"Turun! Turun!" Instruksi Pak Broto sambil menyiprat sebagian siswa yang masih tertidur.
"Pak, mana tempat kemahnya?" tanya salah seorang siswa. Mereka tidak melihat tenda atau semacamnya.
"Masih dua kilo lagi, Bis gak bisa naik, bahaya. Kita semua jalan kaki sampai sana!" jawab Pak Broto sekaligus memberitahu pada semuanya.
"Wajah lo kenapa sin?" Shela menelisik setiap inci wajah Sina. Cewek itu tertunduk seraya perlahan meraba wajahnya.
"Hah?" Sina kembali mendongak. Kemudian Shela memberi Sina cermin berukuran kecil yang selalu ia bawa ke manapun.
"Rel lo gak hapus?" tanya Rangga yang baru turun. Ia melihat risih wajah Sina yang hampir tak nampak oleh curat-coret spidol hasil Farel.
"Lo yang lakuin ini Rel? Wah kurang asem, gue bilangin Pak Broto lo bau tau rasa!" ancam Shela tak terima.
"Heh, gue lupa! Jangan Shel, gue lagi males berurusan sama tua Bangka itu! Farel menepuk jidatnya.
"Siapa yang tua Bangka Farel?" Sua
"Udah dapet berapa, Di?" tanya Farel tanpa menoleh ke belakang. Cowok itu terus berjalan di belang Sina sambil menyinari pohon-pohon di sekelilingnya dengan senter."Ck, Didi!" panggil Farel lagi. Namun, masih tak ada sumber suara di belakang . Akhirnya cowok Farel memilih menengok ke belakang untuk memeriksa keberadaan Didi.Farel tersentak tak mendapati Didi. "Di?""Wei, si Didi ketinggalan!" pungkas Farel pada Sina. Saat Farel mengarahkan tubuhnya ke depan lagi, sudah tak nampak siapapun di sana."Lah? Kemana cewek itu?"Tak berapa lama berjalan Farel mendengar seseorang berteriak meminta tolong."Tolong!" teriak seseorang. Suaranya masuk samar-samar pada telinga Farel.Farel segera mencari sumber suara itu. Cowok itu terus menelisik hutan yang entah sudah sampai mana ia melangkah.Farel menggaruk kepalanya prustasi."Farel! Gue di bawah!" teriak Sina. Farel lekas mengedarkan matanya ke arah bawah. Ia meli
***Oliv merasa khawatir dengan adiknya, saat ia pulang dari kafe terlihat Nessa terus menggerutu prihal Sina. Ternyata gadis itu sudah pulang. Oliv bertanya akan keberadaan gadis itu. Tetapi Nessa malah memberikan jawaban menohok."Dia Tante kunci di kamar mandi!"Mendengar pengakuan Nessa, Olive bergegas menuju kamar Sina. Ia langsung membuka pintu kamar mandi dan mendapati Sina terkapar dengan wajah pucat.Oliv segera membopong gadis itu ke atas ranjang. Badannya terasa panas, gadis itu demam.Oliv mengambil air untuk mengompres adiknya dan menyiapkan makanan untuk Sina. Memanglah Oliv selalu iba jika Tante Nessa terlalu keras pada gadis itu. Oliv juga manusia yang mudah tersentuh hatinya."Sin bangun, jangan bikin gue khawatir," ucap Oliv memegang tangan sang adik.Perlahan Sina membuka pelupuk matanya. Keberadaan Oliv masih terlihat remang dalam pandangannya, lantas membuat Sina mengerutkan kening hingga wajah Oliv terlihat jelas.
