Pagi ini, Shiya bangun dari tidurnya dengan perasaan yang lebih semangat daripada hari biasanya. Ia bergegas membersihkan dirinya bahkan hari ini ia juga berdandan. Rencananya ia akan pergi menemui Dokter Lea yang kini sudah menjadi sahabatnya itu.
"Bi! aku harus merepotkan mu lagi hari ini." Shiya sudah terlihat cantik dan rapi saat keluar dari kamarnya. Ia juga membawa Lucy kecil dalam gendongannya."Apa yang anda bicarakan Nona? serahkan saja Nona Muda pada Bibi." Bi Asih meraih Lucy kecil dari gendongan Shiya.Shiya menciumi pipi bayi mungil itu beberapa kali sebelum akhirnya pergi meninggalkan rumahnya. Tanpa ia sadari, John sudah menunggunya dihalaman rumahnya."John?" ia membulatkan kedua matanya saat melihat John sudah berdiri di samping mobilnya dan bersiap untuk membukakan pintu untuknya."Silahkan Nona!" ia mempersilahkan Shiya masuk kedalam mobil itu."Ke-kenapa kau?" mulutnya masih menganga karena melihatKedua wanita cantik itu berjalan memasuki area pemakaman dengan rangkaian bunga di masing-masing tangannya. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang mengarah pada dua buah makam kedua orang tua Shiya."Ayah, Bunda. Aku datang lagi. Aku tidak datang sendiri. Sekarang aku memiliki seorang sahabat. Lihatlah! bukankah dia cantik?" Shiya bersimpuh di depan makam kedua orang tuanya, sedangkan Dokter Lea masih berdiri dibelakang Shiya dan menyunggingkan senyum manisnya.Dokter Lea terus menemani Shiya dengan sabar dan setia di makam itu. Membiarkan Shiya melepaskan sedikit rasa rindunya pada kedua orang tuanya. Karena, kehadirannya di samping Shiya benar-benar memberikan perubahan yang cukup pesat padanya."Bagaimana? ada tempat lain yang ingin kau datangi?" Dokter Lea memegang erat kedua bahu Shiya seraya berjalan keluar dari area pemakaman."Sebenarnya ada lagi tempat yang ingin sekali ku datangi. Tapi..." Shiya tiba-tiba menghentikan langk
"Sialan! kenapa mereka bisa saling kenal? padahal aku sudah menceritakan semuanya pada Dokter Lea. Jika mereka sahabat, semua yang kulakukan pasti terbongkar. Mereka semua pasti akan tahu apa yang sudah ku lakulan." Lucy terus bergumam setelah kepergian Shiya dan Dokter Lea. Kekhawatirannya pun semakin menjadi, ia tak ingin dirinya berada dalam bahaya lagi.Lucy terus berjalan kesana kemari didalam tokonya, ia mondar mandir sudah tak sabar menunggu jam kerjanya segera berakhir. Hingga waktu akhirnya menunjukkan jam kerjanya telah berakhir."Aku pergi dulu. Tolong kalian selesaikan semuanya!" Lucy meraih tasnya dan bergegas keluar dari tokonya."Baik Nona." beberapa pekerjanya mengiyakan perintahnya dan menyelesaikan pekerjaan mereka.***Dokter Lea menghentikan laju mobilnya tepat didepan rumah keluarga Shalim. Mereka tiba dirumah saat malam sudah larut karena terlalu asik menghabiskan waktu bersama seharian."Masuklah! aku
Setiap hari Shiya datang untuk menemui Dokter Lea. Namun, ia tak kunjung sadar juga. John dan Shiya pun mulai lelah karena sudah berminggu-minggu dirinya sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda hendak sadar."Kenapa kau tak mau bangun juga? kau membuatku sangat marah, kau meninggalkanku. Tapi tak apa, aku sudah biasa ditinggalkan. Ternyata kau sama saja dengan orang tuaku, mertuaku dan juga Baro yang meninggalkanku. Aku pikir kau akan berbeda karena kau seorang dokter. Sekarang aku tidak akan datang kesini lagi." Shiya bangkit dari duduknya dan berjalan keluar dari ruangan Dokter Lea dengan perasaan kesal. Ia kesal karena Dokter Lea tak bangun juga. Kesehatan mental yang semula sudah membaik, kini kembali memburuk.Shiya berjalan menyusuri trotoar yang tak begitu ramai itu tanpa tujuan. Hatinya kembali terluka karena kondisi Dokter Lea tak kunjung membaik. Tatapan matanya kosong, sama sekali tak mempedulikan jalanan yang sedang ia lalui."Shiya! Shiy
