"Bersikaplah menjadi sosok isteri yang patuh pada suami," bisik Naufal.Hanan menatap tajam Naufal. Ia terjebak oleh kalimatnya sendiri. Tak ada opsi pilihan untuk menolak, dengan sangat terpaksa Hanan tersenyum manis dan membalas kecupan manis di pipi Naufal. Menjijikan, satu kalimat yang ingin sekali Hanan lontarkan tepat di wajah Naufal."Urusan kita belum selesai," ucap Hanan.Amora menatap bergantian wajah Hanan dan Naufal, "Wah, Ibu jadi iri sama kalian. Romantis banget, tapi sayang, gak tau tempat."Hanan menatap sinis pada Amora, "Iri ya? Memangnya dulu belum puas saat bermesraan sama Papa? Kalau memang belum puas, cari aja laki-laki lain. Kamu mana pernah cukup setia pada satu laki-laki!" tandas Hanan.Merasa sudah puas memancing emosi Amora, Hanan memilih beranjak dari duduknya dan segera keluar menuju garasi. Tak mempedulikan Amora yang sudah pasti sedang menahan amarah dan Naufal yang sok polos itu.Saat hendak menarik gas motor sport kesayangannya, tangan Hanan dipegang Na
*Bab 13*Hanan menatap nyalang pada Naufal. Entah mengapa hatinya begitu sakit. Ia sendiri heran kena tiba-tiba dirinya bersikap seperti itu. Toh ia tidak mencintai Naufal, lalu kenapa bersikap seperti itu?"Siapa yang bajingan, Hanan?" Naufal mengulangi pertanyaannya. Hanan mengalihkan pandangannya. Memilih menatap orang-orang yang sedang menikmati suasana senja di alun-alun. Matanya tertuju pada pasangan yang saling menyuapi. Huh! Semakin kesal saja hatinya.Tiba-tiba ada sesuatu yang dipaksa masuk ke mulut Hanan. Ya, Naufal menyuapi Hanan kebab Turki. Lebih tepatnya memaksa, sebab bibir Hanan masih tertutup rapat. Ternyata ekor mata Naufal mengikuti arah penglihatan Hanan. Ia mengira sang istri ingin seperti mereka."Apa-apaan sih?!" bentak Hanan. Memuntahkan kembali kebab yang sudah masuk ke dalam mulutnya sebagian."Kok dimuntahin? Bukannya kamu tadi pengin makan Kebab Turki?" tanya Naufal."Makan sama kamu!""Loh, loh, kenapa begitu? Ada apa sih?" Raut wajah Naufal menggambarka
Hanan dan Naufal terdiam, sibuk berperang dengan isi pikiran masing-masing. Hanya saling lirik, seakan-akan memberi kode agar salah satu diantara mereka lebih dulu buka mulut memulai lagi perbincangan. Mematung di sisi jalan, memang benar-benar konyol."Sudahlah, Aku mau pulang. Gak penting juga pertanyaan yang aku ajukan, bukan ranah urusanku. Toh dia masih menjadi bagian kehidupanmu. Asal jangan kamu hamili dia saja, bukan hanya reputasi dan nama baik keluarga dipertaruhkan. Tapi nyawamu juga, karena sudah berani mempermalukan aku. Segila-gilanya diriku, gak akan Sudi punya suami peselingkuh. Sebenarnya mudah saja mendepakmu dari kehidupanku. Tapi aku masih menghargai Mami dan Papi, sebagai mertuaku. Sebab kamu juga masih menghargai Papa dan mamaku," ucap Hanan. Akhirnya ia yang mengalah buka mulut lebih dulu."Kenapa kamu selalu berpikir buruk tentangku? Hingga sejauh itu menduga suatu hal yang tak masuk akal?""Hm, pertama, Aku sama sekali tidak berpikir buruk tentangmu. Dua puluh
Hana terkekeh melihat Naufal yang mati kutu. Berani memulai permainan, harus berani mengakhiri. Enak saja, mau merugikan dirinya. Toh, cukup besar pengorbanan yang dilakukannya. Mempertaruhkan masa depan dengan menikah. Ulat bulu yang sudah mulai terlihat gelagatnya hendak menempel harus segera dihempaskan. Sedikit sadis bolehlah."Jadi cowok jangan serakah Naufal, mending kamu pikir-pikir deh. Ngapain ngejalanin pernikahan sama aku begini, mending lanjutin sama Yeza. Urusan restu mah derita kamu, palingan aku bantu ketawa aja. Hahaha," ledek Hanan."Kamu kira gampang? Seenak jidatnya aja kalau ngomong.""Gampang dong, buktinya aku aja mau Nerima perjodohan kita. Kalau dipikir-pikir lucu sih, masa iya udah zaman modern begini masih laku perjodohan. Tapi ya, Aku juga gak punya pacar. Sekali ketemu cowok langsung nikah, jadi gak punya mantan. Gak kayak kamu, hidupnya ribet. Kasihan banget, jagain jodoh orang. Pacaran itu cuma ngabisin uang doang, memangnya gak ngerasa rugi gitu?" ledek
