Nadia PoV
...
"Pesawat Indonesian Airways tujuan Malaysia mengalami kecelakaan. Seluruh penumpang beserta kru pesawat, tewas dalam peristiwa naas itu."
Gue menggeleng nggak percaya. Ini pasti salah, berita itu bohong. Mas Rendra bukan ada di pesawat itu. Dia bilang, pagi ini udah sampai, dan pesawat yang ada di televisi itu, baru aja berangkat sepuluh menit yang lalu dari Jakarta.
Mas Rendra pasti masih ada di bandara sama si Acha.
"Berikut daftar-daftar nama penumpang yang resmi dirilis dari pihak maskapai."
Gue perhatiin nama-nama yang ada di daftar itu. Hati gue lega karena nggak nemu nama Mas Rendra maupun namanya Acha dari urutan atas.
Narendra Tri Hariadi, 36 Tahun, Jakarta.
Acha Nuriani, 21 Tahun, Jakarta.Sontak, lutut gue langsung lemes ngeliat nama mereka berdua ada di dua urutan terakhir di daftar itu. Suam
PoV 3 ... Rendra mengalihkan pertanyaan istrinya dengan berkata bahwa ibunya baik-baik saja dan masih di Jakarta. Hanya itu, tak ada penjelasan lain, membuat Nadia enggan untuk bertanya lebih lanjut. "Besok udah harus pulang ya, Mas?" tanya Agung pada Rendra. "Iya, Ren. Cuma dikasih cuti dua hari sama si bos. Ngomong-ngomong, makasih banyak ya, kamu udah nolongin Nadia." "Santai aja, Mas. Nadia udah saya anggep saudara saya sendiri." Jujur, Rendra masih penasaran kenapa hati Nadia bisa mendadak luluh dan mau memaafkannya seperti ini. Pasti ada alasannya dan Rendra sangat ingin tahu sekali. Tapi apa pun itu, Rendra bersyukur sekali ia bisa bersatu lagi dengan istri dan anaknya. Rendra tersenyum bahagia saat melihat wajah Rena yang terlelap dengan damai di pelukannya. Jemarinya mengelus pipi mulus Rena dengan lembut, ingin mencium pip
"Mama nggak akan ngerti kesalahannya selama Mas masih bisa bersikap seolah semuanya baik-baik aja, Nadia. Pokoknya, Mas mau menjauh dulu dari Mama." Hati Nadia perih sebenarnya. Rendra tampaknya benar-benar kecewa dengan Yuni, Nadia paham itu. Tapi, tetap saja apa yang akan dilakukan Rendra itu salah. Tak seharusnya seorang anak tega menjauhi ibu kandungnya sendiri seperti itu. Apalagi, Yuni kini sudah berubah. Nadia mendekati suaminya, mencoba untuk merayu Rendra dengan lemah lembut untuk meluluhkan hatinya. Sungguh, Nadia tak tega jika Rendra memutuskan harus bersikap seperti itu dengan ibu mertuanya. "Mas, jangan begini, ya? Kita bisa selesaikan dengan cara baik-baik." Bukannya setuju, Rendra malah mendengus. "Kamu nggak tau rasanya jadi Mas, Nadia. Ka—" "Aku memang nggak tau rasanya jadi Mas, tapi aku tau gimana rasanya kehilangan seorang ibu." Tak tahan, Nadia memotong kalimat Rendra. Sempat heran kenapa suaminya
"Sekali lagi, maafin Tri, Ma." Kali ini, Rendra baru menyadari kalau apa yang dilakukannya pada Yuni kemarin adalah sebuah kesalahan besar. Sebesar apa pun kesalahan Yuni, sungguh, ia sangat tidak pantas seperti itu pada perempuan yang telah melahirkannya ke dunia. Dan rasanya, sungkem di hadapan Yuni selama puluhan jam pun, tidak bisa menghapus rasa bersalah yang menyeruak di dadanya. "Udahlah, Ren. Daritadi lo minta maaf mulu! Kapan makannya? Gue laper, nih." Rendra memutar bola matanya, Reza terbahak. Bagi Reza, kesedihan dan perasaan bersalah ini tak boleh bertahan terlalu lama. Ia ingin adik dan ibunya kembali ceria seperti dulu dan seolah tak pernah terjadi apa-apa. Itu sebabnya setelah Rendra dan Nadia meminta maaf pada Yuni tadi, ia berinisiatif untuk memesan banyak menu makanan melalui delivery order untuk mencairkan suasana tegang yang sudah hampir seminggu ini mendominasi. Mereka semua pun duduk di meja makan
Rumah besar itu mulai ramai. Sebagai menantu, Nadia menyambut kedatangan orang-orang di pintu rumahnya. Orang-orang itu menyampaikan kalimat yang sama.Turut berduka cita.Ya. Yuni telah meninggalkan mereka semua, sembilan jam yang lalu. Pembuluh darah yang pecah, membuat pihak rumah sakit tak bisa menyelamatkannya. Tak ada yang bisa dilakukan selain menangis dengan hati yang hancur. Seorang perempuan yang telah melahirkan dan membesarkan mereka itu, kini telah meninggalkan dunia ini."Makasih banyak ya, Bu.""Sama-sama. Yang sabar ya, Nadia. Semua cobaan ini, Allah kasih buat nguatin kalian semua. Kematian udah jadi takdirnya Allah."Nadia hanya mengangguk kecil. Memang betul apa yang dinasihati tetangganya itu tapi, tak mudah untuk dilakukannya sekarang. Rasa terkejut, syok karena tiba-tiba dikejutkan oleh kepergian yang mendadak, membuat ketiga anak-anak dan menantu Yuni, belum bisa untuk berpikir jernih.Terutama Rendra
