"Mas pengen ngomong apa?" Melinda lebih dulu buka mulut setelah Bima terus bungkam sejak dia keluar dari kamar mandi dan kini sudah terbaring di atas ranjang bersamanya.
Bima menoleh, menatap Melinda dengan seksama. Sebuah sorot mata yang entah mengapa membuat hati Melinda makin risau dan dia semakin yakin bahwa ada sesuatu yang terjadi. Tapi apa?
"Bagaimana di rumah? Mama masih sering ngomong macam-macam?"
Melinda memaksakan diri tersenyum. Pertanyaan macam apa itu? Kenapa pertanyaan itu Bima tanyakan padahal Bima tahu betul apa penyebab Anita selalu membahas hal tersebut.
"Tentu masih, Mas. Mas tahu, kan, bagaimana cara membuat mama berhenti bertanya dan ngomong macam-macam itu apa?" Melinda balik bertanya, sekuat tenaga menahan tangis karena jujur ia sudah lelah menangis ketika membahas hal ini.
Terdengar desahan panjang keluar dari mulut Bima. Sebuah suara yang membuat Melinda menoleh dan menatap Bima dengan seksama. Tampak Bima menatap l
Melinda dengan susah payah membuka mata, hendak membangunkan Bima. Namun ketika matanya terbuka, Melinda terkejut mendapati Bima bahkan sudah selesai mandi dan sudah dengan pakaian dinasnya. Setelan scrub berwarna abu-abu dengan jas putih yang masih tergantung di pintu lemari. "Mas, sudah bangun?" sebuah pertanyaan basa-basi yang spontan meluncur dari mulut Melinda. "Sudah, kamu berangkat sendiri tidak apa-apa, kan, Mel?" Bima yang nampak tengah menata rambutnya dengan pomade menoleh, menatap Melinda yang duduk di atas ranjang dengan wajah setengah mengantuk. "Oke, tidak masalah." Melinda tersenyum simpul, dia tahu ada sesuatu yang tengah suaminya itu sembunyikan. Tapi apa? Bima tidak lagi bersuara, fokus menata rapi rambutnya. Menyemprotkan parfum lantas kemudian meraih snelli miliknya. "Aku berangkat, Mel. Kamu hati-hati, jangan lupa sarapan." Bima tersenyum, meraih ponsel berserta perintilan yang lain lalu melangkah
"Kalau Dokter bilang papa Anetta masih hidup, apa yang hendak Anetta katakan?"Bima menatap mata yang menatapnya tanpa berkedip sejak tadi. Jantung Bima berdegub kencang, berharap-harap cemas dengan jawaban yang akan keluar dari mulut gadis kecilnya. Apa tanggapan dia ketika tahu Bima-lah ayah kandungnya selama ini."Saya ini papa kandung kamu, Anetta. Saya papa kamu!" kembali Bima menegaskan siapa dirinya, matanya berair, ia benar-benar menantikan kalimat pertama yang keluar dari mulut Anetta setelah tahu bahwa Bima adalah ayah kandungnya."Dokter nggak lagi bohong, kan?"ClessHati Bima seperti ditusuk sembilu. Bohong? Untuk apa Bima berbohong? Namun Bima sadar, dia paham kenapa Anetta sampai bertanya hal seperti itu kepadanya. Kemana Bima selama ini? Di saat dia sibuk bertanya pada sang mama perihal siapa ayah kandungnya, di mana keberadaannya, Bima di mana? Dan sekarang mendadak Bima muncul dan mengatakan bahwa dia adalah ayah kandu
"Kita bicarakan semuanya nanti, aku harus follow up beberapa pasien dan stand by IGD. Nanti makan siang aku balik." Bima sudah cukup pusing sejak tadi terus diserang Vina. Meskipun Bima tahu, Vina berhak dan pantas meluapkan semua emosinya.Vina melengos, ia melangkah menuju ranjang Anetta yang sejak tadi terus mengawasi. Membuat Bima kembali menghela napas panjang untuk mengisi stock sabarnya."Vina memang seperti itu, jadi saya har--.""Bima ngerti, Ma." potong Bima cepat. "Boleh Bima panggil mama, kan?"Bisa Bima lihat wanita paruh baya itu terkejut setengah mata dengan permintaan yang Bima ajukan. Matanya menatap Bima dengan tatapan tidak percaya, membuat Bima tersenyum dan mengangguk pelan."Ibu adalah mama Vina, ibu dari anak Bima. Jadi boleh, kan, Bima panggil mama?" kembali Bima mengajukan permintaan itu, membuat Ani lantas tersadar dari keterkejutannya."Sebelumnya boleh saya tanya, Dokter Bima?" Ani memasang wajah serius, meskipun