"Sejujurnya aku membenci orang yang masih bersangkutan dengan masa lalunya. Jangan berpikir aku cemburu. Tak ada alasan yang bisa bikin aku menyukaimu. Yang ada alasan aku membenci dan gak menyukaimu. Gak ada celah dari dirimu yang bisa bikin aku mau tersenyum. Hanya kesialan terus yang datang jika bersamamu," sindir Hanan. Siapa pun yang mendengar ucapan Hanan tentu sakit hati, ia memang sangat ceplas-ceplos. Memangnya Hanan peduli jika Naufal sakit hati? Tentu saja jawabannya tidak."Kamu terlalu banyak bicara, sudah kubilang jangan ikut campur antara aku dan Yeza. Diam saja di rumah, akan kunafkahi secara benar kamu. Gak usah banyak protes!" sungut Naufal.Hanan menatap tajam wajah Naufal. Pandai sekali dia membalikkan ucapannya? Enak saja keinginannya ingin dituruti dengan mudah seperti itu."Kalau ngomong dipikir dulu, sebelum otakmu aku keluarkan secara paksa. Karena percuma ada juga, gak berfungsi sama sekali." Kasar, memang. Lebih baik seperti itu, semua uneg-uneg tersampaikan
Hanan mengucir rambutnya sambil berjalan menuju garasi, penampilannya sudah oke. Memakai sepatu kets, dengan celana jeans dan kemeja flanel. Ia terlihat terburu-buru, sesekali melirik jam di pergelangan tangan. Membuka pintu garasi dengan napas tersengal. Sebab ia sudah berlari kecil sejak keluar dari kamar. Semua dilakukan dengan terburu-buru."Bisa menjadi hari apes bersejarah, kalau sampai hari ini aku telat masuk kerja! Tidak, tidak! Aku gak mau hal itu terjadi, sungguh memalukan sekali! Hanan yang disiplin dan tepat waktu, tiba-tiba berubah menjadi seperti itu. Sangat mustahil, sialan kamu Naufal!" gumam Hanan.Hari ini adalah hari pertama masuk kerja, setelah cuti pernikahan nya. Apalagi kebagian sif pagi. Ia meruntuki dirinya sendiri, sebab tadi malam harus tidur hingga larut. Menemani Naufal yang sibuk mengoceh tak jelas. Bagaimana mungkin, hari pertama masuk meninggalkan kesan memalukan? Terlambat datang, tak pernah ada di kamus kehidupan Hanan. Ia selalu telat waktu dan sang
"Na-Naufal?" ucap Hanan gagap."Kamu liat suami sendiri, kayak liat hantu. Gitu amat responnya. Gak bisa romantis dikit gitu? Tersenyum bahagia, terus peluk. Kan romantis, enak dipandang." Naufal malah mengoceh.Hanan menahan malu setengah mati. Ingin sekali melempar wajah Naufal yang sok tampan menggunakan flat shoes yang ia pakai. Meskipun menurut Lyra, Naufal adalah sosok suami sempurna tiasa cela. Padahal tidak ada yang bisa dipuji menurut Hanan. Yang ada menyebalkan dan selalu membuat ia kesal dan marah. Tidak bisa tersenyum sedikit pun saat melihat wajah Naufal yang sangat membosankan, dan kini ia mempermalukan Hanan di depan Lyra."Gak usah malu-malu, gitu amat sama suami sendiri!" goda Lyra. Mencolek lengan kanan Hanan."Kamu tau kalau aku lagi nahan malu? Sialan bener!" Hanan mencebik.Naufal menarik lembut tangan Hanan, agar segera beranjak dari duduknya. Aneh, meskipun keki setengah mati menahan malu di depan Lyra. Hanan tetap menurut, mengikuti langkah Naufal tanpa protes.
