Setibanya di halaman rumah, Farel melihat mobil Surya terparkir.
Kening Farel mengkerut. "Tumben jam segini udah pulang? Biasanya kan malam," gumam Farel seraya melangkah masuk ke dalam rumah.
"Dari mana kamu?" tanya Surya bernada ketus.
Farel mendongak mendengar suara Surya.
Di sudut sofa ada Dila sedang tertunduk dengan mata sembab. Farel sudah menduga pasti wanita itu mengadu. Sementara Alan duduk di samping sang ibu sambil mengusap bahunya. Anak dan ibu sama saja, pikir Farel.
"Dari rumah Didi," jawab Farel datar.
"Terus kenapa muka kamu babak belur sepeti itu? Berantem kamu?" tanyanya beranak-pinak.
"Langsung to the poin aja deh, Pah!" Farel yakin sebetulnya sang ayah sudah mengetahui perkelahian anatara ia dan Alan.
"Kamu berantem sama Alan betul?" Surya bertanya, sebab saat ia pulang pun Alan juga babak belur. Bukan hanya itu saja, Dila juga sedang menangis. Ketika Surya bertanya pada Alan dan Dila, dari mere
Sina menggigit jarinya takut. Badannya gemetar setelah mengetahui kondisi Olive yang kritis.Semangat Farel, cowok itu terus mondar mandir tak bisa diam.Nessa sudah dihubungi dan akan segera ke sini, sedangkan Rian masih belum di beri tahu, sebab pria itu tidak mengangkat telepon.Berjam-jam Sina dan Farel menunggu kabar lagi dari dokter. Kondisi Olive benar-benar mengawatirkan semua orang yang sedang menunggunya.Pintu di buka, memperlihatkan seorang dokter yang terlihat risau."Gimana, Dok?" tanya Farel."Sebentar ya, keadaanya semakin kritis.""Sus tolong panggilkan Dokter Indra. Keadaan pasien semakin gawat saya takut detak jantungnya segera berhenti," titah Dokter Gunawan pada suster yang bertugas.Sina panik bukan main kala mendengar itu. "Dok, tolong selamatkan kakak saya!" rengek Sina. Dokter Gunawan mencoba menjabarkan Sina setelah itu kembali lagi ke dalam ruangan dan menutup pintunya dengan rapat.Farel
"Titip kakak gue ya. Titip Kak Olive. Mungkin gue ngga bisa jaga dia lagi."Farel tertegun mendengar itu, tidak seharusnya Sina mengatakan hal tadi.Farel menempelkan jari telunjuknya pada bibir Sina. "sutt! Lo ga boleh ngomong gitu."Sina memejamkan matanya untuk beberapa saat. Ia menahan air matanya sekuat mungkin."Sin, doain kita semua ya, besok ST akan tempur."Mendengar lalimat yang diucapkan Farel, Sina membuka kembali kelopak matanya.Saat itu Sina berpikir akan ikut berperang demi membalas perbuatan mereka."Rel, gue ingin ikut," kata Sina yang langsung mendapat tolakan dari sang empu."Gak boleh, Sin. Kondisi lo sedang tidak memungkinkan. Gue cuma minta doa aja dari lo. Semoga anak-anak menang, ya." Farel menggenggam kedua tangan Sina.***Usai menjenguk Sina, Farel pergi ke rumah sakit Medika untuk menengok Olive.Kala sudah sampai di depan ruangan di mana Olive dirawat, ada Rian yang