"UDAH BERANI JADI TUYUL KAMU?" Amarahnya tersulut-sulut. Nessa menunjuk-nunjuk wajah Sina yang terlihat kebingungan."Maksud Tante?" tanya Sina yang tidak tahu apa-apa."Alah! Gak usah belaga so gak tau apa-apa. Kamu maling uang Tante 'kan?" tanya Nessa terlihat mengintimidasi anak itu. Tentu saja Nessa sangat marah pada Sina, karena kelakuan Sina main berani padanya. Setelah beberapa waktu lalu tetap ikut kemah ia jadi tahu semakin ke sini Sina semakin membangkang, tidak penurut lagi.Apalagi uang senilai enam juta itu akan Nessa gunakan untuk menambah modal dalam membuka butiknya.Hatinya bagai ditusuk dengan ribuan benda tumpul. "Kenapa Tante ngomong kayak gitu. Sina gak ambil uang Tante!"Nessa terus mendesak agar Sina mau mengaku. Namun, Sina tetaplah Sina, ia bersikeras dengan apa yang ada dalam hatinya.Bahkan setelah mendapat tamparan keras dari Nessa, Sina masih tetap tegas mengatakan bahwa bukan dia pencurinya. Untuk itu, Nes
Shela dan yang lain bertanya-tanya prihal ruangan Farel, suster memberitahukan bahwa ruangan cowok itu ada di sebelah kiri setelah berjalan lurus. Sesegera mungkin mereka berlari ke tempat yang diarahkan suster tadi.Di sana sudah ada mama tirinya yang bernama Dila. Sebelum beranjak ke sini, Shela sempat menghubungi om Surya tetapi pria itu sedang tidak bisa dihubungi, alhasil Shela mengabari Alan.Sina tampak termenung sermbari sibuk memainkan jari-jarinya. Dila terus mengintip keadaan Farel di sela pintu yang ada kacanya. Sementara Alan, ia terus menghubungi Surya yang sedang berada di perjalanan untuk keluar kota.Semua terlihat panik, keculai gadis yang kini tersenyum devil melihat kecemasan semua orang."Sin, Farel gimana?" Shela duduk di samping Sina. Cewek itu terlonjak kaget."Farel dikeroyok sama cowok yang namanya Deo. Waktu pertamakali kalian nyerahin gue sama anak-anak The Blue. Iya, gue yakin itu mereka."The Blue?" Devi mengeru
"Karena Rangga lagi di luar negeri, jadi dia ngucapin sumpahnya secara virtual aja. Nih, hoode lo, Sin. ST Seven.""Selamat datang Sinar Rembulan!" ucap Didi secara lantang.Karena Farel masih di rumah sakit, akhirnya ia tidak bisa menyaksikan sumpah yang Sina ucapkan. Akan tetapi, Farel percaya Sina pantas masuk ke lingkaran ST.Sina resmi jadi anggota ST. Shela dan Devi mengajak Sina untuk mencari orang yang sudah menghamili Karin. Shela sudah sangat lama mengabaikan masalah cewek itu."Shel, apa ngga sebaiknya kita kasih tahu Didi. Dia bisa bantu kita," bisik Devi."Jangan dululah. Lo tau sendiri kan Didi itu gimana orangnya. Mulutnya itu terlalu lemes, nanti kalo dia ngasih tahu Farel, gimana? Kan Farel masih sakit. Udahlah kita kan ada Sina "Devi beroh dan manggut-manggut.Shela menghampiri Sina yang sedang duduk-duduk di kursi panjang yang tersedia di basecamp. Cewek itu melihat-lihat foto-foto lawas anggota ST yang