"Lumayan enak juga kalau punya suami, bisa disuruh-suruh. Ya, setidaknya ada bodyguard gratis juga. Free seumur hidup, ternyata ada secuil keuntungan nikah sama cowok rese itu!" batin Hanan sembari senyum-senyum tak jelas tanpa sadar."Serem amat dah! Ditinggal ke depan bentar aja, udah begini efeknya. Kamu beneran udah mulai ketergantungan sama aku? Gak bisa jauh-jauh dari aku?" Naufal terheran saat datang melihat Hanan melamun senyum-senyum tak jelas. Menempelkan telapak tangan kanan di dahi Hanan.Hanan menepis. "Apa-apaan sih! Kamu kira aku gila?" Ciri khas seorang Hanan, selalu melotot jika bicara pada Naufal."Semua orang juga akan beranggapan seperti itu. Jika melihat kamu senyum-senyum tanpa sebab, apalagi sambil melamun. Kalau bukan edan, lalu apa namanya? Harusnya kalau mau senyum itu nunggu aku datang, ajak-ajak. Siapa tau aku bisa luluh dan jatuh cinta sama kamu. Terus impianmu menua bersamaku terwujud." Naufal bicara dengan gamblang. Seolah-olah memang benar nyatanya.Han
Hanan kikuk, terdiam seribu bahasa hingga memakan waktu satu jam. Ia hanya mampu menundukkan kepalanya. Bingung harus menjawab apa, padahal belum ada satu kalimat pun yang dilontarkan Ayana. Hanan benar-benar seperti tersangka, yang akan diintrogasi habis-habisan oleh penegak hukum. Wajahnya juga sudah pias, menahan rasa takut.Hanan dan Ayana hanya saling sikut sejak tadi. Ayana juga sepertinya sedang menguji kejujuran dari Hanan. Tidak ada niat untuk membuka percakapan lebih dulu. Apalagi Hanan, usai memberikan segelas jus jeruk dan menyajikan beberapa cemilan, Ia langsung terdiam dan duduk di samping Ayana. Hanan benar-benar meruntuki kebodohannya, sangat ceroboh. "Minuman nya gak bakalan abis sendiri, kalau cuman diliatin doang, Mi." Hanan takut-takut saat berusaha mengajak Ayana berbicara.Ya, saat mendengar Hanan marah-marah dan memaki Naufal, lalu ternyata yang menelepon adalah Ayana. Tidak perlu menunggu waktu lama, Ayana sudah berada di ambang pintu rumah. Lalu ke mana Naufa
Kejam, jahat, tega? Julukan apalagi yang akan disematkan untuk Hanan tadi malam? Hm, Hanan rasa ia tak peduli, tidak ambil pusing. Baginya itu masih wajar saja, jika dibandingkan dengan kejamnya mulut Naufal. Rela memakai dan memfitnah istri sendiri, tanpa mau bertanya lebih dulu. Seolah-olah Hanan tersangka yang tidak patut didengar suaranya.Ya, tadi malam Hanan memang sengaja dan tidak akan peduli lagi pada Naufal. Ia mengunci pintu kamar, agar Naufal tidak bisa masuk ke dalam. Hanan juga tidak memberikan selimut pada Naufal. Membiarkan suami yang hanya menyandang status saja itu meringkuk kedinginan. Ia juga berusaha menulikan pendengaran saat Naufal tadi malam memangil namanya."Hari bermalas-malasan!" gumam Hanan.Ya, Hanan memang mengambil cuti kerja untuk hari ini. Setelah menikah ia memang sangat gila kerja. Tidak pernah libur, lebih senang menghabiskan waktu di tempat kerja.Hanan sudah bangun sejak satu jam yang lalu. Namun, ia hanya berguling-guling di atas tempat tidur. P
