Melinda menghela napas panjang, ia menatap lelaki yang perhari ini sudah tidak lagi menjadi suaminya, ya ... Meskipun perceraian mereka belum disahkan secara negara. Bima nampak masih menundukkan wajah, setelah kalimat itu keluar dari mulutnya, tidak ada lagi percakapan apapun yang terjadi. Mereka membisu diam di meja makan.
"Kau berangkat jam berapa, Mel? Mau aku antar?" Bima lebih dulu buka suara setelah sekian lama mereka diam dalam pikiran masing-masing.
Melinda tersenyum simpul, meraih gelas susunya lalu meneguk isi yang sejak tadi dia abaikan.
"Kamu tidak berangkat kerja memangnya? Tidak perlu mandi dan lain-lain dulu?" Melinda menjawab, menatap Bima yang masih diam di tempatnya duduk.
"Aku sudah mandi sejak subuh tadi. Bagaimana? Mau aku antar? Untuk yang terakhir kalinya."
'Untuk yang terakhir kalinya ....'
Melinda kembali tersebut getir, ya Bima benar! Mungkin ini akan menjadi saat terakhir kalinya Melinda di
Vina hendak melangkah ke minimarket ketika suara itu memanggilnya dengan begitu keras. Vina menoleh dan mengerutkan kening ketika sosok itu melambaikan tangan dan berlari ke arahnya."Mau kemana?" tanya Bima ketika sudah berada di dekatnya."Beli camilan, kenapa?" Vina bosan hanya diam saja, oleh karena itu dia bertekad menyelesaikan skripsinya sambil menunggui Anetta, jadi tentu saja dia butuh camilan untuk menemani pengerjaan tugas akhir penentuan hidup dan matinya di universitas."Sudah sarapan?" bukannya menjawab, Bima malah balik bertanya, membuat Vina tersenyum simpul sambil menghela napas panjang."Belum, ini mau cari sekalian." Vina memang belum makan, Ani hanya bawa dua porsi nasi uduk dan dia lebih memilih membaginya dengan calon besan daripada dengan anaknya ini."Sarapan sama-sama, yuk?" Bima meraih tangan Vina menariknya kembali masuk ke gerbang rumah sakit."Ehh ... mau kemana?" Vina sedikit terkejut, tapi entah mengapa dia tid
Bima menatap Vina yang tengah asyik menyantap sepiring nasi rames yang dia pesan di kantin rumah sakit. Bima sendiri hanya memesan secangkir kopi dan memilih untuk menikmati wajah yang sudah begitu lama dia cari. Semakin lama, Bima semakin sadar bahwa Vina benar-benar mampu mencuri dan mengalihkan dunia Bima seketika.Memang terdengar kejam, terutama untuk Melinda, tetapi Bima tidak bisa memungkiri bahwa ia benar-benar jatuh cinta pada Vina bukan karena dia sudah memberikan seorang anak untuk Bima.“Laper banget apa doyan?”goda Bima sambil tersenyum jahil.Vina lantas mengangkat wajah, menatap Bima dengan mulut setengah terbuka yang penuh dengan nasi. Dengan segera dia mengunyah nasi di dalam mulutnya, menelan nasi dengan susah payah lalu memanyunkan bibir.“Laper bin doyan, kenapa?” sembur Vina lalu kembali menyuapkan nasi ke dalam mulut.Bima terkekeh, anak muda zaman sekarang memang beda, ya? Ia menopang dagu, masih
Melinda masuk ke dalam kamar. Matanya menatap nanar kamar yang selama ini menjadi tempat dia pulang dan melepaskan penat. Tempat di mana dia dan Bima selalu menghabiskan waktu mereka bersama dengan begitu intim.Sekali lagi Melinda menitikkan air mata, dadanya mendadak sesak. Rencana awalnya tadi adalah mengemasi barangnya dan segera angkat kaki malam ini juga dari rumah ini. Namun Anita melarang, Anita mati-matian tidak mengizinkan Melinda pulang malam ini.‘Tidak! Tidur sini malam ini, Mel. Biar besok Mama sama Papa dan Bima yang antar kamu. Kamu tidak boleh pulang sendirian.’Melinda menghela napas panjang, menyeka air mata dan melangkahkan kaki mendekati ranjang. Ia menjatuhkan diri di kasur itu. Kasur dengan harga puluhan juta yang selama ini begitu nyaman membantunya menghabiskan malam.“Kuat, Mel! Kamu kuat!” desisnya mencoba kembali menata hati.Lampu kristal yang tergantung di langit-langit kamar memantulkan cahaya
