"Non ... Non Vina, buka pintunya, Non!"
Vina yang sudah meraih jar krim wajahnya sontak menoleh ke arah pintu. Itu suara Yeti, baby sitter Ametta. Kenapa? Ada masalah apa sampai dia menggedor pintu kamar Vina dengan begitu panik?
Vina melupakan niatnya untuk memoleskan krim wajah itu dan segera bangkit menuju pintu. Naluri keibuannya tergerak. Dia curiga ada sesuatu hal buruk terjadi pada Anetta.
Pintu terbuka, nampak Yeti begitu panik dan pucat, membuat jantung Vina berdegup dua kali lebih cepat.
"Kenapa? Ada apa, kok panik begini?" tanya Vina yang perasaannya mulai tidak enak.
"Neta, Non! Di-dia--."
"Neta kenapa?" potong Vina begitu panik, jantungnya serasa hendak lepas.
"Neta mimisan lagi." jawab Yeti dengan napas terengah.
Mata Vina terbelalak, lagi? "Tadi dia mimisan?" Vina segera melangkah keluar dari kamarnya, melangkah dengan sedikit cepat menuju anak tangga.
"Tadi siang sampai
"Dok, cepetan!"Bima tersentak, ia segera sadar dari keterkejutan yang tadi menyergap nya. Dengan tanpa mengurangi wibawanya, Bima melangkah mendekati bed itu. Nampak beberapa perawat dan koas tengah mengerubuti gadis kecil yang masih mengeluarkan darah dari hidung."Ini kenapa?" Bima sekuat tenaga membuat suaranya tetap jelas, tidak peduli bahwa sebenarnya Bima tengah awut-awutan saat ini.Wanita dengan kaos berlumuran darah itu ...."Dok, tolong anak saya!"Anak?Kembali jantung Bima seperti dihantam batu begitu keras. Mata Bima terbelalak menatap wanita yang beberapa tahun ini menganggu pikiran Bima. Selalu hadir dalam mimpi Bima bahkan ketika Bima menggauli Melinda.Gadis tanpa nama itu ... gadis yang pertama kali Bima sentuh, gadis memberikan tubuh dan selaput tipis itu untuk Bima pertama kali ... gadis itu kini tampak lebih dewasa dan cantik!Matanya ... matanya cokelat gelap, begitu cantik d
"Nah, itu dokternya, Vin! Ganteng, kan?" nampak mata Ani berbinar. Entah jodoh atau bagaimana, dia sendiri tidak menyangka bisa bertemu kembali dengan dokter itu lagi.Vina hanya tersenyum, tidak menjawab membuat Ani menjawil lengan Vina dengan gemas. Dari wajahnya dia tahu kalau anak perempuannya ini berpendapat yang sama perihal penilaian Ani terhadap dokter ganteng yang mengadzani Anetta ketika lahir dulu."Siapa namanya?" tanya Ani sambil memburu langkah Vina mendekati bed Anetta."Apanya?" Vina membalikkan badan, menatap sang mama dengan alis berkerut."Nama dokter ganteng tadilah, Vin!" gerutu Ani kesal, ia menatap Vina dengan mata melotot.Vina sontak mengangkat bahu, "Mana Vina tahu, Ma. Tadi dia nggak nyebut nama." jawabnya lalu berdiri di samping Anetta yang masih terisak di atas bed."Ah gimana sih?" Ani masih menggerutu, membuat Vina menghela napas panjang dan menoleh ke arah pesawat yang masih sibuk
"Hah? Lagi, Sus?" Vina yang lega Anetta sudah tenang dan tidak menangis setelah proses pengambilan darah, kembali terkejut ketika perawat yang tadi membawa sampel darah Anetta kembali dan mengatakan kalau ia perlu mengambil darah Anetta lagi."Dokter perlu lebih banyak untuk proses cek lab-nya, Bu. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya, ya." tampak perawat itu menunduk, tersenyum simpul kearahnya.Sontak hati Vina seperti dicengkeram perasaan takut yang teramat sangat. Sakit apa anaknya sampai dokter perlu lebih banyak darah untuk di cek?"Sus!" panggil Vina dengan suara bergetar hebat. "Anak saya nggak sakit yang aneh-aneh, kan, Sus?" kembali mata Vina memerah, ia benar-benar takut kalau sampai Anetta kenapa-kenapa.Perawat itu kembali tersenyum, "Kita akan tahu setelah hasil lab-nya keluar, Bu."Vina menghela napas panjang, ia mencoba menenangkan dirinya sendiri. Ia lantas menatap perawat itu dan mengangguk pelan.