Bugh!Pakkk!Suara senjata berdentuman.Seatt!Pukulan demi pukulan terus melayang pada wajah mereka. Sekali tebas tidak membuat tumbang, mereka bangun kembali untuk membalas.Plak!Deo akhirnya berhasil menonjok wajah Farel setelah tadi selalu saja berhasil mengelak.Farel hampir terjengkang oleh pukulan maut Deo. Akan tetapi, ia segera menyeimbangkan tubuhnya kembali.Farel menjamah bibirnya yang mengeluarkan darah."Pukulan lo ga berasa, bangsat!" Dalam hitungan detik Deo menendang perut Farel hingga ia terjatuh dan terdengar meringis.Bugh!"Ini untuk Demian!"Bugh!Deo membenturkan kepalanya ke kepala Farel."Dan ini untuk kematian Demian!"Seatt!Deo menginjak dada Farel sehingga napasnya tersengal-sengal merasakan sesak."Ini untuk dendam Demian!"Kyaak!Farel menahan kaki Deo yang akan menginjak perutnya. Ia berhasil bangkit Kemabli dan m
Bruk!Tubuh Deo terpental jauh setelah mendapati pelajaran dari Sina.Sekarang Sina mengarah pada Devina yang tengah berusaha menghabisi Shela."Berhenti!" gertak Sina membuat tangan Devina melayang di atas wajah Shela. Cewek itu mendelik ke arah Sina dan kaget melihat keberadaannya."Sina!" Kedua mata Devina membulat.Seakk!Seketika kaki Sina mendarat di punggung Devina sehingga cewek itu mencium tanah."Lo?" Geram Devina.Devina berusaha untuk bangkit kembali. Namun segera Sina buat tumbang lagi.Plak!Settt!Secara gontai Sina mengelap keringat yang mengucur di dahinya. Ia bangkit dari atas tubuh Devina dan mendatangi Arga yang tak berada begitu jauh dari nya.Kali ini Giliran Arga.Semua orang tampak diam melihat Sina yang berbeda.Semuanya tak bisa berkutik mereka semua tertegun dalam kekaguman kala Sina mendatangi kapten The Blue.Sina dengan wajah sangarnya me
Setibanya di tempat tujuan, mereka lekas turun dari motor. Rian mengajak Lili untuk melihat senja di rooftop gedung. Sekaligus memperlihatkan keindahan kota Tasik dari atas.Mereka duduk dengan mengayunkan kaki seraya bersenda gurau."Indah, ya. Li. Maha Karya Tuhan yang membuat hati tenang."Lili melihat Rian di arah samping. Pria itu sedang tersenyum manis."Melihat wajahmu juga adalah Maha Karya Tuhan yang membuat hatiku tenang," tutur Lili membuat Rian menengok.Kedua pipinya bersemu merah jambu."Bisa saja kamu, Li. Kalah terus aku. Hahaha."Meraka tertawa riang."Yan," panggil Lili kali ini dengan nada serius."Kalo nanti aku ngga ada siapa yang akan buat kamu senyum kayak gini?""Maksudmu?""Jika aku mati nanti."Rian menutup bibir Lili dengan jari telunjuknya. "Sut! Gak boleh ngomong gitu. Kita akan selamanya. Kita akan hidup sampai kakek nenek."Lili memandang ke depan den
"Sin ... cepat bangun yah. Banyak yang nunggu kamu bangun. Termasuk aku." Tangannya mengelus rambut Sina sekejap. Benar. Rindu memang selalu menggebu tiap kali mendengar nama Sina. Sudah berusaha pun untuk biasa saja, tetapi sang rindu tetap saja mengganggu.Rangga diam sejenak. Lalu memandang Sina lagi. Ia ingin mencurahkan isi hatinya. Isi hati yang memang hanya pada Sina dibagi. Rangga terlalu nyaman dengan perempuan di depannya ini, sehingga cewek mana pun tak bisa menggantikannya."Meski hubungan kita singkat, tapi aku bangga pernah punya kamu. Saling berbagi luka. Dan saling menguatkan." Sekali lagi Rangga mencium punggung tangan Sina yang masih lunglai tak berdaya."Ngga ada cewek yang sesabar kamu dalam menghadapi ini semua. Aku yakin Tuhan akan membalasnya dengan kebahagiaan yang tidak akan terduga.""Makasih Sin. Udah hadir dalam hidup aku dan teman-teman. Makasih udah jadi Sinar Rembulan aku dalam kegelapan. Makasih udah tegar menjalani hidupmu