“Kamu bisa menolak sekarang, Vin. Tapi kalau Anetta yang minta, kamu masih mau nolak? Dia butuh aku, Vin. Ingat itu baik-baik!”Vina membelalakkan matanya, menatap Bima dengan tatapan tidak suka. Apa katanya? Anetta butuh dia? Setelah pergi dan cuci tangan, sekarang Bima mendadak muncul dan dengan enteng bilang kalau Anetta butuh dia?“Siapa bilang Anetta butuh kamu? Toh selama ini dia hidup bertiga denganku dan mama, dia baik-baik saja tanpa kamu!” tukas Vina yang tidak terima Bima dengan begitu enteng berkata demikian.“Terlepas dari kesalahan bodoh dan semua dosa yang aku lakukan, dia tetap butuh aku sebagai figur ayah, Vin. Tolong jangan egois!” Bima mengerti Vina begitu marah kepadanya, tetapi tidak lantas dia kemudian bersikap seperti ini.“Egois? Kau pikir pergi begitu saja setelah menghancurkan hidupku, itu tidak egois?”Bima terbungkam. Seperti biasa ketika kalimat dan kejadian itu yang Vina
“Anetta, ya?” tampak dokter Agus sibuk membolak-balik lembaran kertas berisi status pasien milik Anetta.Bima mengangguk, “Betul, Dok.”Jujur ia begitu cemas luar biasa. Sejak semalam dia terus memikirkan kemungkinan apa yang terjadi pada anak gadisnya dengan kondisi yang demikian. Apakah sebuah penyakit serius? Ada mutasi DNA yang menyebabkan Anetta harus menderita penyakit itu? Bima mencoba mengusir jauh-jauh semua ketakutan itu, ia menantikan dokter Agus selesai membaca lembar status yang dia bawakan ke mejanya.“Sudah kau tengok dia hari ini, Bim?” wajah dokter Agus terangkat, menatap Bima yang berharap-harap cemas sedari tadi.“Sudah, Dok. Kondisi stabil dan baik, hanya saja di kakinya terdapat beberapa memar yang muncul tiba-tiba.” Jelas Bima yang lupa menuliskan hasil follow up-nya pagi tadi.“Memar?” alis dokter Agus terangkat, ia menatap Bima dengan begitu serius.Bima meng
"Kamu siap?"Melinda tercekat. Radit menatap dirinya dengan serius. Mata mereka bertemu, dengan sorot serius. Melinda kembali menitikkan air mata. Membuat Radit memalingkan wajah karena tidak tega melihat wanita itu menangis macam itu."Siap nggak siap, aku harus siap, kan, Mas?" Melinda meraih tisu, menyeka air matanya sambil berusaha meredakan tangis."Berat loh, Mel. Kamu harus benar-benar kuat. Setahun-dua tahun, apalagi pas lihat dia nikah, dia hamil, rasanya tuh sakit banget. Sampai pernah rasanya aku pengen ngilang aja gitu dari muka bumi."Melinda menghela napas panjang, Melinda tahu betul hal itu tanpa perlu Radit jelaskan. Baru membayangkan saja hati Melinda sudah sakit sekali, bagaimana kalau dia melihat secara langsung? Ah ... hati Melinda sudah begitu pedih rasanya.Radit menghela napas panjang, Melinda tidak perlu menjawab semua pertanyaan yang tadi dia ajukan. Sorot dan ekspresi wajah Melinda sudah menjawab semua pe