"Ini apa, Bim?" tampak Andri terkejut ketika sejawatnya yang tengah menjalani pendidikan spesialis anak datang ke ruang praktiknya dengan membawa tabung berisi sampel darah.Bima menghela napas panjang, menepuk jidatnya sambil mendengus kesal. Ia menatap Andri dengan tatapan gemas, meraih tabung itu dan mengangkatnya ke atas."Berapa tahun belajar kedokteran? Jadi dokter berapa tahun, sampai kau tidak tahu ini apa?" tanya Bima gemas.Kini gantian Andri yang menghela napas panjang, balas menatap gemas sejawatnya itu sambil bersiap-siap menyemprot Bima yang masih menatapnya sambil mengangkat tabung berisi darah."Ya aku tau itu darah, Bim. Maksudku itu darah buat apa? Mau kau apakan sampai kau bawa ke sini, Bim?" Andri menjelaskan maksud pertanyaannya barusan. Dia mempertanyakan itu, bukan soal apa benda yang Bima bawa. Kalau itu tentu Andri tahu, darah yang Bima bawa kemari.Bima meletakkan tabung itu, menundukkan wajahnya sambil m
Mobil itu berhenti tepat di depan rumah besar yang selama ini Melinda tempati. Rumah yang menjadi tempat dia pulang setelah resmi menikahi Bima Dirgantara Soebrata.Melinda memejamkan mata sejenak, menghirup udara banyak-banyak lalu melepaskan seat belt-nya. Melinda menoleh, menatap Radit yang juga tengah menatap matanya itu."Terima kasih banyak sudah mau jadi teman bicaraku, Mas. Terima kasih sudah di traktir kopi." senyum tipis tersungging di wajah Melinda, membuat Radit ikut tersenyum dan mengangguk pelan."Sama-sama, Mel. Aku senang bisa jadi teman bicara untuk segala masalahmu."Melinda mengangguk, ia hendak keluar dari mobil ketika tangan itu mencekal tangan dan membuat Melinda mengurungkan niatnya untuk turun dari mobil."Mel, aku cuma mau bilang sama kamu." tangan itu masih mencengkeram erat tangan Melinda, membuat Melinda membeku seketika. "Seumur hidup itu terlalu lama, Mel. Apapun dan bagaimanapun kondisi kamu, k
Bima benar-benar panik, tidak peduli darah itu membasahi dan mengotori snelli-nya ia terus mempertahankan posisi Anetta dalam pangkuannya. Tampak dokter Gina tengah menganamnesa Anetta yang masih mengeluarkan darah dari hidungnya.Penyakit apa ini? Thalasemia? Von willebrand? Atau apa? Hati Bima seperti di remas melihat bagaimana gadis kecil ini duduk di pangkuannya dengan kondisi hidung yang masih mengucurkan darah."Observasi lebih lanjut apa perlu opname, Dok?"Bima tersentak, perlukah? Tentu perlu kalau sampai detik ini darah belum mau berhenti! Sudah bisa dipastikan kalau ada sesuatu yang tidak beres pada tubuh Anetta."Perlu, px ada riwayat lahir kurang bulan. Kebetulan dokter Agus cuti, besok baru saya konsulkan beliau, Dok." jelas Bima yang masih betah memangku gadis kecil itu. Padahal Bima tahu, mamanya berdiri tidak jauh dari tempat dia duduk."Baik kalau begitu." dokter Gina menatap sosok yang berdiri tepat di seb
Vina membawa jas dalam dekapannya itu melangkah keluar dari IGD. Dengan langkah tergesa dia menuju lift, hendak menyusul Anetta yang sudah lebih dulu dibawa ke ruang inap ditemani Ani. Dalam hati Vina bersorak gembira, akhirnya ide gila yang mendadak muncul itu sukses! Jas lelaki itu dalam genggaman Vina sekarang.Untuk apa sebenarnya dia sampai merengek meminta jas berlumuran darah itu dari sang pemilik? Tentu hendak Vina hirup dan pastikan bahwa bau parfum yang berpadu dengan keringat itu adalah bau yang menyelimuti tubuhnya pagi itu, kala peristiwa paling berengsek terjadi dalam hidupnya dan meninggalkan Anetta di rahim Vina.Tapi apa mungkin?Ting!Vina melangkah keluar dari IGD, tempat yang dia tuju sebelum pergi ke kamar inap Anetta adalah toilet! Vina masuk ke dalam salah satu bilik kamar mandi, menutup rapat-rapat pintunya dan menatap nanar jas putih di tangannya.Jas itu pasti tampak putih bersih, kecuali noda