"Belum selesai?" Bima duduk di sisi Vina yang masih sibuk dengan buku-buku dan laptopnya. Anetta sendiri sudah dia tidurkan di ranjang setelah sang nenek berkali-kali protes.Kini gadis cantik kesayangan Bima itu berganti tidur dalam pelukan sang nenek. Tampak begitu damai dan bahagia."Belum, Mas udah capek gendongnya?" Tanya Vina sarkas, ia sama sekali tidak menoleh ke arah Bima, membuat lelaki itu sontak tertawa lirih."Belum, kamu mau digendong juga?" Tanya Bima setengah menggoda.Vina menoleh, menatap Bima yang nyengir lebar menatapnya itu. Sebuah cubitan Vina lemparkan pada perut lelaki yang entah mengapa kini mampu menghapuskan hampir sebagian kebencian yang pernah Vina miliki untuknya.Bima tergelak, hampir saja ia berteriak kalau saja Ani tidak memberi kode. Tangan Vina masih mencubit perutnya membuat Bima menatap ke dalam mata itu."Lepas dong! Sakit!" Mohon Bima sambil meringis."Nggak! Harusny
"Mas kenapa?"Bima tidak langsung menjawab, ia malah menundukkan kepala, melangkah mendekati sofa lalu menjatuhkan diri dan memeluk Vina dengan begitu erat. Tangisnya pecah, ia terisak lirih dengan bahu naik turun.Vina tertegun, apa yang sebenarnya terjadi? Padahal beberapa saat yang lalu, Bima begitu jahil menggodanya. Kenapa sekarang dia macam anak kecil kehilangan mainan?"Mas? Kenapa sih?" Tentu Vina sangat penasaran, apa yang membuat lelaki itu menangis sesegukan seperti ini?Bima mengangkat wajahnya, menatap Vina dengan mata berurai air mata. Bima menghirup oksigen banyak-banyak, membuat Vina melongo tidak mengerti. Apa yang terjadi? Kenapa Bima jadi seperti ini?"Aku gagal, Vin. Aku gagal!" Desisnya disela-sela isak tangis, sebuah pengakuan yang kembali membuat kening Vina berkerut.Gagal?Gagal yang bagaimana?"Maksudnya?" Tentu Vina penasaran, baru beberapa saat dia tertidur dan Bim
"Ma, Bima izin pulang dulu." Izin Bima pada Ani yang tengah memakaikan baju pada Anetta yang baru saja selesai mandi.Ani menoleh dan tersenyum, mengangguk pelan sebagai tanda persetujuan sambil berhati-hati memasukkan lengan baju Anetta ke botol infus."Semoga lancar ya, Bim. Mama doakan semoga semua masalahmu selesai dengan baik tanpa menimbulkan masalah baru." Tentu itu yang Ani doakan, Bima hendak ke rumah mertuanya, membahas perihal gugatan yang hendak dimasukkan ke pengadilan agama dan tentu saja mengantarkan Melinda kembali pada kedua orang tuanya."Amin, Ma. Bima juga berharap demikian." Bima tersenyum, mengelus lembut kepala Neta yang nampak segar dan begitu wangi selepas mandi."Papa mau kemana?" Tanya Neta dengan mata membulat."Pulang ke rumah oma Nita dulu, oke?" Bima tersenyum, cantik sekali anak gadisnya ini!"Ikut!"Sebuah permohonan dengan puppy eyes yang sontak membuat Bima membeku