Setibanya di halaman rumah Sina, Farel bergegas kembali untuk pulang. Namun lagi-lagi, matanya menangkap sosok Olive sedang mematung di depan pintu. Ia yakin, gadis itu sedang mengintip Sina yang baru saja ia antarkan pulang.Farel turun dari motornya dan menahan Sina untuk naik ke beranda rumahnya. Di sana Farel menarik lengan Sina dan tiba-tiba mengecup singkat pipi gadis itu.Sina tidak menyangka Farel mencium pipinya di depan rumahnya. Farel lagi-lagi melihat Oliv dan ingin membuatnya cemburu. Lagi-lagi ia harus menjadikan Sina sebagai alat.Saat itu juga Sina segera berlari ke dalam rumah, sebelumnya ia memang tertegun. Tidak. Lebih tepatnya kaget.Oliv yang yang melihat hanya tersenyum getir. Ia lekas mengejar langkah Sina yang tadi melewatinya begitu saja.Sementara Farel, ia tidak tahu apa yang akan terjadi di dalam sana. Yang pasti Farel puas melihat wajah Olive yang memerah menahan amarah. Gadis itu pasti sangat cemburu.Fare
Olive masuk ke kamar Sina. Sang empu sedang berada di kamar mandi sedang membersihkan diri. Saat Sina keluar sudah ada Oliv sedang menatapnya penuh kobaran api."Lo habis jalan 'kan sama Farel?" tanya Olive penuh rasa curiga.Sina bergeleng cuek. Kakaknya seharunya berhenti membicarakan cowok itu. "Gue gak jalan sama cowok lo!""Halah! Orang gue liat sendiri. Tadi lo dianterin cowok ke rumah. Siapa lagi kalo bukan Farel?"Sina tersenyum miris. "Gue bukan lo yang ngerebut pacar adiknya sendiri!" Tekan Sina menyindir membuat bola api di ubun-ubun Olive kian menyala.Oliv menggigit bibirnya dalam-dalam menahan kekesalan. Ia mengeluarkan sesuatu di belakang punggungnya. Kemudian menunjukan benda itu pada Sina.Sina mengerutkan dahi saat menangkap benda yang ada di tangan Olive."Mau lo apain foto gue sama bunda?""Mau gue sobek!" Dan seketika Olive menghancurkan benda itu tepat di depan wajah adiknya.Sina seger
"Woi, ada yang pingsan!" teriak salah satu seorang siswa yang ikut dihukum memberi hormat pada bendera. Orang itu berada tepat di sebelah Sina.Semua orang yang mendengar siswa itu refleks mengarah padanya."Sina?" Kaget Alan. Sejurus kemudian Farel mendahuluinya membawa Sina Ken UKS.Farel menggendong Sina dan berlari cepat membawa gadis itu ke UKS. Wajahnya tampak pucat. Farel bisa merasakan panas dari tubuh cewek yang sedang ia gendong.Alan mengejar Farel ke UKS untuk ikut memeriksa kondisi Sina. Dokter yang bekerja di sana langsung memeriksa keadaan Sina.Farel membawa Alan ke luar dan menyalahkan cowok itu."Kalo mau ngehukum orang pikir-pikir dulu! Lo gak lihat keadaan Sina?""Kalo tahu cewek di depan gue itu Sina, gak bakal gue biarin lo ngehukum dia!" Tajam Farel penuh amarah. Ia tidak tahu dari mana amarah ini datang. Yang pasti, sekarang Farel diselimuti rasa khawatir dan ketakutan mengenai kondisi anak itu.
Tiga tahun berlalu. Embusan angin menyapa di setiap sudut kota. Seorang laki-laki bertubuh jangkung baru saja keluar mini market dengan segelas soft drink di tangannya.Wush!"Uhuk-uhuk!""Gila, hampir aja tuh debu masuk semua ke paru-paru," keluh sang empu, sebab angin dari barat begitu kencang.Farel menaiki kendaraannya kembali. Sebelum itu ia tampak mentahbiskan minumannya dan membuang botol kaleng itu ke tempat sampah yang tak begitu jauh darinya.Ia melesat dan masuk membelah jalanan kota yang masih dipenuhi oleh lalu lalang kendaraan.Meski cuaca terasa panas, laki-laki itu tampak tak terburu-buru dalam berkendara. Justru ia malah menikmati perjalanannya.Akhirnya sampailah ia di halaman rumah. Pria itu lekas turun dari motor dan membawa plastik putih berisikan eskrim pesanan sang adik."Bang, Falel pulang!" sorak anak kecil berusia hampir empat tahunan. Anak itu berlari dan langsung menghambur ke pelukan Farel.