5 tahun kemudian.Brak!"Berikan aku 20 kaleng beer itu!" Shiya meletakkan sejumlah uang dimeja kasir itu dengan sangat keras membuat pelayan yang sedang bertugas sedikit terjingkat."Baik Nona." pekerja itu pun mengiyakan perintahnya dan segera memberikan permintaan Shiya.Shiya pun meraih satu kantung plastik besar itu dari meja kasir dan membawanya keluar. Seperti biasa, ia duduk di kursi yang terletak didepan toserba itu seorang diri sambil menikmati minuman beralkohol itu selama beberapa saat hingga kepalanya terasa pusing. Setelah menghabiskan beberapa kaleng minuman, ia pun akhirnya memutuskan untuk kembali kerumah.Malam itu Shiya berjalan dengan langkah sempoyongan menyusuri tepi jalan menuju rumahnya. Tangan kanannya masih memegang satu kaleng minuman yang sesekali ia minum disepanjang perjalanannya pulang, sedangkan tangan kirinya membawa satu kantung plastik besar berisi minuman kaleng penuh.Kini penampil
"Bila ada kehidupan berikutnya, aku tak ingin dilahirkan kembali." Shiya menatap ke sembarang arah."Kenapa kau bicara begitu?" Baro memutar kepalanya dan menatapnya dengan seksama."Karena hidup adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Terlebih kau juga meninggalkanku." kini keduanya saling beradu pandang. Mereka seperti berada di suatu tempat yang tenang dimalam hari. Tapi, seperti biasa Baro lagi-lagi menghilang begitu saja.Mimpi itu kembali membuat Shiya mengerjapkan matanya, nafasnya terengah-engah. Peluhnya pun bercucuran membasahi wajahnya. Ia melihat kearah jam yang tergantung didinding dan masih menunjukkan pukul 12 tengah malam.Shiya pun akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamarnya dengan langkah pelan agar Bi Asih dan Lucy tidak terbangun. Pelan ia membuka pintu kulkas dan mengambil beberapa kaleng minuman beralkohol.Kini Shiya sudah duduk diruang tengah sambil menyalakan televisinya. Ia menikmati minuman itu kalen
Saat pintu kamar itu terbuka, Shiya masih terdiam tak berani melangkahkan kakinya untuk masuk kedalam. Ia merasa tak kuasa untuk menghadapi anaknya sendiri. John yang hendak melangkahkan kakinya masuk kedalam pun akhirnya mengurungkan niatnya karena tak sengaja memperhatikan tingkah Shiya yang aneh."Ada apa Nona?" John memundurkan langkah kakinya kebelakang agar sejajar dengan Shiya."Bagaimana ini? aku tak sanggup menghadapinya?" Shiya terus memperhatikan Lucy dari kaca kecil yang berada dibalik pintu, kedua tangannya masih menggenggam erat kain baju bagian bawahnya karena ia merasa gugup. Dari balik kaca itu, terlihat Gadis kecil itu sedang dimanja oleh Andrew."Dia terus menanyakan mu Nona. Masuklah!" Shiya pun akhirnya mau menyeret kakinya masuk kedalam ruangan itu. Meski ia masih tak kuasa menatap wajah sang buah hati."Ibuuuuu!" Lucy terlihat semangat saat melihat ibunya datang, hal itu tentu saja membuat hati Shiya terasa semakin h
"Nona, hari ini bolehkah aku membawa Nona Lucy sepulang sekolah?" pagi itu, John menjemput Lucy dan meminta ijin pada Shiya untuk membawa Lucy. Shiya pun mengiyakan permintaan John dan membiarkan Lucy pergi ke sekolah bersamanya."Tolong jaga dia baik-baik." Shiya menundukkan tubuhnya untuk berbicara pada John yang sudah duduk didalam mobilnya."Jangan khawatir Nona." John pun melajukan mobilnya meninggalkan rumah Shiya. Sedangkan Lucy yang diduduk disamping John itu, terus melambaikan tangannya pada sang ibu.Shiya masih berdiri tak bergeming dari tempatnya, menatap kepergian mobil itu sambil membalas lambaian tangan dari anaknya.Siang harinya.John sudah berada didepan sekolah saat Lucy keluar dari taman kanak-kanak itu. Gadis kecil itu pun menghampirinya begitu saja, keduanya pun terlihat sangat akrab selayaknya Paman dan keponakan yang sesungguhnya."Kita akan pergi kemana Paman?" gadis kecil itu terus melemparka
Kini Shiya dan Lucy sudah berdiri didepan sebuah bangunan dengan interior ala bangunan tua. Bangunan itu adalah panti asuhan. Ya, Shiya memang berniat memasukkan Lucy ke panti asuhan karena dia tidak tahu lagi harus membawanya kemana. Jika terus membiarkan Lucy berada didekatnya ia akan terus merasakan sakit akibat siksaan darinya."Lucy tinggal lah disini! semua orang disini baik. Jangan menunggu ibu untuk datang lagi." Shiya meletakkan tas berukuran besar di teras bangunan itu. Ia mengusap-usap ujung kepala Lucy dengan lembut."Tapi Bu, kenapa Ibu meninggalkanku? aku janji akan menjadi anak yang baik." Lucy menangis, ia sangat ketakutan ibunya akan meninggalkannya."Kau anak yang baik Nak, bahkan sangat baik. Itulah sebabnya kau harus tinggal bersama orang-orang baik, bukan bersama orang jahat seperti Ibu." Shiya tak kuasa menahan air matanya."Tapi bagiku Ibu adalah orang yang paling baik didunia ini." Lucy memegang erat lengan Ibunya,