"Kamu sudah yakin, Mel?" Madi menatap anak bungsunya, nampak dia sejak tadi menunduk, menghindari tatapan semua orang yang ada di sini.Semua saling pandang, hanya Bima yang serius menatap Melinda yang nampak masih membisu setelah mama dan papanya menjelaskan semua masalah yang terjadi di antara mereka. Semuanya sudah dibuka dan dibahas bersama. Tidak ada lagi rahasia malam ini."Tidak mencoba tetap menerima suamimu dengan kesalahan apa yang sudah dia perbuat? Setidaknya kalian tidak perlu bercerai."Bima yang sejak tadi mengarahkan pandangan ke arah Melinda sontak menoleh dan menatap Madi dengan tatapan terkejut.'Tidak perlu bercerai?'Kenapa Madi sepertinya tidak rela Melinda bercerai dari Bima? Dia lebih rela anaknya dimadu? Begitu? Bima hendak buka suara, menolak keras permintaan itu jika memang Madi lebih ingin anaknya dimadu daripada dicerai."Tentu Melin serius, Pa. Melin sudah pikirkan ini sejak lama. Ini kep
"Belum tidur?" Bima terkejut ketika mendapati Vina masih terjaga susu di depan laptopnya.Wajah itu mendongak, menatap Bima lantas menyunggingkan senyum tipis, "Aku pikir kamu tidak kesini."Bima tertawa kecil, "Kebiasaan ya? Tiap ditanya bukannya jawab malah balik tanya!" Bima menjatuhkan diri di sofa, menatap mata Vina yang membulat menatapnya itu."Aku kan--."Bima tidak menanti Vina menyelesaikan kalimatnya, ia meraih tubuh itu dan mendekapnya erat-erat. Aroma rambut itu benar-benar dahsyat! Hanya dalam beberapa detik saja aroma rambut itu mampu membakar Bima seketika."Semuanya sudah selesai. Besok berkasnya masuk, Vin." Bima mempererat pelukannya, menghirup aroma rambut itu dalam-dalam. Kenapa dia begitu lemah seperti ini?"Iya kah? Orang tuanya tidak protes dengan apa yang sudah terjadi?" Vina sendiri tidak berniat melepaskan diri, entah mengapa dada itu begitu nyaman untuk Vina membenamkan wajah. Bau par
Vina menitikkan air mata ketika akhirnya dia bisa merasakan bagaimana rasanya IMD. Bagaimana rasanya bayi langsung menyusu kepadanya begitu lahir.Bima terus menerus membantu bayi kecil mereka menyusu sambil terus menerus menitikkan air mata. Semuanya kompak menangis haru, membuat beberapa paramedis sengaja menjauh agar tidak menganggu interaksi keduanya."Udah dong nangisnya!" Ejek Vina yang tidak sadar diri, dia bahkan masih menitikkan air mata."Aku bahagia banget, Sayang! Sungguh!" Bima tersenyum, matanya masih memerah dan basah, membuat Vina terkekeh seraya mengelus lembut kepala bayi yang baru beberapa menit lahir itu."Aku sudah minta lebihan darah untuk kita lakukan pengecekan, Sayang. Kita akan deteksi lebih dini. Dan harapanku ... Tidak ada lagi Anetta yang lain." Bisik Bima lirih."Bagaimana ka--.""Sayang! Stop overthinking, oke?"Vina tertegun menatap mata itu, ia tersenyum getir dengan air m
Minggu pagi. Vina ingat betul hari ini minggu pagi. Cuaca cerah di luar sana dengan langit biru yang begitu bersih. Tapi kali ini, bukan langit biru yang Vina lihat dengan matanya. Yang ada dj depan mata Vina sekarang adalah langit-langit koridor koridor OK, menantikan gilirannya masuk ke dalam salah satu ruangan.Vina mengelus perut membukitnya, rasanya seperti Dejavu. Ya ... Beberapa tahun yang lalu Vina pernah ada di posisi ini. Terbaring dengan perut besar membukit menantikan tindakan operasi. Bedanya, dulu dia menanti dengan penuh rasa khawatir karena usia kandungan yang belum cukup dan tentu saja dia harus berjuang sendiri di dalam sana.Kali ini ... Semuanya berbeda. Usia kandungan Vina sudah sangat cukup dan sekarang, dia tidak lagi sendirian. Sosok yang sudah siap dengan setelan scrub, nurse cap dan masker itu terus menggenggam tangannya erat-erat. Sama sekali tidak melepaskan tangan Vina, seolah tidak mau berpisah barang sedetikpun dari Vina. 