"Nggak ada salahnya kamu resign dari pekerjaanmu, Mel. Fokus program hamil. Mau sampai kapan kalian seperti ini?"Melinda yang hendak menyuapkan nasi ke dalam mulut ketika Anita mengeluarkan kembali kalimat yang sering sekali Melinda dengar. Kalimat yang berkali-kali sang mama mertua tujukan kepadanya.Melinda meletakkan sendoknya, menatap sang mama mertua yang tengah asyik menyantap makan malam. Melinda tersenyum getir, mendadak ia ingat obrolannya bersama Radit tadi. Mata Melinda sontak memerah. Perlukah Melinda jujur perihal kondisinya sekarang?"Sedang Melinda bicarakan sama Mas Bima, Ma. Melinda tipe yang nggak bisa diam di rumah, itu yang dari dulu jadi masalah."Anita mengunyah makanan dalam mulutnya, balas menatap Melinda yang nampak menunggu Anita bicara. Soroti itu tampak tenang, namun Melinda tahu dan paham bahwa di balik sorot itu, tersimpan rasa jemu yang teramat sangat.Melinda tahu bahwa kedua mertuanya begitu mengi
Vina menitikkan air mata ketika akhirnya dia bisa merasakan bagaimana rasanya IMD. Bagaimana rasanya bayi langsung menyusu kepadanya begitu lahir.Bima terus menerus membantu bayi kecil mereka menyusu sambil terus menerus menitikkan air mata. Semuanya kompak menangis haru, membuat beberapa paramedis sengaja menjauh agar tidak menganggu interaksi keduanya."Udah dong nangisnya!" Ejek Vina yang tidak sadar diri, dia bahkan masih menitikkan air mata."Aku bahagia banget, Sayang! Sungguh!" Bima tersenyum, matanya masih memerah dan basah, membuat Vina terkekeh seraya mengelus lembut kepala bayi yang baru beberapa menit lahir itu."Aku sudah minta lebihan darah untuk kita lakukan pengecekan, Sayang. Kita akan deteksi lebih dini. Dan harapanku ... Tidak ada lagi Anetta yang lain." Bisik Bima lirih."Bagaimana ka--.""Sayang! Stop overthinking, oke?"Vina tertegun menatap mata itu, ia tersenyum getir dengan air m
Minggu pagi. Vina ingat betul hari ini minggu pagi. Cuaca cerah di luar sana dengan langit biru yang begitu bersih. Tapi kali ini, bukan langit biru yang Vina lihat dengan matanya. Yang ada dj depan mata Vina sekarang adalah langit-langit koridor koridor OK, menantikan gilirannya masuk ke dalam salah satu ruangan.Vina mengelus perut membukitnya, rasanya seperti Dejavu. Ya ... Beberapa tahun yang lalu Vina pernah ada di posisi ini. Terbaring dengan perut besar membukit menantikan tindakan operasi. Bedanya, dulu dia menanti dengan penuh rasa khawatir karena usia kandungan yang belum cukup dan tentu saja dia harus berjuang sendiri di dalam sana.Kali ini ... Semuanya berbeda. Usia kandungan Vina sudah sangat cukup dan sekarang, dia tidak lagi sendirian. Sosok yang sudah siap dengan setelan scrub, nurse cap dan masker itu terus menggenggam tangannya erat-erat. Sama sekali tidak melepaskan tangan Vina, seolah tidak mau berpisah barang sedetikpun dari Vina. 