Masalah tidak akan pernah absen dalam kehidupan manusia. Namun, masalah tidak selalu ada sebab gembok tidak pernah dibuat tanpa kunci. Demikian pula, Tuhan tidak pernah menghadirkan masalah tanpa memberikan solusinya.Hidup itu memang banyak rintangan. Tetapi rintangan itu lah yang membuat seseorang menjadi tangguh. Roda kehidupan itu berputar, kadang di bawah dan kadang di atas dan ada pula seseorang yang sangat lama di bawah. Namun sekali lagi, orang itu tidak akan selamanya berada di bawah.Hal ini seperti yang dirasakan Shela. Dulu ia begitu punya segalanya. Teman yang banyak, keluarga, ketenaran, harta dan tahta. Akan tetapi sekarang? Satu per satu enyah dari sisi hidupnya.Jika dulunya pulang dengan naik mobil sendiri, sekarang hanya bisa menumpang lewat Devi. Jika dulu makan ke sebuah restoran mewah, bebas memilih makanan apa saja, di keadaanya yang sekarang, Shela hanya bisa memakan nasi bungkus di sebrang jalan, tanpa harus memilih isi
Kedua petugas itu membawa Rian ke luar dari sana.Sebetulnya Rian terlambat sebab pesawat yang ditumpangi Sina sudah berangkat sepuluh menit yang lalu sebelum dirinya sampai di sini.Rian merasa hampa saat Sina pergi meninggalkannya. Ini adalah sebuah hukuman terberat baginya.Rian kembali ke rumah sakit. Perasaanya gamang. Ia seolah mati rasa.***Pagi telah tiba. Matahari terpancar dari ufuk timur dengan kehangatan pijarnya. Namun tak sehangat suasana pagi di rumah sakit.Banyak teman-teman Sina yang ingin menjenguk gadis itu. Diantaranya; Farel, Didi, Shela dan ibunya, Devi, Rangga dan Alan.Mereka semua berkumpul di depan ruangan Sina.Ketika dokter ke luar dari ruangan itu, mereka langsung menghampiri dokter tersebut. Akan tetapi, itu bukan Dokter Bimo. Melainkan dokter yang lain."Mungkin dokternya ganti," batin Alan menjawab keheranannya sendiri."Dok, giamna keadaan pasien?" t
Tiga tahun berlalu. Embusan angin menyapa di setiap sudut kota. Seorang laki-laki bertubuh jangkung baru saja keluar mini market dengan segelas soft drink di tangannya.Wush!"Uhuk-uhuk!""Gila, hampir aja tuh debu masuk semua ke paru-paru," keluh sang empu, sebab angin dari barat begitu kencang.Farel menaiki kendaraannya kembali. Sebelum itu ia tampak mentahbiskan minumannya dan membuang botol kaleng itu ke tempat sampah yang tak begitu jauh darinya.Ia melesat dan masuk membelah jalanan kota yang masih dipenuhi oleh lalu lalang kendaraan.Meski cuaca terasa panas, laki-laki itu tampak tak terburu-buru dalam berkendara. Justru ia malah menikmati perjalanannya.Akhirnya sampailah ia di halaman rumah. Pria itu lekas turun dari motor dan membawa plastik putih berisikan eskrim pesanan sang adik."Bang, Falel pulang!" sorak anak kecil berusia hampir empat tahunan. Anak itu berlari dan langsung menghambur ke pelukan Farel.