"Pah," panggil Olive dengan suara lirih. Ia melihat pria yang semakin beruban itu tengah duduk melamun di kursi rodanya. Gurat kesedihan dan gurat usianya bercampur menjadi satu. Rian terlihat sangat menyedihkan."Pah, udah yuk, papah makan dulu." Olive membawa semangkuk bubur untuk sang ayah."Habis makan papah istirahat. Ingat lho kata dokter. Papah ngga boleh kebanyakan bengong. Gak baik," ucap Olive mengingatkan. Sejak kepergian Sina, Rian jatuh sakit dan sakitnya berasal.dari sebuah lamunan dan rasa bersalah."Aa, buka mulutnya Pah." Olive melayangkan sendok ke depan mulut Rian. Namun, pria beruban itu enggan membuka kedua bibirnya."Pah, sekali aja! Yah, ayo makan.""Papah ngga mau makan, Liv," toko Rian seraya terus menatap ke depan."Gimana papah mau sembuh kalo ngga mau makan. Sakit juga butuh tenaga Pah. Yah, makan dulu," bujuk Olive yang masih menggantung sendok di udara."Ngga liv--""Sesuap aja pah--"
Farel berjalan dengan tetap menatap ke layar ponselnya. Ia mendapat pesan dari seseorang yang tidak dikenal.Farel tetap terfokus pada layar ponselnya, sampai seseorang yang tengah berlari ke arahnya tak ia sadari hingga akhirnya ....Bruk!Orang itu menabrak tubuh Farel. Namun malah ia yang tersungkur. Dan hampir saja ponsel Farel terjatuh.Seorang gadis meringis. Ia segera berdiri dan meminta maaf pada cowok yang sudah ditabraknya."Maafin, Sinar, ya, Kak. Sinar gak senagaja," ucap gadis itu yang terus menunduk.Mendengar nama gadis itu, dada Farel tiba-tiba berdebar tak karuan."Sina?" kata Farel membuat gadis itu mendongak. Lalu memperlihatkan wajahnya yang manis."Nama lo, Sina?" tanya Farel tak percaya. Saat mendengar nama itu, Farel langsung teringat dengan gadis yang sudah satu tahun meninggalkannya."Sinar! Ada huruf R nya, kak," ralat cewek itu membenarkan."Sinar?" Kedua alis Farel terangkat."Le
Shela memberi satu botol air mineral pada Rangga yang sedang duduk merenung di halaman sekolah. Gadis itu terduduk dan memerhatikan raut wajah Rangga dari samping. Rangga meneguk air itu setengah habis. Kemudian meletakkannya di samping dengan penuh emosi sampai botol itu berdentum. "Kenapa, Ga?" tanya Shela melihat hari Rangga agaknya kurang baik. "Bokap dan nyokap, maksa gue buat kuliah di luar negeri," sahut Rangga sambil terus menatap nanar ke arah depan. "Ya bagus dong. Di sana kan--" Shela segera menutup mulut kala Rangga mendelik sinis padanya. "Gue gak suka, Shel! Gue gak suka dipaksa. Gue ingin jadi diri gue sendiri!" pekik Rangga. Shela mengusap bahu Rangga berusaha untuk menyabarkannya. "Lo bisa bicarakan ini baik-baik," saran Shela. *** Usai dari sekolah, Rangga tidak langsung pulang. Ia berjalan-jalan di lorong sekolah. Rangga meraba setiap jendela yang ia lewati. Dan sampailah
"Ngomonglah, Di! Masa dari tadi diem aja." "Di!" ulang Farel. Namun sang empu masih juga tidak menengok. Akhirnya Farel kembali terfokus menyetir. "Kenapa si Rel, lo maksa banget buat gue pulang? Gue tuh masih kesel sama mereka!" gerutu Didi yang akhirnya membuka suara. "Kesalnya udahan kali, Di. Beri mereka kesempatan." Farel mendelik sekilas sesusah itu terfokus pada jalanan lagi. "Udah berulang kali gue beri kesempatan. Tapi apa? Nyatanya mereka tetep ngga bisa menghargai gue!" pekik Didi. "Ya lo ngegasnya jangan ke gue dong!" "Udahlah, berpikiran positif aja," lanjut Farel. Ia sedikit menambah kecepatannya, agar segera sampai ke rumah Didi. Di sana Sinta dan Dafa sudah menunggu kepulangan Didi. Setibanya di depan rumah, anak itu malah tetap duduk di dalam mobil. Farel mengembuskan napas jengkel. "Ayo turun!" paksa Farel seraya menarik lengan Didi dari mobilnya. "Akh!" sentak Didi yang terus dipaksa Far
Setelah dua hari Didi tidak kunjung pulang. Anak itu pergi entah ke mana, yang pasti sungguh membuat Sinta dan Dafa khawatir. Bahkan Dafa sudah melapor pada polisi atas kehilangan anaknya. Sinta pergi untuk menemui Farel. Barangkali anak itu mengetahui keberadaan Didi. Sinta mengetuk pintu. Ia sedikit ragu. Namun tetap melakukannya. Tak berapa lama, Farel membukanya. Ia terkejut melihat kedatangan mamahnya Didi. "Tante Sinta?" "Rel bisa saya bicara sama kamu?" kata Sinta terlihat panik. "Masuk Tante. Kita ngobrol di dalam aja." Sinta duduk di sofa ruang tamu. Ia disuguhkan minuman dingin oleh Farel. "Santai aja ya, Tan di sini lagi ngga ada siapa-siapa kok. Orang rumah lagi pada ke luar." "Iya Rel. Sebelumnya Tante minum dulu ya." Sinta segera meneguk minuman yang telah disediakan untuknya. Sinta sangat merasa haus sehingga menghabiskan segelas sirup itu. "Iya, Tante silakan di minum."
