya, Tante silakan di minum."
Didi mengajak Farel ke rumahnya. Meraka sudah sampai beranda rumah. Kemudian mengetuknya secara perlahan. "Tuan Muda?" kaya Bi Nem. Mendengar Bi Nem, Sinta lekas datang ke depan pintu. "Didi," sambut Sinta dan langsung memeluk tubuh anak itu. "Kamu ke mana aja, sayang? Mama khawatir tau," decak Sinta. Sebab Didi tidak pulang semalaman. Didi tampak biasa saja. Mungkin lebih kepada tak mau menanggapi rasa khawatir ibunya itu. "Didi nginep di rumah Farel, kok, Tante," sambar Farel. Didi masuk begitu saja. Sinta tahu anak itu masih marah padanya. "Maaf, ya, Rel udah ngerepotin kamu. Sekarang mending kalian makan ya," cuit Sinta sedikit merasa tidak enak. "Gak ngerepotin kok. Farel dan Didi udah makan juga Tante," sahut Farel sopan. "Ya ampun. Makasih ya, Rel udah mau jaga Didi. Tante khawatir Didi ngga mau makan. Biasanya kalo ngambek suka gitu," kata Sinta terlihat sedih. Farel tertawa dalam
Didi membanting stir penuh emosi. Ia menangis tanpa rasa malu lagi. Didi benar-benar mencurahkan segala kemarahannya lewat air mata yang terus berderai keluar. Didi menambah kecepatan dalam berkendara. Ia ingin meluapkan segala rasa sakit hatinya dengan mengebut. Ia terus melaju entah ke mana. Kemudian mobil Didi perlahan menelan dan akhirnya memilih menepi. Di tempat sepi itu, Didi berteriak dengan bebas. "Hakk!" jerit Didi seperti orang gila. Cowok itu menyeka air matanya kala melihat pohon menyeramkan di sampingnya. "Tuh pohon besar amat," lirih Didi dengan suara yang masih bergetar. Didi cepat-cepat menyalakan mesin mobilnya dan memilih putar balik. Laju kendaraan Didi membawa pria itu ke arah rumah Farel. Ya, ke arah rumah sahabatnya. Setibanya di depan rumah Farel. Didi terlebih dahulu merapikan dirinya. Ia memeriksa kedua matanya yang masih terlihat sembab. Didi membersihkan matanya dari sisa air
Prank! Suara barang pecah terdengar lagi. Didi hanya bisa menghela napas dan berusaha untuk fokus pada game yang sedang ia mainkan. Sementara di tengah rumah orang tuanya masih tak kunjung berdamai dengan hal yang masih mereka perselisihkan. "Coba aja kamu bisa tegas sedikit mungkin para pegawai kamu tidak akan semanja itu! Bentar-bentar minta naik gaji bentar-bentar minta naik gaji! Bosen aku dengarnya!" tandas seorang wanita seraya menunjuk wajah pria di depannya dengan penuh kekesalan. "Lho yang minta naik gaji itu cuma beberapa orang, Sinta! Lagian mereka itu pekerja lama! Lagian kamu bisa tolak secara baik-baik tidak seperti tadi marah-marah di kantor! Memang seharusnya kamu tidak usah mengelola perusahaan ku, sebaiknya kamu diam di rumah!" balas Dafa tak kalah berteriak. Sina menyunggingkan salah satu sudut bibirnya. "O o ... jadi kamu nyalahin aku? Heh, perusahaan itu milik mendiang ayah aku, kamu harus ingat itu!" "Kamu