"Pah," panggil Olive dengan suara lirih. Ia melihat pria yang semakin beruban itu tengah duduk melamun di kursi rodanya. Gurat kesedihan dan gurat usianya bercampur menjadi satu. Rian terlihat sangat menyedihkan."Pah, udah yuk, papah makan dulu." Olive membawa semangkuk bubur untuk sang ayah."Habis makan papah istirahat. Ingat lho kata dokter. Papah ngga boleh kebanyakan bengong. Gak baik," ucap Olive mengingatkan. Sejak kepergian Sina, Rian jatuh sakit dan sakitnya berasal.dari sebuah lamunan dan rasa bersalah."Aa, buka mulutnya Pah." Olive melayangkan sendok ke depan mulut Rian. Namun, pria beruban itu enggan membuka kedua bibirnya."Pah, sekali aja! Yah, ayo makan.""Papah ngga mau makan, Liv," toko Rian seraya terus menatap ke depan."Gimana papah mau sembuh kalo ngga mau makan. Sakit juga butuh tenaga Pah. Yah, makan dulu," bujuk Olive yang masih menggantung sendok di udara."Ngga liv--""Sesuap aja pah--"
Farel berjalan dengan tetap menatap ke layar ponselnya. Ia mendapat pesan dari seseorang yang tidak dikenal.Farel tetap terfokus pada layar ponselnya, sampai seseorang yang tengah berlari ke arahnya tak ia sadari hingga akhirnya ....Bruk!Orang itu menabrak tubuh Farel. Namun malah ia yang tersungkur. Dan hampir saja ponsel Farel terjatuh.Seorang gadis meringis. Ia segera berdiri dan meminta maaf pada cowok yang sudah ditabraknya."Maafin, Sinar, ya, Kak. Sinar gak senagaja," ucap gadis itu yang terus menunduk.Mendengar nama gadis itu, dada Farel tiba-tiba berdebar tak karuan."Sina?" kata Farel membuat gadis itu mendongak. Lalu memperlihatkan wajahnya yang manis."Nama lo, Sina?" tanya Farel tak percaya. Saat mendengar nama itu, Farel langsung teringat dengan gadis yang sudah satu tahun meninggalkannya."Sinar! Ada huruf R nya, kak," ralat cewek itu membenarkan."Sinar?" Kedua alis Farel terangkat."Le
Shela memberi satu botol air mineral pada Rangga yang sedang duduk merenung di halaman sekolah. Gadis itu terduduk dan memerhatikan raut wajah Rangga dari samping. Rangga meneguk air itu setengah habis. Kemudian meletakkannya di samping dengan penuh emosi sampai botol itu berdentum. "Kenapa, Ga?" tanya Shela melihat hari Rangga agaknya kurang baik. "Bokap dan nyokap, maksa gue buat kuliah di luar negeri," sahut Rangga sambil terus menatap nanar ke arah depan. "Ya bagus dong. Di sana kan--" Shela segera menutup mulut kala Rangga mendelik sinis padanya. "Gue gak suka, Shel! Gue gak suka dipaksa. Gue ingin jadi diri gue sendiri!" pekik Rangga. Shela mengusap bahu Rangga berusaha untuk menyabarkannya. "Lo bisa bicarakan ini baik-baik," saran Shela. *** Usai dari sekolah, Rangga tidak langsung pulang. Ia berjalan-jalan di lorong sekolah. Rangga meraba setiap jendela yang ia lewati. Dan sampailah
"Ngomonglah, Di! Masa dari tadi diem aja." "Di!" ulang Farel. Namun sang empu masih juga tidak menengok. Akhirnya Farel kembali terfokus menyetir. "Kenapa si Rel, lo maksa banget buat gue pulang? Gue tuh masih kesel sama mereka!" gerutu Didi yang akhirnya membuka suara. "Kesalnya udahan kali, Di. Beri mereka kesempatan." Farel mendelik sekilas sesusah itu terfokus pada jalanan lagi. "Udah berulang kali gue beri kesempatan. Tapi apa? Nyatanya mereka tetep ngga bisa menghargai gue!" pekik Didi. "Ya lo ngegasnya jangan ke gue dong!" "Udahlah, berpikiran positif aja," lanjut Farel. Ia sedikit menambah kecepatannya, agar segera sampai ke rumah Didi. Di sana Sinta dan Dafa sudah menunggu kepulangan Didi. Setibanya di depan rumah, anak itu malah tetap duduk di dalam mobil. Farel mengembuskan napas jengkel. "Ayo turun!" paksa Farel seraya menarik lengan Didi dari mobilnya. "Akh!" sentak Didi yang terus dipaksa Far
Setelah dua hari Didi tidak kunjung pulang. Anak itu pergi entah ke mana, yang pasti sungguh membuat Sinta dan Dafa khawatir. Bahkan Dafa sudah melapor pada polisi atas kehilangan anaknya. Sinta pergi untuk menemui Farel. Barangkali anak itu mengetahui keberadaan Didi. Sinta mengetuk pintu. Ia sedikit ragu. Namun tetap melakukannya. Tak berapa lama, Farel membukanya. Ia terkejut melihat kedatangan mamahnya Didi. "Tante Sinta?" "Rel bisa saya bicara sama kamu?" kata Sinta terlihat panik. "Masuk Tante. Kita ngobrol di dalam aja." Sinta duduk di sofa ruang tamu. Ia disuguhkan minuman dingin oleh Farel. "Santai aja ya, Tan di sini lagi ngga ada siapa-siapa kok. Orang rumah lagi pada ke luar." "Iya Rel. Sebelumnya Tante minum dulu ya." Sinta segera meneguk minuman yang telah disediakan untuknya. Sinta sangat merasa haus sehingga menghabiskan segelas sirup itu. "Iya, Tante silakan di minum."