"Sayang ...." Bisikan Bima lirih sambil mengguncang bahu sang istri. Vina sama sekali tidak membuka mata, hanya menggumam perlahan tanpa bergerak sedikitpun. Bima tersenyum getir, intinya malam ini dia tidak terima penolakan. Mumpung mereka tidak menginap di rumah sakit! Dan Bima tidak mau mensia-siakan kesempatan ini? "Ayolah, aku kadung janji sama Neta nih!" Rayu Bima tanpa gentar. Kalau pergumulan mereka beberapa hari yang lalu tidak menghasilkan karena ternyata Vina sedang tidak subur, maka kali ini Bima sudah hitung betul-betul masa subur sang istri dan inilah saatnya. "Salah sendiri asal bikin janji. Kan aku udah ngomong dulu kalo sama Neta jangan sembarangan bikin janji!" Vina bergeming, sama sekali tidak menghiraukan segala macam kode dari Bima. Bima menghela napas panjang, intinya dia sudah bertekad bahwa dia harus bisa menghamili Vina untuk kedua kalinya! Atau mungkin nanti jadi ke tiga kali? Empat? Atau berapa?
“Congratulations, istriku tercinta!” Vina yang masih dalam balutan toga tertegun melihat sang suami menyodorkan buket mawar merah yang cukup besar itu kepadanya. Ini adalah kali pertama Bima memberinya bunga, pertama kalinya yang kebetulan bersamaan dengan acara wisudanya. Vina tersenyum dengan mata berkaca-kaca, menerima bunga itu dan pasrah ketika Bima menarik dan menjatuhkan Vina ke dalam dekapan tubuhnya. Air mata Vina menitik, harusnya Anetta ikut di sini sekarang. Menyaksikan sang mama diwisuda setelah berjuang tiga setengah tahun kuliah sambil merawat Anetta selama ini. Masih tergambar betul dalam ingatan Vina ketika dia harus ujian akhir semester satu dan Anetta habis imunisasi. Bagaimana perjuangan Vina belajar sambil sesekali menyusui Anetta yang rewel dan sedikit demam pasca imunisasi. Sekarang semuanya terbayar lunas sudah! Dia sudah berhasil meraih gelar S.H-nya. Menjadi sarjana hukum dengan predikat cumlaude ketika lulus. “Aku em
Suara pintu terbuka, Vina sontak menoleh dan mendapati dua nenek rempong itu sudah masuk bersama-sama ke dalam ruangan. Heran, rumah mereka jaraknya cukup lumayan, tapi kenapa bisa barengan begitu sampainya? “Neta tidur?” tanya Ani sambil memencet botol handsanitizer yang menempel di tembok. “Tidur, Ma. Kok bisa barengan?” tanya Vina sambil menatap mereka bergantian. “Bisalah, kan kompak!” jawab Anita seraya mengedipkan sebelah mata. Vina melongo, bisa begitu? Nampak Anita mendekati ranjang, di mana Bima tertidur begitu pulas sambil memeluk Anetta, sebuah pemandangan yang sejak tadi sudah menguras air mata Vina dengan begitu luar biasa. “Bim ... bangun gih! Pulang sana istirahat!” bisik Anita sambil mengguncang lembut bahu anak lelakinya. Sejak dua hari memang Bima belum pulang kerumah. Selain banyak tugas yang diberikan konsulen, Bima sama sekali tidak mau berpisah dengan Anetta. Bima nampak menggeliat, membuka matanya perlahan-lahan