"Bim, kamu kenapa?"Tentu dokter Agus panik dan terkejut melihat mahasiswanya menangis sesegukan seperti itu. Ia menatap Bima yang bahunya naik-turun efek tangisnya yang pecah. Apa yang membuat Bima syok dan menangis sesegukan macam itu?Bima belum menjawab, ia masih menangis sesegukan sambil menyeka air mata. Dokter Agus meraih tisu, menyodorkan benda itu ke depan Bima yang langsung menarik selembar tisu dan menyeka air matanya.Dokter Agus dengan sabar menanti, sampai isak tangis Bima sedikit mereda, membuat dokter Agus menghela napas panjang dan kembali mengulang pertanyaan yang sama."Kamu kenapa, Bim? Ada apa?" kalau hanya terbawa suasana dan kasihan pada pasien mereka, tentu Bima tidak akan menangis seheboh ini, bukan?"Sa-saya mohon, Dok. Saya mohon sekali, tolong selamatkan Anetta, Dok."Dokter Agus mengerutkan keningnya, sungguh berlebihan kalau Bima sampai seperti ini hanya karena prihatin dengan kondisi pasien me
"Permisi, Bu. Ada titipan, ya?"Vina kontan menoleh, mendapati perawat muda itu masuk ke dalam kamar Anetta. Perawat itu membawa kantung plastik di tangan. Titipan? Titipan apa?"Titipan apa, Sus? Dari siapa?" Ani bangkit, menerima kantung plastik yang disodorkan oleh perawat itu."Makan siang, Bu. Dari dokter Bima. Tadi kata beliau harus pergi ke laboratorium."Vina tertegun, Bima? Harus ke laboratorium? Apakah hasil tes lab Anetta sudah keluar? Vina kontan bangkit, melangkah turun dari ranjang dan mendekati perawat itu."Dokter Bima sekarang di mana, Sus?" tanya Vina yang sudah begitu penasaran dengan hasil tes lab Anetta. Apa yang sebenarnya tengah Anetta derita."Wah kalau itu saya nggak tahu, Bu. Tadi cuma pesan begitu sama saya."Vina menghela napas panjang, "Terima kasih banyak kalah begitu, Sus.""Kalau begitu saya permisi, Bu."Vina menatap kepergian perawat itu. Setelah sosok itu keluar,
Vina menitikkan air mata ketika akhirnya dia bisa merasakan bagaimana rasanya IMD. Bagaimana rasanya bayi langsung menyusu kepadanya begitu lahir.Bima terus menerus membantu bayi kecil mereka menyusu sambil terus menerus menitikkan air mata. Semuanya kompak menangis haru, membuat beberapa paramedis sengaja menjauh agar tidak menganggu interaksi keduanya."Udah dong nangisnya!" Ejek Vina yang tidak sadar diri, dia bahkan masih menitikkan air mata."Aku bahagia banget, Sayang! Sungguh!" Bima tersenyum, matanya masih memerah dan basah, membuat Vina terkekeh seraya mengelus lembut kepala bayi yang baru beberapa menit lahir itu."Aku sudah minta lebihan darah untuk kita lakukan pengecekan, Sayang. Kita akan deteksi lebih dini. Dan harapanku ... Tidak ada lagi Anetta yang lain." Bisik Bima lirih."Bagaimana ka--.""Sayang! Stop overthinking, oke?"Vina tertegun menatap mata itu, ia tersenyum getir dengan air m
Minggu pagi. Vina ingat betul hari ini minggu pagi. Cuaca cerah di luar sana dengan langit biru yang begitu bersih. Tapi kali ini, bukan langit biru yang Vina lihat dengan matanya. Yang ada dj depan mata Vina sekarang adalah langit-langit koridor koridor OK, menantikan gilirannya masuk ke dalam salah satu ruangan.Vina mengelus perut membukitnya, rasanya seperti Dejavu. Ya ... Beberapa tahun yang lalu Vina pernah ada di posisi ini. Terbaring dengan perut besar membukit menantikan tindakan operasi. Bedanya, dulu dia menanti dengan penuh rasa khawatir karena usia kandungan yang belum cukup dan tentu saja dia harus berjuang sendiri di dalam sana.Kali ini ... Semuanya berbeda. Usia kandungan Vina sudah sangat cukup dan sekarang, dia tidak lagi sendirian. Sosok yang sudah siap dengan setelan scrub, nurse cap dan masker itu terus menggenggam tangannya erat-erat. Sama sekali tidak melepaskan tangan Vina, seolah tidak mau berpisah barang sedetikpun dari Vina. 