Hanan tidak takut sama sekali dengan ancaman Naufal. Kalau perlu diingatkan lagi, Hanan tidak pernah lagi hidup damai dan tentram sejak perceraian kedua orang tuanya. Nenek lampir itu merusak kebahagiannya, Syahreza yang lebih percaya dan tidak mau mendengar sedikit saja kejujuran sang putri. Lalu Manda yang selalu egois, semua keinginannya harus dipenuhi.Ingat baik-baik dan camkan! Jadi, ancaman seperti itu sangat tidak berlaku untu Hanan. Ia menghentikan langkahnya bukan karena mengurungkan niat untuk pergi. Hanan sangat membenci, ketika memiliki masalah dengan orang lain, lalu disangkut pautkan pada Syahreza. Ia cukup mandiri sejak sini, mampu menyelesaikan masalah seorang diri."Kamu kira aku takut? Ancamanmu sama sekali gak berlaku buat aku, suami sampah!" cibir Hanan."Apakah kamu terlahir sebagai pembangkang?" tanya Naufal.Hanan mengepalkan tangan, padahal sejak tadi berusaha untuk tidak bertingkah brutal dan mengendalikan emosi. Naufal sepertinya memang sedang benar-benar me
"SUDAH KUBILANG, NANTI DULU JIKA MAU BICARA. BIARKAN AKU MANDI SEBENTAR!" teriak Hanan. Hanan sudah bisa membaca suasana, pasti ada yang tidak beres. Akan ada pertengkaran antara dirinya dengan Naufal. Hati Hanan juga teramat sakit, saat mendengar kalimat sindiran yang diucapkan Naufal. Bukan berarti Hanan sedang berusaha mengelak, Ia juga penasaran. Namun, tubuhnya juga lelah, Ia harus membersihkan diri terlebih dahulu.Setelah dibentak oleh Hanan, Naufal langsung terdiam. Duduk menunggu di ruang keluarga, bersantai di atas sofa. Meskipun Hanan tahu, tatapan Naufal tak lepas dari gerak-gerik nya. Berusaha tenang dan mengontrol emosi, Hanan mandi juga terkesan buru-buru. Ia bahkan membiarkan kepalanya masih dibungkus handuk."Ada apa? Aku sudah siap untuk adu jotos denganmu!" ketus Hanan. Ia berdiri tak jauh dari Hanan duduk."Begitu sikapmu pada suami?" sindir Naufal.Hanan menatap sinis pada Naufal. "Berharap dianggap suami?""Jangan buat kesabaranku habis, Hanania Onella!" bentak
"Kerja saja dulu, gajian 'kan nanti sore kalau mau pulang." Hanan berlalu keluar dari ruangan. Jam kerja sudah dimulai. Efek kalimat dari Lyra ternyata memberikan pengaruh besar juga. Hanan terlihat lebih bersemangat sekali. Bahkan jam kerja yang biasanya terasa cepat sekali usai, kini berubah. Terasa begitu lambat, sesekali Hanan melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, disela-sela kesibukan melayani pengunjung."Kenapa gajian bisa bikin kita bahagia?" tanya Lyra."Karena bakalan dapat duit.""Pinter kamu, Hanan." "Gitu doang masa gak tau, terlalu bego namanya."Saat yang ditunggu akhirnya tiba juga. Dengan wajah sumringah Hanan dan Lyra keluar dari ruangan bos besar. Masing-masing menerima amplop hasil jerih payah selama satu bulan. Jam kerja telah usai. Hanan dan Lyra tentu saja berniat menyenangkan diri terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah."Kita makan bakso dulu, yuk!" ajak Lyra."Aku gak lapar, pulangnya aja gimana?" Lyra mengangguk tanda menyetujui
Ah, benar, hanya mimpi belaka. Bunga tidur yang biasa menemani saat sedang terlelap. Naufal sadar, kini ia bahkan sedang berusaha memeluk tubuh Hanan. Yang tentu saja keheranan dengan sikapnya. Pengaruh mimpi untuknya ternyata cukup besar. Hingga kini ia merasa begitu ketakutan akan kehilangan."Aku gak bisa napas, Naufal! Kamu mau bunuh aku, ha?!" Hanan akhirnya mengigit tangan Naufal yang memeluk erat tubuhnya."Aduh, Kamu ini nyeremin banget. Main gigit-gigit begitu," keluh Naufal. Mengelus tangan kanannya, ada bekas gigi Hanan."Bodo amat, lepasin gak?"Naufal memutuskan melepaskan pelukan, takut juga jika digigit kembali. Ternyata selain galak dan jutek, Hanan juga hobi mengigit.Hanan menendang tubuh Naufal agar menjauh. "Jangan modus, Gak mempan sama aku!""Iya deh, Iya. Makasih udah mau mengkhawatirkan aku."Hanan memilih abai, semenjak bangun tidur, Naufal sepertinya semakin aneh. Ia juga sebenarnya penasaran, mengapa bisa sampai Naufal mengigau menyebut namanya.'Manusia sat