"Neta nggak bisa makan untuk sementara waktu, Ma." Gumam Bima ketika Ani datang membawa banyak sekali makanan kesukaan Anetta."Kenapa, Bim? Dia baik-baik saja, bukan?" Tampak wajah itu sangat khawatir, membuat Bima tersenyum getir dan mengangguk pelan."Tentu, dia baik-baik saja. Hanya efek dari BMT adalah adanya gangguan pencernaan dan mungkin muncul sariawan di mulut, jadi makanan Anetta sampai beberapa saat ke depan sampai pencernaannya membaik hanya melalui infus." Jelas Bima sabar, ia sudah menjelaskan hal ini pada Vina, untuk Anita tentu Andi sudah menjelaskannya lebih dulu, bukan?"Oh begitu?" Ani nampak murung menatap bungkusan yeng dia bawa, "Vina juga nggak boleh makan?""Kalau Vina boleh, Ma. Dia bebas mau makan apa aja." Tentu Bima paham kalau Ani khawatir dan kecewa karena apa yang dia bawa tidak bisa Anetta nikmati, tapi semua itu demi kebaikan Anetta, bukan?"Sampai kapan Neta harus dirawat, Bim? Kapan dia bo
"Sakit?" Tanya Bima sambil mengelus puncak kepala sang istri yang kini tergolek di ranjang dengan kateter yang menancap di leher. Vina menggeleng lemah, "Demi Anetta, semua ini sama sekali tidak terasa sakit, Mas." Bima mengangguk, menjatuhkan kecupan mesra yang begitu manis dan mampu membuat dua orang yang ada di ruangan itu auto iri melihatnya. Vina tersenyum, akhirnya kini dia yang berbaring di sini. Bukan karena sakit, tetapi bersakit-sakit ria demi Anetta. Setelah prosedure panjang yang dilakukan, hasil pemeriksaan HLA yang paling cocok merujuk pada dirinya. Bukan Bima atau anggota keluarga yang lain. Jadilah ini Vina kembali berjuang demi Anetta setelah dulu berjuang di OK demi melahirkan Anetta. "Kamu wanita paling hebat dan kuat yang pernah aku kenal, Vin." Bima mengelus lembut dahi Vina, wajah mereka begitu dekat membuat siapapun yang di sana gigit jari melihat kemesraan itu. "Kau tau siapa yang membuatku
“Mas, ada apa?”Bima mengangkat wajah, mengabaikan sejenak segelas es teh yang dia pesan sambil menantikan Vina datang menemuinya di kantin rumah sakit. Kini, istri cantiknya itu sudah hadir dan berdiri di depannya.“Anetta gimana? Aku mau masuk tapi masih harus ada jaga.” Bima harus ingat betul, tidak boleh sembarangan orang masuk ke dalam kamar Anetta, dia sekalipun harus memastikan bahwa dia bersih dan steril. Jadi agak susah dan ribet kalau dia yang masih jaga ini harus bolak-balik membersihkan diri sebelum masuk ke dalam.“Baik, dia sudah bisa tidur.” Vina duduk di hadapan Bima, nampak Vina hanya mengenakan sweeter dan kaos yang nantinya jika di dalam ruangan akan di ganti dengan setelan scrub yang bersih.“Darahnya masih keluar?” tentu itu yang Bima tanyakan, tiap menit, hal itu yang selalu Bima khawatirkan.“Yang hidung belum mau berhenti, Mas. Untuk telinga sudah mampet sih.”
“Ayolah, Ma ... semua demi Anetta.” Mohon Vina sambil menggenggam erat kedua tangan Ani.Vina paham, sangat mengerti bahwa sulit bagi Ani untuk berpisah dari Anetta. Vina masih ingat, ketika dia sibuk kuliah, meskipun dibantu oleh baby sitter, Ani-lah yang mengawasi dan merawat Anetta selama ini. Tentu akan sangat sulit bagi Ani menerima bahwa cucunya harus pindah tinggal di rumah besannya.“Berapa banyak sih biaya buat bikin ruangan kaca atau apalah itu? Duit Mama nggak cukup, Vin?” tanya Ani dengan mata memerah.Vina menggelengkan kepala cepat, matanya ikut memerah. Bisa Vina lihat sorot luka penuh kekecewaan itu terpancar di mata Ani. Siapa yang tidak terluka? Selama bertahun-tahun merawat seorang diri Anetta yang tengah hamil lalu merawat bayinya dengan sepenuh hati dan penuh kasih sayang, tiba-tiba harus dipisahkan seperti ini?Tapi semua itu bukan karena keserakahan atau keegoisan semata. Semua demi Anetta! Vina sangat berhar