"Sayang ...." Bisikan Bima lirih sambil mengguncang bahu sang istri. Vina sama sekali tidak membuka mata, hanya menggumam perlahan tanpa bergerak sedikitpun. Bima tersenyum getir, intinya malam ini dia tidak terima penolakan. Mumpung mereka tidak menginap di rumah sakit! Dan Bima tidak mau mensia-siakan kesempatan ini? "Ayolah, aku kadung janji sama Neta nih!" Rayu Bima tanpa gentar. Kalau pergumulan mereka beberapa hari yang lalu tidak menghasilkan karena ternyata Vina sedang tidak subur, maka kali ini Bima sudah hitung betul-betul masa subur sang istri dan inilah saatnya. "Salah sendiri asal bikin janji. Kan aku udah ngomong dulu kalo sama Neta jangan sembarangan bikin janji!" Vina bergeming, sama sekali tidak menghiraukan segala macam kode dari Bima. Bima menghela napas panjang, intinya dia sudah bertekad bahwa dia harus bisa menghamili Vina untuk kedua kalinya! Atau mungkin nanti jadi ke tiga kali? Empat? Atau berapa?
“Congratulations, istriku tercinta!” Vina yang masih dalam balutan toga tertegun melihat sang suami menyodorkan buket mawar merah yang cukup besar itu kepadanya. Ini adalah kali pertama Bima memberinya bunga, pertama kalinya yang kebetulan bersamaan dengan acara wisudanya. Vina tersenyum dengan mata berkaca-kaca, menerima bunga itu dan pasrah ketika Bima menarik dan menjatuhkan Vina ke dalam dekapan tubuhnya. Air mata Vina menitik, harusnya Anetta ikut di sini sekarang. Menyaksikan sang mama diwisuda setelah berjuang tiga setengah tahun kuliah sambil merawat Anetta selama ini. Masih tergambar betul dalam ingatan Vina ketika dia harus ujian akhir semester satu dan Anetta habis imunisasi. Bagaimana perjuangan Vina belajar sambil sesekali menyusui Anetta yang rewel dan sedikit demam pasca imunisasi. Sekarang semuanya terbayar lunas sudah! Dia sudah berhasil meraih gelar S.H-nya. Menjadi sarjana hukum dengan predikat cumlaude ketika lulus. “Aku em
Suara pintu terbuka, Vina sontak menoleh dan mendapati dua nenek rempong itu sudah masuk bersama-sama ke dalam ruangan. Heran, rumah mereka jaraknya cukup lumayan, tapi kenapa bisa barengan begitu sampainya? “Neta tidur?” tanya Ani sambil memencet botol handsanitizer yang menempel di tembok. “Tidur, Ma. Kok bisa barengan?” tanya Vina sambil menatap mereka bergantian. “Bisalah, kan kompak!” jawab Anita seraya mengedipkan sebelah mata. Vina melongo, bisa begitu? Nampak Anita mendekati ranjang, di mana Bima tertidur begitu pulas sambil memeluk Anetta, sebuah pemandangan yang sejak tadi sudah menguras air mata Vina dengan begitu luar biasa. “Bim ... bangun gih! Pulang sana istirahat!” bisik Anita sambil mengguncang lembut bahu anak lelakinya. Sejak dua hari memang Bima belum pulang kerumah. Selain banyak tugas yang diberikan konsulen, Bima sama sekali tidak mau berpisah dengan Anetta. Bima nampak menggeliat, membuka matanya perlahan-lahan