Walau rasanya raga tak lagi kuat untuk sekedar berdiri, namun Rendra tetap menjalankan kewajiban terakhirnya sebagai seorang anak laki-laki dengan ikut masuk ke liang lahat dan memasukkan jenazah Yuni. Air mata tak henti-hentinya mengalir dari matanya, begitu juga dengan Regi dan Reza. Kini, mereka telah kehilangan cahaya hidup. Tanpa meninggalkan tanda apa pun, Yuni pergi untuk selamanya."Ma, kenapa pergi? Eka baru aja mau resign dari kerjaan dan nemenin Mama di Aceh. Tapi kenapa sekarang Mama malah pergi?"Ketika tubuh kaku Yuni mulai ditimbun tanah, pertanyaan itu terlontar sendiri, menggema di relung hati Regi. Si sulung ini begitu tak percaya bahwa tahun ini ia akan kehilangan ibunya. Padahal, banyak rencana yang ia ingin wujudkan dengan ibunya."Mama, katanya mau liat Dwi nikah. Dwi udah nemu calon menantu Mama dan Dwi udah ada niat buat kenalin dia sama Mama. Tapi, Mama kok udah pergi aja? Hati Dwi hancur, Ma. Rasa sedih karena kehilangan Pap
"Pelan-pelan aja, Mas."Rendra mengangguk ketika Nadia mewanti-wanti dirinya agar melangkah lebih perlahan-lahan. Setiap hari, memang seperti ini rutinitasnya setelah terkena penyakit stroke, satu bulan yang lalu. Melatih otot-otot kakinya dengan berjalan kecil di taman belakang rumah, lumayan membantu proses pemulihan. Syukurnya, Allah masih beri kesempatan Rendra untuk sembuh dan kesempatan hidup setelah ia jatuh tak sadarkan diri di kamar mandi waktu itu. Tak bisa Nadia bayangkan jika ia harus kehilangan suaminya di waktu yang singkat setelah kematian Yuni. "Alhamdulillah, Mas udah mulai lancar jalannya. Udah nggak terlalu keliatan banget pincangnya," ujar Nadia setelah mendudukkan suaminya di kursi. Rendra memang masih belum sanggup untuk lama-lama berjalan. Paling lama hanya sekitar 15 menit saja. "Iya, Sayang. Alhamdulillah. Mudah-mudahan aja bisa lebih cepet lagi biar Mas bisa kerja lagi. Serasa makan gaji buta suamimu ini jadinya."Rasa-rasanya, Rendra harus banyak bersyuku
Sembari menjaga Rena bermain, kedua mata Rendra juga ikut mengamati Nadia yang sedang sibuk memasak di dapur. Rendra perhatikan istrinya itu lekat-lekat sembari ia juga bertanya, entah terbuat dari apa hati istrinya itu hingga bisa setulus ini. "Rena, mainannya nggak boleh dimasukin ke mulut, Sayang."Ocehan kecil Rendra, membuat perhatian Nadia teralih sebentar, lalu sesaat kemudian, ia tersenyum kecil. Masakan sederhana, sebentar lagi akan matang dan siap disajikan di meja makan untuk menyambut kedatangan Syifa dan Fahri yang akan datang malam ini. "Udah siap, Nadia?""Bentar lagi, Mas."Dengan susah payah untuk berdiri lalu memasukkan Rena ke baby walker karena kakinya yang masih terasa sedikit ngilu, akhirnya Rendra pun berhasil lalu ikut membawa Rena untuk menemui Nadia. Nadia yang menyadari kehadiran Rendra pun, sempat heran dan bertanya-tanya kenapa suaminya memandangnya dengan tatapan sendu saat ini. "Kenapa, Mas? Mau mandi?"Tak ada jawaban, baik berupa suara, maupun gera
Rendra benar-benar dibuat terkejut oleh pernyataan Syifa yang terkesan seperti menyudutkan dan menyalahkan itu. Ingin marah, namun Rendra kembali teringat dan belajar dari kesalahan di masa lalu bahwa kemarahan tak akan menyelesaikan apa pun selain memperburuk keadaan. Dan dengan menarik napas dalam-dalam dan juga berusaha mengendalikan emosinya, Rendra pun menjawab pernyataan Syifa dengan nada selembut mungkin. "Ya, bukannya gitu, Syifa. Gue bukan nggak anggep lo. Tapi ... pas Mama meninggal, keadaan di sini juga lagi kacau. Bahkan keluarga kita sendiri pun juga nggak sempet kita kabarin karena saking kalutnya."Bagai menjelaskan pada anak kecil, Rendra pun menceritakan secara detail agar Syifa bisa langsung memahami. Dirinya juga pernah merasakan bagaimana keadaan mental seseorang selama sakit. Itu sebabnya Rendra bisa memahami bagaimana sensitifnya perasaan Syifa saat ini. "Dahlah tu, Kak. Jangan marah-marah macam ni, ye? Takde salah siapapun kat sini."Fahri ikut berusaha menen