"Sayang ...." Bisikan Bima lirih sambil mengguncang bahu sang istri. Vina sama sekali tidak membuka mata, hanya menggumam perlahan tanpa bergerak sedikitpun. Bima tersenyum getir, intinya malam ini dia tidak terima penolakan. Mumpung mereka tidak menginap di rumah sakit! Dan Bima tidak mau mensia-siakan kesempatan ini? "Ayolah, aku kadung janji sama Neta nih!" Rayu Bima tanpa gentar. Kalau pergumulan mereka beberapa hari yang lalu tidak menghasilkan karena ternyata Vina sedang tidak subur, maka kali ini Bima sudah hitung betul-betul masa subur sang istri dan inilah saatnya. "Salah sendiri asal bikin janji. Kan aku udah ngomong dulu kalo sama Neta jangan sembarangan bikin janji!" Vina bergeming, sama sekali tidak menghiraukan segala macam kode dari Bima. Bima menghela napas panjang, intinya dia sudah bertekad bahwa dia harus bisa menghamili Vina untuk kedua kalinya! Atau mungkin nanti jadi ke tiga kali? Empat? Atau berapa?
“Congratulations, istriku tercinta!” Vina yang masih dalam balutan toga tertegun melihat sang suami menyodorkan buket mawar merah yang cukup besar itu kepadanya. Ini adalah kali pertama Bima memberinya bunga, pertama kalinya yang kebetulan bersamaan dengan acara wisudanya. Vina tersenyum dengan mata berkaca-kaca, menerima bunga itu dan pasrah ketika Bima menarik dan menjatuhkan Vina ke dalam dekapan tubuhnya. Air mata Vina menitik, harusnya Anetta ikut di sini sekarang. Menyaksikan sang mama diwisuda setelah berjuang tiga setengah tahun kuliah sambil merawat Anetta selama ini. Masih tergambar betul dalam ingatan Vina ketika dia harus ujian akhir semester satu dan Anetta habis imunisasi. Bagaimana perjuangan Vina belajar sambil sesekali menyusui Anetta yang rewel dan sedikit demam pasca imunisasi. Sekarang semuanya terbayar lunas sudah! Dia sudah berhasil meraih gelar S.H-nya. Menjadi sarjana hukum dengan predikat cumlaude ketika lulus. “Aku em
Suara pintu terbuka, Vina sontak menoleh dan mendapati dua nenek rempong itu sudah masuk bersama-sama ke dalam ruangan. Heran, rumah mereka jaraknya cukup lumayan, tapi kenapa bisa barengan begitu sampainya? “Neta tidur?” tanya Ani sambil memencet botol handsanitizer yang menempel di tembok. “Tidur, Ma. Kok bisa barengan?” tanya Vina sambil menatap mereka bergantian. “Bisalah, kan kompak!” jawab Anita seraya mengedipkan sebelah mata. Vina melongo, bisa begitu? Nampak Anita mendekati ranjang, di mana Bima tertidur begitu pulas sambil memeluk Anetta, sebuah pemandangan yang sejak tadi sudah menguras air mata Vina dengan begitu luar biasa. “Bim ... bangun gih! Pulang sana istirahat!” bisik Anita sambil mengguncang lembut bahu anak lelakinya. Sejak dua hari memang Bima belum pulang kerumah. Selain banyak tugas yang diberikan konsulen, Bima sama sekali tidak mau berpisah dengan Anetta. Bima nampak menggeliat, membuka matanya perlahan-lahan