Hanan merapikan penampilan saat hendak berangkat kerja, Ia kini sangat rajin memasak. Usai adzan subuh berkumandang, Hanan sudah selesai bersih-bersih rumah. Lalu memasak untuk sarapan. Setiap hari menu sarapan selalu berbeda-beda. Ia benar-benar melakoni tugas sebagai Ibu rumah tangga. Namun, tetap ada yang berbeda. Hanan yang biasanya marah-marah, bahkan selalu bersikap ketus pada Naufal, kini berubah total. Ya, bukan berarti berubah menerima Naufal sebagai seorang suami. Melainkan dianggap patung oleh Hanan. Tidak ada obrolan atau perdebatan lagi yang menemani hari-hari mereka."Hanan, kenapa kamu selalu menyibukkan diri dengan bekerja?" tanya Naufal. Sepertinya ia memang sengaja membuka obrolan saat sarapan."Tidak perlu bertanya jika sudah tau jawabannya, " jawab Hanan. Ia beranjak dari duduknya, menuju wastafel untuk mencuci piring bekas sarapan.Nyeri, ada yang menyayat hati Naufal. Tapi tidak berbekas. Biasanya jika membahas soal pekerjaan, Hanan akan bicara ketus dengan ciri
"Gak usah aneh-aneh, ya!" ancam Naufal."Lah, terserah aku dong! Udah deh, mending aku buang aja ini mie." Hanan benar-benar memiringkan kembali mangkuk yang ia pegang. Kasihan, mie yang tidak bersalah itu menjadi korban keegoisan antara Hanan dan Naufal. Padahal sudah terlihat menggendut, akibat terlalu lama diabaikan."Gak boleh buang-buang makanan, Hanan. Nyari uang itu susah, jadi hargailah hasil jerih payah biar bisa beli mie itu."Hati Hanan seperti tersayat sembilu, mengartikan ucapan Naufal seolah-olah tidak ikhlas bekerja demi memenuhi kebutuhan sehari-hari."Heh! Asal kamu tau, Aku juga kerja. Jadi gak usah dikasih tau hal kayak gitu. Hello! Kamu nyadar gak sih? Udah ada ngasih aku uang belanja? Udah pernah ngasih nafkah? Biar kamu inget ya, ini isi kulkas semua belinya pakai uang pribadi aku. Gak ada campur tangan dari hasil keringat kamu! Jadi terserah aku dong, suka-suka aku!" kecam Hanan.Entah mengapa, akhir-akhir ini emosi Hanan memang tidak terkontrol lagi. Ia jadi mu
Hanan mengendarai motor sport kesayangannya dengan laju yang cukup lambat. Ia melamun di atas motor, pikirannya bercabang ke mana-mana. Hanan masih tidak menyangka, doa yang ia ucapkan dalam hati dikabulkan seketika. Jujur saja, tadi Hanan sempat berharap ada Naufal yang tiba-tiba datang menjemput. Sebab ia juga merasa takut harus kembali ke rumah seorang diri. Apalagi belum cukup hapal dengan seluk beluk jalan menuju rumah baru Naufal.Hingga tak disadari, motor yang dikendarai oleh Hanan melewati rumah mereka. Dari belakang, Naufal membunyikan klakson panjang. Memberi kode pada Hanan. Sayang sekali, Hanan mengira Naufal hanya iseng belaka. Hingga tiba di depan supermarket. Ia menyadari, jika jalan menuju rumah sudah terlewati. "Ya ampun! kok bisa sih, Aku sampai melamun begini?" gerutu Hanan. Bergegas memutar haluan, berbalik lagi. Beruntung jalanan masih ramai.Tiba di rumah, raut wajah Hanan sangat tidak enak dipandang. Ia mulai misuh-misuh saat melihat Naufal yang sedang duduk s