"Neta nggak bisa makan untuk sementara waktu, Ma." Gumam Bima ketika Ani datang membawa banyak sekali makanan kesukaan Anetta."Kenapa, Bim? Dia baik-baik saja, bukan?" Tampak wajah itu sangat khawatir, membuat Bima tersenyum getir dan mengangguk pelan."Tentu, dia baik-baik saja. Hanya efek dari BMT adalah adanya gangguan pencernaan dan mungkin muncul sariawan di mulut, jadi makanan Anetta sampai beberapa saat ke depan sampai pencernaannya membaik hanya melalui infus." Jelas Bima sabar, ia sudah menjelaskan hal ini pada Vina, untuk Anita tentu Andi sudah menjelaskannya lebih dulu, bukan?"Oh begitu?" Ani nampak murung menatap bungkusan yeng dia bawa, "Vina juga nggak boleh makan?""Kalau Vina boleh, Ma. Dia bebas mau makan apa aja." Tentu Bima paham kalau Ani khawatir dan kecewa karena apa yang dia bawa tidak bisa Anetta nikmati, tapi semua itu demi kebaikan Anetta, bukan?"Sampai kapan Neta harus dirawat, Bim? Kapan dia bo
"Sakit?" Tanya Bima sambil mengelus puncak kepala sang istri yang kini tergolek di ranjang dengan kateter yang menancap di leher. Vina menggeleng lemah, "Demi Anetta, semua ini sama sekali tidak terasa sakit, Mas." Bima mengangguk, menjatuhkan kecupan mesra yang begitu manis dan mampu membuat dua orang yang ada di ruangan itu auto iri melihatnya. Vina tersenyum, akhirnya kini dia yang berbaring di sini. Bukan karena sakit, tetapi bersakit-sakit ria demi Anetta. Setelah prosedure panjang yang dilakukan, hasil pemeriksaan HLA yang paling cocok merujuk pada dirinya. Bukan Bima atau anggota keluarga yang lain. Jadilah ini Vina kembali berjuang demi Anetta setelah dulu berjuang di OK demi melahirkan Anetta. "Kamu wanita paling hebat dan kuat yang pernah aku kenal, Vin." Bima mengelus lembut dahi Vina, wajah mereka begitu dekat membuat siapapun yang di sana gigit jari melihat kemesraan itu. "Kau tau siapa yang membuatku
“Mas, ada apa?”Bima mengangkat wajah, mengabaikan sejenak segelas es teh yang dia pesan sambil menantikan Vina datang menemuinya di kantin rumah sakit. Kini, istri cantiknya itu sudah hadir dan berdiri di depannya.“Anetta gimana? Aku mau masuk tapi masih harus ada jaga.” Bima harus ingat betul, tidak boleh sembarangan orang masuk ke dalam kamar Anetta, dia sekalipun harus memastikan bahwa dia bersih dan steril. Jadi agak susah dan ribet kalau dia yang masih jaga ini harus bolak-balik membersihkan diri sebelum masuk ke dalam.“Baik, dia sudah bisa tidur.” Vina duduk di hadapan Bima, nampak Vina hanya mengenakan sweeter dan kaos yang nantinya jika di dalam ruangan akan di ganti dengan setelan scrub yang bersih.“Darahnya masih keluar?” tentu itu yang Bima tanyakan, tiap menit, hal itu yang selalu Bima khawatirkan.“Yang hidung belum mau berhenti, Mas. Untuk telinga sudah mampet sih.”
“Ayolah, Ma ... semua demi Anetta.” Mohon Vina sambil menggenggam erat kedua tangan Ani.Vina paham, sangat mengerti bahwa sulit bagi Ani untuk berpisah dari Anetta. Vina masih ingat, ketika dia sibuk kuliah, meskipun dibantu oleh baby sitter, Ani-lah yang mengawasi dan merawat Anetta selama ini. Tentu akan sangat sulit bagi Ani menerima bahwa cucunya harus pindah tinggal di rumah besannya.“Berapa banyak sih biaya buat bikin ruangan kaca atau apalah itu? Duit Mama nggak cukup, Vin?” tanya Ani dengan mata memerah.Vina menggelengkan kepala cepat, matanya ikut memerah. Bisa Vina lihat sorot luka penuh kekecewaan itu terpancar di mata Ani. Siapa yang tidak terluka? Selama bertahun-tahun merawat seorang diri Anetta yang tengah hamil lalu merawat bayinya dengan sepenuh hati dan penuh kasih sayang, tiba-tiba harus dipisahkan seperti ini?Tapi semua itu bukan karena keserakahan atau keegoisan semata. Semua demi Anetta! Vina sangat berhar