"Neta nggak bisa makan untuk sementara waktu, Ma." Gumam Bima ketika Ani datang membawa banyak sekali makanan kesukaan Anetta."Kenapa, Bim? Dia baik-baik saja, bukan?" Tampak wajah itu sangat khawatir, membuat Bima tersenyum getir dan mengangguk pelan."Tentu, dia baik-baik saja. Hanya efek dari BMT adalah adanya gangguan pencernaan dan mungkin muncul sariawan di mulut, jadi makanan Anetta sampai beberapa saat ke depan sampai pencernaannya membaik hanya melalui infus." Jelas Bima sabar, ia sudah menjelaskan hal ini pada Vina, untuk Anita tentu Andi sudah menjelaskannya lebih dulu, bukan?"Oh begitu?" Ani nampak murung menatap bungkusan yeng dia bawa, "Vina juga nggak boleh makan?""Kalau Vina boleh, Ma. Dia bebas mau makan apa aja." Tentu Bima paham kalau Ani khawatir dan kecewa karena apa yang dia bawa tidak bisa Anetta nikmati, tapi semua itu demi kebaikan Anetta, bukan?"Sampai kapan Neta harus dirawat, Bim? Kapan dia bo
"Sakit?" Tanya Bima sambil mengelus puncak kepala sang istri yang kini tergolek di ranjang dengan kateter yang menancap di leher. Vina menggeleng lemah, "Demi Anetta, semua ini sama sekali tidak terasa sakit, Mas." Bima mengangguk, menjatuhkan kecupan mesra yang begitu manis dan mampu membuat dua orang yang ada di ruangan itu auto iri melihatnya. Vina tersenyum, akhirnya kini dia yang berbaring di sini. Bukan karena sakit, tetapi bersakit-sakit ria demi Anetta. Setelah prosedure panjang yang dilakukan, hasil pemeriksaan HLA yang paling cocok merujuk pada dirinya. Bukan Bima atau anggota keluarga yang lain. Jadilah ini Vina kembali berjuang demi Anetta setelah dulu berjuang di OK demi melahirkan Anetta. "Kamu wanita paling hebat dan kuat yang pernah aku kenal, Vin." Bima mengelus lembut dahi Vina, wajah mereka begitu dekat membuat siapapun yang di sana gigit jari melihat kemesraan itu. "Kau tau siapa yang membuatku
“Mas, ada apa?”Bima mengangkat wajah, mengabaikan sejenak segelas es teh yang dia pesan sambil menantikan Vina datang menemuinya di kantin rumah sakit. Kini, istri cantiknya itu sudah hadir dan berdiri di depannya.“Anetta gimana? Aku mau masuk tapi masih harus ada jaga.” Bima harus ingat betul, tidak boleh sembarangan orang masuk ke dalam kamar Anetta, dia sekalipun harus memastikan bahwa dia bersih dan steril. Jadi agak susah dan ribet kalau dia yang masih jaga ini harus bolak-balik membersihkan diri sebelum masuk ke dalam.“Baik, dia sudah bisa tidur.” Vina duduk di hadapan Bima, nampak Vina hanya mengenakan sweeter dan kaos yang nantinya jika di dalam ruangan akan di ganti dengan setelan scrub yang bersih.“Darahnya masih keluar?” tentu itu yang Bima tanyakan, tiap menit, hal itu yang selalu Bima khawatirkan.“Yang hidung belum mau berhenti, Mas. Untuk telinga sudah mampet sih.”
“Ayolah, Ma ... semua demi Anetta.” Mohon Vina sambil menggenggam erat kedua tangan Ani.Vina paham, sangat mengerti bahwa sulit bagi Ani untuk berpisah dari Anetta. Vina masih ingat, ketika dia sibuk kuliah, meskipun dibantu oleh baby sitter, Ani-lah yang mengawasi dan merawat Anetta selama ini. Tentu akan sangat sulit bagi Ani menerima bahwa cucunya harus pindah tinggal di rumah besannya.“Berapa banyak sih biaya buat bikin ruangan kaca atau apalah itu? Duit Mama nggak cukup, Vin?” tanya Ani dengan mata memerah.Vina menggelengkan kepala cepat, matanya ikut memerah. Bisa Vina lihat sorot luka penuh kekecewaan itu terpancar di mata Ani. Siapa yang tidak terluka? Selama bertahun-tahun merawat seorang diri Anetta yang tengah hamil lalu merawat bayinya dengan sepenuh hati dan penuh kasih sayang, tiba-tiba harus dipisahkan seperti ini?Tapi semua itu bukan karena keserakahan atau keegoisan semata. Semua demi Anetta! Vina sangat berhar