Didi mengajak Farel ke rumahnya. Meraka sudah sampai beranda rumah. Kemudian mengetuknya secara perlahan. "Tuan Muda?" kaya Bi Nem. Mendengar Bi Nem, Sinta lekas datang ke depan pintu. "Didi," sambut Sinta dan langsung memeluk tubuh anak itu. "Kamu ke mana aja, sayang? Mama khawatir tau," decak Sinta. Sebab Didi tidak pulang semalaman. Didi tampak biasa saja. Mungkin lebih kepada tak mau menanggapi rasa khawatir ibunya itu. "Didi nginep di rumah Farel, kok, Tante," sambar Farel. Didi masuk begitu saja. Sinta tahu anak itu masih marah padanya. "Maaf, ya, Rel udah ngerepotin kamu. Sekarang mending kalian makan ya," cuit Sinta sedikit merasa tidak enak. "Gak ngerepotin kok. Farel dan Didi udah makan juga Tante," sahut Farel sopan. "Ya ampun. Makasih ya, Rel udah mau jaga Didi. Tante khawatir Didi ngga mau makan. Biasanya kalo ngambek suka gitu," kata Sinta terlihat sedih. Farel tertawa dalam
Didi membanting stir penuh emosi. Ia menangis tanpa rasa malu lagi. Didi benar-benar mencurahkan segala kemarahannya lewat air mata yang terus berderai keluar. Didi menambah kecepatan dalam berkendara. Ia ingin meluapkan segala rasa sakit hatinya dengan mengebut. Ia terus melaju entah ke mana. Kemudian mobil Didi perlahan menelan dan akhirnya memilih menepi. Di tempat sepi itu, Didi berteriak dengan bebas. "Hakk!" jerit Didi seperti orang gila. Cowok itu menyeka air matanya kala melihat pohon menyeramkan di sampingnya. "Tuh pohon besar amat," lirih Didi dengan suara yang masih bergetar. Didi cepat-cepat menyalakan mesin mobilnya dan memilih putar balik. Laju kendaraan Didi membawa pria itu ke arah rumah Farel. Ya, ke arah rumah sahabatnya. Setibanya di depan rumah Farel. Didi terlebih dahulu merapikan dirinya. Ia memeriksa kedua matanya yang masih terlihat sembab. Didi membersihkan matanya dari sisa air
Prank! Suara barang pecah terdengar lagi. Didi hanya bisa menghela napas dan berusaha untuk fokus pada game yang sedang ia mainkan. Sementara di tengah rumah orang tuanya masih tak kunjung berdamai dengan hal yang masih mereka perselisihkan. "Coba aja kamu bisa tegas sedikit mungkin para pegawai kamu tidak akan semanja itu! Bentar-bentar minta naik gaji bentar-bentar minta naik gaji! Bosen aku dengarnya!" tandas seorang wanita seraya menunjuk wajah pria di depannya dengan penuh kekesalan. "Lho yang minta naik gaji itu cuma beberapa orang, Sinta! Lagian mereka itu pekerja lama! Lagian kamu bisa tolak secara baik-baik tidak seperti tadi marah-marah di kantor! Memang seharusnya kamu tidak usah mengelola perusahaan ku, sebaiknya kamu diam di rumah!" balas Dafa tak kalah berteriak. Sina menyunggingkan salah satu sudut bibirnya. "O o ... jadi kamu nyalahin aku? Heh, perusahaan itu milik mendiang ayah aku, kamu harus ingat itu!" "Kamu