Didi mengajak Farel ke rumahnya. Meraka sudah sampai beranda rumah. Kemudian mengetuknya secara perlahan. "Tuan Muda?" kaya Bi Nem. Mendengar Bi Nem, Sinta lekas datang ke depan pintu. "Didi," sambut Sinta dan langsung memeluk tubuh anak itu. "Kamu ke mana aja, sayang? Mama khawatir tau," decak Sinta. Sebab Didi tidak pulang semalaman. Didi tampak biasa saja. Mungkin lebih kepada tak mau menanggapi rasa khawatir ibunya itu. "Didi nginep di rumah Farel, kok, Tante," sambar Farel. Didi masuk begitu saja. Sinta tahu anak itu masih marah padanya. "Maaf, ya, Rel udah ngerepotin kamu. Sekarang mending kalian makan ya," cuit Sinta sedikit merasa tidak enak. "Gak ngerepotin kok. Farel dan Didi udah makan juga Tante," sahut Farel sopan. "Ya ampun. Makasih ya, Rel udah mau jaga Didi. Tante khawatir Didi ngga mau makan. Biasanya kalo ngambek suka gitu," kata Sinta terlihat sedih. Farel tertawa dalam
Didi membanting stir penuh emosi. Ia menangis tanpa rasa malu lagi. Didi benar-benar mencurahkan segala kemarahannya lewat air mata yang terus berderai keluar. Didi menambah kecepatan dalam berkendara. Ia ingin meluapkan segala rasa sakit hatinya dengan mengebut. Ia terus melaju entah ke mana. Kemudian mobil Didi perlahan menelan dan akhirnya memilih menepi. Di tempat sepi itu, Didi berteriak dengan bebas. "Hakk!" jerit Didi seperti orang gila. Cowok itu menyeka air matanya kala melihat pohon menyeramkan di sampingnya. "Tuh pohon besar amat," lirih Didi dengan suara yang masih bergetar. Didi cepat-cepat menyalakan mesin mobilnya dan memilih putar balik. Laju kendaraan Didi membawa pria itu ke arah rumah Farel. Ya, ke arah rumah sahabatnya. Setibanya di depan rumah Farel. Didi terlebih dahulu merapikan dirinya. Ia memeriksa kedua matanya yang masih terlihat sembab. Didi membersihkan matanya dari sisa air
Prank! Suara barang pecah terdengar lagi. Didi hanya bisa menghela napas dan berusaha untuk fokus pada game yang sedang ia mainkan. Sementara di tengah rumah orang tuanya masih tak kunjung berdamai dengan hal yang masih mereka perselisihkan. "Coba aja kamu bisa tegas sedikit mungkin para pegawai kamu tidak akan semanja itu! Bentar-bentar minta naik gaji bentar-bentar minta naik gaji! Bosen aku dengarnya!" tandas seorang wanita seraya menunjuk wajah pria di depannya dengan penuh kekesalan. "Lho yang minta naik gaji itu cuma beberapa orang, Sinta! Lagian mereka itu pekerja lama! Lagian kamu bisa tolak secara baik-baik tidak seperti tadi marah-marah di kantor! Memang seharusnya kamu tidak usah mengelola perusahaan ku, sebaiknya kamu diam di rumah!" balas Dafa tak kalah berteriak. Sina menyunggingkan salah satu sudut bibirnya. "O o ... jadi kamu nyalahin aku? Heh, perusahaan itu milik mendiang ayah aku, kamu harus ingat itu!" "Kamu